Minimalis
Bahan PA
Oktober 2023
Apa Kata Alkitab tentang Minimalisme?
Mari kita bicarakan tentang barang-barang kita selama beberapa menit—semua yang kita miliki, mulai dari rumah, mobil dan furnitur hingga pakaian dan gadget kita. Mari kita mempertimbangkan beberapa pertanyaan terkait hubungan kita dengan semua hal tersebut:
1.Apakah kita membelinya karena semata membawa kegembiraan atau karena kegunaan praktisnya? Atau apakah kita membeli secara impulsif (sebatas hanya ingin memiliki) dan bahkan tidak pernah menggunakannya?
2.Apakah kita benar-benar mampu membelinya sehingga tidak menggagalkan atau mengganggu tujuan finansial kita? Atau apakah kita masih harus menyicil atau mengangsur untuk melunasinya?
3.Apakah barang-barang tersebut membantu—atau setidaknya tidak mengganggu— panggilan Tuhan dalam hidup kita? Atau sebaliknya apakah mereka justru menjadi penghalang atau menghalangi kita untuk tetap menjalani panggilan-Nya?
4.Apakah kita merawatnya agar tetap awet? Atau apakah kita terus-menerus menggantinya dengan yang baru?
5.Dan yang paling penting, sadarkah kita, pada akhirnya, itu semua hanya sekedar omong kosong dan tidak penting? Atau sebaliknya apakah kita menempatkan harga diri dan identitas kita di dalam semua barang tersebut dan menghargainya di atas sebagian besar hal lain dalam hidup kita?
Jadi, bagaimana kira-kira jawaban kita? Jika kuta tidak puas dengan semua jawaban kita, itu berarti kita mungkin memerlukan panduan. Mari kita bicarakan hal itu.
A. Masalah Perspektif
Dalam Khotbah di Bukit , Yesus menjelaskan bagaimana kita harus hidup di antara harta benda:
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."( Matius 6:19–21).
Ayat ini adalah pengingat penting dalam hal barang, harta benda —dan bahkan uang. Kita dipanggil untuk menaruh iman kita bukan pada hal-hal yang memenuhi garasi dan lemari kita (atau rekening bank), namun pada Pencipta kita.
Bukankah hal itu masuk akal? Sayangnya, banyak orang sangat menyukai barang-barang mereka. Mereka suka berbelanja, mengoleksinya, memamerkannya, dan mencantumkan identitasnya di dalamnya.
Kita tidak menentang ayat tersebut meskipun kita semua memiliki semua harta itu. Kita memang memerlukan barang-barang itu. Kita butuh semua itu. Yang perlu kita lawan adalah soal cara pandang yang salah. Dengan kata lain, kita tidak ingin barang-barang kita menyandera kita atau menjauhkan kita dari hal-hal yang benar-benar penting.
Kristus ingin kita menjalani kehidupan yang utuh di dalam Dia saja, dan untuk melakukan itu, kita harus menyadari hal ini: Setiap kepemilikan adalah berkat dari-Nya. Allah ingin kita bersyukur!
Pemahaman yang benar akan memungkinkan kita menemukan identitas dan kepuasan jiwa kita di dalam Dia dan merasa puas dengan apa yang kita miliki.
Seperti itulah hubungan yang sehat dengan barang-barang atau harta benda kita!
B. Kepuasan dan Minimalisme
Masalah dimulai ketika rasa tidak puas mulai merasuk. Alih-alih berpaling kepada Kristus, kita malah beralih ke toko favorit kita (lewat handphone kita), kita membeli barang-barang dengan harapan menemukan kebahagiaan atau semata untuk mengimbangi teman-teman kita. Tapi itu tidak pernah cukup, jadi kita membeli lebih banyak dan berharap merasa lengkap. Ini melelahkan! Mengajar Kepuasan menimbulkan masalah baru.
Paulus berbicara tentang pentingnya rasa cukup dalam suratnya kepada Timotius: “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. ( 1 Timotius 6:6–8 ) .
Soal kepuasan dan rasa cukup adalah ide besar di balik gerakan minimalis yang sedang populer saat ini. Di samping karena adanya krisis ekonomi global yang sedang terjadi. Minimalisme mendorong kita untuk merapikan hidup kita dengan menyingkirkan hal-hal yang tidak kita gunakan atau yang kita sukai. Hal ini memungkinkan kita fokus pada hal-hal yang paling penting—seperti Kristus, hubungan kita, dan pengalaman yang bermakna.
Menghilangkan kelebihan (barang) berarti kita tidak stres dalam memelihara, membayar, atau menyimpan semua barang itu. Barang-barang kita tidak menentukan kita atau hidup kita. Kebenaran itu memupuk kepuasan (rasa cukup) dan menciptakan ruang bagi Yesus.
Minimalisme bukanlah agama Kristen. Kita dapat mengikuti Yesus dan masih memiliki beberapa barang bagus. Namun ide di balik minimalis sangat membantu untuk memeriksa kembali di mana hati kita berada ketika menyangkut hal-hal tersebut. Lihatlah apa yang Yesus katakan dalam Lukas 12:15 : “ Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu."
Dengan kata lain, kepuasan yang kita cari tidak datang dari tas/keranjang belanjaan atau toko online. Juga tidak bergantung pada mentalitas “lebih banyak lebih baik”. Kita tidak akan menemukan rasa cukup ketika mencoba mengikuti perkembangan atau bujukan teman, saudara, atau tetangga kita. Kepuasan datang dari Yesus. Dialah satu-satunya yang mampu memuaskan jiwa kita.
Jadi luangkan waktu untuk mempertimbangkan hubungan kita dengan barang yang sudah kita miliki. Dan pastikan kita membeli barang baru untuk alasan yang benar.
Ingat, identitas dan kepuasan kita tidak boleh terletak pada hal-hal materi. Hal-hal tersebut harus ada dalam hubungan, pengalaman kita—dan, pada akhirnya, Kristus. Itulah hal-hal yang benar-benar layak untuk dikejar.
Sharing:
Apa pendapat saudara tentang Ide Minimalis di atas?