kombes bina

Hal di sekitar Semangat dalam Pelayanan "Pertemuan Pembinaan Penerima Beasiswa GKJ/GKI" Sabtu, 6 Januari 2018 Catatan awal Untuk menumbuhkan motivasi bersemangat dalam pelayanan, saya memberikan catatan awal sbg berikut: 1.Upaya diatas bukanlah karya manusia melainkan karya Allah. Hal menumbuhkan semangat pelayanan diyakini spt Mazmur 127:1:”Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah tukang-tukang bekerja”. Juga perlu kesadaran bahwa Kristus yang membangun jemaat-Nya (Mat 16:8) dan demi siapa jemaat dibangun (Efesus 2:20,22). Mengapa saya beri catatan awal spt ini? Sebab dalam hal pembangunan jemaat kita seringkali jatuh dlm dua ekstrem. Pertama kita sangat hapal akan ayat2 tsb akan tetapi kemudian kita bertindak seolah-olah Tuhan tidak ada. Atau ekstrem yang lain yakni percaya bahwa Yesus yang membangun shg peran manusia akhirnya ditiadakan. Di satu sisi Roh Kudus tidak berkarya, di sisi lain manusia tidak berfungsi. Jalan tengah yg kita amini bahwa Yesus membangun dan sekaligus menyerahkan tugas kepada manusia. I Kor 3:9:”Kami adalah kawan sekerja Allah”. Kita adalah kooperator dan kawan Allah. Bertindaknya Roh memungkinkan tindakan manusia tidak menjadi sia-sia, atau berlebihan atau tanpa guna. Sekaligus Roh memungkinkan manusia untuk bertindak dengan sadar dan bijak. Kenyataan ini membuat kita tidak gampang frustasi dan sekaligus memperluas wawasan kita akan apa yng sedang kita kerjakan di dalam ladang pelayanan (gereja dan masyarakat). 2.Upaya di atas juga menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh menganggap enteng tugas tersebut namun sekaligus tidak menganggapnya terlalu sulit juga. Di satu pihak kita harus berani melihat kenyataan tantangan yg ada dan dilain pihak kita harus melihat bahwa fakta tsb bukanlah fakta yg stagnan, melainkan bisa berubah dan diubah. Berbeda dengan fakta alamiah, fakta yg terjadi di gereja dan masyarakat adalah fakta sosial yang bisa diubah. Pengertian ini kita perlukan supaya menjadikan kita tidak mudah menjadi lelah dan menyerah. 3.catatan yg ketiga, ada banyak faktor yang memang mempengaruhi semangat pelayanan bergereja dan bermasyarakat kita. Selain faktor eksternal yang banyak pengaruhnya, kadang kita sendiri kurang memperhatikan factor internal. Maksudnya kita kurang mampu memaksimalkan faktor internal, potensi-potensi yang ada di dalam gerej/masyarakata itu sendiri. Dalam tulisan ini saya lebih membobot pada faktor internal gerej/masyarakata. Jadi saya tidak bicara soal Tantangan serta ancaman yang ada namun lebih ke soal dapur gerej/masyarakat. memotifasi untuk lebih bersemangat dalam pelayanan Memang ada banyak faktor (dlm faktor internal itu sendiri) yang mempengaruhi hal munculnya semangat pelayanan. Akan tetapi pada kesempatan ini (karena keterbatasan waktu) hanya beberapa hal yang saya singgung. Di antaranya ialah: 1.Hal berfokus pada sesama warga sebagai Subyek Tumbuhnya kebersamaan akan muncul dengan sendirinya (sebuah keniscayaan) manakala orang2 di dalam gereja/masyarakat sudah memahami hal ideal (bahwa manusia berwatak social) bahwa mereka memang harus membentuk kebersamaan/persekutuan. Bersatu kita teguh bercerai kita jatuh. Seperti penggambaran Tubuh Kristus yang mengandaikan semua warga dan potensi membentuk satu kesatuan yang saling mengikat dan memperlengkapi dan menguntungkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah adanya faktor “kesenangan”. Hal orang bersekutu/bersama dalam kebersamaan dengan senang hati ternyata merupakan faktor yang efektif bagi kebersamaan dalam gereja/masyarakat. Paling tidak faktor itu akan meningkatkan partisipasi dan membuat tujuan serta kegiatan dapat tercapai dengan lebih sering dan lebih baik (secara kuantitatif maupun kualitatif). Dengan adanya factor kegembiraan, orang berkomunikasi dengan lebih banyak, dengan lebih terbuka, dengan lebih jujur. Dengan adanya kesenangan orang lebih rela melayani, lebih mudah saling memberi informasi dan dapat saling mengoreksi kekurangan. Teladan dapat kita lihat dalam gereja perdana. Sikap saling mengasihi antara orang beriman membuat orang luar mendengar injil. Happy and fun. Buat diri saudara merasa aman, nyaman dan senang dalam komunitas. Buat orang lain juga hal yang sama. Dalam pergaulan jemaat/masyarakat, faktor kesenangan sering kita sebut dengan adanya iklim yang kondusif. Maksudnya seluruh prosedur dan tata cara pergaulan yang berlaku di gereja/masyarakat menjadikan warga merasa senang sebab mereka dihargai dan dihormati sebagaimana layaknya orang yang telah dicintai oleh Tuhan. Jadi perihal bagaimana setiap warga jemaat/masyarakat dipandang dan dinilai serta bagaimana warga diperlakukan itu yang akan memunculkan tingkat partisipasi yang tinggi. Hal ini berarti kita harus berani melihat dan meninjau kembali prosedur dan struktur yang ada dalam kehidupan bergereja kita. Apakah prosedur dan struktur bergereja kita sdh mengandaikan pandangan yang positip kepada warga gereja/masyarakat atau tidak. Mengapa kita harus memperhatikan setiap warga, satu demi satu? Sebab dalam organisasi apapun terlebih dalam gereja, faktor manusia merupakan milik yang penting dan berharga. Dan organisasi harus bertindak berdasar kesadaran akan hal itu. Warga harus dilihat sebagai Subyek (di-uwong-ke). Kehadiran, sumbangan dan kemampuan mereka harus dihargai. Oleh karena itu setiap orang atau terlebih para pemimpin jemaat harus memandang warga sebagai “yang ikut mengambil keputusan” dan bukan semata-mata sebagai pelaksana atau yang terkenai dampak atas sebuah keputusan yang diambil. Warga harus ikut mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam kuasa. Pimpinan harus melihat bahwa warga adalah orang dewasa yang mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga mampu bertanggung jawab atas keberlangsungan organisasi. Yang menjadi tugas pimpinan adalah mendengar dan kemudian menolong mereka untuk menjalankan pekerjaan. Pimpinan membuka diri terhadap kritik, tidak mempersalahkan atau mengeluh. Pimpinan harus mudah didekati, perlu struktur organisasi yang datar, perlu dikembangkan proses komunikasi yg bottom-up. Landasan teologis bisa kita dapatkan dalam surat-surat rasul Paulus dan Petrus untuk jemaat perdana. Semisal dalam kitab Efesus 4 ayat 11-16. Di sana kita melihat bahwa berbagai jabatan yang ada dalam jemaat pada akhirnya harus bertujuan dan diperuntukan/berfokus untuk pembangunan jemaat. Jadi semua diperuntukkan dan diabdikan untuk pertumbuhan jemaat. Agar orang-orang kudus dapat menuju pada pemenuhan di dalam Kristus. Lebih tegas Petrus dalam 1 Petrus 2:9 menyapa jemaat :”Kamulah imamat rajawi”. Dari sini kita mengenal istilah Luther tentang Imamat Am orang percaya. Karena Roh Kudus dicurahkan kepada setiap orang percaya, dan korban Kristus diperuntukkan pula bagi setiap orang percaya maka berlaku prinsip egaliter/kesetaraan di antara setiap orang percaya. Kita melihat perbedaan antara struktur masyarakat Israel dengan gereja. Di mana dalam struktur masyarakat Israel dikenal istilah Representasi. Israel merupakan representasi seluruh bangsa. Imam agung bertindak atas nama para imam. Imam bertindak atas nama para Lewi. Lewi bertindak atas nama orang-orang Israel laki-laki. Orang Israel laki-laki bertindak atas nama perempuan dan anak. Ada hierarki. Sementara itu dalam gereja lebih ditandai oleh sifat Partisipasi. Tidak ada lagi yang bertindak atas nama orang lain. Setiap orang berdiri di samping yang lain. Dari sini kita melihat upaya penekanan penghormatan yang luar biasa pada setiap jemaat. Setiap orang percaya sekali lagi adalah Subyek. Oleh karena itu setiap anggota jemaat harus menerima satu sama lain. Jika jemaat menjadi jemaat karena diterima oleh Allah tanpa syarat demikian pula hendaknya jemaat dengan jemaat yang lain saling menerima tanpa syarat. Menjadi paguyuban yang ciri pokoknya adalah saling menerima orang lain tanpa syarat. Hal ini begitu mudah kita pahami namun sekaligus begitu sulit untuk dialami. Sebab seharusnya di jemaat orang bisa menemukan Allah. Gereja menjadi tempat untuk saling mengenal dan menghargai sebagai manusia, di mana setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri dan di mana ada juga ruang untuk orang lain. Di mana manusia merasa terlindung dan dikuatkan untuk menjalani kehidupan. Kondisi semacam itu membuat adanya komunikasi terbuka dan penuh keakraban. Penghormatan dan penghargaan yang tinggi pada diri manusia (terlebih manusia yang telah percaya dan menjadi anggota Tubuh Kristus) kita temukan dalam PPA GKJ pertanyaan dan jawaban no 23 dan 24, sbb: 23. Pert : Bagaimana penyelamatan Allah ke atas manusia itu kita pahami? Jwb : Penyelamatan Allah itu kita pahami sebagai anugerah karena: 1. Dilakukan atas dasar kasih Allah. 2. Melalui kehendak dan prakarsa Allah. 3. Dikerjakan oleh Allah. [Yoh.3:16; Ef.2:1-9; Tit.3:3-7; 1Yoh.4:9,10] 24. Pert : Bagaimana penyelamatan Allah yang adalah anugerah itu dapat dinalar? Jwb : Hal itu dapat dinalar sebagai berikut: 1. Allah menyelamatkan manusia karena Ia mengasihi manusia. 2. Allah mengasihi manusia karena bagi-Nya manusia berharga untuk dikasihi. 3. Bagi Allah manusia berharga untuk dikasihi karena manusia mempunyai martabat di atas semua makhluk yang lain. 4. Martabat manusia itu adalah bahwa manusia merupakan satu- satunya makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah. [Kej.1:26,27; Yoh.3:16; 1Yoh.4:9,10; band. Ef.4:24; Kol.3:10] Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa ketika warga dilihat sebagai subyek (yang dewasa dan mampu bertanggungjawab dalam kebebasan, yang juga mendapat pencurahan Roh Kudus) dan mereka juga melihat yang lain juga sebagai subyek maka akan terjadi kehidupan yang saling menerima satu sama lain. Warga menjadi saling membuka diri dan memperlihatkan bahwa orang lain juga boleh berada. Dengan begitu akan terjadi komunikasi yang terbuka dan akrab. Adapun langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut adalah: -semua warga komunita dilibatkan dalam penentuan tujuan, dengan demikian semua terlibat dalam menentukan kebijakan komunitas. -semua warga komunitas mendapatkan informasi yang mereka butuhkan dan diundang pula untuk memberikan semua informasi dalam komunikasi terbuka. -semua dilibatkan dalam penentuan kebijakan yang penting bagi mereka dan bahwa keputusan diambil sedemikian rupa sehingga integritas pribadi orang terjamin. -semua dapat mempengaruhi hidup jemaat pada umumnya. -semua diterima dan diperlakukan dengan respek. Inilah perwujudan dari Imamat Am. 2.Memperhatikan relasi-relasi yang terjadi Hal lain yang memungkin kita dapat menumbuhkan kebersamaan dalam pelayanan adalah faktor Relasi. Yakni Keseluruhan relasi dan hubungan antara orang-orang yang ada dalam organisasi (gereja) yang ditampakkan melalui bagan struktur , peraturan, tata gereja dan lain-lain. Biasanya dalam gereja dibedakan dalam 3 aspek ini: (1)relasi antara masing-masing anggota individual dalam organisasi, (2)relasi antara anggota individual dengan organisasi sebagai keseluruhan (dan juga dengan kelompok-kelompok yang merupakan bagiannya), (3)relasi antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Pada pokok ini hanya point 1 dan 2 yang akan saya singgung. a.Relasi antar individu Biasanya sifat relasi dalam gereja sering dinyatakan dengan pengertian paguyuban. Secara sadar atau tidak kita dihadapkan dengan pasangan pengertian Gemeinschaft dan Gesellschaft. Yang mana Gemeinschaft dipahami sbg pola relasi ala pedesaan (jaman dulu) yang mengandaikan ciri-ciri kekeluargaan sejati dan Gesellschaft dipahami sbg masyarakat perkotaan (masa kini) yang cenderung lebih sakelek atau formal/yuridis. Dalam kenyataannya pembedaan 2 pengertian tsb untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan gereja adalah tindakan yang tidak tepat benar. Pengandaian Gemeinschaft bahwa orang menjadi saling memperhatikan (karena sering bertemu) dan saling melayani tanpa pamrih, serta pengandaian pada Gesellschaft bahwa masyarakat perkotaan hanyalah manusia acuh tak acuh dan hanya saling menolong untuk menerima, ternyata sdh mendapat banyak kritikan. Oleh karena itu 2 pengertian tsb tidak bisa begitu saja diberlakukan atau dipakai untuk membentuk suatu persekutuan yang ideal di gereja. Salah satu kritik kita dapati pada Peter H.Mann yang membuktikan bahwa tidak adanya kontak belum tentu tidak adanya kerelaan. Perlu dibuat pembeda antara Ada atau Tidak Ada-nya kontak dengan sikap yang melatarbelakanginya. Sehingga Mann membuat 4 tipe relasi: a.Adanya kontak faktual + Sikap Positip b.Tidak adanya kontak faktual + Sikap Positip c.Adanya kontak faktual + Sikap Negatip d.Tidak adanya kontak faktual + Sikap Negatip Tipe a dan d paling jelas. Tipe b da c paling menarik. Tipe c memperlihatkan bahwa kontak faktual (memberi salam dan saling menolong) dapat bersamaan dengan sikap negatip. Tipe b menunjukkan sebaliknya sebab orang hormat pada privacy orang lain dan sekaligus siap menolong. Dapat ada sikap positip meskipun tidak ada kontak faktual. 4 tipe ini sangat menolong kita untuk melihat hal yang terjadi di komunitas/gereja kita. Study Josef Pieper mengenai bentuk-bentuk dasar relasi manusia membedakan dalam 2 kategori pokok, yakni Relasi yang di-Ia-kan dan relasi yang Tidak di-Ia-kan. Dalam relasi yg pertama para partisipan Saling menerima. Contoh: relasi antar tema, guru dan murid, penjual dan pembeli. Syarat: sejauh para actor saling memperhitungkan dan saling memperhatikan. Sedangkan dalam relasi kedua kita dapati pada situasi konflik, yang mana para aktor berusaha untuk menang atas yang lain. Dalam Relasi yang diiakan, Pieper menyebut dan membedakan 3 macam relasi yakni: Gemeinschaft, Gesellschaft dan Organisasi. Pieper menyebut relasi yang didasarkan karena adanya kepentingan dan milik bersama sebagai relasi Gemeinschaft. Yakni kesadaran kepentingan/nilai bersama. Menekankan apa yang menjadi milik bersama, sedang yang bersifat pribadi diletakkan dibelakang. Sedangkan relasi yang didasarkan pada kepentingan diri sendiri namun kepentingan, nilai dan martabat orang lain juga dihargai disebut oleh Pieper sebagai Gesellschaft. Dan relasi yang didasarkan tugas bersama dan tujuan organisasi disebut sebagai relasi organisasi. Jadi ada 3 relasi yang diiakan. Pernyataan Pieper yang menarik adalah bahwa semua ikatan atau kenyataan sosial (entah itu keluarga, PT atau Gereja) jika ingin kondisi yang stabil harus memberi ruang kepada ketiga jenis relasi yang diiakan tersebut. Tingkat partisipasi akan meningkat manakala tidak ada jenis relasi yang dimutlakkan. Jadi bagi jemaat yang ingin adanya pertumbuhan partisipasi perlu mengembangkan ketiga jenis relasi yang diiakan sebagaimana disebut oleh Pieper di atas. Sebab penekanan pada jenis relasi Gemeinschaft akan membuat orang tertekan sebab ia tidak dapat mengekspresikan kepentingannya sendiri. Akan tetapi pementingan kepentingan sendiri yang terlalu kuat juga tidak baik bagi hidup kebersamaan. Sejauh orang lain diterima dan diakui, termasuk kepentingannya, maka orang akan tetap merasa terikat dalam kebersamaan. Filipi 2: 4 senantiasa mengingatkan: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”. Kesimpulannya: jemaat akan meningkat partisipasinya jika tidak ada jenis relasi yang dimutlakkan. Tiga jenis yang harus senantiasa disadari dan kembangkan yakni: -Gemeinschaft beserta aturan mainya yaitu: keterbukaan, pengorbanan dan kelangsungan. -Organisasi, dengan pemberian undangan dan ruang bagi setiap orang untuk mempergunakan bakat khusunya bagi tujuan organisasi -Gesselschaft, yakni adanya pengakuan bahwa manusia berhak untuk membela kepentingan diri asal menurut aturan main yang disepakati. b.Relasi anggota individu dengan organisasi Dalam ilmu sosiologi agama warga gereja biasa dibedakan dalam 4 tipe (Fichter), yakni: anggota inti, anggota biasa, anggota marginal dan anggota tidur. Pembagian semacam ini bertolak dari individu serta relasinya dengan organisasi. Untuk perspektif partisipasi pembagian semacam ini jelas berat sebelah karena partisipasi organisasi tidak hanya ditentukan oleh Sikap Individu terhadap organisasi tetapi ditentukan juga oleh sikap organisasi terhadap individu. Saya pikir justru yang terakhir ini yang penting kita perhatikan saat ini. Remmerswaal mengembangkan tipologi keanggotaan organisasi bertolak pada dua variable yakni Atraksi (kadar ketertarikan anggota pada organisasi) dan Penerimaan (kadar organisasi memperlakukan dengan serius anggotanya). Kita bisa melihat analisa Remmerswaal dalam bagan sbb: penerimaan Positip Netral Negatip atraktivitas Positip 1 2 3 Netral 4 5 6 Negatip 7 8 9 Keterangan: Dalam kedua variable dinilai dengan Positip, Netral dan Negatip. Atraksi negatip berarti seorang anggota tidak ingin masuk organisasi. Atraksi Positip berarti anggota bermotivasi untuk menjadi anggota (terus) Atraksi Netral berarti anggota acuh tak acug terhadap organisasi. Penerimaan Positip berarti anggota kelompok/organisasi bereaksi terhadap tingkah laku individu, baik atas yang menyimpang (kecewa) maupun yg taat (memuji) atas norma organisasi. Penerimaan netral berarti anggota kelompok bersikap acuh tak acuh atau toleran terhadap partisipasi tidaknya seseorang. Penerimaan negatip berarti bahwa anggota kelompok memperlakukan individu seakan-akan ia tidak termasuk kelompok, ia dianggap tidak ada. Dari skema diatas dapat diperjelas sebagai berikut: 1 = Orang yang senang dan dihargai 2 dan 3 = Orang senang ikut namun tidak didorong oleh kelompok (2) atau malah dihalangi (3) 4 = Orang yang dihargai oleh kelompok ia sendiri tidak suka masuk. 5 dan 6 = Anggota biasa (hanya namanya saja) yang tidak diperhatikan (5) atau malah mau dilepas oleh kelompok (6). 7 = Anggota yang “memberontak”; orang yang enggan ikut (misalnya ikut hanya karena membutuhkan sesuatu) dan yang didekati secara positip oleh kelompok. 8 dan 9 = Orang yang enggan ikut dan oleh kelompok hampir tidak (8) atau sama sekali tidak dihargai (9). Skema atau bagan Remmerswaal ini hanya untuk menolong kita menilai sebagai organisasi. Meskipun dalam praktek kenyataan bisa lebih rumit. Jadi dalam sikap individupun kita dapat sikap ada nuansa yang lebih rumit. Bisa jadi ia netral terhadap organisasi besar, tapi ia positip atas organisasi yg lebih sempit (blok) yg ada dalam organisasi yang besar. Bagaimanapun bagan tersebut menolong kita melihat dan menilai bahwa sikap organisasi atas individu sangat berpengaruh besar atas munculnya partisipasi. Perhatian atau penerimaan organisasi biasa diwujudkan secara pastoral dalam kegiatan perkunjungan. Kegiatan perkunjunganlah yang selama ini diakui dan dilakukan oleh gereja sepanjang abad sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidup bergereja. Manakala perkunjungan sdh dipersiapkan dengan baik akan menghasilkan impact yang cukup besar. Biasanya persiapan perkunjungan dilakukan dengan mempertimbangkan situasi iman warga, yang bisa dilihat dalam: Konteks situasi : tempat warga tinggal, pekerjaan, kepuasan dlm pekerjaan, relasi dengan tetangga dll. Konteks iman: bagaimana menimplementasikan iman dlm rumah tangga, pekerjaan dan lingkungan. Konteks bergereja; apakah ada ikatan dengan gereja, apa harapan atas gereja, tingkat partisipasi dalam gereja, dll. Menurut penelitian Boonstra ada beberapa fungsi dari perkunjungan, yakni: 1.Perkunjungan berfungsi positip bagi mereka yg sdh lama tidak dikunjungi, mendapat kesan diprhatikan. 2.Pengalaman negatip bergereja dapat dibicarakan secara terbuka. Fungsi mau mendengar dan memberi penjelasan dengan sabar dibutuhkan. 3.Perkunjungan membuka kesempatan untuk berbicara tentang tantangan iman dalam suasana pribadi. 4.Bagi pengunjung mendapat pengalaman yg positip, dapat belajar bergaul secara bijak. 5.Lewat perkunjungankita dapat melihat gereja dari kacamata anggota marginal dan dapat melihat kendala yg ditemukan oleh orang lain dalam keinginan berpartisipasi. 6.Kepemimpinan dapat mengambil masukan dan menentukan kebijakan tidak berdasar dari apa yg actual ada namun juga dari yang potensial. Kesimpulan: Peran dan penerimaan organisasi kepada anggota lebih menemukan fungsi positip dalam karya perkunjungan. Perkunjungan terbukti memiliki banyak manfaat. Tidak semata-mata untuk meningkatkan partisipasi saja, melainkan juga untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas tentang organisasi itu sendiri. Perlu Tim atau komisi khusus untuk melakukan tugas mulia dan fungsional ini.

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009