Hukum dan Perubahan Sosial

Hukum dan Perubahan Sosial
para pakar teori-teori hukum dan masyarakat pikirannya telah dipenuhi dengan usaha-usaha untuk menerangkan hubungan antara perubahan hukum (legal change) dan perubahan sosial (social change) dalam konteks sejarah pengembangan lembaga-lembaga hukum.  Para pakar teori ini memandang hukum sebagai peubah bebas dan peubah tak bebas (independent and dependent variables) dalam masyarakat, dan menekankan keterkaitan antara system hukum dan system-sistem lainnya dalam masyarakat.  Mengingat kembali teori-teori yang telah dibahas di Bab 2, bab ini akan membahas kaitan (interplay) antara hukum dan perubahan sosial.  Sekali lagi, hukum akan dipandang sebagai peubah bebas dan peubah tak bebas, yaitu, sebagai sebab dan akibat dari perubahan social.  Bab ini juga akan membahas keuntungan dan kelemahan hukum sebagai instrumen perubahan sosial, dan akan membahas serangkaian faktor-faktor sosial, psikologis, budaya, dan ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap efikasi hukum sebagai agen perubahan.
Perhatian pertama dalam pengertian hubungan antara hukum dan perubahan sosial adalah pada masalah definisi.  Apa perubahan sosial itu ? Istilah “perubahan” (change) dalam pengertian sehari-hari, sering diartikan dengan longgar sebagai sesuatu yang ada tetapi sebelumnya tidak ada, atau hilangnya atau terhapusnya sesuatu walaupun sebelumnya ada.  Namun tidak semua perubahan adalah perubahan sosial.  Banyak perubahan dalam kehidupan yang cukup kecil dan dianggap tak berarti (trivial), walaupun kadang-kadang hal-hal yang kecil tersebut bila dikumpulkan akan menjadi hal yang besar dan berarti (substantial).  Dalam pengertiannya yang paling konkret, perubahan sosial berarti kebanyakan orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kelompok dan hubungan-hubungan kelompok yang berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan atau apa yang telah orangtuanya lakukan sebelumnya. Masyarakat adalah suatu jaringan kompleks dari pola-pola hubungan dimana semua orang berpartisipasi dengan derajat keterkaitannya masing-masing. Hubungan-hubungan ini berubah dan perilaku juga berubah pada saat yang sama.  Individu-individu dihadapkan dengan situasi baru yang harus mereka respons.  Situasi-situasi ini merefleksikan faktor-faktor tertentu seperti teknologi, cara baru untuk mencari penghasilan, perubahan tempat domisili, dan inovasi baru, ide baru, serta nilai-nilai baru. Sehingga, perubahan sosial adalah perubahan bagaimana orang bekerja, membesarkan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, menata dirinya sendiri, dan mencari arti yang lebih dari kehidupannya. Perubahan sosial juga bisa berarti suatu restrukturisasi dalam cara-cara dasar dimana orang di dalam masyarakat terlibat satu dengan lainnya mengenai pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, kehidupan keluarga, rekreasi, bahasa, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Tema definisi yang berulang dalam literature sosiologi terhadap perubahan sosial menekankan perubahan (alterations) dalam struktur dan fungsi dari masyarakat dan perubahan dalam hubungan sosial dari waktu ke waktu.  Tanpa penjelasan selanjutnya, hal ini bukan konsep yang bisa membantu usaha untuk mencoba mengerti apa yang dimaksud dengan perubahan.  Selain itu, ketika kita membahas tentang hubungan antara hukum dan perubahan sosial, dan memandang hukum sebagai instrumen dari perubahan sosial, maka akan sangat membantu bila kita bisa menspesifikasikan identitas dari perubahan, di tingkatan yang sedang terjadi di masyarakat, arahnya, besarannya, dan laju kecepatannya (Vago, 1980: 8-10).
Identitas perubahan (identity of change) adalah fenomena sosial tertentu yang sedang mengalami transformasi, seperti praktek, perilaku, sikap, pola interaksi, struktur kewenangan, laju produktivitas, pola pemungutan suara, prestise, atau system stratifikasi tertentu.
Sekali identitas dari apa yang berubah telah ditentukan, perhatian selanjutnya adalah pada level dimana perubahan itu sedang terjadi.  Walaupun konsep dari perubahan sosial adalah termasuk ke dalam fenomena sosial, akan merupakan hal yang sulit untuk meneliti perubahan tanpa tahu dimana perubahan itu terjadi.  Sehingga, level perubahan akan mengubah (delineates) lokasi dalam sistem sosial dimana perubahan sosial tertentu sedang terjadi.  Ada beberapa level perubahan sosial yang dapat ditemukan, yaitu pada level individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat.  Sebagai contoh, perubahan dalam level individual akan meliputi perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan, aspirasi, dan motivasi.  Pada level kelompok, akan mungkin terjadi perubahan dalam pola interaksi, komunikasi, metode-metode penyelesaian konflik, kohesi / keterikatan, kesatuan, kompetisi, serta pola-pola penerimaan dan penolakan.  Pada level organisasi, ruang lingkup perubahan akan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi dari organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan, produktivitas, rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan pola-pola sosialisasi.  Pada level institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan pola perkawinan dan keluarga, pendidikan, dan praktek-praktek keagamaan.  Pada level masyarakat, perubahan dipandang sebagai modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi, dan sistem politik.
Arah perubahan (direction of change) dimaksudkan sebagai posisi di masa depan dari suatu entitas dalam hubungannya dengan posisi awalnya.  Hal tersebut dapat dipandang secara kuantitatif dalam hal fluktuasi, volume, ukuran, atau angka-angka belaka.  Hal itu juga dapat dilihat dari besaran (axis) nilai-nilai, menggunakan konsep-konsep seperti kemajuan (progress), perkembangan (improvement), penurunan (decline), atau perbaikan (betterment).  Hal itu juga dapat dipandang dalam istilah-istilah umum, sebagai “lebih tinggi”, “lebih rendah”, “ke belakang”, atau “ke depan”, mengikuti skala tertentu. Ketiga pendekatan ini saling terpisah (mutually exclusive), dan ada kebutuhan untuk menspesifikasikan tipe perubahan sebelum mendiskusikan arahnya.  Sebagai contoh, laju pendaftaran universitas dari orang-orang kulit hitam (black) dan orang-orang keturunan Spanyol (Hispanic) masing-masing naik 5 dan 6 persen, antara tahun 1970 dan 1977 (National Center for Education Statistics, 1979: 91).  Secara kuantitatif, arah perubahan dinyatakan dalam persentase.  Pada besaran nilai (value axis), perubahan dalam partisipasi golongan minoritas ini (yang berkaitan dengan kulit hitam dan keturunan Spanyol) bisa disebut “kemajuan”. Dalam istilah umumnya, laju pendaftaran universitas “lebih tinggi” di tahun 1977 daripada di tahun 1970.
Besaran perubahan (magnitude of change) dapat dipandang dalam hal perubahan yang inkremental, marjinal, komprehensif, dan revolusioner. Perubahan yang inkremental atau marjinal adalah perubahan yang menaikkan, mengurangi, atau memodifikasi kontur dari norma atau perilaku tertentu tanpa mengubah atau menghilangkan (repudiating) zat atau struktur aslinya (misalnya, birokratisasi gradual dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi).  Ada suatu kesepakatan dalam literatur perubahan sosial bahwa perubahan inkremental adalah yang paling biasa terjadi dan pola perubahan “normal” di Amerika Serikat.  Perubahan komprehensif mungkin menggambarkan kulminasi dari perubahan inkremental yang terkait, atau menurut kata-kata Robert A. Dahl (1967: 264) “inovasi yang menyapu atau pembalikan yang keras” (“sweeping innovations or decisive reversals of established”) dari norma-norma pola perilaku (misalnya, desegregasi sekolah atau tidak memisahkan lagi antara sekolah untuk murid kulit putih dengan sekolah untuk murid kulit berwarna).  Perubahan-perubahan yang ukurannya revolusioner akan mencakup substitusi keseluruhan dari satu tipe norma atau perilaku ke norma atau perilaku lainnya, dan penolakan keras (decisive rejection) dari perilaku asli atau norma-norma asli (misalnya, abolisi atau penghapusan perbudakan atau penggantian dari sistem politik yang satu ke sistem politik yang lainnya).
Laju perubahan (rate of change) adalah dimensi temporal dari perubahan.  Pada laju seberapa perubahan tertentu terjadi ? Laju ini dapat didasarkan kepada sembarang skala waktu, misalnya cepat (fast) atau lambat (slow), atau yang dapat diukur dalam ukuran hari, minggu, bulan, atau tahun.  Sebagai contoh, dalam konteks partisipasi golongan minoritas (yang didefinisikan sebagai “golongan minoritas” di Amerika Serikat adalah : perempuan, kulit berwarna, atau orang cacat) di pendidikan tinggi, laju perubahan dapat digambarkan sebagai “lambat”.
Dimensi dari komponen-komponen perubahan sosial adalah sembarang, dan dapat dipandang (construed) secara lain oleh orang yang mengalaminya atau mencoba-cobanya.  Utilitas teorikal dan empirikal dari komponen perubahan ini menjadi bukti (evident) ketika ia dikenali bahwa hukum dapat mempengaruhi perubahan dalam banyak cara.  Ketika arti yang khusus diberikan ke komponen-komponen ini dalam konteks hukum tertentu atau serangkaian hukum-hukum tertentu, hal ini akan dapat menjadi titik awal (special point of departure) dari penelitian tentang peranan hukum dalam perubahan sosial.
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu produk dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan antar faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa mekanisme perubahan lainnya, seperti faktor-faktor teknologi, ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan politik, serta masalah struktural (structural strains).  Semua mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal saling berhubungan. Kita harus berhati-hati untuk tidak mengecilkan arti dan mengisolasikan salah satu dari faktor-faktor “penyebab” (“causes”) perubahan sosial ini. Harus diakui bahwa, sangat menggoda dan sangat nyaman untuk memilih salah satu saja (single out) “penggerak utama” (“prime mover”), satu faktor, satu sebab, satu penjelasan, dan menggunakannya di berbagai situasi.  Hal itu juga terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect relationship) dalam pembuatan hukum-hukum baru, yang akan dibahas dalam bab ini, yaitu kita harus bersikap tak acuh / skeptis (skeptical) dan berhati-hati (cautious) mengenai penjelasan tentang satu faktor penyebab secara umum, dan khususnya perubahan sosial berskala besar.


A. Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Perubahan Sosial 
Pertanyaan apakah hukum dapat dan harus memimpin, atau apakah hukum tidak boleh melakukan sesuatu kecuali mengikuti perubahan-perubahan di dalam masyarakat secara berhati-hati, telah dan selalu menjadi issue kontroversial.  Pendekatan yang berlawanan dari pakar reformasi sosial Inggris Jeremy Bentham dan pakar Jerman Friedrich Karl Von Savigny telah memberikan paradigma yang saling bertolak belakang tentang hal (proposition) ini.  Pada permulaan era industrialisasi dan urbanisasi di Eropa, Bentham mengharapkan agar reformasi hukum dapat merespons dengan cepat kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk merestrukturisasi masyarakat.  Dia dengan gratis memberi saran kepada pemimpin-pemimpin Revolusi Perancis, karena ia percaya bahwa negara-negara dengan tahap perkembangan ekonomi yang sama memerlukan “obat” (remedies) yang sama untuk masalah ekonomi mereka.  Pada kenyataannya, adalah filosofi Bentham dan semua pengikutnya, yang mengubah Parlemen Inggris – dan parlemen di negara-negara lainnya – ke dalam instrumen-instrumen legislatif aktif untuk membawa reformasi sosial sebagian untuk merespons dan sebagian sebagai stimulan untuk kebutuhan-kebutuhan sosial yang dirasakan.  Juga menulis pada waktu yang sama, Savigny , seperti yang telah saya bahas di Bab 2, menghujat reformasi hukum yang menyapu (the sweeping legal reforms) yang dibawa oleh Revolusi Perancis yang mengancam untuk menginvasi Eropa Barat.  Ia percaya bahwa adat populer yang dikembangkan secara penuh, dapat membentuk dasar dari perubahan hukum.  Karena adat tumbuh dari kebiasaan dan kepercayaan dari orang-orang tertentu, dan bukan karena pernyataan humanitas abstrak, maka perubahan hukum adalah kodifikasi dari adat dan hal itu adalah perubahan berskala nasional, dan bukan universal (He believed that only fully developed popular customs could form the basis of legal change. Since customs grow out of the habits and beliefs of specific people, rather that expressing those of an abstract humanity, legal changes are codifications of customs and they can only be national, never universal). 
Satu abad kemudian, hubungan antara hukum dan perubahan sosial tetap controversial.  “Tetap ada 2 pendapat yang bertolak belakang tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum (legal precepts) dan sikap-sikap dan perilaku masyakarat.  Menurut pendapat yang satu, hukum ditentukan oleh perasaan keadilan (sense of justice) dan sentimen moral dari populasi, dan legislasi hanya dapat mencapai hasil bila tetap berada dekat secara relatif dengan norma-norma sosial yang berlaku (prevailing social norms). Menurut pendapat yang lain, hukum, khususnya legislasi, adalah wahana (vehicle) melalui mana evolusi sosial yang terprogram dapat dilakukan” (Aubert, 1969: 69). Pada satu sisi ekstrim, terdapat pandangan bahwa hukum adalah peubah tak bebas (dependent variable), yang ditentukan dan dibentuk oleh pamali-pamali yang ada (current mores) dan opini-opini dari masyarakat.  Menurut pendapat / posisi ini, perubahan hukum adalah tidak mungkin kecuali didahului oleh perubahan sosial; reformasi hukum tidak dapat melakukan apa-apa kecuali mengkodifikasi hukum.  Jelas hal ini tidak benar, dan mengabaikan fakta bahwa sepanjang sejarah institusi-institusi hukum telah ditemukan untuk “mempunyai peranan yang jelas, dan bukan pengertian yang meraba-raba, sebagai suatu instrumen yang mengatur (set off), memonitor, atau meregulasi fakta atau kecepatan dari perubahan sosial” (Friedman, 1969: 29).  Pendapat ekstrim lainnya diberikan oleh pakar hukum Soviet, seperti P.P. Gureyev dan P.I. Sedugin (1977), yang melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).  Pendapat mereka adalah, “selama periode transisi dari kapitalisme ke sosialisme, Negara Soviet telah menggunakan legislasi secara luas untuk mengarahkan masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk sosial ekonomi, menghapuskan setiap bentuk eksploitasi, dan meregulasi berdasarkan tenaga kerja dan konsumsi dari produk-produk tenaga kerja sosial (products of social labour).  Ia menggunakan legislasi untuk membuat dan meningkatkan lembaga-lembaga sosialis demokratis, untuk membuat hukum dan ketertiban yang keras (firm law and order), melindungi sistem sosial dan keamanan Negara, dan mengembangkan sosialisme” (Gureyev dan Sedugin, 1977: 12).
Pandangan-pandangan ini menggambarkan 2 ekstrim dari pendapat (continuum) yang berkaitan dengan hubungan antara hukum dan perubahan sosial.  Masalah keterkaitan (interplay) antara hukum dan perubahan sosial jelas bukanlah masalah yang sederhana.  Jelasnya, pertanyaannya adalah : Apakah hukum mengubah masyarakat ? atau Apakah perubahan sosial mengubah hukum ? Kedua pendapat ini kemungkinan benar.  Namun, akan lebih tepat untuk menanyakan, di bawah kondisi-kondisi apakah hukum dapat menyebabkan perubahan sosial, pada level apakah, dan sejauh mana ? Begitu pula, persyaratan agar perubahan sosial dapat mengubah hukum juga harus dijelaskan lebih jauh.
Pada umumnya, di masyarakat yang sangat urban dan sangat terindustrialisasi seperti Amerika Serikat, hukum telah memainkan peran yang besar dalam perubahan sosial, dan sebaliknya, atau sekurangnya lebih besar daripada pada kasus masyarakat tradisional atau dalam pemikiran sosiologi tradisional (Nagel, 1970: 10).  Ada beberapa cara untuk menggambarkan hubungan timbal balik ini.  Sebagai contoh, dalam domain hubungan antar keluarga, urbanisasi dengan apartemen-apartemen yang kecil, telah mengurangi keinginan untuk tinggalnya keluarga dari tiga generasi di dalam satu rumah tangga.  Perubahan sosial ini telah menyebabkan adanya hukum-hukum keamanan jaring sosial (social security laws)  yang pada gilirannya telah membantu perubahan dalam tenaga kerja dan institusi sosial bagi orang yang berusia lanjut.  Perubahan dalam hubungan induk semang-penyewa (landlord-tenant relationship) telah mengubah hukum tata bangunan (housing codes), yang menyebabkan perubahan dalam hubungan perinduksemangan.  Sebagai akibat dari perubahan teknologi, hubungan antara pemilik properti dengan individu-individu lainnya telah menjadi “kurang pribadi” (more impersonal) dan kemungkinan besar telah mengarah ke kerugian (injury), dan sebagai hasilnya, telah menyebabkan perubahan definisi hukum tentang “uang simpanan” (fault), yang pada gilirannya telah mengubah sistem asuransi Amerika. Akhirnya, dalam konteks hubungan antara majikan dengan pegawai (employer-employee relations), dalam sejarah Amerika sebelum tahun 1930an (masa depresi besar Amerika – penerjemah) telah mengaktifkan aturan dan statuta (precedents and statutes) yang menjamin hak buruh untuk membentuk serikat buruh, dan ketika Undang-Undang Wagner telah diundangkan, persentase jumlah buruh dalam serikat buruh telah meningkat, walaupun juga telah mencapai titik kejenuhan (Nagel, 1970:1).
Walaupun ada gambaran yang jelas tentang adanya hubungan timbal balik antara hukum dan perubahan sosial, untuk tujuan analisis, saya akan memandang hal ini sebagai hal yang mandiri (unilateral).  Di sini, di seksi selanjutnya saya akan membahas kondisi-kondisi dimana perubahan sosial telah menyebabkan peubahan hukum; kemudian, dalam seksi berikutnya, saya akan membahas hukum sebagai instrumen perubahan sosial.
  
B. Perubahan Sosial sebagai Sebab Perubahan Hukum 
Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum. Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan tahun atau setelah berabad-abad.  Bahkan di masa awal revolusi industri, perubahan-perubahan yang terjadi karena ditemukannya mesin uap atau ditemukannya listrik hanya secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang sah selama satu generasi.  “Namun saat ini tempo dari perubahan sosial telah sedemikian cepat pada suatu titik dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat ini tidak akan sah lagi bahkan dalam beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13). Dalam kata-kata Alvin Toffler (1970:11), “Perubahan telah menyapu melalui negara-negara industri maju dengan gelombang-gelombang dankecepatan yang amat sangat tinggi serta berdampak yang amat sangat tidak terduga”.  Dalam arti, orang dalam masyarakat modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom) perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras dan saling terkait dalam demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains, transportasi, pertanian, komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi manusia.  Setiap revolusi ini telah membawa perubahan yang spektakuler dalam serangkaian akibat, dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat, sikap, perilaku, dan institusi.
Perubahan-perubahan ini selanjutnya mentransformasikan tata sosial dan tata ekonomi dari masyarakat. Masyarakat kontemporer dicirikan dengan pembagian kerja yang jelas dan spesialisasi dalam fungsi. Dalam masyarakat modern, “hubungan antar pribadi telah berubah, institusi-institusi sosial termasuk keluarga, telah jauh berubah; kontrol sosial yang sebelumnya kebanyakan informal telah menjadi formal; birokrasi dalam organisasi skala besar telah menyebar ke sektor-sektor public dan swasta; dan risiko-risiko yang dihadapi individu-individu telah muncul termasuk risiko terganggunya mata penghasilan karena pengangguran, karena kecelakaan kerja, dan eksploitasi consumer; dan sakit kronis dan cacat fisik telah menyertai semakin panjangnya kehidupan” (Hauser, 1976:23-24).
Munculnya risiko-risiko baru terhadap individual sebagai hasil dari penguatan berbagai fungsi keluarga, termasuk fungsi perlindungan, telah menuju kepada pembuatan inovasi-inovasi hukum untuk melindungi individual dalam masyarakat modern.  Gambaran dari inovasi seperti itu misalnya adalah persyaratan kompensasi pekerja (gaji – penerjemah), asuransi pengangguran, asuransi hari tua, asuransi kesehatan (medicare), dan berbagai bentuk kategori dan persyaratan generik dari “kesejahteraan sosial” (Hauser, 1976: 24).
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan bahwa teknologi adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar (great moving forces) untuk perubahan hukum (Miller, 1979: 10-14). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya tiga cara, “Yang paling jelas….adalah kontribusi teknologi kepada perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen yang harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui sidik jari atau penguji kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan adalah, efek teknologi dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui televisi). Yang terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan menghasilkan masalah baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner, seperti dikutip oleh Miller, 1979:14).  Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah kepada perubahan hukum telah sangat banyak ditemui (Loth dan Ernst, 1972).  Timbulnya transportasi dengan mobil dan pesawat terbang telah membawa pula regulasi-regulasi baru.  Peralatan baru dalam uji kebohongan (sidik jari dan penciuman elektronik, dua di antaranya) telah menghasilkan perubahan di dalam hukum, seperti bukti-bukti (evidence) yang diperbolehkan di depan pengadilan. Komputer telah memungkinkan keberadaan kita dalam kredit, perdagangan / merk (merchandising), manufaktur, transportasi, riset, pendidikan, diseminasi / penyebaran informasi, pemerintahan, dan politik.  Komputer juga telah menginspirasi legislasi di level federal maupun level negara bagian untuk melindungi privasi, untuk melindungi penyalahgunaan informasi kredit, dan untuk mensyaratkan perusahaan (employer) untuk memberitahu seorang pelamar kerja yang ditolak tentang sumber dan sifat dari laporan negatif (adverse report) tentang catatan kredit masa lalunya yang menyebabkan penolakan tersebut.
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara.  Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum 1963, masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika Serikat – penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini.  Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi.  Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya.  Dan masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh karena itu, hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum.  Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial.  Namun perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial.  Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya.  Hukum baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin dapat memperbesar masalah tersebut – atau mungkin dapat menyelesaikan masalah dan membantu menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons hukum terhadap perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan menyebabkan perubahan sosial baru.  Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan perubahan teknologi akan berakibat adanya pengangguran di area-area tertentu, dimana perusahaan yang menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk memasang alat pencegah polusi.  Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke perpindahan penduduk (relocation), dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau dapat berakibat adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena.  Korelasi dan reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga.  Oleh karena itu, hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang setuju) dalam perubahan sosial.  Pada seksi berikutnya, akan dibahas tentang aspek proaktif dari hukum sebagai pemulai perubahan sosial.
  
C.  Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial 
Ada banyak ilustrasi historis dimana pengundangan dan implementasi hukum telah digunakan untuk memulai perubahan sosial besar di dalam masyarakat.  Dengan bantuan para ahli hukum Romawi, pernyataan bahwa hukum sebagai instrumen perubahan sosial telah menjadi jelas secara konseptual. “Konversi Romawi dari republik menjadi kekaisaran tidak dapat dilakukan kecuali melalui cara-cara dekrit hukum eksplisit yang ditekankan oleh doktrin kedaulatan kekaisaran“ (Nisbet, 1975: 173).  Sejak jaman Romawi, perubahan sosial yang besar dan mobilitas sosial hampir selalu melibatkan penggunaan hukum dan litigasi.  Ada beberapa ilustrasi tentang ide hukum, jauh dari hanya sekedar refleksi dari realitas sosial, tapi juga merupakan alat yang canggih (powerful) untuk “menghasilkan“ (accomplishing) realitas, yaitu, dengan memodelkannya atau membuatnya terjadi.  Secara umum telah diakui, di samping ide-ide Marx, Engels, dan Lenin, bahwa hukum adalah suatu fenomena besar dari masyarakat kelas borjuis yang hilang bersama datangnya revolusi, Uni Soviet telah sukses dalam membuat perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat melalui penggunaan hukum (Dror, 1968).  Baru-baru ini, usaha-usaha dari Nazi Jerman dan kemudian oleh negara-negara Eropa Timur untuk membuat perubahan sosial besar melalui manipulasi hukum adalah ilustrasi dari keefektivan hukum untuk memulai perubahan sosial (Eorsi dan Harmanthy, 1971).  
Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer.  “Hukum – melalui respons legislatif dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi kembali dari konstitusi, statuta atau preseden – secara meningkat tidak hanya mengartikulasikan / mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari perubahan-perubahan sosial besar“ (Friedman, 1972: 513).  Sehingga, “Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern“ (Friedman, 1975: 277).  Dalam hal yang sama, Yehezkel Dror (1968: 673) menyatakan bahwa, “penggunaan yang meningkat dari hukum sebagai alat dari tindakan sosial yang terorganisir yang ditujukan kepada pencapaian perubahan sosial kelihatannya merupakan salah satu ciri dari dunia modern….“. Banyak pengarang, seperti Joel B. Grossman dan Mary H. Grossman (1971:2), memandang hukum sebagai suatu alat yang dibutuhkan, diperlukan, dan sangat efisien untuk melakukan perubahan, yang lebih disukai daripada instrumen perubahan yang lainnya. 
Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam perubahan sosial lebih daripada hanya interest teoritis saja.  Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah disandari sebagai instrumen perubahan yang penting.  Di Amerika Serikat, hukum telah digunakan sebagai mekanisme utama untuk meningkatkan posisi politik dan sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun 1960s, pengadilan dan Kongres telah membatalkan sistem kasta rasial yang termaktub (embedded) di dalam hukum dan yang telah dipraktekkan selama beberapa generasi.  Orde lama telah disapu bersih oleh legislasi, termasuk Undang-Undang Persamaan Hak tahun 1964 (Civil Rights Act of 1964) dan Undang-Undang Hak Pemilihan tahun 1965 (Voting Rights Act of 1965), diikuti dengan komitmen milyaran dollar untuk program kesejahteraan sosial.  Dalam waktu yang relatif singkat, kebijakan ini telah menghasilkan perubahan-perubahan yang besar.  Sebagai contoh, usaha-usaha untuk memperluas peluang pendidikan telah memperkecil secara drastis jurang level pendidikan antara kulit hitam dan kulit putih.  Pendaftaran mahasiswa kulit hitam, sebagai contoh, telah meningkat 4 kali lipat sejak tahun 1965, dan 1 juta orang mahasiswa kulit hitam saat ini mewakili 11 persen dari jumlah seluruh mahasiswa di negara ini, dibandingkan dengan 4,8 persen di tahun 1965 (National Center for Educational Statistics, 1979: 115). Selama generasi yang lalu, partisipasi politik dari warga kulit hitam telah meningkat tajam.  Saat ini terdapat 4.500 orang kulit hitam terpilih dalam jabatan publik (hold elected offices) dari anggota Kongres sampai Walikota, atau naik 45 kali lipat sejak tahun 1954 (U.S. News & World Report, 1979:59). Namun, sangat salah untuk mengasumsikan bahwa perubahan yang sama telah terjadi di bidang (domain) lainnya. Sebagai contoh, sejak tahun 1964, median penghasilan keluarga kulit hitam hanyalah antara 54 – 62 persen daripada kulit putih. 
Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum telah menjadi instrumen penting untuk mentransformasikan masyarakat sejak Perang Dunia II dari masyarakat borjuis ke masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan meligitimasi pengaturan ulang dalam hal properti (hak rumah, tanah) dan hubungan kekuasaan, mentransformasikan institusi sosial dasar seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan, dan membuka jalan raya baru untuk mobilitas sosial bagi segmen besar dari populasi. Legislasi telah mengarahkan pengaturan kembali produksi pertanian dari kepemilikan pribadi ke pertanian kolektif, pembuatan kota-kota baru, dan pengembangan ala sosialis dari ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi.  Perubahan-perubahan ini, pada gilirannya akan mempengaruhi nilai-nilai, kepercayaan, pola sosialisasi, dan struktur hubungan sosial. 
Ada beberapa cara untuk mempertimbangkan peranan hukum dalam perubahan sosial.  Dalam suatu artikelnya yang sangat berpengaruh, “Hukum dan Perubahan Sosial“, Dror (1968) membedakan antara aspek tak langsung dan aspek langsung dari hukum dalam perubahan sosial.  Dror (1968: 673) mengatakan bahwa, “Hukum memainkan peranan tak langsung dalam perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya mempunyai dampak langsung terhadap masyarakat“.  Ia menggunakan ilustrasi sistem wajib belajar yang memainkan peranan penting tidak langsung dalam perubahan dengan memperkuat operasi institusi-institusi pendidikan, yang pada gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam perubahan sosial.  Ia menekankan bahwa hukum berinteraksi secara langsung dalam banyak kasus dengan institusi-institusi sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum dan perubahan sosial.  Sebagai contoh, hukum yang diundangkan untuk melarang poligami mempunyai pengaruh besar langsung terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya perubahan dalam pola-pola perilaku yang penting. Namun ia mewanti-wanti, bahwa “perbedaannya tidaklah absolut tapi relatif: pada banyak kasus penekanannya lebih kepada dampak langsung dan kurang pada dampak tidak langsung terhadap perubahan sosial, yang dalam kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku“ (Dror, 1968: 674). 
Dror berargumen bahwa hukum berfungsi sebagai pengaruh tidak langsung terhadap perubahan sosial pada umumnya dengan mempengaruhi kemungkinan-kemungkinan perubahan dalam berbagai institusi sosial.  Sebagai contoh, adanya hukum patent yang melindungi hak-hak dari penemu (inventors) untuk mendukung penemuan (inventions), dan perubahan lebih lanjut dalam lembaga-lembaga teknologi, yang pada gilirannya akan membawa sejenis perubahan sosial. 
1) Efikasi Hukum sebagai Instrumen Perubahan Sosial
Sebagai suatu instrumen perubahan sosial, hukum membawa 2 proses-proses yang saling berhubungan, yaitu pengenalan“ (institutionalization) dan “pelembagaan“ (internalization) pola-pola perilaku. Pengenalan (institutionalization) dari pola perilaku merujuk pada pembuatan suatu norma dengan persyaratan penegakannya (misalnya, desegregasi / penghapusan segregasi dari sekolah-sekolah negeri), dan pelembagaan (internalization) dari suatu pola perilaku berarti bahwa pencakupan (incorporation) nilai atau nilai-nilai secara implisit di dalam hukum (misalnya, sekolah negeri yang terintegrasi adalah “baik“). “Hukum…..dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui proses pengenalan; namun jika proses pengenalan ini sukses, pada gilirannya akan memfasilitasi pelembagaan sikap atau kepercayaan“ (Evan, 1965: 287). 
Dalam banyak hal hukum adalah suatu mekanisme efektif dalam peningkatan atau penguatan perubahan sosial.  Namun, sejauh mana hukum dapat memberikan suatu dorongan (impetus) efektif untuk perubahan sosial bervariasi menurut kondisi-kondisi yang ada dalam situasi tertentu.  William M. Evan (1965: 288-291) menyarankan bahwa hukum akan sukses untuk melakukan perubahan jika memenuhi 7 kondisi sebagai berikut : 1. Hukum harus muncul (emanate) dari sumber yang berwenang dan prestisius; 2. Hukum harus mengenalkan alasannya dalam hal mana yang dapat dimengerti dan cocok dengan nilai-nilai yang ada; 3. Advokasi perubahan harus merujuk kepada masyarakat lain atau negara lain dimana populasi mengidentifikasi diri dan dimana hukum telah berlaku; 4. Penegakan hukum harus ditujukan kepada pembuatan perubahan dalam waktu yang relatif cepat; 5. Pihak yang menegakkan hukum harus dengan sendirinya sangat komit terhadap perubahan yang dimaksud oleh hukum; 6. Implementasi hukum harus mencakup sanksi-sanksi positif dan negatif; dan 7. Penegakan hukum harus masuk akal, tidak hanya dalam hal sanksi yang digunakan, tetapi juga perlindungan hak-hak pihak yang akan kalah dalam masalah pelanggaran hukum. 
Sebagai agan perubahan sosial, hukum mempunyai kekuatan dan kelemahan. Efikasi hukum, yaitu kemampuan hukum untuk menghasilkan perubahan, ditentukan sebagian besar oleh penerimaan publik. Dalam suatu masyarakat demokratis pluralistik, dimana orang cenderung untuk terkait dengan banyak kelompok dan publik – perubahan melalui hukum umumnya dipenuhi dengan berbagai reaksi: beberapa berlawanan, beberapa mendukung, namun sebagain besar acuh tak acuh atau hanya sangar sedikit (mildly hostile).  Jika mayoritas pemimpin opini ada di belakang perubahan, maka oposisi akan tetap menjadi minoritas dan secara pelan-pelan sebagian besar masyarakat akan dapat menerima perubahan (Rose dan Rose, 1969: 537). 
Efikasi hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial dipersyaratkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah jumlah informasi yang tersedia mengenai suatu legislasi (legislation), keputusan (decision), atau penetapan (ruling). Ketika terdapat tidak cukup transmisi informasi tentang hal-hal ini, hukum tidak akan menghasilkan efek yang diinginkan.  Ketidakpedulian (ignorance) terhadap hukum tidak dianggap sebagai satu alasan untuk ketidakpatuhan (disobedience), namun ketidakpedulian membatasi efektivitas hukum.  Dalam kasus yang sama, hukum terbatas sejauh dimana aturan-aturan (rules) itu tidak dituliskan secara pasti, dan bukan karena orang tidak yakin dengan apa yang dimaksud oleh aturan-aturan tersebut.  Aturan-aturan yang sumir (vague rules) membolehkan persepsi yang bermacam-macam dan interpretasi (apa maksud pernyataan “semua kecepatan yang ada“ [“all deliberate speed“]  ?).  Sebagai akibatnya, bahasa hukum harus bebas dari keambiguan, dan kehati-hatian perlu dilakukan untuk menghindari berbagai interpretasi dan “lubang penafsiran“ (loopholes)  (Carter, 1979: 27-37). 
Regulasi-regulasi hukum dan perilaku masyarakat yang diinginkan kepada siapa hukum ditujukan harus secara jelas diketahui, dan sanksi-sanksi terhadap ketidakpatuhan (noncompliance) perlu dihitung secara tepat (precisely enumerated).  Efektivitas hukum berhubungan langsung dengan jangkauan (extent) dan sifat (nature) dari persepsi aturan-aturan sanksi resmi (officially sanctioned rules).  Persepsi terhadap aturan-aturan, pada gilirannya beragam menurut sumbernya.  Aturan-aturan kemunginan besar akan diterima bila sumbernya dipandang sah (legitimate).  Namun perlu dicatat, bahwa kontras antara “legitimasi“ dengan “legalitas“ kadang-kadang tetap membingungkan.  Seperti yang diamati oleh Carl J. Friedrich (1958: 202), “Hukum tidak harus dilihat hanya beroperasi di satu dimensi dari keadaan, namun dalam banyak dimensi dari masyarakat jika kita mengartikan legitimasi sebagai pola tujuan.  Legitimasi dikaitkan dengan hak dan keadilan; tanpa suatu klarifikasi tentang apa yang harus dimengerti oleh “kebaikan“ (rightness) dan keadilan dari hukum, legitimasi tidak dapat dimengerti juga. Aturan Hitler adalah legal namun tidak legitimate. Ia mempunyai dasar di dalam hukum namun tidak dalam hal kebenaran dan keadilan“. 
Kecepatan respons (responsiveness) dari lembaga-lembaga penegak hukum terhadap hukum juga mempunyai dampak terhadap efektivitas hukum.  Agen penegak hukum tidak hanya mengkomunikasikan aturan-aturan, mereka juga menunjukkan bahwa aturan-aturan harus dianggap serius dan hukuman terhadap para pelanggar sudah menunggu.  Namun agar hukum dapat ditegakkan (enforcable), perilaku yang harus diubah harus juga diamati (observable).  Sebagai contoh, lebih sulit untuk menegakkan hukum terhadap perilaku homoseksual daripada hukum terhadap diskriminasi rasial dalam perumahan publik. Selain itu, agen penegak hukum perlu sepenuhnya komit untuk menegakkan suatu hukum baru.  Salah satu alasan gagalnya larangan (prohibition), sebagai contoh, adalah karena ketidakmauan dari agen penegak hukum untuk mengimplementasikan hukum.  Penegakan hukum yang selektif juga akan juga akan mengurangi (hinders) keefektivannya.  Semakin tinggi status individual yang ditahan dan dihukum, semakin besar kemungkinan suatu hukum tertentu akan mencapai tujuan yang diinginkannya (Zimring dan Hawkins, 1975: 337-338).  Hukum yang secara reguler dan secara seragam ditegakkan di berbagai kelas masyarakat dan kelompok masyarakat cenderung dipersepsikan sebagai lebih mengikat (more binding) daripada hukum yang jarang atau yang ditegakkan secara selektif saja, karena penegakan menetapkan norma-norma perilaku, dan pada suatu waktu, menurut E. Adamson Hoebel (1954: 15) : “Norma berlaku pada kualitas dari yang normatif. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, orang-orang lainnya akan melakukannya juga“.   
Sebagai suatu strategi perubahan sosial, hukum mempunyai keuntungan dan kelemahan khas tertentu dibandingkan dengan agen-agen perubahan lainnya.  Walaupun keuntungan dan kekurangan ini sama-sama hadir (go hand in hand) dan merepresentasikan dua sisi yang berbeda dari sekeping uang yang sama, untuk tujuan analisis saya akan membahasnya secara terpisah. Pembahasan berikut akan fokus pada alasan-alasan yang lebih nyata mengapa hukum dapat memfasilitasi perubahan di dalam masyarakat.      
D. Keuntungan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial 
Seperti telah saya tekankan sebelumnya, mengidentifikasi bidang perubahan (perimeters of change) dan mengkaitkan perubahan (attributing change) terhadap variabel penyebab tertentu atau satu set variabel harus ditangani dengan kehati-hatian. Dalam banyak hal, kemajuan perubahan sosial (the state of the art of social change endeavors) tidak cukup canggih secara metodologis untuk membedakan dengan jelas antara sebab, keharusan, kecukupan, atau kondisi-kondisi kontributif untuk menghasilkan efek-efek yang diinginkan di dalam masyarakat. Perubahan sosial adalah fenomena yang kompleks dan bermuka banyak (multifacet) yang dibawa oleh kekuatan sosial tertentu.  Kadang-kadang, perubahan sangatlah lambat, tidak imbang dan dapat dikondisikan oleh faktor-faktor yang berlainan dengan derajat yang berbeda-beda.  Dari faktor-faktor ini, yang paling drastis adalah revolusi, yang ditujukan kepada perubahan fundamental dalam hubungan kekuasaan antar kelas di dalam masyarakat.  Faktor-faktor lainnya mencakup pemberontakan, kerusuhan (riot), coup d’etat, berbagai bentuk gerakan protes, duduk-duduk (sit-ins), boikot, pemogokan, demonstrasi, gerakan sosial, pendidikan, media massa, inovasi teknologi, ideologi, dan berbagai bentuk usaha-usaha perubahan sosial yang terencana namun nonlegal yang berhubungan dengan berbagai perilaku dan praktek pada berbagai level di dalam masyarakat.
Dibandingkan dengan daftar tidak lengkap dari kekuatan-kekuatan yang menghasilkan perubahan, hukum mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu.  Usaha-usaha perubahan melalui hukum cenderung untuk lebih fokus dan spesifik.  Perubahan melalui hukum bersifat detail (deliberate), rasional, dan usaha-usaha yang disadari untuk mengubah perilaku atau praktek tertentu.  Maksud dari norma-norma hukum telah dinyatakan dengan jelas dengan garis besar yang jelas tentang cara-cara implementasi dan penegakan serta sanksi-sanksi yang ada. Pada dasarnya, perubahan melalui hukum ditujukan untuk memperkuat, meningkatkan, menambah (ameliorating), atau mengontrol perilaku dan praktek dalam situasi sosial yang didefinisikan dengan jelas – seperti yang telah diungkapkan oleh pihak yang pro (proponents) dengan suatu perubahan tertentu. Keuntungan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial disebabkan oleh fakta bahwa hukum di dalam masyarakat dipandang sebagai legitimate, kurang lebih rasional, berwenang (authoritative), terlembagakan (institutionalized), umumnya tidak mengganggu (generallly not disruptive), dan didukung oleh mekanisme-mekanisme penegakan dan sanksi-sanksi.  
1) Otoritas yang Legitimate
Salah satu keuntungan hukum sebagai salah satu instrumen perubahan sosial adalah perasaan umum di dalam masyarakat bahwa perintah atau larangan hukum akan dipatuhi bahkan oleh para pihak yang kritis dan mempertanyakan hukum.  Dalam hal ini, perasaan kewajiban ini tergantung kepada penghargaan terhadap otoritas yang legitimate (Andenaes, 1977: 52). 
Konsep otoritas yang legitimate berhubungan erat dengan konsep kekuasaan.  Kekuasaan pada dasarnya adalah kapasitas untuk mempengaruhi perilaku dari anggota-anggota lainnya di dalam masyarakat. Namun otoritas tidak hanya mengenai kekuasaan saja, karena tergantung kepada pengakuan (recognition)dari anggota-anggota “kelas bawah“ (subordinate members) dalam masyarakat sehingga seseorang yang mempunyai otoritas dapat secara legitimate memberikan resep (prescribe) tentang pola-pola perilaku yang harus diikuti oleh individu-individu di dalam masyarakat.  Kekuasaan sosial secara umum terletak pada lebih dari satu dasar. John R.F. French dan Bertram Raven (1960) membedakan atas beberapa dasar: 1) Kekuasaan memberikan hadiah (reward power) didasarkan kepada persepsi individual bahwa orang-orang lainnya di dalam kelompok mempunyai kemampuan untuk memberikan hadiah atas perilaku seseorang; 2) Kekuasaan penekan (coercive power) didasarkan kepada persepsi bahwa orang-orang lainnya dapat menghukum perilaku seseorang; 3) Kekuasaan legitimasi (legitimate power) didasarkan kepada persepsi bahwa orang-orang lainnya mempunyai suatu hak  untuk mengarahkan perilaku seseorang; 4) Kekuasaan rujukan (referent power) didasarkan kepada indentifikasi individu terhadap yang lainnya; 5) Kekuasaan pakar (expert power) didasarkan kepada pengakuan terhadap suatu pengetahuan atau kepakaran khusus.  Jadi, otoritas sebagai sala satu bentuk dari kekuasaan sosial berhubungan langsung dengan pelaksanaan kekuasaan legitimate, namun penting untuk mengapresiasi bahwa hubungan otoritatif dapat terkontaminasi oleh bentuk-bentuk kekuasaan lainnya.  
French dan Raven mengajukan beberapa hipotesis tentang dasar-dasar kekuasaan sosial. Untuk semua tipe kekuasaan sosial, semakin kuat dasar kekuasaan, semakin besar kekuasaannya.  Dasar kekuasaan terletak pada persepsi individu-individu bahwa sumber otoritas mempunyai kualitas ini atau itu.  Pada umumnya, setiap usaha untuk menggunakan kekuasaan sosial di luar jangkauannya cenderung untuk mereduksi efektivitas dari kekuasaan tersebut.  Dasar-dasar kekuasaan hadiah, tekanan, dan legitimate memberi fasilitas penerimaan terhadap hukum. Hadiah memperkuat kepatuhan dan kemungkinan penekanan seringkali memperlunak resistensi. 
Perlakuan klasik terhadap otoritas legitimate disampaikan oleh Max Weber (1947). Weber mendefinisikan, “koordinasi keharusan“ (imperative coordination) sebagai probabilitas bahwa perintah tertentu dari suatu sumber tertentu akan dipatuhi oleh kelompok atau perorangan tertentu.  Kepatuhan terhadap perintah dapat terletak pada berbagai pertimbangan, dari pesona sederhana (simple habituation) sampai kalkulasi keuntungan yang benar-benar rasional.  Namun ada suatu penyerahan tanpa syarat minimun yang berdasarkan kepada interest dalam kepatuhan.  Kepatuhan terhadap otoritas / pihak yang berwenang dapat didasarkan kepada adat (custom), ikatan-ikatan ketertarikan (affectual ties), atau kepada interest material yang kompleks, atau oleh yang disebut Weber sebagai “motif-motif ideal“. Interest yang sepenuhnya material ini  akan menghasilkan situasi yang tidak stabil, dan oleh karena itu harus diimbangi (must be supplemented) dengan elemen-elemen lainnya, baik yang afektual / ketertarikan sementara ataupun yang ideal.  Namun bahkan motif yang sangat kompleks ini tidak membentuk suatu dasar yang cukup handal untuk sistem kerjasama imperatif, sehingga elemen penting lainnya harus ditambahkan, yaitu kepercayaan terhadap legitimasi. 
Mengikuti Max Weber, ada 3 tipe ototitas legitimate, yaitu : tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Otoritas tradisional mendasarkan klaimnya atas legitimasi terhadap kepercayaan yang ada terhadap kesucian tradisi dan legitimasi terhadap status dari orang yang melaksanakan otoritas. Kewajiban kepatuhan tidak melulu hanya penerimaan terhadap legalitas dari suatu perintah impersonal, namun lebih kepada masalah kesetiaan personal.  “Aturan-aturan yang dituakan“ (rules of elders) adalah gambaran dari otoritas tradisional.   Otoritas karismatik (charismatic authority) mendasarkan klaimnya tentang legitimasi pada penyerahan diri terhadap kesucian yang spesifik dan luar biasa, heroisme, atau karakter khusus (exemplary character) dari seorang individu dan pola-pola normatif yang dikatakan atau diakui (revealed or ordained).  Pemimpin karismatik dipatuhi oleh kebaikan dari kepercayaan pribadinya (virtue of personal trust) dan terhadap pengakuannya (his or her revelation), atau terhadap kualitasnya yang luar biasa (his or her exemplary qualities).  Gambaran dari individual dengan otoritas karismatik termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, atau Mahatma Ghandi. 
Otoritas rasional-legal (rational-legal authority) mendasarkan klaimnya kepada legitimasi atau kepercayaan terhadap legalitas aturan-aturan normatif dan kepada hak-hak orang yang diangkat sebagai otoritas untuk mengeluarkan perintah di bawah aturan-aturan tertentu.  Dalam otoritas seperti itu, kepatuhan (obedience) ditujukan kepada perintah impersonal yang dilegalkan.  Individu-individu yang melaksanakan otoritas dari suatu jabatan ditunjukkan kepatuhan hanya melalui perintahnya yang legal-formal, dan di dalam ruang lingkup otoritas jabatannya. Otoritas legal tidak secara konsep berbeda dengan otoritas tradisional, walaupun perbedaannya sudah pasti ada. Dalam masyarakat modern, “legalitas“ merupakan komponen rasionalitas yang tidak dipunyai oleh otoritas tradisional.  Namun, dalam transisi menuju modernitas, khususnya pada abad ke-16 dan ke-17, otoritas semakin cenderung kepada rasionalisasi dari istilah-istilah legalistik dan kesukarelaan (voluntaristic).  Orang “rasional“ “secara sukarela“ membuat suatu “kontrak“, yang membuat perintah legal impersonal (impersonal legal order).  
2) Kekuatan Mengikat dari Hukum
Ada beberapa alasan mengapa hukum itu mengikat.  Dari suatu pernyataan bahwa hukum diambil dari alam untuk dipercayai bahwa hukum dihasilkan dari konsensus dari subjek-subjeknya yang mengikat. Jawaban yang segera dan sederhana adalah bahwa hukum itu mengikat karena kebanyakan orang di dalam masyarakat memandangnya demikian.  Kemengertian dan kesadaran terhadap hukum (the awareness and consciousness of law) oleh kebanyakan orang berfungsi sebagai dasar bagi eksistensinya.  Orang biasanya menyerahkan perilakunya kepada regulasi-regulasi, walaupun mereka mempunyai banyak alasan yang berbeda mengapa mereka demikian.  Beberapa orang mungkin percaya bahwa dengan mematuhi hukum, mereka mematuhi otoritas tertinggi dari hukum, yaitu : Tuhan, alam, atau kemauan masyarakat (Negley, 1965). 
Orang lainnya mengakui bahwa isi dari hukum adalah memerintahkan kepatuhan, yang pada gilirannya, dipandang sebagai suatu kewajiban (Ladd, 1970).  Hukum mencapai klaim terhadap kepatuhannya, dan sekurangnya sebagian dari kekuasaan kewajiban moralnya, dari suatu pengakuan sederhana yang diterimanya dari hukum, atau dari sebagian besar orang, kepada siapa hukum dimaksudkan untuk diterapkan. Pengakuan ini datang sebagai hasil dari kombinasi faktor-faktor, yang tidak mungkin untuk disebutkan secara tepat.  Dapat dibantah bahwa selain kepatuhan yang meluas dan adanya lembaga-lembaga yang menyarankan kepatuhan itu, selain untuk mendefinisikan dan menerapkan hukum, hal-hal lainnya (other ingredients) biasanya ada dan penting.  Antara lain, termasuk kepercayaan bahwa hukum tertentu adalah benar, atau bahwa rejim yang mendukungnya adalah baik dan harus didukung. Ada yang hampir yakin untuk memasukkan juga pengetahuan bahwa sebagian besar orang mematuhi hukum dan mengakuinya karena mempunyai klaim yang benar secara moral tentang perilaku mereka, atau sekurang-kurangnya, bahwa mereka berperilaku seolah-olah mereka merasa harus berperilaku seperti itu. 
Bahkan ketika hukum bertentangan dengan moralitas yang diterima, mereka seringkali dipatuhi. Pemusnahan lebih daripada 6 juta orang Yahudi di masa Nazi Jerman, adalah contoh yang paling ekstrim dari tindakan amoral yang diakui legal, yang dilaksanakan oleh ribuan orang atas nama kepatuhan terhadap hukum.  Stanley Milgram (1975: xii) mengatakan bahwa esensi kepatuhan terletak pada fakta bahwa individu-individu merasa diri mereka sendiri penting untuk mengimplementasikan keinginan orang-orang lainnya, dan mereka tidak lagi memandang diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap tindakannya.  Dalam banyak kejadian, penerimaan terhadap otoritas akan menghasilkan kepatuhan. Sebagai contoh, Milgram, yang tertarik dengan fenomena kepatuhan dan otoritas, telah menunjukkan bahwa orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh moral kepada orang-orang lainnya jika mereka diperintah oleh otoritas yang berwenang.  Di bawah penyamaran pelaksanaan percobaan tentang “efek-efek hukuman terhadap memori“, ia menemukan bahwa sekitar 2/3 dari subjek laboratoriumnya akan berperilaku dengan sukarela dengan cara yang mereka percaya akan menyakitkan atau merugikan orang lainnya.  Walaupun “korban“ menjerit kesakitan, terkena sakit jantung, dan mengemis untuk penghentian percobaan, kebanyakan orang akan terus mematuhi otoritas dan memberikan apa yang mereka percayai sebagai kejutan listrik bertenaga besar (Milgram, 1975).  Penelitian ini, selain menunjukkan bahwa kebanyakan orang di bawah kondisi tertentu akan melakukan apa saja walaupun melanggar norma-norma moralnya sendiri dan menyebabkan kesakitan terhadap orang yang lainnya, menggarisbawahi bahwa kebanyakan orang akan menyerahkan diri kepada otoritas, dan begitu pula kepada hukum. 
Salah satu alasan untuk kekuatan pengikat dari hukum adalah karena orang lebih suka keteraturan (order) daripada ketidakteraturan (disorder).  Individu-individu adalah makhluk kebiasaan karena cara hidup kebiasaannya memerlukan usaha yang kurang pribadi daripada yang lainnya dan memenuhi perasaan akan keamanan.  Kepatuhan terhadap hukum menjamin hal itu. Ada gunanya juga untuk mematuhi hukum, karena menghemat usaha dan resiko, suatu motivasi yang cukup untuk menghasilkan kepatuhan.  Kepatuhan terhadap hukum juga berkaitan dengan proses sosialisasi.  Orang pada umumnya dilahirkan untuk mematuhi hukum. Cara hidup yang legal menjadi cara kebiasaan dari hidup.  Dari masa kanak-kanak, seorang anak memperoleh pemahaman arti dari perintah dan aturan dari orangtua dan menjadi terbiasa karenanya.  Proses ini berulang di sekolah-sekolah dan di dalam masyarakat.  Semua itu akan memberikan – atau harus memberikan – partisipasi dari manusia yang dewasa.  Individu, katakanlah demikian, membentuk regulasi-regulasi ini dan membuatnya untuk diri mereka sendiri. Dalam prosesnya, disiplin telah diganti dengan disiplin terhadap diri sendiri.   
3) Sanksi-Sanksi
Sanksi-sanksi untuk ketidakpatuhan terhadap hukum adalah salah satu dari alasan mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat.  “Hukum mempunyai gigi, gigi yang dapat menggigit jika diperlukan, walaupun tidak perlu harus tajam“ (“The law has teeth, teeth that can bite if need be, although they need not necessarily be bared“) (Hoebel, 1954: 26).  Sanksi-sanksi adalah berhubungan dengan efikasi hukum yang diberikan agar menjamin pengamatan dan eksekusi dari mandat-mandat hukum, untuk menegakkan perilaku.  Sanksi-sanksi yang diakui dan digunakan oleh sistem hukum biasanya mempunyai ciri yang berbeda.  Dalam masyarakat primitif, sanksi bisa berbentuk hukuman yang kejam atau pemasungan sosial (social ostracism).  Di dalam sistem hukum yang sudah maju, administrasi dari sanksi-sanksi, sebagai aturan umum, dipercayakan kepada organ-organ pemerintahan politik.  Di antara cara untuk menetapkan penegakan hukum pemaksaan (coercive law enforcement) adalah hukuman denda atau pemenjaraan, hukuman pembayaran kerugian (imposition of damage awards) dapat dimasukkan ke dalam eksekusi properti dari si pengutang (judgement-debtor), perintah dari pengadilan tentang tindakan-tindakan tertentu atau penanggungan (forbearances) pada adanya ancaman hukuman, serta pencabutan (impeachment) dan pencopotan (removal) dari jabatan publik untuk penyimpangan kewajiban. Seperti yang dicatat oleh Hans Kelsen (1967: 35), ciri-ciri sanksi dalam sistem hukum modern telah di luar pelaksanaan melulu tekanan psikologis, dan mengotorisasi pelaksanaan tindakan-tindakan pemaksaan yang tidak menguntungkan, misalnya “pemaksaan pemasungan kehidupan, kebebasan, nilai-nilai ekonomis dan nilai-nilai lainnya sebagai konsekuensi dari kondisi-kondisi tertentu“. 
Robert B. Seidman (1978: 100) menggarisbawahi bahwa “hukum kurang lebih konsisten dengan aturan sosial yang ada yaitu tidak perlu tergantung kepada ancaman sanksi hukum untuk mengatur (to induce) perilaku“.  Namun, tidak semua hukum konsisten dengan aturan sosial yang ada, dan salah satu keuntungan hukum, sebagai agen perubahan sosial adalah, bahwa pelanggaran hukum potensial seringkali dicegah oleh risiko yang aktual ataupun yang dibayangkan dan oleh kekerasan sanksi-sanksi yang diterapkan kepada si pelanggar aturan (noncompliance). Bahkan ancaman sanksi dapat mencegah orang dari ketidakpatuhan.  Barangkali sanksi-sanksi sebagian juga bertindak dengan mengharuskan sikap moralistik menuju kepatuhan (Schwartz dan Orleans, 1970). 
Tipe sanksi-sanksi yang digunakan jelas beragam sesuai dengan maksud dan tujuan dari kebijakan hukum.  Perbedaan dasarnya adalah apakah maksud utama dari hukum adalah untuk mencegah individu-individu untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh orang-orang lainnya di dalam masyarakat karena bersifat merugikan (harmful) atau amoral, atau apakah maksud hukum adalah untuk menciptakan tipe baru dari hubungan-hubungan antar kelompok atau antar individu – jelas menjadi perbedaan utama dari kebijakan proskriptif dan positif (proscriptive and positive policy) (Grossman dan Grossman, 1971: 70).  Perbedaan ini tidak selalu sempurna.  Pembuatan kebijakan positif (positive policy-making) seringkali melibatkan sanksi-sanksi negatif dan juga hadiah positif, walaupun pembuatan kebijakan proskriptif (proscriptive policy-making) biasanya melibatkan sanksi-sanksi negatif.  Hadiah seperti kontrak federal atau subsidi seringkali merupakan bagian dari statuta regulatori yang berusaha untuk mengubah pola-pola yang sudah ada dari perilaku ekonomi, dan telah digunakan secara luas untuk insentif bagi yang patuh dengan Undang-Undang Desegregasi (undang-undang yang tidak membedakan lagi antara orang kulit putih dan orang kulit hitam pada tahun 1964 dan 1965 – penerjemah).  Mereka yang melanggar hukum tidak hanya kehilangan kesempatan untuk memperoleh hadiah namun juga bisa dijatuhi denda atau hukuman pidana. “Hukum atau statuta yang mencari perubahan sosial positif sebagian besar harus bergantung kepada pendidikan dan pembujukan (persuasion) dibandingkan dengan sanksi-sanksi negatif.  Agar pendekatan wortel dan pentungan (the carrot and stick approach) ini sukses, yang terakhir (yaitu pentungan) harus mudah dilihat dan jarang digunakan“ (Grossman dan Grossman, 1971: 70). 
Situasinya sangat berbeda bilamana perubahan yang dicari melalui hukum adalah pengurangan atau penghapusan perilaku yang menyimpang (deviant behaviors).  Dalam hal ini, hukum tidak memberikan hadiah atau insentif untuk membujuk (dissuade) individu-individu agar tidak melakukan tindakan menyimpang – hanya kemungkinan, jika tidak keyakinan, dari pendeteksian dan penghukuman.  Dalam hal seperti itu, penekannya adalah pada pencegahan (deterence), penghukuman, dan pembalasan (vengeance), dan tujuannya adalah penghapusan atau pengurangan tipe-tipe perilaku tertentu yang dipandang sebagai merugikan. 
Tentu saja ada keuntungan yang terlihat (discernible advantages) tambahan dari hukum dalam menciptakan perubahan sosial.  Sebagai contoh, hukum sebagai instrumen perubahan dapat secara efektif dilibatkan seperti dalam konteks yang dicatat oleh John Stuart Mills tentang hukum sebagai berikut :
(i) untuk mencapai tujuan yang sama yang tidak dapat ditinggalkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran – seperti pendidikan; (ii) untuk melindungi orang yang tidak dewasa dan tidak dapat dibantu; (iii) untuk mengontrol kekuasaan untuk membentuk asosiasi, yang dikelola tidak hanya oleh orang-orang yang secara langsung tertarik tetapi juga melalui lembaga yang didelegasikan; (iv) untuk melindungi individual yang bertindak sesuai dengan kasus-kasus dimana tindakan seperti itu tidak bisa efektif tanpa adanya sanksi-sanksi hukum; (v) untuk mencapai objek-objek yang penting di dalam masyarakat, saat ini dan di masa datang, yang berada di luar kekuasan individu-individu atau perkumpulan sukarela atau dimana, jika dibawah kekuasaan mereka, tidak akan dilakukan secara normal oleh mereka (Ginsberg, 1965: 230). 
Daftar dari keuntungan yang dapat dipikirkan dari hukum sebagai instrumen perubahan sosial tidak akan lengkap.  Apa yang telah dikatakan di sini sejauh ini adalah untuk mendemonstrasikan bahwa hukum mempunyai posisi yang khusus (peculiar) dan tidak sama (unparalleled) di antara agen-agen perubahan sosial.  Pada saat yang sama, mempunyai keterbatasan tertentu.  Suatu pengetahuan dan kesadaran tentang keterbatasan ini akan membantu untuk mengerti dengan sungguh-sungguh tentang peranan hukum dalam perubahan sosial, dan mereka harus diperhitungkan untuk digunakan oleh hukum dalam usahanya untuk mengubah.  
E. Kekurangan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial 
Dalam suatu periode dimana perubahan (alienation) dari hampir semua institusi sosial berjalan begitu cepat, ketika orang menderita “krisis kepercayaan“, kelihatannnya agak absurd untuk mengajukan ide bahwa hukum adalah suatu pernyataan keinginan dari masyarakat (an expression of the will of the people).  Untuk sebagian besar individu-individu, hukum berasal dari luar mereka, dan diterapkan terhadap mereka dalam suatu cara yang dapat disebut pemaksaan (coercive).  Dalam realitasnya, hanya sedikit individu yang benar-benar berpartisipasi dalam pembentukan hukum dan legislasi baru.  Sebagai akibatnya, salah satu kelemahan hukum sebagai salah satu instrumen perubahan sosial adalah kemungkinan adanya konflik kepentingan yang cenderung menentukan hukum mana yang akan digunakan dan alternatif-alternatif mana yang akan ditolak.  Salah satu kelemahan yang ada dari efikasi hukum sebagai suatu instrumen untuk perubahan sosial termasuk pandangan yang beragam mengenai hukum sebagai alat untuk mengarahkan perubahan sosial dan penegakan moralitas dan nilai-nilai.  Dalam halaman-halaman berikut, saya akan membahas kelemahan ini secara terpisah, dan kemudian memeriksa sejumlah kondisi yang kondusif untuk resistensi perubahan dari sudut pandang sosiologis, psikologis, budaya, dan ekonomi. 
Themis, “dewi keadilan yang ditutup matanya yang membawa timbangan untuk menimbang hal yang dipersengketakan dan sebuah pedang untuk menegakkan dekritnya“ (Besignore, et.al., 1974: 32) dihadapkan kepada suatu dilema, karena :
…kita semua menginginkan bumi. Kita semua mempunyai banyak keinginan dan permintaan yang ingin kita puaskan. Ada banyak dari kita namun hanya ada satu bumi. Keinginan dari yang satu secara terus-menerus bertentangan dengan atau bertabrakan dengan keinginan tetangganya. Oleh karena itu, ada tugas besar dari rekayasa sosial. Ada suatu tugas untuk membuat adanya barang-barang, alat-alat untuk memuaskan orang-orang yang hidup bersama di dalam suatu masyarakat yang terorganisir secara politis, jika mereka tidak dapat memuaskan semua keinginannya, sekurangnya terpenuhi sejauh mungkin (Pound, 1968: 64-65). 
Menurut Roscoe Pound, “sistem hukum dirancang untuk menentukan mana dari klaim yang saling bertentangan terhadap kekayaan materi dan ruang hidup yang akan diakui dan diamankan dan mana yang harus ditolak“ (Bonsignore, et.al.,1974: 32). 
Keinginan yang saling bertentangan muncul karena adanya kelangkaan.  Akses terhadap sumber daya yang terbatas dan objek yang sangat diminati, sangat terbatas di setiap masyarakat.  Dalam suatu perjuangan untuk mencapainya, beberapa individu dan kelompok menang, dan selainnya kalah. Beberapa dekade yang lalu, Max Weber telah mengenali, seperti juga Karl Marx sebelumnya, bahwa banyak hukum dibuat untuk memenuhi interest ekonomi tertentu.  Individu-individu yang mengontrol kepemilikan benda material umumnya diuntungkan oleh hukum karena “….interest ekonomi adalah di antara faktor pengaruh yang paling kuat dalam penciptaan hukum“ (Weber, 1968: 334). Weber selanjutnya mengenali interest khusus lainnya, selain faktor ekonomi, yang mempengaruhi penciptaan hukum. “Hukum menjamin tidak hanya interest ekonomi, tetapi juga interest-interest lainnya dari yang paling mendasar seperti perlindungan keamanan pribadi sampai barang yang paling ideal seperti kehormatan pribadi atau kehormatan dari kekuasaan yang tertinggi. Di atas semuanya itu, hukum menjamin posisi politik, kekhususan (ecclesiastical), keluarga dan posisi-posisi lainnya dari otoritas, begitu pula posisi kehormatan sosial (social preeminence) dan sejenisnya….“ (Weber,1968:333). 
Ada 2 pandangan penting yang termaktub dalam point yang diberikan oleh Weber.  Pertama, bahwa konflik kepentingan memberikan suatu kerangka dimana hukum diberi kerangka dan perubahan dijalankan.  Sebagai akibatnya, stratifikasi sosial di dalam masyarakat akan menentukan sejauh mana bagian dari hukum yang akan bermain dalam membawa perubahan didasarkan kepada pemilihan dan preferensi yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang memulai (promulgate) perubahan-perubahan itu. Kedua, berkaitan dengan signifikansi penggunaan kekuasaan untuk mendukung perubahan-perubahan ini.  Penelitian tentang proses-proses legislatif, judisial, dan adminstratif dalam suatu masyarakat dapat belajar dengan cepat terhadap suatu penemuan tentang siapa yang menginginkan kekuasaan dalam masyarakat, tetapi juga interest apa yang signifikan dan berpengaruh di dalam kelompok tersebut.  Jadi, hukum sebagai instrumen perubahan dapat dipandang dalam konteks organisasi kekuasaan dan proses-proses dimana interest diciptakan dalam kehidupan sosial sehari-hari; sehingga perubahan-perubahan yang dihasilkan dapat dievaluasi dalam istilah-istilah ini. 
Pada dasarnya sudahlah jelas, dapat dimengerti, dan bahkan tautologi (terbukti) bahwa orang atau kelompok yang berkuasa membuat dan menjalankan hukum di dalam masyarakat.  Jika sesuatu selesai dijalankan, hal itu karena ada seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankannya.  Pada saat yang sama, siapa yang berkuasa dan berpengaruh cenderung untuk menggunakan hukum untuk melindungi posisinya yang menguntungkan di dalam masyarakat dan bagi mereka  “….hukum yang sedang dijalankan menstrukturkan hubungan kekuasaan (atasan-bawahan) dalam suatu masyarakat; yang memelihara status quo dan melindungi berbagai strata terhadap ancaman yang lainnya“ (Hertzler, 1961: 421).
Banyak pengundangan legislatif, penetapan administratif, dan keputusan judisial merefleksikan konfigurasi kekuasaan di dalam masyarakat.  Beberapa kelompok dan asosiasi lebih berkuasa daripada yang lainnya, dan dengan merasa ada pada tengah-tengah kekuasaan mereka lebih mampu untuk melaksanakan interestnya daripada mereka yang ada di luar lingkup kekuasaan.  Bahkan anggota-anggota dari profesi hukum dipandang sebagai “profesional antara“ (“professional go-between“) bagi kelompok kepentingan politik, perusahaan, dan kelompok kepentingan yang lainnya, dan oleh karena itu berfungsi untuk “menyatukan elit kekuasaan“ (Mills, 1957: 289).  Selain itu, seperti telah saya bahas di Bab 3, banyak orang terlalu apatis atau tidak sadar adanya suatu issue, bahkan ketika mereka berubah menjadi perhatian terhadap issue tersebut, mereka seringkali tidak mampu untuk mengorganisasikan dan memaksakan pengaruhnya kepada legislator (orang atau lembaga yang membuat hukum).  Menurut penulis-penulis Marxist, hal itu akan berakibat dalam perasaan terpinggirkan dan ketidakberdayaan (a sense of alienation and powerlessness) disertai dengan perasaan tertekan dan dimanfaatkan (oppression and exploitation) (lihat, misalnya, Szymanski dan Goertzel, 1979).  
1) Hukum sebagai Instrumen Kebijakan
Aliran pemikiran lainnya mengenai keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial dikemukakan oleh Yehezkel Dror.  Ia mengatakan bahwa “hukum itu sendiri hanyalah salah satu dari komponen dari sejumlah besar instrumen kebijakan dan biasanya tidak dapat dan tidak digunakan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, memfokuskan perhatian terhadap hukum sebagai suatu alat untuk perubahan sosial adalah seperti kasus melihat di ujung terowongan yang panjang, yang mempunyai kekurangan dalam perspektif minimum yang diperlukan untuk memberi arti dari fenomena yang diamati“ (Dror, 1970: 554).  Ia menyarankan perlunya diredefinisikan subjek dari “hukum sebagai alat untuk perubahan sosial yang terarah“ dan untuk mempertimbangkannya sebagai bagian dari instrumen-instrumen kebijakan sosial yang lainnya, karena hukum adalah salah satu dari instrumen kebijakan yang harus digunakan berupa kombinasi dengan instrumen lainnya.  Dalam konteks masalah sosial seperti hubungan-hubungan rasial, keamanan publik, penyalahgunaan narkoba, polusi, dan semacamnya, “keharusan untuk menggunakan hukum sebagai suatu instrumen kebijakan yang digabungkan dengan instrumen kebijakan sosial lainnya yang dipertimbangkan secara hati-hati, adalah cukup meyakinkan“ (Dror, 1970: 555).  Pandangan ini tentulah mempunyai keuntungan.  Kadang-kadang, perubahan melalui hukum dapat dan haruslah dipandang sebagai suatu bahan dasar bagi kebijakan yang lebih besar.  Sebagai contoh, pengundangan Undang-Undang Peluang Ekonomi (the Economic Opportunity Act) mengambil tempat dalam konteks kebijakan yang lebih luas yang ditujukan untuk menghilangkan kemiskinan di Amerika Serikat. 
Namun, hukum sering digunakan sebagai suatu instrumen perubahan di luar konteks kerangka pembuatan kebijakan yang lebih luas.  Hal ini adalah situasi umum di dalam litigasi yang berorientasi reformasi dimana tujuannya adalah mengubah praktek kelembagaan tertentu.  Sebagai contoh, keputusan Mahkamah Agung (the Supreme Court) untuk membatalkan (to overrule) statuta aborsi di negara bagian tidak dijalankan menurut pertimbangan kebijakan tertentu, namun secara jelas mempunyai dampak besar terhadap perempuan-perempuan yang mencari cara untuk mengakhiri kehamilannya secara legal. Walaupun keputusan judisial umumnya tidak dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan, mengingat sifat kesulitan dari litigasi, reformasi legislatif dan administratif yang berurusan dengan issue-issue sosial yang lebih besar harus terjadi di dalam kerangka pembuatan kebijakan sosial yang lebih luas. Pendekatan seperti itu akan memperkuat secara nyata efikasi hukum sebagai suatu instrumen perubahan.  Pada akhirnya, Dror menyarankan adanya ahli hukum dari berbagai disiplin, para pakar ilmu sosial, dan analis kebijakan untuk terlibat di dalam penelitian-penelitian yang relevan dan mempersiapkan rekomendasi kebijakan. 
Literatur sosiologi mengakui, seperti yang dicatat oleh James P. Levine (1970: 592), bahwa kemampuan hukum untuk menghasilkan perubahan sosial adalah bersifat untung-untungan (probabilistic), darurat (contingent), dan terurut (sequential). Jika sebuah hukum diundangkan, atau suatu keputusan pengadilan dijatuhkan, adalah hampir mungkin bahwa perubahan-perubahan tertentu akan mengikuti, namun derajat perubahannya bersifat darurat terhadap keadaan-keadaan tertentu. Hukum bersifat sekuensial / terurut kepada suatu derajat bahwa ia harus mendahului perubahan-perubahan yang diinginkan tertentu, namun karena sejumlah besar faktor mempengaruhi perubahan, jeda waktunya (the time lag) tidak terlalu jelas. Selain itu, sejumlah faktor selain hukum mungkin mempunyai efek terhadap perubahan di bidang tertentu, yang berarti bahwa hubungan sebab akibat antara hukum dan perubahan sangatlah sulit untuk ditentukan.  Beberapa faktor ini berhubungan dengan jatuhnya moralitas dan nilai-nilai dalam masyarakat. 
Patrick Devlin (1965) berargumen bahwa suatu masyarakat berhutang tentang eksistensinya kurang kepada institusi-institusi namun lebih kepada moralitas bersama yang mengikat mereka bersama. Walaupun thesis ini hanya sebagian saja benar, moralitas dan nilai-nilai mempengaruhi efikasi hukum di dalam perubahan sosial.  Jelas bahwa, masyarakat tidak dapat eksis tanpa menerima nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip, dan standar-standar tertentu. Pada issue-issue tertentu, seperti kekerasan, kebenaran, kebebasan individu, dan kehormatan manusia, moralitas bersama sangatlah penting.  Namun hal ini tidak berarti bahwa, semua nilai-nilai dalam moralitas bersama kita adalah mendasar dan penting, atau turunnya satu nilai akan menyebabkan turunnya nilai-nilai yang lainnya.  Selain itu, tidak semua nilai-nilai kita adalah penting.  Aturan-aturan tentang properti, sebagai contoh, tidak penting : beberapa prinsip tentang properti adalah penting, namun tidak ada masyarakat yang perlu mempunyai prinsip tentang properti tersebut yang menjadi ciri dari prinsip-prinsip kepemilikan pribadi di Amerika Serikat, sebagai contohnya.  Suatu masyarakat dapat mempunyai semua properti yang sama tanpa hilang perhitungannya sebagai suatu masyarakat.    
F. Resistensi terhadap Perubahan 
Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial yang didiskusikan dalam seksi sebelumnya, efikasi hukum (begitu pula mekanisme perubahan lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai kekuatan.  Dalam dunia modern, situasi resisten terhadap perubahan lebih banyak terjadi daripada situasi menerima perubahan.  Seringkali perubahan dihambat karena perubahan bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau perubahan tertentu menyebabkan biaya besar, dan kadang-kadang orang bertahan terhadap perubahan karena hal itu bertentangan dengan kebiasaannya atau membuatnya merasa ketakutan atau terancam.  Walaupun hukum mempunyai keuntungan tertentu dibandingkan dengan agen perubahan lainnya, untuk mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah sangat membantu untuk mengidentifikasi beberapa kondisi umum dari resistensi terhadap hal –hal yang berkenaan dengan hukum.  Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efisien sebagai metode rekayasa sosial. 
Literatur sosiologi mengenai berbagai tendensi untuk menghambat perubahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai efek terhadap hukum sebagai suatu instrumen perubahan.  Maksud dari seksi ini adalah untuk mendiskusikan secara singkat, daripada untuk menganalisis secara mendalam, serangkaian kekuatan yang bertindak sebagai penghambat perubahan.  Demi untuk memperjelas, saya akan mempertimbangkan resistensi terhadap perubahan melalui hukum di dalam konteks faktor-faktor sosial, psikologi, budaya, dan ekonomi.  Kategori-kategori ini hanyalah ilustrasi belaka, dan perbedaan ini hanyalah untuk maksud analisis belaka, karena banyak faktor ini beroperasi dalam berbagai kombinasi dan intensitas yang berbeda-beda, tergantung kepada besaran dan ruang lingkup dari usaha perubahan tertentu.  Jelas bahwa, ada sejumlah tumpang tindih di antara faktor-faktor ini.  Mereka itu tidak saling terpisah, dan banyak di antaranya, tergantung kepada tujuannya, dapat ditentukan sebagai kategori yang berlainan.  
1) Faktor-Faktor Sosial
Ada sejumlah faktor-faktor sosial yang dapat digolongkan sebagai hambatan potensial bagi perubahan. Yaitu kelompok kepentingan (vested interest), kelas sosial, resistensi ideologi, sentimen moral, dan oposisi terorganisasi. 
Kelompok kepentingan (vested interest). Perubahan akan dihambat oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang ketakutan akan kehilangan kekuasaannya, prestisenya, ataupun kekayaannya, bila ada proposal / usulan baru yang diterima. Terdapat banyak tipe kelompok kepentingan kepada siapa status quo dapat diuntungkan dan dapat disukai.  Mahasiswa yang kuliah di universitas negeri mempunyai kelompok kepentingan dalam pendidikan tinggi yang dibayari oleh pajak.  Pengacara perceraian (divorce lawyers) membentuk suatu kelompok kepentingan, dan sejak lama telah berusaha keras untuk mereformasi hukum-hukum perceraian.  Dokter-dokter yang tidak setuju dengan berbagai macam “obat yang tersosialisasi“ (socialized medicine) membentuk suatu kelompok kepentingan. Warga dari suatu lokasi tempat tinggal (neighborhood) mengembangkan kelompok kepentingan di dalam lokasi tempat tinggalnya.  Mereka seringkali mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-perubahan zoning, jalan raya antar negara bagian (interstate highways), konstruksi fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga pemasyarakatan, atau penetapan bis untuk anak-anak mereka.  Pada kenyataannya hampir semua orang mempunyai kelompok kepentingan – dari orang-orang kaya yang dengan lembar pengecualian pajak sampai orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.  
Penerimaan terhadap hampir semua perubahan melalui hukum akan secara drastis mempengaruhi status dari beberapa individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat, dan pada suatu derajat dimana orang-orang yang statusnya terancam akan dengan sadar akan bahaya bila mereka melawan perubahan.  Sebagai contoh, Gregory Massell (1973) melaporkan bahwa usaha-usaha Soviet pada awal tahun 1920an di Asia Tengah untuk membujuk wanita muslim agar menyatakan kebebasannya terhadap dominasi pria dianggap oleh para pria sebagai mengamcam interest status tradisional mereka.  Para pria bereaksi dengan membentuk kelompok kontra revolusioner dan membunuh beberapa wanita yang patuh terhadap hukum-hukum baru itu. 
Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan pola-pola kasta pada umumnya cenderung untuk menghambat penerimaan perubahan.  Di masyarakat yang sangat terstratifikasi, orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil aturan-aturan (take orders) dari mereka yang ada pada posisi otoritas atau kekuasaan di atas.  Hak-hak prerogatif dari strata atas dijaga dengan irihati (jealously guarded) dan usaha-usaha untuk menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial ekonomi rendah sering dihambat dan disingkirkan.  (resented and repulsed).  Sebagai contoh, di bawah sistem kasta yang kaku di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta lainnya tidak boleh mengambil air dari sumur yang sama, pergi ke sekolah yang sama, makan bersama, atau bergaul secara bercampur (mingle).  Pada hampir semua kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan untuk mengagung-agungkan (cherish) cara-cara lama dalam melakukan sesuatu dan bersandar (adhere) kepada status quo. 
Di Amerika Serikat, mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelas pekerja cenderung untuk cepat menyetujui bahwa intervensi hukum diperlukan untuk memperkuat kondisi-kondisi sosial yang lebih baik (deleterious) seperti menjamin kemungkinan pekerjaan dan pemberian pelayanan kesehatan yang memadai (Beeghley, 1978: 114).  Kontras sekali dengan orang-orang kelas menengah atas yang cenderung untuk melawan intervensi pemerintah pada masalah ini.  Untuk program-program pemerintah lainnya (seperti bantuan pendidikan), perbedaan kelas cenderung untuk ditiadakan.  
Resistensi ideologi.  Resistensi perubahan melalui hukum berdasarkan ideologi sangatlah nyata.  Contoh bagus untuk kasus ini adalah perlawanan Gereja Katolik untuk legislasi dan keputusan pengadilan yang berkenaan dengan penghilangan beberapa pembatasan terhadap keluarga berencana dan aborsi.  Ilustrasi lainnya tentang resistensi ideologi (yang seiring sejalan dengan kelompok kepentingan) adalah oleh para profesional kedokteran tentang sesuatu yang menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat generik, termasuk pengundangan Undang-Undang Pelayanan Medis tahun 1965 (the Medicare Law of 1965)  (Allen, 1971: 278-279).  Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual dan religius dasar mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan, dan keamanan yang ada cenderung agak konsisten dan secara aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh (Vago, 1980: 229). 
Sentimen moral.  Ketakutan dan kecemasan (fear and apprehension) seringkali berhubungan dengan konsekuensi moral tentang penerimaan sesuatu yang bagus (accepting something novel). “Di sini resistensi umumnya mempunyai alasan untuk mengklaim bahwa yang baru melanggar dan begitu mengobrak-abrik prinsip atau resep moral, yang dipandang penting untuk tetap hidupnya sistem sosial atau kemanusiaan pada umumnya“ (La Piere, 1965: 179).  Sebagai contoh, hukum-hukum yang membuat kontrasepsi tersedia, dilawan di beberapa kelompok karena mereka melanggar kesucian hidup. Resistensi terhadap perubahan berdasarkan moral didasarkan fakta bahwa di setiap masyarakat, individu-individu kurang lebih telah tersosialisasi secara efektif ke dalam pertimbangan bahwa bentuk-bentuk perilaku (conduct) yang ada , khususnya yang bersifat organisasional, adalah satu-satunya yang benar dan tepat.  Dalam hal ini, ide-ide tentang benar dan tepat dimasukkan secara emosional ke dalam kepribadian (personality).  Perubahan yang akan menghasilkan kekacauan emosional akan dihambat.  
Oposisi terorganisasi. Kadang-kadang, resistensi individu-individu yang menyebar terhadap perubahan mungkin dapat dimobilisasikan ke dalam oposisi terorganisasi yang dapat berbentuk struktur organisasi formal. Sebagai contoh, Asosiasi Menembak Amerika (the American Riffle Association) melawan dikontrolnya penggunaan senjata, atau mungkin disalurkan lewat suatu gerakan sosial, sebagai contoh, aktivitas-aktivitas “pro-life“ akhir-akhir ini (pro-life, kelompok yang tidak setuju dengan tindakan aborsi – penerjemah).  Dalam masyarakat modern, dengan banyaknya organisasi informal dan formal yang bertentangan satu dengan yang lainnya, berbagai organisasi baru telah mengakibatkan ancaman tertentu bagi status quo.  Misalnya, anggota-anggota John Birch Society memperjuangkan berbagai macam perubahan sosial dari integrasi rasial sampai penerimaan dan perlindungan hukum terhadap pornografi. Sejalan dengan John Birch Society, munculnya kembali Ku Klux Klan didasarkan kepada adanya perlawanan publik terhadap perubahan sosial, namun terutama fokus kepada perubahan hubungan-hubungan rasial.  Organisasi-organisasi ini dan juga organisasi sejenis telah melawan perubahan yang sedang terjadi, dan walaupun kebanyakan dari mereka telah melawan namun kalah, efek penundaannya sering diperhitungkan.  Namun kadang-kadang ketika oposisi terorganisasi tentang perubahan melalui hukum tidak juga terjadi, akibatnya bisa sangat merusak.  Sebagai contoh, lebih daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh di dalam kamp konsentrasi selama Perang Dunia II sebagian karena mereka tidak mengorganisasikan perlawanan terhadap perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an di masa rezim Jerman Nazi. 
2) Faktor-Faktor Psikologis
Goodwin Watson (1969: 488) berpendapat bahwa “semua kekuatan yang berkontribusi terhadap stabilitas dalam personalitas atau di dalam sistem sosial dapat dianggap sebagai menghambat perubahan“.  Diskusi mendetail tentang kekuatan-kekuatan ini jelas ada di luar ruang lingkup dari buku ini. Untuk maksud di dalam buku ini saya hanya akan membahas mengenai : kebiasaan, motivasi, keacuhan, persepsi selektif, dan pengembangan moral. 
Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu asal muasal dari perubahan adalah masalah kebiasaan saja.  Ketika suatu kebiasaan telah terbentuk, operasinya seringkali memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi terbiasa berperilaku atau bertindak dalam tatakrama tertentu dan mereka akan merasa nyaman dengan semua itu. Sekali suatu bentuk perilaku tertentu menjadi rutin dan terbiasa, hal itu akan memberi perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff (1957: 62) berpendapat bahwa adat (customs) dari suatu masyarakat adalah kebiasaan kolektif; khususnya ketika sentimen melebihi adat, yaitu adat terlalu lambat ketika ada perlawanan terhadap suatu ide atau praktek tertentu. Untuk menggambarkan satu contoh, usaha untuk mengenalkan „sistem metriks“ telah menemui perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah pengukuran berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume dalam “liter“; yang berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya yaitu berat dalam “pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“ – penerjemah).  Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa tidak nyaman dengan “kilometer“; kita lebih suka mengukur dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu “liter“.  Ketika hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju kepatuhan yang dapat diterima akan memerlukan suatu reorientasi aktif terhadap nilai-nilai dan perilaku-perilaku dari sebagian besar populasi yang menjadi target (Zimring dan Hawkins, 1975: 331). 
Motivasi. Penerimaan perubahan melalui hukum juga dipersyaratkan oleh kekuatan motivasi.  Beberapa motivasi adalah berbentuk budaya, dalam arti kehadirannya atau ketidakhadirannya menjadi ciri dari suatu kebudayaan.  Misalnya, kepercayaan agama di beberapa kebudayaan memberikan motivasi-motivasi untuk sejenis perubahan tertentu, sementara di kebudayaan yang lainnya movitasi ini terpusat kepada status quo.  Jenis-jenis motivasi lainnya lebih bersifat universal, atau hampir universal, karena melintas antar masyarakat dan antar kebudayaan (Foster, 1973: 152).  Contoh-contoh dari motivasi ini termasuk keinginan untuk prestise atau untuk pencapaian ekonomi dan niat untuk patuh dengan kewajiban pertemanan (friendship obligation).  Perubahan-perubahan yang mungkin mengancam keinginan untuk pencapaian ekonomi atau ketertarikan akan prestise dan status tinggi pada umumnya akan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam dan kemungkinan besar akan dilawan.  
Keacuhan (ignorance). Keacuhan adalah faktor psikologis lainnya yang berhubungan dengan penghambatan perubahan.  Kadang-kadang, keacuhan muncul bersamaan dengan ketakutan akan datangnya hal-hal baru.  Hal ini seringkali benar dalam kasus adanya makanan-makanan baru. Beberapa tahun yang lalu, banyak orang beranggapan bahwa buah sitrus / jeruk membawa sejenis asam dalam organ pencernaan.  Ketika terbukti tidak benar, resistensi berdasarkan masalah asam ini hilang dengan sendirinya.  Keacuhan bisa menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan (noncompliance) terhadap hukum yang dirancang untuk mengurangi praktek-praktek diskriminasi.  Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan (employers) seringkali mengamati orang-orang non kulit putih sebagai kelompok relatif terhadap orang kulit putih dan kemudian berdasarkan pengamatan tersebut segan untuk merekrut individu yang non kulit putih (Beeghley, 1978: 242).  Keacuhan tidak diragukan lagi sebagai faktor yang penting dalam prasangka (prejudice) ketika perilaku yang ada terlalu kuat dan tidak lentur (inflexible) yang secara serius merusak persepsi dan pertimbangan.  
Persepsi. Hukum, menurut rancangan dan maksudnya, cenderung untuk universal.  Namun persepsi tentang maksud adanya hukum (intent of the law), adalah selektif menurut variabel-variabel ekonomi, budaya, dan demografis.  Pola unik dari kebutuhan, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai orang diturunkan melalui sosialisasi menentukan apa yang mereka akan perhatikan secara selektif, apa yang mereka akan terjemahkan secara selektif, dan apa yang akan mereka lakukan secara selektif.  Pada umumnya orang akan lebih bisa menerima ide-ide baru jika itu berhubungan dengan interestnya, konsisten dengan sikapnya, sejalan dengan kepercayaannya, dan mendukung nilai-nilainya.  Persepsi yang berlainan dengan maksud hukum dapat menghambat perubahan.  Sebagai contoh, di India berkat hukum distribusi tentang informasi dan pasokan barang-barang keluarga berencana dapat dilakukan. Namun penggunaan kontrasepsi masih banyak ditentang oleh orang-orang di pedesaan India karena mereka berpikir hukum bermaksud untuk menghentikan sama sekali kelahiran bayi-bayi baru.  Di Amerika Serikat, pemberian “fluor“ (zat pemutih – penerjemah) di dalam air PAM dianggap perbuatan “konspirasi komunis“ dan oleh karena itu banyak ditentang di banyak masyarakat pada waktu itu. 
Bagaimana cara hukum ditulis, seperti telah saya bahas sebelumnya, juga mempengaruhi persepsi orang. Sebagai contoh, dalam tahap awalnya banyak hukum tentang hak persamaan rasial (civil rights laws) yang ambigu dan lemah.  Keputusan Brown adalah contohnya.  Menyebut usaha “desegregasi“ (tidak memisahkan antara kulit putih dan kulit hitam di sekolah-sekolah – penerjemah) “dengan kecepatan yang setinggi-tingginya“ (“with all deliberate speed“) adalah terlalu tidak jelas (too vague), terlalu tidak tegas (too indifinite) untuk membuat perubahan yang berarti, “Keambiguan selalu tergantung kepada persepsi individu“ (Rodgers dan Bullock, 1972: 199), dan individu-individu akan menginterpretasikan dan menerjemahkan arti dari hukum sesuai dengan keuntungan yang akan diterimanya.   
Pengembangan moral.  Pada dasarnya, kepatuhan (obedience) terhadap hukum berasal dari suatu perasaan kewajiban moral (a sense of moral obligation), sebagai produk dari sosialisasi.  Namun hanya di akhir-akhir ini saja, ada semacam kesadaran terhadap aturan-aturan moral yang tidak harus dikaitkan dengan standar konvensional eksternal tentang perilaku baik dan buruk, namun secara internal menggambarkan prinsip-prinsip konsisten dimana orang mengatur kehidupannya. 
Barangkali peneliti yang telah bekerja keras meneliti tentang pengembangan moral adalah Lawrence Kohlberg (1964: 1967).  Ia menggarisbawahi tentang 6 tahap pengembangan moral.  Tahap pertama, digambarkan sebagai arahan “kepatuhan dan hukuman“ (“obedience and punishment“ orientation). Tahap ini mencakup “kepedulian terhadap kekuatan atau prestise atasan / pemimpin“ dan tentang suatu arahan untuk menghindari masalah.  Tahap kedua, “relativisme instrumental“ dicirikan oleh pendapat berlawanan yang naif (naive notion od reciprocity).  Dengan arahan ini, orang akan berusaha untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dengan negosiasi sederhana dengan orang-orang lainnya atau dengan bentuk primitif dari persamaan derajat (equalitarianism).  Ia menyebut kedua tahap ini sebagai “premoral“. Tahap ketiga, disebut “persetujuan pribadi“ (“personal concodance“), adalah suatu arahan yang didasarkan kepada persetujuan dan pemuasan pihak-pihak lainnya (based on approval and pleasing others).  Hal itu dicirikan dengan kepatuhan (conformity) terhadap kepercayaan mayoritas. Orang seperti ini patuh terhadap norma-norma yang dianut banyak orang (such people adhere to what they consider to be prevailing norms).  Tahap keempat adalah tahap “hukum dan keteraturan“ (“law and order“ stage). Orang dengan arahan seperti ini bertekad (committed) untuk “melakukan tugasnya“ (doing their duty), dan menghargai orang yang mempunyai wewenang.  Tahap ketiga dan keempat bila digabung memberntuk arahan moral konvensional. 
Tahap kelima dan keenam menunjukkan arahan prinsip internalisasi (the internalized-principle orientation). Kohlberg menyebut tahap kelima sebagai tahap “kontrak sosial“ (“social contract“ stage); yang mencakup arahan legalistik. Komitmen dipandang sebagai istilah-istilah kontrak, dan orang di dalam tahap ini akan menghindari  usaha-usaha untuk menggagalkan persetujuan implisit dan eksplisit.  Tahap terakhir dan tertinggi dari pengembangan moral adalah “prinsip-prinsip individu“ (“individual principle“). Tahap ini menekankan kesadaran (conscience), kepercayaan bersama (mutual trust), dan penghargaan (respect) sebagai pemandu prinsip-prinsip perilaku. 
Jika teori pengembangan yang diajukan oleh Kohlberg benar, hukum kurang lebih terbatas tergantung kepada tahap pengembangan moral dari anggota-anggota suatu masyarakat.  Dalam konteks ini, David J. Danelski (1974: 14-15) menyarankan bahwa pertimbangan kuantitatif dan kualitatif adalah sama pentingnya. Kita ingin tahu tahap modal (modal stage) dari pengembangan moral dari kaum elit, warganegara rata-rata, dan kelompok-kelompok terpinggirkan.  Jika kebanyakan anggota masyarakat berada pada tahap pertama dan kedua dari tahap pengembangan moral, penegakan institusional sangatlah penting untuk memelihara keteraturan dan keamanan.  Hukum akan sedikit terbatasi jika kebanyakan anggota masyarakat berada pada tahap ketiga dan keempat dari tahap pengembangan moral. Hukum pada tahap kelima dan keenam mungkin lebih terbatas daripada pada tahap ketiga dan keempat, “namun akan menjadi kebalikannya jika dipandang disetujui secara demokratis dan konsisten dengan prinsip-prinsip individu tentang kesadaran. Jika tidak, kemungkinan hukum akan lebih terbatas“ (Danelski, 1974: 15).  Dengan kata lain, batasan-batasan hukum adalah tidak linear (curvilinear) dengan istilah-istilah pengembangan moral.   
3) Faktor-Faktor Budaya
Ketika perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan terancam, resistensi terhadap perubahan biasanya sangat kuat, seringkali berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai tradisional.  Status quo dilindungi tapi perubahan dihambat.  Sebagai contoh, pada orang Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius tradisionalnya, menolak hukum yang mengancam perkawinan poligami mereka.  Begitu pula di India, ketika kelaparan adalah suatu masalah besar, lebih dari 3 juta sapi yang disucikan oleh orang Hindu tidak hanya diampuni untuk disembelih untuk dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk berjalan-jalan di desa dan tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan kerusakan tanaman pangan yang parah.  Makan daging sapi akan bertentangan dengan kepercayaan tradisional mereka, dan sebagai hasilnya adalah tidak mungkin untuk memelihara sapi untuk dijadikan daging untuk makanan di India.  Faktor-faktor budaya lainnya juga bertindak seringkali sebagai penghambat perubahan, termasuk fatalisme, etnosentrisme, pendapat ketidakcocokan, dan superstisi / tabu. 
Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya yang mendukung kepercayaan bahwa orang tidak mempunyai sebab akibat dari masa depannya atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seperti ini untuk menggunakan pupuk, atau untuk menyimpan benih terbaik untuk ditanam, karena orang hanya bertanggung jawab untuk kinerja / kerja saja, dan adalah tanggung jawab Tuhan (the divine) untuk suksesnya sebuah tindakan“ (Mead, 1953: 201).  Pada dasarnya, fatalisme adalah suatu perasaan tentang kurangnya penguasaan terhadap alam.  Orang tidak mempunyai kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan semua hal yang terjadi pada mereka karena Tuhan atau karena makhluk jahat.  Pandangan fatalistik seperti itu tentu saja menghambat perubahan, karena perubahan dianggap sebagai disebabkan oleh manusia (human-initiated) dan bukan berasal dari Tuhan (having a divine origin).  
Etnosentrisme.  Banyak sub kelompok di masyarakat memandang mereka sendiri sebagai “superior“, satu-satunya yang memiliki hak tentang cara berpikir tentang dunia dan cara memperlakukan lingkungan.  Perasaan superioritas terhadap suatu kelompok akan membuat orang untuk tidak bisa menerima (unreceptive) ide-ide dan metode-metode yang digunakan di kelompok-kelompok lainnya. Sebagai hasilnya, etnosentrisme seringkali menyebabkan orang (a bulwark) tidak setuju dengan perubahan.  Sebagai contoh, perasaan superioritas seperti itu oleh orang-orang kulit putih telah menghambat usaha-usaha integrasi dalam hal perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.   
Ketidakcocokan (incompatibility).  Ketidaksetujuan terhadap perubahan sering dikarenakan karena di kelompok target terdapat material dan sistem yang, atau dipandang sebagai, tidak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru.  Ketika ketidakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan menemui kesulitan.  Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis (berTuhan banyak).  Orang monotheis dapat menerima suatu nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the previous incumbent), yang akan meminta banyak pengorbanan dari mereka.  Untuk menggambarkan hal ini, orang Indian Navajo telah tidak setuju terhadap Kristianiti karena kepercayaan agama mereka tidak cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94).  Salah satu contoh konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law) yang diundangkan di Israel dalam suatu usaha untuk memulai perubahan di dalam populasi imigran melalui hukum.  Hukum tersebut menyebutkan umur 17 tahun sebagai umur minimum untuk perkawinan kecuali adanya kehamilan, dan memberikan sanksi pidana bagi seseorang yang mengawini seorang gadis di bawah umur 17 tahun tanpa persetujuan pengadilan negeri.  Dengan menset umur minimum 17 tahun, hukum berusaha untuk memberlakukan suatu aturan perilaku yang tidak cocok dengan adat dan kebiasaan dari beberapa seksi dari populasi orang Yahudi Israel yang datang dari negara-negara Arab dan negara-negara Timur (Rusia, Polandia, dsb – penerjemah), dimana perkawinan biasanya dilaksanakan sebelum umur 17 tahun.  Tindakan itu hanya mempunyai efek terbatas, dari masyarakat yang sebelumnya membolehkan perkawinan dari perempuan yang belum berumur 17 tahun (Dror, 1968: 678).  
Superstisi / tabu. Supestisi didefinisikan sebagai suatu penerimaan tidak kritis dari suatu kepercayaan yang tidak didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang, supestisi bertindak sebagai penghambat perubahan.  Sebagai contoh, di suatu situasi di Rhodesia, usaha-usaha pendidikan nutrisi terhambat karena fakta bahwa banyak perempuan yang tidak makan telur.  Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur menyebabkan ketidaksuburan / infertilitas, membuat bayi botak, dan membuat wanita menjadi sulit hamil (promiscuous).  Begitu pula, di Filipina, ada suatu kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan penyakit lepra.  Di beberapa tempat, wanita hamil tidak diberi makan telur karena bayinya akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi, seorang bayi tidak akan diberi air untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena kualitas “dingin“ dari air akan merusak perimbangan panas si bayi.  Di beberapa bagian dari Ghana, anak-anak tidak boleh makan daging atau ikan karena dipercaya daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut (Foster, 1973: 103-104).  Jelas bahwa, jika ada kepercayaan superstisi, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau agen-agen lainnya akan menemui hambatan.  
4) Faktor-Faktor Ekonomi
Walaupun di masyarakat yang kaya raya (affluent society), sumberdaya ekonomi yang terbatas berfungsi sebagai hambatan terhadap perubahan yang mestinya telah diadopsi.  Sebagai contoh, di Amerika Serikat, hampir setiap orang akan menerima kesiapan untuk adanya kontrol yang efektif terhadap polusi, sistem transportasi publik yang lebih murah dan lebih nyaman, program kesejahteraan yang efektif, dan pelayanan kesehatan yang cukup bagi semua.  Fakta bahwa perubahan dalam bidang ini sangatlah lambat tidak hanya karena masalah prioritas, namun juga masalah biaya.  Biaya dan sumberdaya ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat berakibat memberikan sumber hambatan terhadap perubahan. 
Ada suatu kebenaran (truism) seperti yang terjadi pada hal-hal lainnya, yaitu perubahan melalui hukum mempunyai biayanya sendiri.  Dalam banyak hal, interpretasi legislasi, putusan administratif, atau penetapan pengadilan, membawa harganya sendiri-sendiri.  Sebagai contoh, dampak ekonomis dari regulasi federal tentang institusi pendidikan tinggi sangatlah signifikan.  Berbagai program tindakan afirmative (affirmative action program, yaitu program yang tidak membeda-bedakan orang berdasarkan ras, golongan, jenis kelamin, dan agama – penerjemah), mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan dana dari pemerintah federal terhadap institusi-institusi yang tidak patuh terhadap hukum anti pembedaan (the anti-bias law).  Pada gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan meningkatnya biaya administratif pada institusi-institusi pendidikan tinggi (karena banyak orang kulit hitam berasal dari keluarga tidak mampu sehingga ada subsidi silang dalam biaya operasional sekolah – penerjemah).  Philip Boffey (1975) membahas suatu penelitian terhadap 6 institusi untuk menentukan  dampak ekonomis dari regulasi federal terhadap anggaran operasi institusi.  Penelitian tersebut memperhatikan dampak dan biaya finansial dari syarat-syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak (the Civil Rights Act), Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal Pay Act), Program Tindakan Persamaan (the Affirmative Action Program) berdasarkan perintah eksekutif (semacam Perpres – penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan, Undang-Undang Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the Occupational Safety and Health Act) tahun 1970, undang-undang upah minimum, asuransi pengangguran / jaring pengaman sosial, dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the Environment Protection Law) terhadap pengeluaran operasional universitas.  Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan beberapa regulasi yang terkait akan minimal pada universitas, namun secara kolektif dampaknya cukup terasa.  Dari 6 kolege dan universitas yang diteliti, kenaikan total anggaran operasional selama satu dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan regulasi federal bervariasi dari 1 sampai 4 persen. Biaya ini relatif kecil dibandingkan dengan total anggaran operasional institusi, namun relatif cukup besar terhadap defisit operasional yang dialami oleh beberapa institusi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan lebih besar daripada anggaran dari beberapa departemen akademis yang akan sangat langka melalui perpindahan (shifts) dalam prioritas anggaran institusi.  Selama periode 10 tahun penelitian, biaya yang ditimbulkan oleh kepatuhan terhadap regulasi federal adalah 20 kali lebih besar (Boffey, 1975: 445).  Peningkatan biaya ekonomi terkait dengan kepatuhan banyak ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang mempengaruhi pendidikan tinggi diubah. 
Selain adanya biaya langsung terhadap usaha perubahan tertentu, bagaimana biaya dan manfaat didistribusikan juga mempengaruhi resistensi. Sebagai contoh, ketika biaya dan manfaat didistribusikan secara meluas seperti dalam Jaring Pengaman Sosial (Social Security), maka resistensi terhadap program akan minimal.  Biaya untuk setiap pembayar pajak akan relatif kecil, sedangkan keuntungannya akan disebarkan secara meluas “sehingga mereka hampir seperti barang kolektif; yang berhak akan menikmati keuntungannya, namun hanya membutuhkan sedikit kontribusi terhadap retensi / batasan pertumbuhannya“ (Handler, 1978: 15).  Resistensi akan ada pada situasi dimana keuntungan didistribusikan sementara biaya dikonsentrasikan.  Sebagai contoh, pabrik mobil melawan walaupun tidak sukses, terhadap usaha hukum untuk mewajibkan adanya alat pengendali polusi pada mobil. 
Walaupun suatu perubahan tertentu melalui hukum mungkin diinginkan, seperti rencana asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang efektif dan komprehensif, terbatasnya sumberdaya ekonomi seringkali bertindak sebagai penghambat dari usaha-usaha perubahan sosial.  Dari empat sumber resistensi terhadap perubahan, faktor ekonomi adalah faktor yang paling menentukan (the most decisive).  Tidak peduli keinginan untuk berubah, kecocokannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan dari penerima keuntungan dan banyak pertimbangan lainnya, hal itu akan menimbulkan resistensi jika pengorbanan ekonomi terlalu besar.  Dengan kata lain, tidak peduli seberapa banyak orang dalam masyarakat ingin sesuatu, jika mereka tidak bisa membayarnya, kemungkinan besar mereka tidak akan dapat menerimanya. Sesuai dengan yang disarankan oleh George M. Foster (1973: 78) : “Hambatan-hambatan budaya, sosial, dan psikologi dan rangsangan terhadap perubahan ada di suatu seting ekonomi… (dan) faktor-faktor ekonomi….kelihatannya telah menset batasan absolut untuk perubahan…“..  
G. Kesimpulan 
Perubahan sosial terjadi dengan seketika – walaupun dengan laju yang berbeda-beda – pada masyarakat kontemporer, dan hal itu mempengaruhi kehidupan individu-individu dalam berbagai cara.  Perubahan di dalam masyarakat adalah suatu produk dari berbagai faktor dan dalam banyak kasus adanya keterkaitan atau faktor-faktor tersebut.  Selain hukum, ada sejumlah mekanisme tentang perubahan sosial.  Semua mekanisme ini saling terkait, dan kita harus hati-hati untuk tidak memberikan bobot yang sama kepada salah satu dari “penyebab“ ini. 
Hukum adalah peubah / variabel bebas dan peubah tak bebas di dalam perubahan sosial.  Hubungan antara hukum dan perubahan masih kontroversial.  Beberapa orang berpendapat bahwa hukum adalah reaktor / akibat dari perubahan sosial, sedangkan orang-orang lainnya berargumen bahwa hukum adalah inisiator / sebab dari perubahan sosial. Dalam banyak bidang kehidupan, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah digadang-gadang sebagai instrumen perubahan.  Hukum mempengaruhi perubahan sosial secara langsung maupun tidak langsung.  Hukum mendefinisikan kembali aturan normatif, memperluas hak-hak formal, dan digunakan untuk maksud-maksud perencanaan.


Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013