stola
Stola
Stola adalah vestimentum liturgis dari berbagai denominasi Kristen . Stola berupa sehelai selempang kain dengan bordiran, dulunya
berbahan dasar sutra , panjangnya sekitar tujuh setengah sampai sembilan kaki dan
selebar tiga sampai empat inci, makin ke ujung makin lebar.
Etimologi dan SEJARAH
Kata Latin stola berasal dari kata Yunani στολη ( stole ), "pakaian", arti aslinya adalah
"tatanan" atau "kelengkapan".
Stola pertama merupakan semacam
syal yang dikenakan menutupi bahu dan menjuntai di bagian depan tubuh; syal
yang dikenakan kaum wanita memang sangat besar ukurannya. Setelah dialihgunakan oleh Gereja Roma sekitar
abad ke-7 (stola juga telah dipergunakan oleh gereja lokal lain sebelumnya),
bentuk stola makin lama makin menyempit dan dipenuhi hiasan karena stola
dikembangkan menjadi semacam tanda kehormatan. Kini stola biasanya lebih lebar dan dapat dibuat dari berbagai
jenis bahan.
Ada banyak teori mengenai
"leluhur" stola. Ada yang berpendapat bahwa stola berasal
dari tallit (mantel
sembahyang Yahudi), karena kemiripannya dengan tata cara penggunaan tallit saat
ini (pemimpin ibadah Yahudi mengerudungi kepalanya dengan tallit pada saat
memimpin doa) tetapi teori ini sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Teori yang lebih populer adalah bahwa stola
berasal dari semacam kain lap liturgis yang disebut orarium dan sangat mirip
dengan sudarium. Kenyataanya,
di banyak tempat stola disebut orarium. Oleh
karena itu stola dihubung-hubungkan dengan kain lap yang digunakan Yesus
tatkala membasuh kaki murid-muridNya, dan merupakan simbol yang tepat bagi kuk
Kristus, yakni kuk pelayanan.
Bagaimanapun juga,
"leluhur" stola yang mungkin paling dekat adalah syal departemen yang
berlaku para pejabat Kekaisaran Romawi . Ketika kaum klerus menjadi angota badan administrasi Romawi,
mereka pun menerima tanda kehormatan yang sama, yang merupakan penanda jenjang
jabatan dalam hirarki kekaisaran (dan Gereja ). Berbagai konfigurasi stola (termasuk pallium atau omoforion) berasal dari penggunaan
syal departemen ini. Maksud aslinya adalah sebagai
tanda pengenal seseorang dalam organisasi tertentu dan untuk untuk menunjukkan
pangkat orang tersebut dalam kelompoknya, fungsi inilah yang masih diteruskan
oleh stola sampai hari. Jadi, tidak seperti busana
liturgis lain yang awalnya berlaku baik oleh klerus maupun awam, stola
merupakan busana yang dikhususkan untuk dikenakan oleh kelas masyarakat
tertentu berdasarkan pekerjaannya.
PENGGUNAAN
Katolik Roma
Dalam Gereja Katolik Roma,
stola adalah vestimentum yang menandai penerimaan sakramen imamat.Stola
diberikan dalam pentahbisan menjadi diakon, yang dengannya seseorang menjadi
anggota klerus (kaum tertahbis). Uskup dan imam mengenakan stola dengan cara menyampirkannya pada
tengkuk dan membiarkan dua ujungnya menjuntai di bagian depan, sedangkan diakon menyampirkannya pada bahu kiri dan
menyilangkan kedua ujungnya di pinggul kanan . Pada masa ketika Misa Tridentina masih digunakan, para imam yang
bukan uskup menyilangkan stola di dada (lihat gambar kanan bawah), tetapi
bedanya dalam Misa atau upacara-upacara lain bilamana berlaku pula kasula atau kap. Kini stola berlaku dengan
membiarkan kedua ujungnya menjuntai lurus (Petunjuk Umum Misa Romawi, 340). Pada kesempatan-kesempatan khusus, Sri Paus
mengenakan, sebagai bagian dari pakaian seragamnya, seperti stola khusus yang
penuh hiasan dan diberi lambang pribadinya.
Anglikan
Demikian pula halnya, dalam
Gereja-Gereja Komuni Anglikan , stola diberikan pada saat seseorang
ditahbiskan menjadi diakon serta disampirkan pada pundak. Dalam pentahbisan imam, sang imam yang baru
saja ditahbiskan tersebut menyampirkan stola pada tengkuk dengan kedua ujungnya
menjuntai di depan, baik menjuntai lurus atau dengan cara tradisional yakni
disilangkan. Klerus injili yang berkeberatan
mengenakan stola karena alasan hati nurani, mengikuti praktik reformasi yakni
mengenakan syal khotbah ( preaching scarf ).
Protestan
Di gereja-gereja Protestan, stola sangat sering dipandang sebagai
lambang tahbisan dan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen . Stola
kerap diberikan oleh jemaat (kadang berupa stola buatan tangan atau stola yang
diberi hiasan) sebagai hadiah pada saat pentahbisan atau perayaan peringatan
tahbisan seseorang. Umumnya
klerus protestan mengenakan stola dengan aturan yang sama dengan imam Anglikan
atau imam Katolik ritus Latin yakni disampirkan pada tengkuk dan membiarkan
kedua ujungnya menjuntai di dada (dan tidak disilangkan). Stola secara umum dikenakan oleh para petugas
pelayanan yang tertahbis dalam Gereja Lutheran , Gereja Methodis ,
Presbiterian, dan beberapadenominasi protestan lainnya.
Dalam Gereja Lutheran Injili di
Amerika (ELCA, Evangelis Lutheran Church in America), hanya para uskup dan
pastor yang mengenakan stola karena hanya merekalah yang menerima tahbisan,
yakni stola imam, karena dalam tradisi Lutheran jabatan uskup bukanlah suatu
tahbisan tersendiri melainkan hanya suatu jabatan tertentu saja. Para petugas pelayanan diakonal ELCA (setara
dengan diakon) umumnya tidak mengenakan stola, namun kadangkala mengenakan
stola diakon tradisional pada saat menjalankan fungsi liturgis tradisional
selaku diakon.
Dalam Gereja Persatuan Methodis
di Amerika Serikat (United Methodist Church), para diakon mengenakan stola
dengan cara yang sama seperti diakon-diakon dalam tradisi Anglikan dan Katolik
ritus Latin. Seorang penatua yang tertahbis
mengenakan stola dengan cara yang sama dengan imam-imam Anglikan dan Katolik
ritus Latin, karena jabatan penatua dalam gereja ini setara dengan jabatan imam
dalam Gereja Anglikan atau Katolik.
Gereja-gereja di Indonesia
Gereja-gereja di Indonesia menggunakan stola
sebagai perlengkapan pakaian ibadah khususnya untuk kantor gerejawi yang
tertahbis; penatua, pendeta, dan diaken. Ada
gereja yang sudah sejak lama menggunakan stola tapi ada juga gereja yang baru
saja menggunakan stola sebagai perlengkapan pakaian jabatan gerejawi. Warna stola biasanya disesuaikan dengan warna
minggu liturgis dan disertakan bordiran simbol liturgi pada ujung stola.
(Satu Set stola Gloria Hasta Karya)
Stola Gloria hasta
KARYA
Gloria Hasta Karya menyediakan
dan melayani pemesanan stola untuk perlengkapan pakaian jabatan gerejawi. Stola Gloria Hasta Karya dibuat dari bahan
yang berkualitas dan dibordir secara professional dengan simbol gerejawi atau
atas pesanan gambar khusus. Stola produk Gloria Hasta Karya
dijual dalam 1 set (terdiri 5 lembar bolak-balik dengan 10 simbol tahun
gerejawi). Selain itu simbol pada stola
dapat kami layani sesuai pesanan dari konsumen.
Stola
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Stola adalah vestimentum liturgis
dari berbagai denominasi Kristen. Stola
berupa sehelai selempang kain dengan bordiran, dulunya berbahan dasar sutera, panjangnya
sekitar tujuh setengah sampai sembilan kaki dan selebar tiga sampai empat inci,
makin ke ujung makin lebar.
Daftar isi
|
[sunting]Etimologi dan sejarah
Kata Latin stola berasal dari kata Yunani στολη (stolē),
"pakaian", arti aslinya adalah "tatanan" atau "kelengkapan".
Stola mula-mula merupakan semacam syal yang
dikenakan menutupi bahu dan menjuntai di bagian depan tubuh; syal yang
dikenakan kaum wanita memang sangat besar ukurannya. Setelah dialihgunakan oleh
Gereja Roma sekitar abad ke-7 (stola juga telah dipergunakan oleh Gereja-Gereja
lokal lain sebelumnya), bentuk stola makin lama makin menyempit dan dipenuhi
hiasan karena stola dikembangkan menjadi semacam tanda kehormatan. Kini stola
biasanya lebih lebar dan dapat dibuat dari berbagai jenis bahan.
Ada banyak teori mengenai "leluhur"
stola. Ada yang berpendapat bahwa stola berasal dari tallit (mantel sembahyang Yahudi), karena
kemiripannya dengan tata cara penggunaan tallit saat ini (pemimpin ibadah
Yahudi mengerudungi kepalanya dengan tallit pada saat memimpin doa) tetapi
teori ini sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Teori yang lebih populer
adalah bahwa stola berasal dari semacam kain lap liturgis yang disebut orarium
dan sangat mirip dengan sudarium. Kenyataanya, di banyak tempat stola disebut orarium.
Oleh karena itu stola dihubung-hubungkan dengan kain lap yang digunakan Yesus
tatkala membasuh kaki murid-muridNya, dan merupakan simbol yang tepat bagi kuk
Kristus, yakni kuk pelayanan.
Bagaimanapun juga, "leluhur" stola
yang mungkin paling dekat adalah syal jabatan yang dikenakan para pejabat Kekaisaran Romawi. Ketika kaum klerus menjadi angota badan administrasi Romawi, mereka pun
menerima tanda kehormatan yang sama, yang merupakan penanda jenjang jabatan
dalam hirarki kekaisaran (dan Gereja). Pelbagai
konfigurasi stola (termasuk pallium atau
omoforion) berasal dari penggunaan syal jabatan ini. Maksud aslinya adalah
sebagai tanda pengenal seseorang dalam organisasi tertentu dan untuk untuk
menunjukkan pangkat orang tersebut dalam kelompoknya, fungsi inilah yang masih
diteruskan oleh stola hingga hari. Jadi, tidak seperti busana liturgis lain
yang awalnya dikenakan baik oleh klerus maupun awam, stola merupakan busana
yang dikhususkan untuk dikenakan oleh kelas masyarakat tertentu berdasarkan
pekerjaannya.
[sunting]Penggunaan
Imam mengenakan sehelai stola
[sunting]Katolik Roma
Dalam Gereja Katolik Roma, stola adalah
vestimentum yang menandai penerimaan sakramen imamat. Stola diberikan dalam
pentahbisan menjadi diakon, yang dengannya seseorang menjadi anggota klerus
(kaum tertahbis). Uskup dan imam
mengenakan stola dengan cara menyampirkannya pada tengkuk dan membiarkan dua
ujungnya menjuntai di bagian depan, sedangkan diakon menyampirkannya
pada bahu kiri dan menyilangkan kedua ujungnya di pinggul kanan. Pada masa
ketika Misa Tridentina masih digunakan, para imam yang bukan uskup menyilangkan
stola di dada (lihat gambar kanan bawah), tetapi hadanya dalam Misa atau
upacara-upacara lain bilamana dikenakan pula kasula atau kap.
Kini stola dikenakan dengan membiarkan kedua ujungnya menjuntai lurus (Petunjuk
Umum Misa Romawi, 340). Pada kesempatan-kesempatan istimewa, Sri Paus
mengenakan, sebagai bagian dari pakaian seragamnya, semacam stola khusus yang
penuh hiasan serta diberi lambang pribadinya.
[sunting]Anglikan
Stola menyilang di dada bagi imam.
Stola pada bahu kiri bagi diakon.
Demikian pula halnya, dalam Gereja-Gereja Komuni Anglikan,
stola diberikan pada saat seseorang ditahbiskan menjadi diakon serta
disampirkan pada pundak. Dalam pentahbisan imam, sang imam yang baru saja
ditahbiskan tersebut menyampirkan stola pada tengkuk dengan kedua ujungnya
menjuntai di depan, baik menjuntai lurus atau dengan cara tradisional yakni
disilangkan. Klerus injili yang berkeberatan mengenakan stola karena alasan
hati nurani, mengikuti praktik reformasi yakni mengenakan syal khotbah (preaching
scarf).
[sunting]Protestan
Dalam gereja-gereja Protestan, stola sangat
sering dipandang sebagai lambang tahbisan dan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen. Stola
kerap diberikan oleh jemaat (kadang kala berupa stola buatan tangan atau stola
yang diberi hiasan) sebagai hadiah pada saat pentahbisan atau perayaan
peringatan tahbisan seseorang. Umumnya klerus protestan mengenakan stola dengan
aturan yang sama dengan imam Anglikan atau imam Katolik Ritus Latin yakni
disampirkan pada tengkuk dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai pada dada (dan
tidak disilangkan). Stla secara umum dikenakan oleh para petugas pelayanan yang
tertahbis dalam Gereja Lutheran, Gereja Methodis,
Presbiterian, dan beberapa denominasi protestan lainnya.
Dalam Gereja Lutheran Injili di Amerika
(ELCA, Evangelical Lutheran Church in America), hanya para uskup dan pastor
yang mengenakan stola karena hanya merekalah yang menerima tahbisan, yakni
stola imam, karena dalam tradisi Lutheran jabatan uskup bukanlah suatu tahbisan
tersendiri melainkan hanya suatu jabatan tertentu saja. Para petugas pelayanan
diakonal ELCA (setara dengan diakon) umumnya tidak mengenakan stola, namun
kadangkala mengenakan stola diakon tradisional pada saat menjalankan fungsi
liturgis tradisional selaku diakon.
Dalam Gereja Persatuan Methodis di Amerika
Serikat (United Methodist Church), para diakon mengenakan stola dengan cara
yang sama seperti diakon-diakon dalam tradisi Anglikan dan Katolik Ritus Latin.
Seorang penatua yang tertahbis mengenakan stola dengan cara yang sama dengan
imam-imam Anglikan dan Katolik Ritus Latin, karena jabatan penatua dalam gereja
ini setara dengan jabatan imam dalam Gereja Anglikan atau Katolik.
[sunting]Simbolisme dan warna
Warna-warna stola
Stola beserta sinktura dan manipel,
melambangkan ikatan dan rantai yang membelenggu Yesus dalam jalan sengsaraNya; stola
biasanya diberi hiasan aberbentuk salib. Versi lain mengatakan bahwa stola
melambangkan tugas memberitakan Firman Allah.
Warna-warna stola dan vestimentum lainnya
dalam Gereja Katolik Roma tercantum dalam Petunjuk Umum Buku Misa Romawi
(Missale Romanum), 346. Warna putih digunakan dalam masa Paskah dan Natal serta
hari-hari raya yang bukan hari peringatan martir; merah
untuk hari Minggu Palma, Jumat Agung, dan hari Minggu Pentakosta, serta
hari-hari peringatan orang-orang kudus yang wafat sebagai martir; hijau untuk masa biasa (antara
masa Natal dan masa Prapaskah, serta antara masa Paskah dan masa Adven).
Lembayung (seringkali dicampuradukkan dengan warna ungu) untuk masa Adven dan
masa Prapaskah, serta dapat digunakan dalam Misa bagi orang yang telah
meninggal dunia. Di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna merah muda
(pink) dapat digunakan untuk hari Minggu ke-3 dalam masa Adven dan hari Minggu
ke-4 dalam masa Prapaskah, karena hari Minggu ke-3 dalam masa Adven disebut
hari MingguGaudete dan
hari Minggu ke-4 dalam masa Prapaskah disebut hari Minggu Laetare; kata-kata Latin
tersebut berarti "bersukacitalah", dan perubahan warna yang digunakan
melambangkan "selingan" dalam penintensi selama masa penggunaan warna
lembayung. Demikian pula, di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna
hitam digunakan dalam Misa bagi orang yang telah meninggal dunia. Meskipun
demikian, Konferensi Waligereja, dengan persetujuan Tahta Suci, boleh
menyesuaikan aturan-aturan ini dengan tradisi-tradisi nasional, seperti
misalnya, di negara-negara yang menggunakan warna putih sebagai warna
perkabungan.
Komuni Anglikan dan Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan
warna-warna utama yang sama (putih, merah, hijau, dan ungu), namun sering pula
menggunakan warna biru sebagai ganti ungu untuk masa Adven (melambangkan langit
malam hari atau Perawan Maria),
merah-keunguan (Komuni Anglikan) atau merah-kirmizi(Gereja Lutheran Injili di
Amerika) digunakan selama Pekan Suci. Hitam, warna umum dalam kebanyakan denominasi, melambangkan perkabungan, mulanya digunakan pada hari
Jumat Agung dan upacara pemakaman, akan tetapi sejak tahun 1960-an, hitam
tergantikan oleh putih. Dalam keadaan-keadaan tertentu, warna hitam tetap
digunakan untuk upacara pemakaman dalam beberapa upacara pemakaman Anglikan
(misalnya dalam pemakaman Ratu Elizabeth, "Queen Mother"), Sedangkan
Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan warna hitam hanya untuk ibadah
hari Rabu Abu, dan sebagai warna selubung salib pada hari Jumat Agung. Sebagai
aturan, tata cara Anglikan umumnya identik dengan tata cara Katolik Roma.
[sunting]Stola dalam Gereja-Gereja
Timur
Dalam Gereja-Gereja Timur, stola dikenal
sebagai epitrakhelion (dikenakan oleh imam atau uskup) dan orarion (dikenakan oleh diakon atau subdiakon). Stola milik imam
berupa sehelai selempang yang disampirkan pada tengkuk, dan kedua ujungnya
dibiarkan menjuntai di bagian depan, kedua sisi stola yang bertemu di bagian
depan disatukan dengan jahitan. Protodiakon atau diakon agung menyampirkan
stolanya pada pundak kiri lalu disilangkan pada pinggul kanan, sedangkan diakon
menyampirkannya pada pundak kiri dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai bebas
di sisi kiri. Dua cara tersebut hanya dapat dijumpai dalam Gereja-Gereja
Ortodoks yang paling tradisional. Dalam kebanyakan tradisi Timur, hanya cara
pertama yang digunakan, kecuali jika diakon yang bersangkutan hanya mengenakan
eksorasson (jubah luar) maka orarion disampirkan ganda pada bahu kiri.
Subdiakon menyampirkan orarion-nya pada kedua pundak lalu disilangkan di
belakang dan depan. Orang-orang yang bertindak selaku subdiakon menyilangkan
orarion hanya pada bagian belakang agar menunjukkan bahwa mereka tidak
ditahbiskan.
Hadir penggunaan
Sejarah
Pengembangan
Asal
Stole
A liturgical vestment composed of a strip of material from
two to four inches wide and about eighty inches long. It has either a uniform
width throughout, or is somewhat narrower towards the middle, widening at the
ends in the shape of a trapezium or spade. A small cross is generally sewed or embroidered on the stole at both ends and in the middle;
the cross, however, is prescribed
only for the middle, where the priest kissesthe stole before putting it on. There are
no express precepts concerning the material of the stole, but silk, or at least a
half-silk fabric, is most appropriate. Stoles
for festivalsare generally
ornamented with embroidery,
especially what are called vesper stoles".
Present
use
History
Development
Origin
Pakaian Liturgi
Dalam
perayaan liturgi dan ibadat Gereja Katolik, para petugas
memakai pakaian tertentu. Ada berbagai jenis pakaian liturgi yang disesuaikan
dengan fungsi dan pemakainya. Pakaian ini melambangkan suasana liturgi yang
dirayakan saat itu.
1.
Pakaian Liturgi Jubah
Jubah adalah
pakaian liturgi yang hanya dikenakan oleh imam, atau frater.
Biasanya pakaian liturgi ini berwarna putih panjang, berlengan
panjang.
2.
Pakaian Liturgi Kasula
Kasula
adalah pakaian liturgi luar yang dikenakan imam saat memimpin Perayaan
Ekaristi. Kasula dikenakan diluar jubah atau alba. Kasula ini
adalah pakaian liturgi resmi untuk imam yang wajib dikenakan saat
memimpin Perayaan Ekaristi. Warna kasula selalu disesuaikan dengan warna
liturgi pada saat itu, dan jenis pesta peringatannya.
3.
Pakaian Liturgi Stola
Stola
adalah pakaian liturgi berbentuk seperti selendang yang dikalungkan. Stola
hanya boleh dipakai oleh orang-orang yang telah ditahbiskan yaitu, uskup, imam,
diakon (calon imam). Stola merupakan simbol pemimpin liturgi. Maka pakaian
liturgi ini tidak boleh dikenakan oleh orang yang tidak ditahbiskan.
Stola biasa dipakai saat memberikan Sakramen Pengampunan dosa, saat memberikan
Sakramen Minyak Suci, dan saat memimpin ibadat lainnya. Warna stola selalu
disesuaikan dengan warna liturgi pada saat itu, dan jenis pesta peringatannya.
4.
Pakaian Liturgi Pluviale
Pluviale
adalah pakaian liturgi berupa kain seperti mantel yang besar dan
diberi hiasan indah. Pemakaiannya adalah dengan cara dikalungkan dari belakang
dan dikancingkan pada bagian depan. Pluviale dipakai pada saat prosesi,
adorasi, pemberkatan Sakramen Maha Kudus. Atau saat pemberkatan perkawinan
tanpa Misa Kudus.
5.
Pakaian Liturgi Velum
Velum
adalah pakaian liturgi berupa kain selubung berbentuk persegi panjang
besar dengan ukuran lebar 2-3 meter, yang dihias indah, biasanya berwarna putih
atau kuning. Biasanya pakaian liturgi ini dipakai imam untuk
membungkus Sibori pada saat menyimpan Sakramen Mahakudus.
6.
Pakaian Liturgi Amik
Amik
adalah pakaian liturgi berbentuk kain persegi empat yg pada
kedua ujung atasnya terdapat tali yang panjang. Amik dipakai imam untuk
menutupi krah baju atau jubah yang tidak berwarna putih. Amik dipakai sebelum
mengenakan alba.
7.
Pakaian Liturgi Alba
Alba
adalah pakaian liturgi berwujud jubah panjang tipis berwarna
putih. Alba berasal dari bahasa Latin "albus" yang artinya putih.
Alba biasanya dipakai oleh imam atau diakon (calon imam) yang belum memakai
jubah, dan imam atau diakon yang jubahnya tidak berwarna putih . Alba
bisa juga dipakai oleh para petugas liturgi lainnya, seperti: prodiakon,
lektor, misdinar, dan pemazmur.
8.
Pakaian Liturgi Superpli
Superpli
adalah pakaian liturgi luar seperti rok yang panjangnya dari leher
sampai atas lutut. Berwarna putih dan berlengan panjang. Biasa dipakai oleh
imam, bruder, frater. Superpli dipakai di atas jubah imam, bruder, atau frater.
9.
Pakaian Liturgi Dalmatik
Dalmatik
merupakan pakaian liturgi berbentik seperti kasula, hanya biasanya
pada ujungnya berbentuk persegi atau bersudut. Bermotif garis-garis salib
besar. Pakaian liturgi ini hanya dipakai oleh diakon yang ditahbiskan
(calon imam)
10.
Pakaian Liturgi Samir
Samir
adalah perlengkapan pakaian liturgi berupa kain seperti selendang
kecil dikalungkan di leher yang kedua ujungnya menyatu, yang diberi hiasan
salib pada ujungnya. Samir biasa dipakai oleh prodiakon & lektor. Warna
samir selalu disesuaikan dengan warna liturgi pada saat itu, dan jenis pesta
peringatannya.
11.
Pakaian Liturgi Singel
Singel pakaian
liturgi tambahan berupa sebuah tali panjang yang berfungsi sebagai
ikat pinggang. Singel ini boleh dipakai oleh siapa saja yang memakai alba, atau
yang albanya terlalu besar. Singel dipakai untuk merapikan dan mengikat alba.
Busana Liturgis Lainnya
SUPERPLI
Istilah superpli berasal
dari bahasa Latin “superpellicium” yang artinya “di atas dada”. Superli adalah
pakaian luar seperti rok yang berwarna putih, panjangnya sampai di atas lutut
dan memiliki lengan baju yang lebar; terkadang dengan renda-renda di bagian
lengan dan lipatannya. Superpli dipakai oleh imam atau diakon dalam rangka
ibadat atau perayaan liturgi di luar misa, seperti adorasi, ibadat tobat,
mengantar Komuni, dan ibadat-ibadat lain. Superpli merupakan pengganti alba.
Tapi, tidak boleh sembarangan memakai superpli. Kalau pelayan mengenakan kasula
atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba dengan
superpli. Superpli bisa juga dikenakan oleh siapa saja yang bertugas dalam
liturgi, termasuk para broeder, frater dan misdinar.
PLUVIALE
Arti harafiah pluviale
ialah mantel hujan. Pluviale yang dipergunakan dalam liturgi merupakan kain
mantel besar, indah, yang dikalungkan pada leher dari belakang dengan kancing
rantai dari kedua sudut atas mantel. Dalam liturgi, pluviale dipakai oleh uskup
atau imam pada perayaan liturgi di luar Perayaan Ekaristi, seperti prosesi,
adorasi atau astuti, pemberkatan dengan Sakramen Mahakudus, pemberkatan
mempelai tanpa misa kudus atau upacara pemberkatan lain.
VELUM
Velum merupakan sebutan bagi kain segi empat sepanjang 2-3 meter
dan lebarnya sekitar 60 cm, berwarna putih atau kuning atau emas dengan hiasan
indah, memiliki rantai kancing pada kedua ujung yang dapat dicantelkan di depan
dada. Velum yang berarti kain selubung ini digunakan dengan cara dikalungkan
dari belakang dan dikenakan pada punggung. Velum digunakan oleh imam atau
diakon untuk menyelubungi pegangan monstrans yang berisi Sakramen Mahakudus
dalam rangka prosesi Sakramen Mahakudus atau pemberkatan umat dengan Sakramen
Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun
sangat berkaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau
penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi.
Namun ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk membawa tongkat gembala
dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum
untuk tongkat dan mitra uskup biasanya berwarna putih saja.
DALMATIK
Dalam Perayaan Ekaristi, busana khusus bagi imam selebran ialah
kasula; busana khusus bagi diakon ialah Dalmatik. Bentuk dalmatik agak mirip
kasula, tetapi berbeda juga, sebab ujung dalmatik biasa dibuat persegi atau
bersudut (pada kasula tidak) dan motif hiasan berupa garis-garis salib besar.
Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala
bertugas melayani dalam Misa, khususnya yang bersifat agung / meriah. Tetapi,
kalau tidak perlu atau dalam perayaan liturgi yang kurang meriah, diakon tidak
harus mengenakan dalmatik. Busana ini melambangkan sukacita dan kebahagiaan
yang merupakan buah-buah dari pengabdiannya kepada Allah. Warna atau motif
dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa.
STOLA DIAKON
Sama dengan stola imam,
hanya cara mengenakannya yang berbeda. Imam mengenakan stola dengan cara
mengalungkannya pada leher, dua ujung stola dibiarkan menggantung. Diakon
mengenakan stola dengan cara menyilangkannya dari pundak kiri ke pinggang
kanan. Karena stola merupakan tanda jabatan kepemimpinan liturgi resmi, maka
stola hanya boleh dikenakan oleh para pelayan yang ditahbiskan, yaitu uskup,
imam dan diakon.
sumber : 1.
“Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3
Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi
Sang Kristus Indonesia); 2. “Memahami Simbol-Simbol Dalam Liturgi” oleh E.
Martasudjita, Pr; Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang; Penerbit Kanisius;
3. “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site;
www.transporter.com/fatherpeffley
Perlengkapan Liturgi - BUSANA liturgi
Mengapa
memakai busana khusus?
"Haruslah
engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan
kemuliaan. Haruslah
engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh
keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya
jabatan imam bagi-Ku. "(Kel 28:2-3)
Pedoman
Umum Misale Romawi: "Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota
menjalankan tugas yang sama. Dalam
perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis
yang berbeda-beda. Jadi,
busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing server. Selain itu, busana liturgis juga menambah
keindahan perayaan liturgis "(PUMR 335).
Amik, merek perlindungan
Amik
adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga
model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali.
Amik
yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung
pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi
serangan setan.
Kain
itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju agar tampak rapi,
untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana
liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami
kerusakan.
Amik
dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba.
Pemakaian
amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama
sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu berlaku sebelum alba
(PUMR 336).
Alba , citra kekudusan
Pakaian
putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan
kemurnian yang seharus-nya menaungi jiwa diakon / imam yang me-rayakan liturgi,
khususnya Pe-rayaan Ekaristi.
Alba
dengan warna putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan
komitmen baptis dan kebangkitan. Sebenarnya
alba juga bisa dipakai untuk server altar lainnya, bahkan-meski tidak
lazim-untuk lektor dan pemazmur.
Jubah
Lektor
Sudah
sangat lazim bahwa lektor-juga beberapa petugas liturgis lainnya, seperti
pemazmur dan pembagi komuni, bahkan kelompok paduan suara-mengenakan jubah atau
busana semacamnya. Tidak
ada aturan khusus untuk itu, juga tidak ada larangan untuk melanjutkan
kebiasaan itu. Namun
perlu ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban
untuk mengadakannya.
Justru,
ketika publik atau petugas liturgis yang tidak ditahbiskan berperan dalam perayaan
liturgis, sebaiknya ia tampil dengan busananya sendiri. Tentu saja busana yang layak dan sopan
untuk ukuran publik.
Lagipula,
seringkali memakai jubah untuk mereka malah bisa mengundang pemikiran lain
(baik secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua orang cocok
memakai jubah. Jelasnya,
jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi pria tentunya jadi terlihat aneh jika
berlaku perempuan
Superpli , pengganti alba
Superpli
merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba. Ber-warna putih.Superpli tidak sampai
mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-langan tangan yang cukup lebar. Tidak bisa sembarangan memakai superpli. Alba dapat diganti superpli, kecuali
kalau dipakai kasula atau dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula atau
dalmatik (PUMR 336). Dengan
kata lain, jika memakai kasula dan dalmatik, imam dan diakon harus memakai
alba, bukan superpli. Jika
hanya memakai stola, maka imam dan diakon bisa memakai superpli pada jubahnya.
Singel, tali kesucian
Tali
pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati (chastity) dan pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai
dengan warna masa liturginya.Biasanya singel dipakai jika model alba
membutuhkan-nya atau jika dipakai stola dalam (PUMR 336).
Busana
khusus untuk yang ditahbiskan
Ada
beberapa busana liturgis khusus untuk petugas yang ditahbiskan (klerus), yang
tidak dikenakan atau bahkan ditiru untuk petugas liturgis publik. Unsur busana khusus itu adalah stola,
kasula, dalmatik, dan velum. Selain
mengenakan beberapa unsur di atas sebelumnya (amik, alba, singel), beberapa
unsur berikut ini kemudian melengkapi penampilan se-orang petugas yang
ditah-biskan sesuai dengan kebu-tuhan perayaannya.
Stola , lambang penugasan resmi
Stola
adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang mengenakannya sedang
melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat).
Stola
melambang-kan otoritas atau ke-wenangan dalam pelayanan sakra-mental dan
berkhot-bah. Secara
khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol
kekekalan. Warnanya
sesuai dengan warna masa liturgi pada saat perayaan dilangsungkan.
Stola
hanya digunakan oleh diakon dan imam.
Diakon
mengenakannya menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan.
Imam
memakainya dengan cara mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke depan,
dibiar-kan menggantung (PUMR 340).
Dulu
(sebelum pembaruan liturgis 1970), cara ini hanya untuk uskup atau abas, kantor
yang biasanya mengenakan kalung salib (pektoral) - kalung salib semacam itu pun
sebenarnya tidak perlu diperlihatkan pada kasula, dalmatik, atau pluviale, tapi
bisa pada mozzetta ( lihat CE / Caeremoniale
Episco-porum 61). Sedangkan para pemimpinnya dulu
mengalungkan stola dan kemudian menyilangkannya di depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup
sekarang bisa mengenakan stola dengan cara yang sama (CE 66).
Kasula , lambang cinta dan pengorbanan
Kasula
adalah busana khusus untuk imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang
dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi
Kasula
melambangkan prioritas cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang
penuh pengorbanan diri untuk Tuhan. Warnanya
sesuai dengan warna liturgi untuk perayaannya. Model kasula mengalami beberapa perubahan
dan variasi. Dari
yang panjang dan mewah banyak hiasannya, lalu yang tampak minimalis dengan
lengannya seperti terpotong, sampai yang sederhana polos.
Hingga
saat ini setidaknya ada dua macam model atau cara pemakaian stolanya. Kasula dengan stola dalam berarti memakai
stolanya di dalam, tertutup kasula. Kasula
dengan stola luar berarti stolanya pada kasula.
Dalmatik, untuk pelayanan Misa
Dalmatik
berlaku setelah stola diakon. Ini
adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa / Perayaan
Ekaristi, khususnya yang bersifat agung / meriah.
Busana
ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan buah-buah dari
pengab-diannya kepada Allah.
Warna
atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu
Misa. Bentuk
dalmatik seolah mirip kasula, namun sebenarnya memiliki pola berbeda.Biasanya
ada beberapa garis menghiasinya.
Velum
Velum
adalah semacam kain putih / kuning / emas lebar yang dipakai pada punggung
ketika membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat transfer Sakramen
Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih
malam!) Dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
Memang
unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat ber-kaitan
dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam Adorasi atau penghormatan kepada Sakramen
Mahakudus. • Kain
semacam itu biasanya dihiasi. Ada
juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk membawa tongkat gembala dan mitra uskup,
ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu
biasanya berwarna putih saja.
Pluviale
Ini
semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di luar Perayaan
Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang
rubriknya menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi pemberkatan). Kita bisa melihatnya - meski sudah jarang
- jika imam mengenakannya dalam pawai sebelum Misa Minggu Palma. Jenis busana ini memang tidak langsung
terkait dengan Misa, tapi sering digunakan sebelum Misa itu sendiri.
Norma
umum berbusana liturgi
Baik
Imam Selebran maupun Imam Konselebran mengenakan busana yang sama, kecuali jika
sang Imam Selebran adalah seorang Uskup. Biasanya uskup mengenakan tanda-tanda
lain yang tidak dimiliki imam biasa. Namun,
pada beberapa tingkat berbusana, sebenarnya ada norma tertentu yang berlaku
untuk setiap petugas liturgis, khususnya pemimpin liturgis.
Singkatnya,
busana dasar-nya adalah alba (yang putih!), Sebelumnya bisa memakai amik
(tertutup alba), dan sesudahnya bisa memakai singel. Jika diakon, sesudah itu ia mengenakan
stola, kemudian dalmatik. Jika
imam, setelahnya me-makai stola, lalu kasula; atau dapat juga langsung
kasula,
lalu stola luar.Seorang uskup agung (metropolis) juga mengenakan palium,
seperti kalung dari kain keras, ada warna putih dan hitam, berikut beberapa
simbol salib. Uskup
biasa (sufragan) tidak memiliki palium. Salib dada (pektoral) seorang uskup
sebenarnya tidak dikeluarkan (CE 61), alias tidak tampak pada kasula, alias
sebaiknya dicopot atau disembunyikan saja di balik kasula. Salib pektoral seorang uskup merupakan
bagian dari pakaian (jubah) kesehariannya (termasuk di antaranya topi kecil [ pelliolum, soli Deo ] dan cincin). Salib semacam itu bukan bagian dari
perlambangan busana liturgis, berbeda halnya dengan mitra dan tongkat gembala.
Busana
untuk publik jangan sama dengan klerus
Mungkin
kita pernah melihat bahwa seorang bapak pembagi komuni berbusana mirip seorang
imam, dengan memakai "semacam stola"; atau mirip seorang uskup,
lengkap dengan jubah putih dan singel ungu (karena masa Prapaskah atau Adven),
beserta salib pektoralnya. Wow!Instruksi Redemptionis Sacramentum mengingatkan bahwa "umat awam tidak
pernah bisa bertindak atau berbusana liturgis seperti seorang imam atau diakon,
atau memakai busana yang mirip dengan busana dimaksud" (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk
menghindari kerancuan simbolis, atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang
menjadi tugas khusus masing-masing (RS 151).
Maksud
aneka warna busana liturgis
Peraturan
tentang warna liturgis secara khusus berlaku untuk busana liturgis. Ada beraneka warna yang digunakan. Maksud keanekaragaman warna busana
liturgis itu adalah [1] untuk secara lahiriah dan berhasil guna mengungkapkan
ciri khas misteri iman yang dirayakan; [2] dan dalam kerangka tahun liturgi,
untuk mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristen
(PUMR 345).
Kapan
menggunakan warna tertentu?
Warna-warna
yang masih berlaku:
[1]
putih: untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali
peringatan sengsara-Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang bukan
martir, Hari Raya Se-mua Orang Kudus (1 November), kelahiran St . Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta Yohanes
Pengarang Injil (27 Desember), Pesta St. Petrus Rasul (22 Februari), dan Pesta
Bertobatnya St. Paulus
Rasul (25 Januari). Warna
putih juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
[2]
merah: untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan Sengsara
Tuhan, pesta para rasul dan penulis Injil (kecuali Yohanes), perayaan para
martir;
[3]
hijau: untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
[4]
ungu: untuk Masa Adven dan Prapaskah, dan Liturgi Arwah;
[5]
hitam: untuk
Misa Arwah, meskipun kini sudah jarang digunakan;
[6]
jingga: untuk hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika memang sudah
biasa (PUMR 346).
Bisakah
warna itu diganti?
Perubahan
warna tertentu untuk perayaan khusus diizinkan juga. Ini biasa terjadi dalam konteks kultural
tertentu yang mungkin memiliki konsep makna berbeda tentang warna.Namun,
kewenangan untuk mengubah demi penyerasian kultural itu ada pada pihak
Konferensi Uskup, yang kemudian harus memberitahukannya kepada Takhta Apostolik
(PUMR 346) sebelum memberlakukannya.
Bahan
dan hiasannya
Biasanya
busana liturgis itu terbuat dari kain, entah bahannya dari apa. Bahan apa saja memang bisa digu-nakan
asal sesuai dengan martabat perayaan liturgis dan cocok untuk kondisi server
liturgi yang mengenakan-nya (PUMR 343). Untuk daerah tropis seperti di Indonesia. kiranya ada bahan-bahan yang lebih cocok. Tidak semua busana liturgis buatan luar
negeri (Eropa atau Amerika, misalnya) nyaman dipakai untuk daerah-daerah di
Indonesia. Bahkan,
busana liturgis buatan dalam negeri pun juga tidak semuanya nyaman untuk orang
kita. Maka,
perlulah setiap daerah memertimbangkan sendiri jenis kain atau bahan yang cocok
untuk daerahnya, agar busana liturgis tidak menjadi gangguan bagi yang
memakainya. Itu
dari sisi pemakainya (petugas liturgi).
Sekarang
perlu juga kita pertimbangkan dari sisi yang melihatnya, yaitu jemaat pada
umumnya. Unsur
keindahan dan keanggunannya sangat penting dan perlu diperhatikan.Keindahan dan
keanggunan busana liturgis bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya hiasan,
melainkan karena bahan dan bentuk potongannya. Juga bukan karena murah atau mahal
harganya. Namun,
juga jangan terlalu pelit untuk mengadakan busana yang membantu mencitrakan
kekudusan ini. Hiasan
yang berupa gambar atau lambang hendaknya juga sesuai dengan liturgi, khususnya
Ekaristi (PUMR 344). Proporsi
ornamen itu sebaiknya juga disesuaikan dengan interior atau bentuk bangunan
gerejanya. Misalnya,
untuk interior atau tata ruang gereja yang sudah meriah, mungkin tidak perlu
lagi busana liturgi yang meriah atau ramai. Atau juga, busana liturgis bermotif
batik-Jawa (atau motif tradisional lainnya) mungkin kurang cocok jika berlaku
di dalam gereja yang bergaya gotik-Eropa, tapi lebih cocok dalam gereja yang
bergaya joglo ala rumah Jawa (atau bergaya tradisional lainnya).
CH
Suryanugraha, OSC
(seijin Aegidius Eko Aldilanto O. Carm.)
(seijin Aegidius Eko Aldilanto O. Carm.)
Stola - Dapatkah DIPAKAI OLEH
PUBLIK?
Rate This
Pertanyaan umat:
Salam ... Ijinkan saya untuk
bertanya. Apakah pemimpin ibadah
sabda di wilayah rohani dan di kelompok kategorial menggunakan stola? Bila ya, apakah aturan tentang
bagaimana cara menggunakan stola tersebut (dipakaikan atw pakai sendiri).
Karena ditempat kami ada pemimpin ibadah yg memakai stola dan ada yg tidak. Diwilayah rohani yg memakai, ada perdbtan apakah dipakaikan atw pakai sendiri dgn brbgai mcm argumen. Dan dimanakah kita bisa menemukan acuan yg mengatur ttg hal tsb. Terima kasih.
Karena ditempat kami ada pemimpin ibadah yg memakai stola dan ada yg tidak. Diwilayah rohani yg memakai, ada perdbtan apakah dipakaikan atw pakai sendiri dgn brbgai mcm argumen. Dan dimanakah kita bisa menemukan acuan yg mengatur ttg hal tsb. Terima kasih.
PENCERAHAN DARI PASTOR
BERNARD RAHAWARIN PR:
Bapak Misart, saya kemukakan
kutipan dari Tata Bacaan Misa no 54: "Kalau seorang imam lain, diakon atau
lektor yg ditunjuk untuk tugas itu, naik mimbar dalam perayaan Ekaristi bersama
umat untuk membacakan Sabda Allah, mereka harus memakai pakaian liturgi sesuai
dengan tugasnya. Tetapi mereka yg
menunaikan tugasnya hanya atas dasar penunjukan aktual .... bisa naik dengan
pakaian biasa, asal tidak melanggar adat kebiasaan daerah yg bersangkutan.
PENCERAHAN DARI BP. NIKASIUS HADDIE:
Pemimpin Ibadah di wilayah
teritorial maupun dalam kelompok kategorial yang dilakukan oleh seorang publik,
(bukan Klerus) TIDAK menggunakan stola. Kapan
dipimpin oleh seorang pro-diakon, baiklah ia menggunakan alba sebagai
pakaiannya.
Dokumen atau acuan ttng hal
itu bisa dilihat pada Caeremoniale Episcoporum no 56-64 dan juga pada PUMR 2002
mulai no.335-347, khususnya no.340.
PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL Yudhistira
Stola adalah lambang
tahbisan, karena itu hanya Uskup, imam dan diakon yang bisa menggunakan stola.
Diakon menggunakan stolanya menyelempang dari bahu kiri ke pinggang kanan.
Imam dan uskup menggunakan stolanya seperti biasa kita lihat.
Diakon menggunakan stolanya menyelempang dari bahu kiri ke pinggang kanan.
Imam dan uskup menggunakan stolanya seperti biasa kita lihat.
Ada satu hal yang sering kali
kurang diperhatikan namun bisa mengakibatkan kesalahpahaman.Yaitu petugas
publik yang memakai slempang seperti layaknya diakon .... See More
Adalah lebih baik jika busana liturgi publik yang bertugas disesuaikan sehingga tidak meniru busana klerus. Alba dengan singel selalu cukup.
Adalah lebih baik jika busana liturgi publik yang bertugas disesuaikan sehingga tidak meniru busana klerus. Alba dengan singel selalu cukup.
PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO
PR:
Jika tidak keliru Sdr. Misart bertanya dgn latar belakang dan
konteks Gereja Keusk Manado. Sy
akan beri beberapa klarifikasi terutama kpd segenap pembaca yg kurang paham
konteks Manado.
Pertama, istilah
"WILAYAH ROHANI" yg dimaksud Misart adalah kelompok umat basis dlm
paroki.Di keuskupan2 lain namanya lingkungan, kring, KBG, dll.
Kedua, "stola". Kalau di bbrp keuskupan di Jawa para
prodiakon mengenakan Samir sbg 'pakaian' liturgis. Di Manado, ada juga 'busana liturgis'
khusus yg sejak thn 2000 (Sinode Keuskupan Manado) dipakai. Bentuknya, bukan seperti samir, bukan
juga seperti stola imam / diakon, tetapi hampir mirip PALLIUM yg berlaku oleh
Benediktus XVI ketika hari inagurasinya. Adapun,
'pakaian liturgis' ini berlaku pada alba (bila perayaan meriah), atau pada
busana biasa (bila perayaan biasa, mis: ibadah sabda di rumah). Yg mengenakan inipun selain prodiakon
pembagi komuni, tapi juga lektor, dan pemimpin ibdah sabda hari minggu dan hari
biasa. Namun, sama seperti
beberapa prodiakon masih ada yg menyebut samir sebagai stola, demikian juga di
Manado ada beberapa orang mengenal 'samir' tsb sbg stola ..
Ketiga, tentang
"dipakaikan". Iklim
keagamaan di Manado dan sekitarnya adalah iklim Protestan.Interaksi org2
Katolik dan Protestan sgt tinggi, ibdah2 ekumene dibuat di mana2 mulai dari
rumah2 dan instansi2 pemerintah / swasta, bahkan lapangan terbuka dan stadion. Ketika itu, petugas liturgis protestan
sebelum menjalankan tugasnya (mis: membacakan firman dan membawakan kotbah),
kepadanya dipakaikan stola oleh salah seorang penatua jemaat. Ini dilihat oleh org Katolik lalu
diikuti. Ya ..., ini namanya
ikut-ikutan?
STOLA: FUNGSI dan MAKNA TEOLOGIS
sebuah
sumbang saran pemikiran
menyambut
launching STOLA Pelayan di GKPI
PENDAHULUAN.
Sepotong bunyi: Surat edaran Pimpinan Pusat GKPI no.144/A.1/II/2012 tanggal 22 Pebruari 2012 hal: STOLA GKPI, mencanangkan bahwa GKPI pada periode ini akan merealisasikan pengadaan STOLA. STOLA tersebut adalah kelengkapan pelayanan jabatan. STOLA tersebut digunakan oleh Pengkhotbah (Pelayan Firman) dan Liturgist (Paragenda). Launching pemakaian STOLA secara resmi di GKPI akan dilaksanakan pada Minggu, 06 Mei 2012 yad.
Sepotong bunyi: Surat edaran Pimpinan Pusat GKPI no.144/A.1/II/2012 tanggal 22 Pebruari 2012 hal: STOLA GKPI, mencanangkan bahwa GKPI pada periode ini akan merealisasikan pengadaan STOLA. STOLA tersebut adalah kelengkapan pelayanan jabatan. STOLA tersebut digunakan oleh Pengkhotbah (Pelayan Firman) dan Liturgist (Paragenda). Launching pemakaian STOLA secara resmi di GKPI akan dilaksanakan pada Minggu, 06 Mei 2012 yad.
Karena minimnya penjelasan STOLA ini sehingga akan menimbulkan multi tafsir yang boleh berujung kepada kesan suka atau tidak suka karena tidak dilandasi alasan teologia dan payung hukum yang tidak jelas, karena Surat Edaran berbeda dengan Surat Keputusan.
Untuk menolong para Pelayan memahami STOLA kami memberikan sumbang saran pemikiran tentang STOLA.
LATAR BELAKANG PENGADAAN STOLA.
1. Munculnya keinginan dan usulan para Pendeta agar GKPI
mengusahakan STOLA sebagai alat kelengkapan pakaian pelayanan.
2. Hasil Keputusan Rapat Pendeta XXXV/2007, XXXVI/2009 (PRODUK
BPRP PERIODE 2005-2010) dan XXXVII/2011.
3. Hasil Keputusan no.5/SMP-VII-GKPI/XI/2008 tanggal 14 Nopember
2008 (pada periode Pimpinan Pusat 2005-2010) di Pematangsiantar.
4. Hasil Keputusan SAP XVIII/2010 tanggal 24 September 2010 (Lihat
Notulen SAP XVIII/2010).
5. Surat Pimpinan Pusat GKPI no.144/A.1/II/2012 tanggal 22
Pebruari 2012 hal: STOLA GKPI (jadi bukan Surat Keputusan dan tidak mengacu
kepada Keputusan Sidang Majelis Pusat GKPI).
SEJARAH STOLA.
Menurut kamus Inggris kata Stole=Shawl= selembar kain yang
disandang, adalah selendang atau syal atau diindonesiakan Stola. Salah satu
istilah pakaian perayaan ibadah di Israel adalah Efod. Baju Kebesaran Imam dan
Imam Kepala yang bertugas melayankan persembahan dan kurban dengan “berhiaskan
kekudusan” (1Taw 16:28). Pakaian Imam penuh dengan ornament dan simbol religius
itulah yang dimaksudkan berhiaskan kekudusan.
Ketika penahbisan Harun menjadi Imam, Musa melakukan penahbisan itu sesuai dengan perintah TUHAN. Penahbisan itu penuh dengan simbol dan tanda yang bertujuan kepada bahwa penahbisan Imam adalah kudus beserta dengan perlengkapan yang dipakainya. Sesudah pembasuhan (penyucian, bdk seperti yang dilakukan Yesus kepada murid-muridNya, Yoh 13:1-20). Musa mengenakan pakaian Imam kepada Harun: Kemeja, Ikat Pinggang, Gamis, Baju Efod, Sabuk Efod, Tutup dada lengkap dengan Urim dan Tumim, Serban, yang dibubuhi Patam Emas (Kel 28:1-36, 39:1-31 dan Im 8:1-36). Bagian-bagian pakaian tersebut adalah simbol-simbol dan tanda-tanda perayaan Ibadah. Pada peristiwa peralihan kanabian Elia dan Elisa, penyerahan jubah (kemungkinan Stole dalam bah.daerah Batak: Ulos) adalah simbolisasi penyerahan wibawa/sahala kenabian (1Rj 19:19).
Stola pada zaman PB disebut “Jubah” (Mrk 16:5, Luk 15:22).
Gambaran Jubah dalam pikiran kita menurut Why 6:11 tentang “sehelai jubah”
adalah seperti selendang yang dililitkan menutupi tubuh. Apakah sehelai
jubah/jubah yang tidak berjahit (Mat 27:35, Mrk 15:24, Yoh 19:23) yang
dimaksudkan dengan Stola? ada kemiripannya!! Dalam konteks pemikiran Batak
Selendang/Ulos biasaya berjumbai (bahasa batak: rambu). Ukuran Stola pada
awalnya adalah sebidang kain dengan ukuran 4 inci (10 centimeter) dan
panjangnya 26 kaki (delapan meter). Bahannya dari tekstil/kapas. Bisanya
dipakai diatas kedua bahu: Bishop, Imam dan Diaken. Dipakai bersamaan dengan
tutup jubah pelayan (Chasuble).
Pada zaman Romawi, Stola dipakai oleh para Abdi Negara. Dibawah
Undang-undang Sipil menurut naskah kuno Theodosian (395 AD) Senator dan Dewan
diwajibkan memakai Stola bersama dengan jubah/toga kehormatannya. Pada gereja
barat Stola diterima pada saat penahbisan jabatan pelayanan itu. Pada zaman
Bishop Apollinaris, (abad ke – VI) mengaturkan pemakaian Stola mulai dari bahu
kiri mengelilingi leher hingga menjurai ke bawah di depan dada sebelah kanan.
Gereja Barat menyebut Stola dengan istilah omophorion . Stola pada zaman PB
disebut “Jubah” (Mrk 16:5, Luk 15:22). Tetapi pernah juga Yesus menegur seorang
Imam karena memakai pakain Imam sebagai topeng pemerasan (Mat 23:5). Sejarah
Stola sangat panjang dan beragam versinya. Gereja di barat sampai saat ini
menetapkan cara pemakaian Stola sesuai jabatan pelayanannya :
a. Diaken: Memakai Stola melilitkannya dari atas bahu kiri ke
punggung bersimpul di bawah tangan kanan.
b. Imam: Memakai Stola mengelilingi leher di balik punggung dan
kedua ujungnya berjurai vertikal di depan (dada).
c. Bishop: Memakai Stola dengan gaya berjurai dari belakang
ke depan. Jabatan pelayanan di GKPI adalah Pendeta dan Penatua, Diakones, dan
Evangelist (jabatan penetapan bukan tahbisan) sama dengan Bishop bukan
tahbisan. Jabatan Imam disetarakan dengan Pendeta, ditinjau dari sudut ruang
lingkup pelayanannya. Gereja Lutheran di Australia/Amerika memakai Stola dari
punggung berjurai vertikal ke depan diikat dengan tali benang putih di
pinggang. Gereja-gereja di Indonesia yang memakai Stola: GPIB, Methodist, HKI,
GKPS, GBKP, GKPB, GMIM,GMIST, GPM, BNKP, dan GKE, GKPI (Tarakan), GKPS. Dalam
skala lokal ada beberapa gereja di GKPI yang memakai Stola bagi kollektan dan
kelompok koor (stola=penutup jubah), yang latar belakangnya kurang jelas. Di
gereja Batak (dhi: HKBP) Jubah Pendeta disebut Baju Parhobas atau Baju Tohonan
maksudnya: Hanya Pelayan Partohonan yang berpakaian Baju Parhobas
yaitu:Pendeta. Pada awalnya gereja Batak mengaturkan bahwa Baju
Parhobas/Jubah/Toga dipakai pada saat pelayanan: Sakrament, Naik Sidi,
Pemberkatan Nikah hal itu berlaku dibawah 1950-an. Tetapi kemudian setelah
diatas tahun 1950-an Jubah Pendeta dipakai kepada pelayanan yang lainnya .
Kemudian Pelayan/Parhobas yang lain menginginkan juga “Jubah” tetapi bukan Baju
Penahbisan melainkan hanya demi keseragaman.
FUNGSI DAN MAKNA STOLA.
Salah satu unsur Pakaian Pelayan/Jubah yang dibicarakan adalah
pemakaian Stola. Apakah Fungsi dan Makna Stola? Karena STOLA adalah bagian dari
Jubah yang berfungsi sebagai tanda “kesetiaan memikul KUK PELAYAN” dan bermakna
sebagai “PAKAIAN KEKUDUSAN”.
Di dalam Perjanjian Lama istilah STOLA tidak ditemukan. Namun para Imam dan Imam Kepala memakai baju Efod selama kebaktian. Pertemuan umat dengan Allah dalam perayaan liturgi/ibadah adalah sebuah perayaan yang bermain dengan simbol. Simbol dan tanda dapat dipastikan berperan dalam perayaan liturgi, sebagaimana dalam kehidupan masyarakat. Liturgi terdiri atas bingkai aksi dan bingkai perayaan/ibadah. Aksi atau praksis di dalam hidup sehari-hari adalah liturgi yang sejati (Roma 12:1). Ilmu liturgi berbicara dan mengupas soal perayaan, yang tentunya berkaitan dengan simbol. Karena ada pemahaman masyarakat simbol kena mengena=mempengaruhi) sikap hidup sehari-hari. Tanda dan simbol dapat dibedakan karena pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Tanda cukup dilihat, tetapi simbol perlu keterlibatan. Simbol berfungsi menangkap dan menjembatani diri pribadi (masa kini) dan pribadi lain (masa lalu). TANDA DAN LAMBANG DAPAT MENJADI SIMBOL. Benda, gerak, gambar, tanda dan peristiwa dapat menjadi simbol atau yang dihayati sebagai simbol. Dalam liturgi, warna-warni dan pakaian liturgis adalah tanda. Tanda, lambang dan simbol tidak sekedar, seperti itu tetapi dia berbicara melampaui yang ditampilkannnya . Karena pakaian Imam adalah tanda wibawa dan tanggung jawab pelayanan, dan sebagai pakaian kekudusan menghadapi Allah yang Maha Kudus. Dalam tradisi Perguruan Tinggi, pemberian Stola seiring dengan saat wisuda sebagai simbol bahwa Wisudawan/ti diperkenankan mengemban Status kesarjanaan ilmunya dan secara bertanggung jawab bagi keperluan manusia.
Beberapa tinjauan tentang Fungsi dan makna Stola dan hubungannya dengan Jubah Pelayan:
a. Stola perlu sebagai bagian dari
“hiasan kekudusan”.
b. Warna Stola sesuai dengan
Liturgi yang mengingatkan umat tentang thema minggu tersebut.
c. Alat pelayanan; ikat
pinggang untuk menyeka/melap kaki pada acara pembasuhan (Yoh 13:4-5).
d. Tanda kesetiaan memikul KUK
yang diberikan Tuhan Yesus. Seperti Yesus yang setia sampai mati memikul
kuk/salib ke Golgotha.
e. Alat pemersatu dan komunikasi
sesama pelayan.
f. Pakaian kebesaran Hamba menghadap
ALLAH yang maha kudus yang hadir pada perayaan Liturgi.
g. Dipakai pada pelayanan:
Kebaktian Minggu/sakramen, Pernikahan, Penguburan (di gereja, di rumah atau di
kuburan), Pelayanan Perjamuan Kudus di luar gereja, ibadah lain yang dianggap
perlu memakainya: (HUT/Jubileum, peletakan batu I rumah, atau bangunan gereja,
peresmian bangunan gereja atau rumah).
PENUTUP.
Demikianlah sumbangan tulisan ini walau kurang sempurna tetapi semoga dapat membantu kita semua memahami fungsi dan makna Stola yang tidak terpisahkan dari pakaian Pelayan yang sering kita dengar dengan istilah: JUBAH atau TOGA yang berlatar belakang dari pakaian tradisi Imam (disebut juga: Vestment).
Demikianlah sumbangan tulisan ini walau kurang sempurna tetapi semoga dapat membantu kita semua memahami fungsi dan makna Stola yang tidak terpisahkan dari pakaian Pelayan yang sering kita dengar dengan istilah: JUBAH atau TOGA yang berlatar belakang dari pakaian tradisi Imam (disebut juga: Vestment).
Pada masa depan hal-hal seperti ini akan kita sempurnakan dan tetap mengacu kepada dasar hukum dan dasar teologia yang jelas.
Kita mau bertanya kepada Kantor Pusat, keuntungan dari “proyek STOLA” ini untuk apa, ya kalau memang ada sasarannya akan kita dukung. Tetapi kalau disebut biaya produk sebesar itu, luar biasa sekali. Sudah perlu ada tender!!! Kantor Pusat harus transparan supaya jangan terkesan ada “perdagangan ala bait suci”.
Mari kita berhitung: 1 set = tiga helai timbal balik, 5 warna
dihargai Rp.500.000,00, bahan dari tekstil, ukuran 15 cm x 250 cm, dengan
sablon simbol-simbolnya (!?). Dalam surat Pimpinan Pusat menetapkan Pengkhotbah
dan Liturgis memakai STOLA, berarti setiap jemaat membutuhkan sedikit-dikitnya
2 (dua) set. Menurut Statistik GKPI 2011 , kalau 1.189 Jemaat memesan 2 (dua)
set saja jumlahnya 2.378 dan Resort/Lembaga memesan untuk Pendeta sebanyak 227
set, pada pencetakan I ini, dibutuhkan sejumlah 2.605 set STOLA yang
penjualannya bisa mencapai Rp. 1.302.500.000,00 (Satu miliyard, tiga ratus dua
juta, lima ratus ribu rupiah).
Wow...!!!
Modal berapa?
Tetapi hal-hal seperti ini kayaknya “lumrah” (HARUS DIHENTIKAN SAAT INI) di gereja seperti dulu, Tas Rapat Pendeta; mutu, kualitas dan ukuran yang sama bisa 2 x lipat harganya DARI HARGA TOKO, misalnya! Terima kasih,
Dari Pakaian Seorang Raja hingga Arti Perayaan Palma
Rate this item
·
(1
Vote)
Umat Gereja Katolik Santo
Bartolomeus memiliki cara tersendiri untuk memaknai Perayaan Minggu Palma atau
Palem, Minggu (1/4). Satu diantaranya melalui peranan simbol yang menghiasi
stola yang dikenakan imam. Di
atas stola merah tersebut ada beberapa simbol diantaranya mahkota berwarna
kuning emas diapit dua tangkai daun palma atau palem berdiri tegak ke atas,
tulisan hosana, dan paling bawah gandum dan anggur. Simbol-simbol tersebut erat
kaitannya dengan makna Perayaan Palem atau Palma yakni menyambut kehadiran
Yesus sebagai seorang raja dengan lambaian daun palma atau palem.
"Mahkota emas melambangkan Yesus hadir sebagai seorang raja.
Daun palma yang berdiri tegak ke atas menyimbolkan umat dengan lambaian daun
palma di tangan sambil berseru hosana menyambut Yesus yang hadir dan masuk ke
kota Yerusalem. Sedangkan anggur dan gandum merupakan dua materi penting dalam
ekaristi yakni hosti dan anggur," ungkap Ketua Seksi Liturgi Paroki Taman
Galaxi, Antonius WS, kepadaMimbar.
Stola imam selama perayaan Palma merupakan stola baru yang sengaja
disiapkan Seksi Liturgi. Stola ini merupakan sumbangan umat yang diperoleh para
misdinar saat menggelar acara bertajuk Ministeria Pro Ecclesia tahun 2011. Anton mengungkapkan untuk
perayaan tahun ini, Seksi Liturgi, menyiapkan dua set stola merah baru untuk
imam. Satu set, 3 stola, untuk Perayaan Palma, dan 1 set lainnya untuk Jumat
Agung nanti.
Jubah atau pakaian yang imam kenakan saat perayaan misa juga
memiliki makna historis. Jubah awalnya dikenakan oleh seorang raja sebagai
simbol kebesaran, kemudian Gereja Katolik mengadopsi pakaian tersebut untuk imam sebagai simbol kehadiran
seorang raja dan in
persona Christi (kehadiran
Kristus) di dunia.Karena itulah,
jubah untuk imam biasanya dibuat megah.
"Imam yang mengenakan stola melambangkan in
persona Christi .
Oleh karena itu pakaian imam dibuat -wah," tambahnya.
"Jubah imam awalnya berasal dari pakaian yang dipakai oleh
raja-raja bangsa Romawi. Kemudian, Gereja mengadopsi pakaian tersebut untuk
seorang imam," Ungkap Tri, Guru Agama Katolik di salah satu SMA Katolik di
Bekasi.
Kini, pakaian imam sudah banyak ragamnya baik desain, warna,
maupun motifnya. Namun, penempatan ragam tersebut tidak bisa sembarangan. Warna
dan motif disesuaikan dengan kalender liturgi.
SIMBOL-SIMBOL liturgi
S IMBOL- S IMBOL G EREJAWI D ALAM L ITURGI[I]
1. TOGA, BEF, CLERGICAL Collar & STOLLA
Kebanyakan gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal
semacam Pakaian Departemen, yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner
mereka di Barat. Bentuknya hampir sama seperti toga (= gaun) hitam, yang
dipakai dengan "BEF" (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (=
kain atau pita lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam
praktik Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai
Pakaian Departemen atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap orang
yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia
melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku untuk Pendeta.
Untuk Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap "kurang setara" dengan
Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas.
Pakaian Departemen ini telah lazim dalam Gereja-gereja
Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi
sebagai barang / tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada
beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas
lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan ingin menggantikannya dengan bentuk
lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak
disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis. Dengan sosialisasi
/ lokakarya ini, GKSBS ingin meninjau masalah ini dari sudut pandang teologis
yang nantinya bermuara pada pengambilan keputusan sekaligus pendirian GKSBS
dalam soal ini.
A. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian
Departemen
Jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Departemen.
Pelayanan-pelayanan khusus pada waktu itu memakai pakaian-pakaian biasa,
seperti yang dipakai oleh anggota jemaat publik, yaitu pakaian Yahudi, pakaian
Romawi dan pakaian Yunani.
Pada tahun 380 agama Kristen resmi menjadi Agama Negara.
Kaisar Theodosius mengangkat para Klerus (Kantor gerejawi pada saat itu) setara
dengan kantor pemerintahan. Mereka mendapat fasilitas istana, pakaian jabatan,
tongkat, cincin dan tanda kebesaran lain. Dalam ibadah, mereka memakai pakaian
khusus (= pakaian liturgis), yang berbeda dengan pakaian anggota jemaat yang
lain. Pakaian khusus ini kemudian berkembang menjadi Pakaian Departemen
gerejawi yang indah dan mewah, seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh
para Klerus dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Yunani.
Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih
mewah dari yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi
umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai "pakaian
liturgis" dari Imam Gereja Katolik. Semuanya tidak dapat dibahas di sini.
Misalnya, Pakaian Departemen dalam Gereja Katolik terdiri dari " amictus
"(= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan
pada dada, di atas gaun-Missa yang sebenarnya)," alba "(= kemeja dari
lenan, panjangnya sampai di kaki), " stola "(= pita lebar yang
dipakai pada alba , panjangnya sampai ke lutut), " manipulus "(= pita
sutra, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri)," pluviale
"(= gaun prosesi gerejawi, sebelumnya hanya dipakai oleh para Klerus
rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan " vesti sacerdotalis
"(= gaun Missa yang sebenarnya) / toga.
B. Para Reformator menentang keberadaan Pakaian Departemen
ini
Para Reformator (Luther dan Zwingli) menentang keberadaan
Pakaian Departemen ini, karena ia berhubungan erat dengan Missa Gereja Katolik.
Menurut mereka, Pakaian Departemen an sich (pada dirinya sendiri tidak memiliki
arti.
Sesuai dengan itu, Martin Luther (pada tahun 1524)
menganjurkan agar kantor-kantor gerejawi menjauhkan diri dari pakaian-pakaian
indah dan mewah dan supaya mereka jangan menganggap pakaian yang mereka pakai
lebih suci dari pada pakaian biasa yang lain. Luther berkata, bahwa Tuhan tidak
lebih berkenan kepada Kantor gerejawi yang berpakaian jabatan dari Kantor
gerejawi yang tidak memakai pakaian jabatan.
Sikap Luther dan pemimpin-peminpin yang lain pada waktu itu
tentang pakaian jabatan tidak begitu radikal. Sampai dengan tahun 1536
pelayanan Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan dengan mengenakan Pakaian
Departemen ala Katolik. Tetapi Luther beranggapan, bahwa "lelucon yang
suci" itu akhirnya akan hilang dengan sendirinya.
Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di
Wittenberg, ia memakai gaun dokternya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun
menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland,
Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Departemen Gereja Katolik dengan
Toga hitam yang disebut Tabberd .
Akhirnya, pada pertengahan abad ke-17 penggunaan Pakaian
Departemen dalam Gereja Protestan telah habis sama sekali. Tapi masalah baru
muncul tatkala disadari banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang
dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang
mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi gaun (rok) dan
leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta
yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih "duniawi" dan
"gila mode" dari anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian
mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan Pakaian Departemen Resmi untuk para
pendetanya.
Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia.
Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan
Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah
memiliki semacam Pakaian Departemen, yaitu toga hitam.
C. Pakaian Departemen: Suatu Tinjauan Kritis-Teologis
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut beragam. Pada abad
pertengahan, penggunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada
waktu itu masing-masing kelompok memiliki pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para
perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda
pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian
khusus. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Bila kemudian ada
toga sebagai Pakaian Departemen untuk Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian
itulah yang paling tepat pada waktu itu sebagai pembeda dengan
golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator
dan pengkotbah pada waktu itu, mengenakan toga .
Setelah toga dikhususkan untuk Sarjana dan Magistrant, maka
toga Pendeta diganti dengan pakaian lain, yaitu rok, BEF, mantel, celana pendek
dengan gesper. Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut
dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian. Tetapi kemudian, pada
tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh
para Pendeta.
Menururt Faber, persoalan Pakaian Departemen kurang ditinjau
dari sudut pandang Teologis. Menurutnya, Pakaian Departemen tidak memiliki
kuasa penyelamatan. Tetapi, penyia-penyiaan Pakaian Departemen dapat bersumber
pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya
diselidiki. Menurut Faber, reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian
Departemen, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk
menentukan sikapnya terhadap Pakaian Departemen.
Menurut Faber, pakaian bahkan setiap pakaian memiliki
bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi
dalam hati seseorang dapat diketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara
Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang
memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian
memiliki pengaruh sugestif pada daerah sekelilingnya, dalam hal ini pada
jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih memiliki "jabatan",
tidak dapat membebaskan dirinya dari Pakaian Departemen. Dari sinilah Calvin
merekomendasikan warna hitam untuk toga. Tetapi Tepatkah warna hitam untuk Pakaian
Departemen gerejawi?
D. Pakaian Departemen: Apa Warna Yang Paling Teologis?
Benarkah secara teologis, Pakaian Departemen berwarna hitam?
Bukankah warna hitam menyebabkan Perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser;
tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan
duka? Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian
Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan?
Apakah Toga hitam cukup menginsafkan Gereja-gereja kita akan sifatnya yang
rohani? Tentu tidak. Warna hitam saja telah membuat kita agak takut. Lain dari
pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana dan Magistrat. Ia adalah
pakaian akademis yang telah masuk ke dalam gereja, karena ia dianggap gagah.
Toga hitam yang adalah pakaian hakim telah menyebabkan ibadah Minggu terkesan
sebagai ruang pengadilan, dan bukannya ruang persekutuan hangat satu keluarga,
yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun.
Dengan demikian, warna hitam tidak cocok untuk Pakaian Departemen.
Memang kotbah adalah uraian ilmiah (akademis-ilmiah) tapi paling maksimal hanya
dapat dipertahankan untuk pemberitaan Firman. Tidak cocok untuk pelayanan
Sakramen. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka
warnanya harus diganti dengan warna lain. Misalnya putih, merah muda atau ungu.
E. Pakaian Departemen: Bagaimana dengan Penatua dan Diaken?
Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Departemen
untuk Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak bisa
berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja: Pendeta
dengan toga lengkap, Penatua dengan toga setangah lengkap dan Diaken dengan
toga seperempat lengkap. Karena itu, perlu dibuatkan juga pakaian jabatan untuk
Penatua dan Diaken.
2. Sakramen [ii]
Skramen adalah tanda terlihat yang menunjukkan penghargaan
yang tidak terlihat. Karya Yesus Kristus-lah yang dilambangkan dalam sakramen
itu. Dalam hidup, kematian dan kebangkitan-Nyalah menjadi nyata bagi umat
manusia akan penghargaan dan keamanan bersumber pada Allah. Sakramen adalah
suatu tanda lahiriah (Symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam
batin kita janji-janji dan kasihnya kepada kita. Sakramen adalah tanda lahiriah
realitas rahmat Allah yang kita sambut. Meskipun Firman Allah sudah cukup jelas
dan pasti, akan tetapi iman kita sering terombang-ambing dan mudah goyah, maka
kerahimanNya yang tidak bertepi menyesuaikan diri dengan daya paham kita
sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita menggunakan simbol yang memakai unsur
bendawi, yang membawa kita ke kedalaman cintaNya yang misteri.
Sakramen dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya
jika ada guru batin, yaitu Roh Kudus. Hanya karena kekuatan Roh Kudus itulah
hati kita tertembus serta perasaan kita tergerak dan melalui sakramen
terbukalah pintu jiwa kita.
A. Baptisan
Orang yang akan menerima baptisan tidak harus memahami
sungguh-sungguh arti baptisan yang diterimanya. Sebab bukan iman dan pengertian
kita yang mendalam tentang baptisan yang membuat baptisan efektif, melainkan
janji Allah. Baptisan adalah tanda ditetapkan Allah untuk memateraikan
janjiNya.
Baptisan membawa seseorang untuk masuk ke dalam kesatuan
dengan Kristus. Dengan baptisan inilah kita dipersatukan dengan seluruh Tubuh
Kristus. Oleh karenanya, dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang
dibaptis, maka ia bisa ikut Perjamuan Kudus. Baik ia masih kecil atau sudah
dewasa secara umur. Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah tak terpisahkan. Mulai
abad ke-4, ritus baptisan dianggap sebagai eksorsisme dilanjutkan dengan
peminyakan, penumpangan tangan dan kemudian Perjamuan Kudus. Tetapi sebelum
itu, seseorang yang sudah dibaptis bisa mengikuti Perjamuan Kudus.
Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita,
baptisan seperti pemberian surat bermaterai yang menyatakan kepada kita bahwa
segala dosa kita sudah dihapus dan ditiadakan sedemikian rupa hingga tidak
bakal muncul lagi dihadapannya.
Air baptisan melambangkan kubur dan rahim. Hidup lama telah
berlalu (mati) dan hidup baru dimuliakan (lahir). Dengan kata lain, lahir baru
atau hidup baru.
B. Perjamuan Kudus
Secara teologis, seseorang yang sudah dibaptis layak dan
bisa ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Anak-anak yang sudah layak
dibaptis, (karena orang tuanya mampu melihat janji Allah dengan mata imannya)
adalah anak-anak yang sudah layak ikut Perjamuan Kudus.
Perayaan iman Kristen dimulai dari peristiwa Paskah. Yesus
bangkit dari kematian dan mengalahkannya. Gereja tidak hanya dipanggil untuk
memberitakan kebangkitan Kristus ke dunia tapi juga menghadirkan kembali
peristiwa keamanan itu hingga menjadi aktual di sini dan kini. Hal itu
diwujudkannyatakan dalam perayaan Perjamuan Kudus. Yesus merelakan tubuh dan
darahnya untuk keselamatan manusia.
Makna Perjamuan Kudus adalah: (1) Tindakan berbagi satu
persekutuan. Di dalam Perjamuan Kudus, persekutuan yang erat diaktualisasikan,
baik federal sebagai sesama Tubuh Kristus maupun federal Tubuh (jemaat) dengan
kepalanya (yaitu Kristus Tuhan). Menurut Calvin; makan secara jasmani dalam
Perjamuan Kudus menunjukan makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena
dipersatukan dengan Kristus. Kita benar-benar menjadi satu dengan tubuh dan
darahnya. (2) Perjamuan Kudus adalah perayaan-pengingatan (anamnesis) kabar
keselamatan bukan hanya diproklamirkan tetapi sungguh menjadi nyata. Apa yang
dialami para murid pada malam Perjamuan Terakhir itu kita hadirkan kembali di
sini dan kini. Apa yang diharapkan para murid dulu dan di sana, sekarang kita
harapkan lagi kini dan di sini. ( 3) Perjamuan Kudus juga adalah suatu eschaton
yaitu suatu pengharapan bahwa Perjamuan Kudus itu akan dilanjutkan dalam
Perjamuan dengan Tuhan di kerajaannya yang kekal.
3. KAIN-KAIN WARNA LITURGIS [iii]
Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah
kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbar ( antependium ), kain panjang
di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang berlaku Pelayanan gerejawi. Gereja
memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.
Putih
Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna untuk
peran malaikat Allah, para kudus dan warna untuk Kristus yang dimuliakan. Warna
yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Karena itu warna ini digunakan
dalam raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan
Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan
Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania
(6 Januari) dan hari raya Paskah sampai sebelum minggu Pentakosta.
Ungu (lebih tepatnya violet)
Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan
penyesalan dan pertobatan yang sunggu-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari
sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu
Adventus).
Merah
Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan.
Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna
darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam
peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken
dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injjil, pengutusan pengijil
dan hari-hari raya ekumenis.
Hijau
Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan,
ketenangan dan pertumbuhan iamn. Merupakan warna pengharapan. Hijau
memberitakan kemurahan hati, keamanan dari Allah yang menyembuhkan dan
memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah
Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya.
5. Merah Muda
Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang
penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara bisa sementara
diganti dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada
Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.
6. Hitam
Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang
keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Butuh juga dipertanyakan
tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan
firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka
dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan
pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet lebih baik dari hitam,
karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.
4. SIMBOL-SIMBOL DALAM PELAYANAN NIKAH
Pernikahan adalah hal sosiologis dan sekaligus teologis.
Sahnya pernikahan bukanlah ketika mereka mengikrarkannya dalam ibadah,
melainkan ketika kedua mempelai mengikrarkannya di hadapan orang tua, para
saksi, Majelis Gereja dan Pendeta (biasanya dilaksanakan di Konstituri).
Dalam pelayanan Nikah, ada beberapa simbol yang digunakan.
Simbol ini digunakan untuk menjelaskan arti khusus sbb:
a. Lainnya berjabat tangan dalam pengucapan janji nikah.
Melambangkan kesungguhan, komitmen dari sepasang kekasih
untuk hidup bersama dengan kesetiaan.
b. Cincin Pernikahan
Adalah symbol pemberian cinta murni yang tidak berkarat yang
diberikan oleh seorang suami kepada istrinya dan dari seorang istri kepada
suaminya. Lingkaran cincin yang tidak memiliki akhir adalah lambang cinta cusi
tersebut tidak memiliki arti dan berlaku seumur hidup.
c. peneguhan Nikah dan Berkat dalam Pernikahan
Peneguhan dan bukan konfirmasi nikah, dilayankan Gereja
karena di Gerejalah tempat Allah menyalurkan berkatnya. Gereja dalah tempat
dimana berkat Tuhan disalurkan. Gereja tidak menikahkan, tetapi meneguhkan
pernikahan dengan berkat Allah yang disalurkan oleh Gereja. Pada prinsipnya,
peneguhan nikah bukan dilakukan oleh manusia tetapi nikah diteguhkan oleh berkat
yang tersedia di Gereja. Pernikahan di luar Gereja adalah sah, tapi tidak
mendapatkan berkat Allah, akrena Allah menyampaikan berkatnya melalui pelayanan
Gereja.
d. Pemberian Alkitab
Adalah simbol pentingnya Alkitab dalam hidup berumah tangga.
Kitab Suci menjadi terang dan pelita bagi perjalanan hidup berumah tangga.
e. Pemberian Kain dan Beras
Kain dan beras adalah lambang pemberian berkat Allah secara
jasmani.
f. Sungkeman
Adalah lambang penghormatan, ucapan terima kasih dan
sekaligus berpamitnya kedua mempelai kepada orang tua mereka, untuk memulai
hidup berkeluarga yang mandiri. Mereka telah membentuk keluarga baru
Catatan kaki:
[I] Tentang Pakaian Departemen, tulisan ini banyak
tergantung dan bersumber dari buku karangan DR.J.Lch. Abineno, Seputar
Theologia praktika I, BPK GM, 1968, hlm. 134-143.
[Ii] Bagian ini adalah hasil rekomendasi Tim Liturgi GKSBS
pada sidang Sinode GKSBS ke-7 di Belitang. Hasil rekomendasi Tim Liturgi
disetujui oleh konferensi dan direstui untuk disosialisasikan. Sayang hal ini
tidak ditindaklanjuti secara serius oleh MPS Periode Sidang VII. Segala
referensi yang dipakai dapat dilihat dalam: Rekomendasi Liturgi GKSBS di masa
Depan.
[Iii] Juga di dalam Sumber Air Hidup GKSBS 2006, halaman
53-54, dan 60.