BERKURANGNYA TOLERANSI DALAM KELUARGA MENINGKATKAN ANGKA PERCERAIAN
BERKURANGNYA TOLERANSI DALAM KELUARGA MENINGKATKAN ANGKA
PERCERAIAN
(Oleh : Ellys Sudarwati. SH, YLPHS )
Setiap pasangan
menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga. Namun realitas menunjukkan
angka perceraian kian meningkat. Adanya tekanan sosial di masyarakat (social
pressure) bahwa bercerai bukan merupakan hal yang tabu atau aib di masyarakat,
bercerai sudah menjadi hal yang biasa. Bercerai adalah hal yang halal tetapi di
benci oleh Allah. Bercerai menimbulkan masalah sosial bagi kelangsungan hidup
anak-anak dan orang tua. Perceraian merobohkan tiang rumah tangga. Kepercayaan
antar pasangan semakin rapuh dan rusak.
Tidak dapat dipungkiri
fakta berkata bahwa banyak sekali orang yang buta akan hukum keluarga khususnya
bila ada orang yang mengalami musibah masalah keluarga seperti
"perceraian". Diperkirakan 80% problema hukum keluarga terbesar
adalah tentang hukum perceraian. Dan pada kenyataannya baik di Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri setiap hari menerima setumpuk gugatan perceraian. Luar
biasa! Padahal budaya Timur kita seharusnya men-sakral-kan arti sebuah
perkawinan, tapi fakta berkata lain. Setiap tahun grafik perkara perceraian
terus meningkat dan tentunya makin banyak korban dari akibat perceraian itu
sendiri, siapakah korban perceraian? Tidak bukan adalah anak-anaknya mereka
sendiri.
Namun, memang perceraian
hadir ditengah-tengah kehidupan tanpa diundang dan tidak diinginkan, sama
halnya dengan hidup-mati, nasib dan rezeki manusia tiada orang yang tahu,
manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sama halnya dengan
'perceraian' itu sendiri.
Perceraian merupakan suatu
proses dimana sebelumnya pasangan tersebut sudah (pasti) berusaha untuk
mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya adalah suatu
"perceraian". Oleh sebab itu, tulisan ini juga memberikan
"konsultasi cuma-cuma" untuk mendiskusikan permasalahan rumah tangga
guna mengurangi angka perceraian.
Angka perceraian diseluruh
Indonesia antara lain : pada tahun 2009 terjadi 216.286, penyebabnya
ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggung jawab 61.128, faktor
ekonomi 43.309 dan pada tahun 2010 terjadi 285.184, penyebabnya adalah
ketidakharmonisan 91.841 perkara, tidak adanya tanggung jawab 78.407, dan
masalah ekonomi 67.891 (sumber , walipop.detik.com)
Penelitian Goleman di
Amerika, menyebutkan dari 10 orang pasangan menikah, hanya 3 pasangan saja yang
mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Dari bukti tersebut, krisis
perkawinan berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hal yang ditengarahi
menjadi polemik yang memicu keretakan rumah tangga adalah tidak adanya
kecerdasan emosi dalam memahami perasaan pasangan, serta kurangnya toleransi
dalam pasangan tersebut.
Dari pantauan penulis bahwa
banyak sekali persidangan gugatan cerai dan paling banyak yang mengajukan
perceraian adalah pasangan usia dibawah umur 30 tahun, tetapi ada juga pasangan
diusia diatas 30 tahun. Penyebab perceraian dilatar belakangi karena pernikahan
di bawah umur dan persoalan ekonomi, kurangnya solidaritas setiap pasangan.
Fakta ini bisa kita lihat mengapa pasangan perkawinan dahulu tidak mengenal
percerian dan selalu rukun hal ini dikarenkan rasa solidaritas mereka sangat
tingggi dibandingkan dengan pasangan sekarang yang rasa solidaritas kurang,
serta mudah emosi serta budaya modern yang menyebabkan privatisasi keluarga
serta kesibukan yang membuat pasangan tidak memiliki emosional sebagai pasangan
hidup. Hal ini membuat sebuah keluarga gampang sekali retak ketika ada konflik,
dan pola penyelesaian konflik yang mereka pilih sifatnya untuk kepentingan
pribadi saja, dan bukan untuk kepentingan keluarga, dan akibatnya acapkali
perceraian menjadi pilihan terakhir. Tingginya perceraian lebih disebabkan
wanita era sekarang lebih berpendidikan dan bisa mandiri secara finalsial,
kondisi ini membuat ketergantungan wanita kepada laki-laki sangat berkurang.
Fakta tingginya angka perceraian merupakan rapuhnya pondasi rumah tangga di
masyarakat. Mengapa masyarakat sedemikian mudah mengajukan gugatan cerai,
setelah mereka mengadakan perjanjian suci dengan Tuhan. Pertanyaan ini
menggelitik penulis untuk sejenak merenungi fenomena perceraian yang kian marak
terjadi.
Melongok penyebab maraknya gugatan cerai kebanyakan dipicu oleh persoalan sepele, kemudian dibesar-besarkan. Misalnya seorang suami menggugat cerai istrinya hanya karena si istri terlalu cerewet dan selalu mengomentari suami, sehingga suami tidak nyaman, suami marah dan melakukan gugatan cerai. Contoh ini, adalah sebagian kecil masalah emosi yang menimbulkan prasangka buruk secara terus menerus menyebabkan perceraian. Pasangan tersebut dibajak emosi. Masalah emosi pasangan antara laki-laki dan perempuan berbeda, dikarenakan oleh akar pada masa kanak-kanak.
Akar masa kanak-kanak laki-laki dan perempuan tidak sama. Anak-anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dalam hal permainan yang mereka sukai, pola pendidikan emosi, hal bermain, rasa bangga, dan pokok pembicaraan. Anak laki-laki menyukai permaian yang berhubungan dengan ketangkasan, kemandirian, saling bersaing, bertahan sedangkan perempuan cenderung bekerjasama, pokok pembicaraan perempuan berhubungan dengan emosi, keterampilan bahasa. Sedangkan laki-laki banyak membicarakan tentang kemandirian, dan rasa bangga pada hal-hal yang berhubungan dengan ketangkasan, kompetisi, dan kekuatan yang dimiliki.
Melongok penyebab maraknya gugatan cerai kebanyakan dipicu oleh persoalan sepele, kemudian dibesar-besarkan. Misalnya seorang suami menggugat cerai istrinya hanya karena si istri terlalu cerewet dan selalu mengomentari suami, sehingga suami tidak nyaman, suami marah dan melakukan gugatan cerai. Contoh ini, adalah sebagian kecil masalah emosi yang menimbulkan prasangka buruk secara terus menerus menyebabkan perceraian. Pasangan tersebut dibajak emosi. Masalah emosi pasangan antara laki-laki dan perempuan berbeda, dikarenakan oleh akar pada masa kanak-kanak.
Akar masa kanak-kanak laki-laki dan perempuan tidak sama. Anak-anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan dalam hal permainan yang mereka sukai, pola pendidikan emosi, hal bermain, rasa bangga, dan pokok pembicaraan. Anak laki-laki menyukai permaian yang berhubungan dengan ketangkasan, kemandirian, saling bersaing, bertahan sedangkan perempuan cenderung bekerjasama, pokok pembicaraan perempuan berhubungan dengan emosi, keterampilan bahasa. Sedangkan laki-laki banyak membicarakan tentang kemandirian, dan rasa bangga pada hal-hal yang berhubungan dengan ketangkasan, kompetisi, dan kekuatan yang dimiliki.
Laki-laki dan perempuan
berbeda dalam menghendel masalah emosi masing-masing. Hal yang rawan bagi
laki-laki ialah laki-laki cenderung mempertahankan ego dan harga diri mereka,
dan tidak kuat dikritik istri secara terus menerus, bersikap membisu atau
defensif. Hal yang rawan bagi perempuan cenderung emosional, suka mengkritik
dan menangis. Sikap yang berbeda tersebut kerap kali memicu pertengkaran
apabila tidak memiliki kecerdasan emosi untuk mengerti perasaan masing-masing
pasangan.
Perbedaan pendapat,
pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang terus menerus menyebabkan
hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran hanya menyebabkan
bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan. Pertengkaran yang
meluap-luap akan menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus memicu
perceraian. Sementara perselisihan yang berakhir dengan baik dengan menyadari
dan mengetahui perasaan masing-masing, bersikap empati dan mau memaafkan
kesalahan pasangannya.
Penyebab perceraian juga
dipicu maraknya pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur membuat
mereka belum siap mengatasi pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai.
Pernikahan adalah memerlukan kesatuan tekad, kepercayaan dan penerimaan dari
setiap pasangan menjalani mahligai perkawinan. Ketidaksiapan pasangan tentu
berhubungan dengan tingkat kedewasaan, mengatasi persoalan yang terkait dengan
kehidupan, seperti keuangan, hubungan kekeluargaan, pekerjaan setiap pasangan.
Cara mereka berpikir, bertindak menentukan cara mereka mengambil keputusan
dalam hidup. Menikah di bawah umur yang disertai pendidikan rendah menyebabkan
tidak dewasa.
Bagaimana mengelola
perselisian yang berakhir dengan baik?. Setiap pasangan bagaikan musuh dalam
selimut (intimate enemous). Suami istri adalah dua pribadi yang berbeda, dan
berusaha hidup selaras dalam keutuhan rumah tangga. Untuk itu dibutuhkan banyak
rasa saling mengerti perasaan pasangan. Hal ini dilakukan dengan cara :
Pertama, menenangkan diri
dilakukan guna meredam emosi impulsif. Menenangkan diri dilakukan dengan cara,
misalnya relaksasi, yoga, bersilaturrahmi, mendatangi tempat-tempat rekreasi,
mengheningkan diri dalam doa-doa, membaca alkitab. Menenangkan diri juga akan
menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah, membersihkan racun-racun emosi yang membajak
hati. Dengan menenangkan diri membuat orang sejenak merenung dan mencari
inspirasi serta mendengarkan kata hati. Orang yang tenang tidak akan mudah
terbawa emosi pertengkaran. Sebaliknya, dengan menenangkan diri, akan
mengakhirkan perselisihan dengan menyadari kesalahan masing-masing.
Kedua, dialog batin dilakukan dengan berbicara dengan batin, mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realitas menurut diri. Dialog batin perlu dilakukan guna membersihkan pikiran-pikiran irasional. Dialog batin dengan mendengarkan hati nurani dan akal pikiran akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan.
Kedua, dialog batin dilakukan dengan berbicara dengan batin, mengenai apa yang diinginkan dan mengapa keinginan itu tidak terpenuhi serta bagaimana mengatasi realitas menurut diri. Dialog batin perlu dilakukan guna membersihkan pikiran-pikiran irasional. Dialog batin dengan mendengarkan hati nurani dan akal pikiran akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan.
Ketiga, mintalah nasehat
perkawinan. Setiap pasangan perlu mencari penasehat untuk membantu mengatasi
persoalan rumah tangga yang sudah akut. Mendatangi para tokoh agamawan, lembaga
bantuan hukum, atau para konselor perkawian akan membantu mencari alternatif
dari perselisihan yang dihadapi. Nasehat perkawinan juga bisa dilakukan dengan
membaca buku-buku yang berguna tentang hakekat perkawinan dan tujuan hidup
pasangan. Nasehat perkawinan juga diperoleh dari contoh atau teladan para
keluarga sejahtera, misalnya dengan cara saling berkunjung dan bertukar
pengalaman dengan sesama teman atau sahabat dalam mengatasi konflik rumah
tangga. Nasehat perkawinan yang diperoleh dari teman, sahabat atau ahli akan
menguatkan kembali jiwa yang krisis. Nasehat perkawinan bisa menjadikan tempat
konsultasi para pasangan yang tengah berkonflik.
Keempat, mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Mendengarkan pasangan adalah perlu dalam sebuah relasi keluarga. Setiap orang ingin didengarkan oleh pasangan tentang kerisauan-kerisauan mereka yang bergejolak. Saling berbicara secara terbuka tentang masalah yang jumpai oleh setiap pasangan, bukan membicarakan tentang kepribadian. Karena kepribadian tidak bisa di rubah. Membicarakan kepribadian negatif masing-masing hanya akan memicu setiap pasangan menjadi merasa ditolak, tidak dicintai dan dipersalahkan. Untuk itu dalam membicarakan perlu mempertimbangkan, apakah hal yang dibicarakan tidak menyinggung kepribadian (baca: bawaan) pasangan?. Bagaimana perasaan pasangan apabila saya mengatakan hal ini?. Jika setiap pasangan mampu menimbang rasa maka akan terjadi pembicaraan yang terbuka, penuh rasa percaya dan meningkatkan rasa cinta. Indah bukan?
Keempat, mendengar dan berbicara secara terbuka dengan pasangan. Saling mendengarkan keluhan pasangan, mencoba memahami jalan pikiran masing-masing akan membuat saling pengertian. Mendengarkan pasangan adalah perlu dalam sebuah relasi keluarga. Setiap orang ingin didengarkan oleh pasangan tentang kerisauan-kerisauan mereka yang bergejolak. Saling berbicara secara terbuka tentang masalah yang jumpai oleh setiap pasangan, bukan membicarakan tentang kepribadian. Karena kepribadian tidak bisa di rubah. Membicarakan kepribadian negatif masing-masing hanya akan memicu setiap pasangan menjadi merasa ditolak, tidak dicintai dan dipersalahkan. Untuk itu dalam membicarakan perlu mempertimbangkan, apakah hal yang dibicarakan tidak menyinggung kepribadian (baca: bawaan) pasangan?. Bagaimana perasaan pasangan apabila saya mengatakan hal ini?. Jika setiap pasangan mampu menimbang rasa maka akan terjadi pembicaraan yang terbuka, penuh rasa percaya dan meningkatkan rasa cinta. Indah bukan?
Perlu dampingan Hukum
?? Yayasan Lembaga Pelayanan Hukum Salatiga beralamat di Jl. Dr. Sumardi No. 10 Salatiga( SINODE GKJ ) , Telp. 0298 - 327138 SIAP untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pendampingan
hukum dan konsultasi Hukum. Kami Siap melayani dari hari Senin - Jumat , Pukul 08.00 sampai dengan Pukul 16.00 . Pendampingan yang dilakukan adalah : Permasalahan
Hukum Perdata (seperti : Perceraian, Warisan, Sengketa tanah, Hutang Piutang
dll), Pendampingan Pidana, juga Pengurusan Sertifikat . Pendampingan dan konsultasi terbuka bagi siapa saja yang
membutuhkan tanpa memandang : Agama , denominasi , suku, dan wilayah/ kota. Silahkan datang kami siap membantu, Privacy Klien menjadi tugas utama kami.
|