Hukum dan Kontrol Sosial
Hukum dan
Kontrol Sosial
Semua masyarakat dan
semua kelompok sosial mempunyai mekanisme untuk menjamin ketaatan (conformity)
terhadap norma-norma, yang disebut mekanisme kontrol sosial. Kontrol
social berarti proses-proses dan metode-metode yang digunakan oleh
anggota-anggota sebuah masyarakat atau suatu kelompok untuk memelihara
keteraturan / kedamaian sosial (social order) dengan penegakan perilaku
yang telah disepakati. Fokus bab ini adalah tentang kontrol sosial
melalui hukum yang berlaku ketika bentuk-bentuk lain dari mekanisme kontrol
sosial tidak aktif atau tidak ada. Bab ini membahas proses-proses dari kontrol
sosial dan penggunaan sanksi kejahatan dan komitmen sipil untuk mengontrol
perilaku yang menyimpang (deviant behavior). Penekanan khusus
pada “kejahatan tanpa korban” (crimes without victims, seperti :
kecanduan obat, prostitusi dan perjudian), kejahatan kerah putih (white-collar
crime), dan kontrol terhadap pembangkang (control of dissent). Hukum
administratif sebagai suatu cara untuk mengontrol, akan didiskusikan dalam
konteks lisensi, inspeksi, dan ancaman untuk dipublikasi.
Kontrol sosial
dipandang sebagai “pusat fakta dan pusat masalah” dari masyarakat. Masyarakat
dimanapun berada adalah organisasi yang terkontrol. Fungsinya adalah
mengorganisasikan, menginterpretasikan dan mengarahkan energi-energi yang
terletak pada individu-individu yang membentuknya” (Park, dikutip oleh Turner,
1967:XI). Para pakar sosiologi umumnya membedakan antara 2 proses kontrol
sosial atas dasar : (1) internalisasi (pengenalan) dari norma-norma kelompok
ketika kepatuhan (conformity) dijamin melalui sosialisasi (yaitu, proses dimana
individu-individu mengenalkan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu
masyarakat); dan (2) reaksi sosial terhadap tekanan-tekanan dari luar (external
pressure) dalam bentuk sanksi terhadap yang lainnya dalam kasus ketidakpatuhan
terhadap norma-norma, baik yang diantisipasi maupun yang
aktual. Kontrol sosial melalui internalisasi dari norma-norma
kelompok adalah hasil dari sosialisasi dimana individu-individu memperoleh
motivasi untuk patuh walaupun ada tekanan dari luar. Seperti yang
dijelaskan oleh Marshall B. Clinnard dan Robert F. Meier (1979: 19), mekanisme
dari kontrol sosial, seperti adat (customs), kepercayaan (beliefs),
tradisi-tradisi, sikap-sikap, dan nilai-nilai, umumnya diperoleh melalui
interaksi antar orang-orang dalam jangka waktu yang lama. Fakta bahwa hampir
semua suami tidak membunuh isterinya, bukan karena terletak pada besarnya
tingkat hukuman untuk pelaku tindak pidana pembunuhan; kebanyakan pengemudi
tetap berada di sebelah kanan dari jalan (di Amerika, mobil jalan di sebelah
kanan – penerjemah) tidak sepenuhnya karena yang lainnya akan memandang cara
pengemudi mereka sebagai illegal; dan para peminum minuman alkohol tidak
semuanya mabuk karena tetangga-tetangga akan bergosip. Ada kepatuhan
terhadap norma-norma karena individu-individu telah tersosialisai untuk percaya
bahwa mereka harus patuh, tidak peduli atau bebas dari reaksi antisipasi dari orang-orang
lainnya di dalam masyarakat.
Mekanisme kontrol
sosial melalui tekanan eksternal meliputi sanksi positif dan negatif.
Sanksi-sanksi ini dapat berupa sanksi formal dan sanksi
informal. Kontrol informal seperti gossip, olok-olok (ridicule),
atau menghalang-halangi (obstracism), adalah sejenis tindakan tidak resmi dari
kelompok. Tindakan resmi atau kontrol formal seperti penggunaan hukum yang
diturunkan dari lembaga sosial kemasyarakatan yang dibuat untuk melaksanakan
fungsi-fungsi dari masyarakat. Clinard dan Meier (1979: 10,20) mencatat bahwa
kontrol ini melekat (embedded) ke struktur formal dari masyarakat, dan didukung
oleh semacam kepercayaan, idealisme, adat, prasangka (conviction), sikap, dan
opini yang masing-masing sebenarnya adalah kontrol informal. “Dalam
hal ini kontrol informal dan formal tidak dapat dipandang sebagai dua hal yang
sama sekali terpisah”. Mereka merujuk pada suatu penelitian yang dilakukan oleh
H.D. Willcock dan J. Stokes, yang menemukan (menyimpulkan) bahwa di antara sample
yang terdiri dari 800 remaja laki-laki, perhatian lebih besar dari mereka
adalah tentang bagaimana keluarga mereka akan berpikir tentang mereka daripada
apakah mereka telah pernah ditahan oleh polisi dan diberikan hukuman
formal. Temuan ini menyarankan bahwa walaupun sanksi formal mungkin
mempunyai efek tersendiri terhadap perilaku dari individu-individu, namun
kombinasi sanksi formal dengan sanksi informal adalah jauh lebih penting.
Pernyataan
(proposition) bahwa lembaga-lembaga sosial utama seperti keluarga, sistem
pendidikan, agama, sistem ekonomi, dan hukum adalah lembaga-lembaga utama
kontrol sosial telah lama diterima oleh para ahli sosiologi (Newman, 1976: 21).
Lembaga-lembaga ini adalah cara yang benar / terstruktur dimana kontrol sosial
dipertahankan. Formalitas dari struktur sangat bervariasi dari
sangat tidak formal (keluarga) ke sangat formal dan ritualistik (hukum
pidana). Namun, setiap lembaga tersebut memainkan peranan yang
penting untuk memelihara kedamaian (order maintenance). Setiap
masyarakat mempunyai lembaga seperti itu dimana kontrol sosial
dipertahankan.
Selain itu, di suatu
masyarakat tertentu bentuk dari kontrol sosial akan sangat bervariasi dari
waktu ke waktu. Sebagai contoh, David J. Rothman (1971) telah
menunjukkan dalam penelitiannya tentang pencari suaka di Amerika Serikat
tentang bagaimana, dalam teori dan praktek, persepsi dan hubungan antara
penyimpangan (deviance) dan kepatuhan (dependency) telah berubah sesuai dengan
perkembangan ekonomi, intelektual, dan demografi. Bilamana di masa
penjajahan (colonial period) alat yang biasanya digunakan untuk mengontrol
orang-orang yang sakit jiwa bersifat informal (dimana individu yang
bermasalah akan dipertahankan di dalam masyarakat), maka di era Amerika masa
Jacksonian digunakanlah tempat khusus yang terpisah dari masyarakat (asylum).
Lembaga formal yang sangat diatur (regularized) yang umumnya terletak di luar
masyarakat, berakibat menjadi hal pertama dan bukan hal terakhir (first resort
and not last resort) untuk menangani pasien cacat mental / sakit
jiwa. Rothman juga menggambarkan bahwa proses yang ironis dimana
harapan humanitarian awal untuk mereformasi individual dalam ruang tahanan
(asylum) menghadapi batasan-batasan kelembagaan dan tekanan-tekanan yang berakibat
pada tempat yang melulu untuk penahanan narapidana daripada tempat rehabilitasi
seperti yang direncanakan semula. Mekanisme kontrol sosial juga dapat
dibandingkan dan dikontraskan (compared and contrasted) dalam hal
isinya. Dalam istilah konkretnya, reaksi umum terhadap orang yang
berperilaku menyimpang (deviance) dan melanggar aturan dapat menyebabkan
diterimanya sanksi informal atau formal. Walaupun ada sejumlah
tumpang tindih antara mekanisme kontrol sosial yang informal dan formal, namun
untuk maksud analisis kedua hal tersebut akan dibahas secara
terpisah.
A. Kontrol Sosial
Informal
Kontrol sosial
informal diejawantahkan sebagai fungsi-fungsi “tatakrama” (folkways) yaitu
norma-norma yang dibuat untuk praktek-praktek umum seperti menspesifikasikan
tatacara berbusana, etiket, dan penggunaan bahasa; serta “pamali” (mores),
yaitu norma-norma masyarakat yang berhubungan dengan perasaan yang kuat tentang
yang benar dan yang salah dan aturan keras tentang perilaku yang tidak
seharusnya dilanggar, misalnya incest. Kontrol-kontrol informal ini
meliputi teknik-teknik dimana individu-individu yang mengenal satu sama lain
secara pribadi setuju (accord) untuk menjunjung tinggi individu-individu yang
patuh (comply) terhadap harapan masyarakat dan menunjukkan ketidakpuasan kepada
individu-individu yang tidak patuh (Shibutani, 1961:426). Teknik-teknik ini
dapat diamati dari perilaku spesifik seperti olok-olok (ridicule), gossip,
pujian, teguran (reprimands), kritikan, menghalang-halangi (obstracism), atau
kutukan (verbal rationalizations), dan pernyataan pendapat (expressions of
opinion). Gosip, atau ketakutan akan gossip, adalah salah satu dari
alat efektif yang digunakan oleh sejumlah anggota masyarakat untuk
membawa individu-individu agar patuh dengan norma-norma. Tidak
seperti kontrol sosial formal, kontrol informal ini tidak dilaksanakan melalui
mekanisme kelompok resmi, dan tidak ada orang tertentu yang ditunjuk untuk
penegakannya.
Mekanisme informal
dari kontrol sosial cenderung lebih efektif bila dilaksanakan di
kelompok-kelompok atau masyarakat yang hubungannya tatap-muka (face-to-face)
dan intim serta dimana pembagian kerjanya masih sederhana. Misalnya,
Emile Durkheim berpendapat bahwa di masyakarat sederhana, seperti desa-desa
suku atau di kota-kota kecil, norma-norma hukum lebih sesuai (accord) dengan
norma-norma social, daripada di desa yang lebih besar atau di masyarakat yang
jauh lebih kompleks. Ketidaksetujuan moral terhadap si penyimpang
adalah mutlak di masyarakat sederhana; seperti catatan Daniel Glaser (1971:
32), “Toleransi terhadap keragaman perilaku bervariasi secara langsung dengan
pembagian kerja (distribution of labor) di masyarakat”. Pada masyarakat
sederhana hukum seringkali tidak tertulis, yang mengharuskan pengajaran
langsung tentang norma-norma ke anak-anak. Sosialisasi di masyarakat
sederhana tidak memberi contoh kepada anak-anak tentang norma-norma
kontradiktif yang menimbulkan kebingungan atau konflik
internal. Interaksi tatap muka yang sangat intens di masyarakat
sederhana menghasilkan konsensus moral yang diketahui dengan baik oleh semua
anggota masyarakat; sehingga adanya tindakan yang menyimpang akan segera
menarik perhatian semua anggota masyarakat.
Ada bukti dalam
literatur sosiologi untuk mendukung pendapat bahwa kontrol sosial informal
lebih kuat di masyarakat yang lebih kecil dan homogen, dibandingkan dengan di
masyarakat yang heterogen. Di penelitiannya yang sangat berpengaruh
tentang perilaku menyimpang di Koloni Teluk Massachussets, Kai T. Erikson
menemukan bahwa ukuran kecil dan homogenitas budaya dari masyarakat membantu
perilaku terkontrol, karena setiap orang dalam masyarakat menekan
individu-individu yang punya bakat menyimpang untuk patuh terhadap norma-norma
dominan. Terdapat sejumlah mata-mata oleh tetangga di dalam
masyarakat yang mengawasi tindakan-tindakan yang menyimpang. Sensor
moral seketika akan mengikuti tindakan yang menyimpang (Erikson, 1966:
169-170). Bahkan hari ini, reaksi terhadap tindakan kriminal
tertentu seperti perkosaan atau pembunuhuhan di kota kecil, homogen, dan antar
anggota masyarakat terkait yang erat, sangatlah besar dan seketika sehingga
pengadilan terhadap si terdakwa dari kejahatan macam ini akan sulit, karena
tekanan publik terhadap sistem hukum yang menginginkan adanya hukuman yang keras
dan seketika akan membuat jalannya proses pengadilan akan
sulit. Dalam kasus seperti itu, perlu adanya perubahan lokasi
pengadilan untuk meminimalkan tekanan publik. Perubahan lokasi
pengadilan seperti itu biasanya terjadi di masyarakat sederhana daripada di
masyarakat yang kompleks dimana pengadilan tidak mengasumsikan bahwa si
terdakwa akan menerima peradilan yang fair karena adanya prasangka / prejudice
(Friendly dan Goldfarb, 1967: 96-101).
Tidak diragukan lagi,
kontrol sosial informal berjalan lebih efektif di masyarakat yang lebih kecil
dimana individu-individu tahu satu sama lain dan secara teratur
berinteraksi. Di masyarakat yang seperti itu agen penegakan hukum
(polisi, jaksa, hakim) boleh berharap adanya kerjasama yang lebih baik. Seperti
yang dicatat oleh Komisi Presiden tentang Penegakan Hukum dan Administrasi
Pengadilan (the President’s Commission on Law Enforcement and Administration of
Justice) (1967a: 6), “Seorang laki-laki yang hidup di pedesaan atau di kota
kecil kemungkinan besar harus selalu berhati-hati, karena diawasi terus oleh
masyarakatnya, dan oleh karena itu berada di bawah pengaruh
masyarakatnya. Seorang laki-laki yang tinggal di kota besar hampir tidak
terlihat (invisible), secara sosial terisolasi dari masyarakatnya,
dan oleh karena itu tidak dapat dikontrol oleh masyarakatnya. Ia mempunyai
peluang yang lebih besar untuk melakukan tindak kejahatan”.
Pendapat bahwa
mekanisme sosial kontrol informal yang lebih efektif di masyarakat sederhana
didukung oleh penelitian Sarah L. Boggs tentang sosial kontrol formal dan
informal di pusat-pusat kota, pinggiran-pinggiran kota, dan kota-kota kecil di
Negara bagian Missouri. Boggs menyimpulkan bahwa penduduk kota-kota
besar lebih apatis daripada penduduk pinggiran kota atau kota kecil untuk
merasakan bahwa kejahatan segera akan terjadi (likely to occur) di dalam
masyarakatnya. Penduduk kota besar kemungkinan besar tidak akan
melaporkan perampokan (burglary) yang dilihatnya, dan lebih banyak penduduk
kota besar yang tahu adanya tindak kejahatan atau perilaku yang mencurigakan di
kotanya di tahun yang lampau. Kebanyakan orang mengatakan bahwa
lokasi tempat tinggal (neighborhood) mereka aman, dan hanya sedikit yang merasa
demikian di kota-kota besar. Ketika ditanya apa yang membuat lokasi
tempat tinggal mereka aman, 83 persen dari mereka yang tinggal di pedesaan dan
kota kecil mengatakan bahwa itu karena adanya kontrol sosial; 70 persen di
pinggiran kota dan 68 persen di kota besar mengatakan aman karena
adanya kontrol sosial. Ketika mereka mengatakan bahwa lokasi tempat
tinggalnya aman karena kontrol sosial informal, mereka mengartikan mereka
merasa aman karena karakter dari masyarakat dan penduduknya, yaitu “warga
negara yang baik, terhormat (decent), patuh kepada hukum (law-abiding), dan
kelas menengah” (Boggs, 1971: 323). Keamanan dari lokasi tempat tinggal
(neighborhood) juga karena jaringan sosial dalam masyarakat yang akan membuat
“orang-orang di pinggir jalan” (bystander) untuk mengintervensi tindak
kejahatan. Responden yang tinggal di pinggiran kota dan kota-kota
besar kemungkinan besar akan menyangkutpautkan keamanan dengan agen kontrol
sosial formal seperti polisi daripada responden yang tinggal di pedesaan dan
kota-kota kecil (Boggs, 1971:234). Boggs menyimpulkan bahwa penduduk
kota-kota besar cenderung lebih mengharapkan terjadinya tindak kejahatan, namun
cenderung tidak mengandalkan tetangganya untuk melindungi komunitasnya dan
lebih mengandalkannya ke perlindungan polisi. Sebagai
hasilnya, mereka lebih berjaga-jaga (take precautions), seperti membeli senjata
atau anjing penjaga daripada penduduk yang tinggal di pinggiran kota, kota-kota
kecil, dan di pedesaan.
Dalam penelitian
lainnya tentang penggunaan mekanisme kontrol sosial formal dan informal,
Richard D. Schwartz (1977) memeriksa dua kompleks pemukiman pertanian
Israel. Komunitas itu awalnya sama satu dengan yang lainnya, karena
tidak adanya perbedaan besar terhadap ide-ide kontrol hukum. Satu
pemukiman adalah pemukiman kolektif atau kvutza, yang tidak
mempunyai mekanisme formal untuk menyelesaikan perselisihan hukum, dan satu
pemukiman lainnya adalah pemukiman semi swasta yang disebut moshav,
yang mempunyai komisi judisial untuk menangani perselisihan
hukum. Pemukiman kolektif tersebut tidak mempunyai komisi hukum
karena adanya interaksi intensif dan tatap muka yang memberikan cara yang
efektif untuk kontrol sosial melalui tekanan kelompok. Sebaliknya, pada
pemukiman yang semi swasta, adanya kekurangan interaksi dan kekurangan
konsensus : perilaku agak tidak kelihatan (less visible) bagi anggota-anggota
komunitas daripada di pemukiman kolektif. Schwartz menyimpulkan
bahwa kontrol sosial informal kurang efektif pada pemukiman semi swasta
daripada di permukiman kolektif dimana aliran informasi akan membuat tindakan menyimpang
akan segera diketahui oleh semua anggota masyarakat.
Kesimpulan yang sama
tentang peranan mekanisme kontrol sosial informal dapat ditarik dari
penelitian-penelitian tentang negara-negara berkembang (developing nations).
Sebagai contoh, dalam membandingkan antara komunitas yang tingkat kejahatannya
rendah dan komunitas yang tingkat kejahatannya tinggi di Kampala, Uganda,
Mashall B. Clinard dan Daniel J. Abbott menemukan bahwa lokasi-lokasi yang
tingkat kejahatannya kurang menunjukkan adanya solidaritas sosial yang tinggi,
adanya interaksi sosial antara para tetangga, adanya partisipasi dalam
organisasi lokal, kurangnya mobilitas geografi (jarang bepergian, jarang
pindah), dan adanya stabilitas dalam hubungan keluarga. Juga adanya
homogenitas budaya yang lebih besar dan adanya penekanan lebih besar pada
hubungan kesukuan dan keluarga (tribal and kinship ties) pada komunitas yang
tingkat kejahatannya rendah, yang sangat membantu dalam menanggulangi
(counteract) orang-orang yang tidak diketahui dengan jelas (anonymity) yang
pindah ke kotanya. Ikatan kelompok utama yang lebih besar di antara
penduduk di komunitas yang tingkat kejahatannya rendah membuatnya lebih sulit
bagi orang asing (stranger) di dalam komunitasnya untuk melarikan diri dari
perhatian publik. Untuk menghindari pencurian, penduduk di area itu harus
merasakan apa yang salah; membagi tanggung jawab untuk memelihara property dari
lokasi tempat tinggal; dapat mengindentifikasikan orang-orang asing di arenya;
dan mau untuk mengambil tindakan jika mereka melihat seorang pencuri (Clinard
dan Abbott, 1973: 149).
Berdasarkan
penelitian-penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa jika terdapat adanya
interaksi sosial yang intim dan tatap muka, konsensus normatif, dan pengawasan
(surveillance) terhadap perilaku anggota-anggota masyarakat, kontrol sosial
informal akan kuat sehingga kontrol sosial formal dan legal mungkin tidak lagi
diperlukan. Pendapat ini diperkuat oleh argument Roberto Mangabeira Unger
(1976) yang telah dibahas di Bab 2. Untuk mengulanginya, Unger
berpendapat bahwa hukum birokrasi timbul ketika Negara dan masyarakat menjadi
“menaruh perhatian” (differentiated), dan adanya perasaan kebutuhan akan sebuah
institusi yang berdiri di atas semua kelompok yang bertikai. Hal ini terjadi
jika komunitas terpecah belah, yaitu, ketika individu-individu tidak dianggap
lagi untuk bertindak di serangkaian cara tanpa petunjuk yang sebaliknya (when
individuals may no longer be counted on to act in set ways without
overt guidance). Disintegrasi seperti itu datang ketika pembagian pekerjaan
menimbulkan peluang-peluang baru untuk kekuasaan dan kekayaan, yang pada
gilirannya, memotong hirarki lama yang ditentukan oleh kelahiran / keturunan
(detemined by birth). Proses ini disertai dengan bertambahnya sandaran
kepada kontrol sosial formal.
B. Kontrol Sosial
Formal
Walaupun tidak ada
garis pembatas yang jelas, kontrol sosial formal biasanya dicirikan oleh
masyarakat yang lebih kompleks dengan pembagian kerja yang lebih jelas,
populasi yang lebih heterogen, dan sub kelompok-sub kelompok dengan nilai-nilai
yang saling berkompetisi dan berbagai rangkaian “pamali” (mores) dan
ideology. Kontrol formal muncul ketika kontrol informal tidak
mencukupi untuk mempertahankan kepatuhan (conformity) terhadap norma-norma tertentu,
dan mempunyai karakteristik adanya sistem tentang lembaga-lembaga khusus dan
teknik-teknik standar. Ada 2 tipe yaitu yang dilembagakan oleh
negara dan diberi wewenang untuk menggunakan kekuatan, dan yang dilaksanakan
oleh lembaga selain negara, seperti gereja, kelompok bisnis dan pekerja,
universitas, dan perkumpulan-perkumpulan.
Kontrol sosial formal
diejawantahkan delam lembaga-lembaga di dalam masyarakat dan mempunyai karakter
sebagai adanya prosedur-prosedur eksplisit, dan delegasi kepada lembaga-lembaga
khusus untuk menegakkan prosedur-prosedur eksplisit tersebut (hukum, dekrit,
regulasi, undang-undang). Karena mereka diejawantahkan ke dalam lembaga-lembaga
di dalam masyarakat, mereka dikelola oleh individu-individu yang menjabat di
jabatan-jabatan lembaga tersebut. Pada umumnya, seseorang yang mencoba
untuk memanipulasi perilaku dari yang lainnya melalui penggunaan sangsi formal
dapat disebut agen kontrol sosial (Clinard dan Meier, 1979: 21).
Institusi sosial
diorganisasikan untuk menjamin kepatuhan (securing conformity) terhadap
mode-mode tertulis (established modes) dari perilaku dan terdiri dari
prosedur-prosedur tertulis (established procedures) untuk memuaskan kebutuhan
manusia. Prosedur-prosedur ini membawa sejumlah kewajiban
(compulsion). Meliputi mekanisme untuk menerapkan kepatuhan (imposing
conformity). Lembaga non politis boleh bergantung kepada sejumlah hukuman
(penalties) dan hadiah (rewards) untuk menjamin kepatuhan (to insure
compliance). Sebagai contoh, suatu organisasi / perusahaan dapat
memecat seorang pekerjanya; sebuah gereja dapat menangguhkan pelayanan
keagamaan pada suatu perkawinan atau pemakaman; atau malahan “mengeluarkan”
seorang anggotanya; sebuah pemilik liga dapat mendenda atau menghukum (suspend)
seorang atlit professional karena melanggar aturan. Organisasi yang
sama ini boleh juga menggunakan hadiah formal (formal rewards) untuk menjamin
kepatuhan. Untuk menggambarkannya, bisa melalui bonus dan promosi,
suatu organisasi seringkali memberi hadiah seseorang yang telah memberikan
kontribusi yang sangat besar. Anggota gereja yang berdedikasi dapat
diberikan penghargaan pelayanan yang luar biasa, dan atlit professional
seringkali diberikan hadiah finansial.
Negara, melalui
institusi-institusi hukumnya, melaksanakan tipe lain dari kontrol sosial
melalui penggunaan ancaman kekuatan atau pemaksaan (through the use of the
threat of force and coercion).
“Kontrol seperti itu
mengurai dirinya (resolves itself) ke dalam bentuk-bentuk seperti menahan
(restraints) semua parasit sosial, para pengambil keuntungan dalam kesempitan
(exploiters) yang biasanya didefinisikan secara hukum, pelaku-pelaku kejahatan
(criminals), dan semua orang yang tidak sempurna dan antisosial (all other
imperfectly socialized and antisocial persons) yang perilakunya mengancam
“kenyamanan” (well being) masyarakat secara keseluruhan; dan penetapan
(establishment) dan pemeliharaan (preservation) dari tingkat penyesuaian sosial
(social adjustment), keseimbangan (equilibrium), dan solidaritas sosial – “hukum
dan kedamaian” (law and order) – di antara berbagai bagian yang memungkinkan
tindakan bersama yang efektif atau kebutuhan-kebutuhan yang sama dan
tujuan-tujuan dan menjamin operasi yang efisien, stabilitas, dan kontinuitas di
dalam masyarakat” (Roucek, 1978a: 13).
Perlu dicatat dari
awalnya bahwa kontrol melalui hukum jarang dilaksanakan dengan penggunaan
sanksi positif atau penghargaan (rewards). Seseorang yang selama hidupnya
menghormati hukum dan memenuhi persyaratan hukum jarang menerima penghargaan atau
rekomendasi. Kontrol negara dilaksanakan utamanya, namun tidak
secara eksklusif, melalui penggunaan hukuman untuk mengatur perilaku warga
negaranya. Dua seksi berikut akan membahas penggunaan sangsi pidana
dan komitmen sipil untuk mengontrol tipe perilaku tertentu.
1. Kontrol Sosial
Formal untuk Penyimpang : Sanksi Pidana
Kontrol sosial
terhadap kejahatan (criminal) dan perilaku melanggar (delinquent behavior)
membentuk sistem formal terstruktur tertinggi (the most highly structured
formal system) yang digunakan oleh masyarakat. Sistem untuk
mengontrol kejahatan dan pelanggaran (the criminal justice system) secara
eksplisit menyatakan ketidaksetujuan masyarakat akan “tindak kejahatan”
(“crime”), tidak seperti bentuk lain dari penyimpangan sosial (Clinard dan
Meier, 1979: 243). Hukum, yang diundangkan oleh legislator dan dimodifikasi
oleh keputusan pengadilan, mendefinisikan tindak kejahatan dan perilaku
melanggar dan menyebutkan sanksi-sanksi yang akan diterapkan bagi yang
melanggar. Waktu demi waktu, terdapat pengandalan yang meningkat
dari hukum (an increasing reliance of law) untuk mengatur aktivitas-aktivitas
dan kehidupan dari masyarakat. Karena hukum telah disebarluaskan
untuk mencakup berbagai tipe perilaku, banyak perubahan dalam hal hukuman untuk
tipe-tipe kejahatan tertentu yang telah terjadi (Packer, 1968).Peningkatan ini
tidak bisa tidak akan menghasilkan kontrol sosial yang lebih ketat dan
perubahan lebih lanjut dari metode-metode kontrol. Mengingat banyak perilaku
lagi yang didefinisikan sebagai tindak kejahatan, maka lebih banyak tindakan
yang menjadi perhatian polisi, pengadilan, dan sistem penjara.
Dalam literatur
sosiologi, istilah “legislasi” digunakan untuk menggambarkan proses dimana
norma-norma dipindahkan dari level sosial ke level legal /
hukum. Tidak semua norma sosial menjadi hukum; pada kenyataannya,
hanya norma-norma tertentu yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk
hukum. Mengapa pelanggaran terhadap norma-norma tertentu, namun
tidak yang lainnya, dipilih untuk dimasukkan ke dalam hukum pidana ? Austin T.
Turk (1972) menjawab bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat di dalam
legislasi dan pembuatan dari norma-norma legal: kehormatan moral (moral
indignation), nilai tinggi terhadap keteraturan / kedamaian (a high value on
order), respons terhadap ancaman, dan taktik-taktik politik.
Seperti yang telah
saya diskusikan di Bab sebelumnya, hukum mungkin dibuat oleh tindakan
”pengusaha moral” (”moral entrepreneurs”) yang menjadi marah karena beberapa
praktek yang menurut mereka tidak dapat dimengerti, misalnya merokok marijuana.
Pihak yang lainnya lebih suka keteraturan / kedamaian (order) dan bersikeras
pada persyaratan-persyaratan (provisions) untuk mengatur kehidupan dan membuat
masyarakat seteratur mungkin. Mereka mengajukan (promulgate) hukum
untuk menjamin keteraturan (order) dan keseragaman (uniformity), seperti pada
kasus regulasi lalu lintas. Beberapa orang bereaksi terhadap ancaman
yang riil atau imajiner dan menyarankan adanya tindakan kontrol legal (legal
control measures). Sebagai contoh, banyak orang menganggap adanya
benda-benda pornografi tidak hanya salah secara moral, namun berkontribusi
secara langsung terhadap peningkatan kejahatan sex. Dalam hal ini,
sudah tentu orang-orang ini akan berusaha untuk melarang secara hukum penjualan
benda-benda pornografi ini. Sumber lainnya dari legalisasi dari
norma-norma adalah masalah politik, dimana hukum pidana dibuat sesuai dengan
minat kelompok-kelompok yang berkuasa di dalam masyarakat. Sumber
ini diindentifikasikan dengan perspektif konlik yang dipunyainya seperti yang
telah saya diskusikan di bab-bab sebelumnya. Proses legalisasi norma-norma
juga diikuti oleh hukuman tertentu untuk jenis tertentu dari pelanggaran hukum
pidana. ”Setiap sistem produksi cenderung untuk menemukan hukuman yang
berhubungan dengan hubungan produktifnya” (Rusche dan Kirchheimer,
1968:5). Michel Foucault (1977) mengatakan bahwa sebelum revolusi
industri, kehidupan terbilang murah dan individu-individu tidak mempunyai nilai
utilitas atau nilai komersial yang diberikan kepada mereka pada suatu ekonomi
industri. Dalam hal ini, hukuman sangatlah berat (severe) dan sering
tidak berhubungan sama sekali dengan sifat dari kejahatan itu sendiri
(misalnya, hukuman mati untuk pencurian ayam). Ketika banyak pabrik
bermunculan, nilai dari individu-individu dalam kehidupan, bahkan para pelaku
kejahatan, mulai ditekankan. Dimulai di akhir abad kedelapanbelas
dan permulaan abad kesembilanbelas, usaha-usaha telah dilakukan untuk
menghubungkan sifat dari hukuman tertentu dengan sifat dari kejahatan yang
dilakukannya.
Mencocokkan hukuman
dengan tindak kejahatan yang dilakukan adalah pekerjaan yang sulit dan
kadang-kadang kontroversial. Definisi tindak kejahatan dan
hukumannya sangat beragam dari waktu ke waktu dan dari satu masyarakat ke
masyarakat yang lainnya. Dalam suatu demokrasi, kekuasaan untuk
mendefinisikan tindak kejahatan dan hukumannya terletak pada warganegara
(citizenry). Kekuasaan ini umumnya didelegasikan ke perwakilan yang dipilih. Statutanya
seringkali sangat luas dan tergantung kepada berbagai
interpretasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perundangan
legislatif membolehkan hakim, jaksa, dan juri untuk mempunyai fleksibilitas dan
diskresi yang luas dalam mengkaji kesalahan dan tahap-tahapan hukumannya.
2. Kontrol Sosial
Formal untuk Penyimpang : Komitmen Sipil
Kontrol formal dari
perilaku menyimpang tidak terbatas kepada sanksi-sanksi
kriminal. Ada berbagai macam bentuk kontrol sosial berupa hukum yang
beroperasi secara luas di masyarakat Amerika – yang disebut komitmen sipil
(Forst, 1978:1). Komitmen sipil adalah proses nonkriminal, yang
menempatkan (commits) individu-individu yang cacat (disabled) atau kalau tidak
tergantung (karena cacatnya), tanpa sepengetahuan mereka, ke lembaga-lembaga
negara untuk pemeliharaan, perlakuan, atau perwalian (custody), namun bukan
penghukuman (punishment). Hal itu didasarkan kepada 2 prinsip hukum
: 1) hak dan kewajiban negara untuk melindungi (to assume guardianship)
individu-individu yang menderita cacat (disability); dan 2) kekuasaan polisi di
dalam batasan-batasan konstitusi untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk melindungi masyarakat. Secara prosedur, komitmen
sipil berbeda dengan komitmen pidana (criminal commitment). Pada
komitmen sipil jaminan prosedur-prosedur tertentu tidak ada, seperti hak
diadili oleh juri, yang meliputi menghadirkan saksi-saksi yang melawan
terdakwa, atau untuk menghindari kesaksian melawan seseorang. Selain
itu, kutukan moral formal dari komunitas bukan merupakan issue dalam komitmen
sipil. ” Situasi ini bisa timbul jika perilaku itu disengaja tapi
tidak secara moral patut untuk dipersalahkan, seperti di gugatan perdata untuk
adanya kerusakan / kerugian (damages), kecacatan mental, dimana tindak kriminal
(criminal culpability) disebarkan atau dinegasikan. Di kasus yang
terakhir, issue perdata bukan merupakan ”perilaku” seseorang tapi ”status”nya”
(Forst, 1978:3). Dalam pandangan ini, pecandu heroin, cacat mental,
atau pelanggar sex tidak harus bertanggung jawab terhadap
aksinya. Konsensus umum adalah bahwa individu-individu pantas
mendapatkan perawatan, bukan hukuman, walaupun perawatan itu akan berakibat
pada pemasungan kebebasannya di suatu lembaga perawatan mental tanpa adanya proses
hukum.
Di Amerika Serikat,
sekitar 1 dari 12 orang akan melewatkan sebagian waktu hidupnya di
lembaga-lembaga perawatan mental (mental institutions). Di suatu
hari pada suatu tahun, sekitar setengah juta orang Amerika dirawat di
bangsal-bangsal perawatan mental; bahkan, sekitar setengah tempat tidur di
rumah sakit Amerika dihuni oleh orang yang menderita cacat
mental. Namun komitmen sipil untuk sakit mental dan ketidakmampuan
adalah hanya salah satu dari tipe-tipe komitmen sipil yang digunakan untuk mengontrol
perilaku menyimpang. Tipe-tipe lainnya seperti pengebirian
(incarceration) anak-anak nakal (juveniles) di sekolah-sekolah pelatihan atau
rumah-rumah tahanan; komitmen terhadap pecandu berat alkohol atau pelanggar
yang berhubungan dengan alkohol; komitmen terhadap pecandu narkoba; dan
pemasyarakatan (institutionalization), melalui hukum perdata, dari para
pelanggar sex (umumnya disebut psikopat seksual, orang-orang yang berbahaya
secara seksual, atau pelanggar seksual cacat mental). Martin L. Forst
(1978:7) menyebut bahwa berbagai tipe komitmen sipil ”merupakan salah satu dari
bentuk-bentuk utama dari kontrol sosial melalui hukum di masyarakat Amerika”.
Dia lebih lanjut menyebutkan bahwa bentuk kontrol sosial seperti
ini lebih ekstensif / manjur daripada kontrol sosial melalui
komitmen pidana tradisional.
Para profesional
kesehatan mental, khususnya psikiatris, mempunyai kekuasaan besar dengan
menempatkan individu-individu ke lembaga-lembaga perawatan tanpa jaminan
pengadilan. Sebagai contoh, Thomas S. Szasz (1965: 85-143) menggambarkan kasus
dari operator pompa bensin di kota Syracuse, negara bagian New York yang telah
ditekan oleh pengembang real estate untuk menjual tanahnya sehingga sebuah
pusat perbelanjaan dapat dibangun di lokasi tersebut. Ketika pengembang
ingin mendirikan papan tanpa dari properti tersebut, pemilik pompa bensin yang
marah memberi tembakan peringatan ke udara. Dia ditahan tetapi tidak pernah
dibawa ke pengadilan. Dengan rekomendasi oleh jaksa penuntut,
operator tersebut diperintahkan untuk menjalani pemeriksaan psikiatris untuk
menentukan bahwa ia cukup sehat untuk menghadapi pengadilan. Dia diputuskan
tidak mampu (untuk mengendalikan dirinya sendiri) sehingga dimasukkan ke dalam
rumah sakit jiwa. Setelah 10 tahun di rumah sakit jiwa, ia telah
menjalani masa hukuman yang lebih lama daripada ia diadili dan dinyatakan
bersalah.
Dalam arena hukum,
penyebab perilaku kriminal dan tanggung jawab dari perilaku tersebut terletak
pada individu-individu. Namun di suatu sistem hukum yang mempercayai
(posits) sebab-sebab individu melakukan tindakan tertentu, muncul adanya
komplikasi dalam usaha untuk mengontrol individu-individu yang mengancam namun
tidak melanggar hukum. Salah satu cara untuk mengontrol individu
seperti itu adalah dengan mendefinisikannya sebagai sakit mental (mental
disorder). ”Definisi ini mempunyai efek kombinasi untuk mengurangi
irasionalitas terhadap perilaku tersebut dan memberi kontrol terhadap
individu-individu melalui cara-cara yang lunak (ostensibly benign), dan bukan
intervensi psikiatrik yang memaksa” (Greenaway dan Brickey, 1978:
139). Jadi, tidak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak rumah
sakit jiwa negara merawat orang-orang yang telah melakukan pelanggaran ringan
(trivial misdemeanors) atau yang belum didakwa melakukan tindak kejahatan
apapun, namun telah dikirim ke sana untuk keperluan
”observasi”. Polisi dan pengadilan menunjuk individu-individu yang
perilakunya ”aneh” untuk diperiksa psikiatris, dan jika mereka menemukan bahwa
orang tersebut ”gila” (insane), maka mereka akan dirawat di rumah sakit jiwa
tanpa persetujuan orang tersebut untuk periode waktu yang lama, bahkan seumur
hidup.
Penggunaan komitmen
sipil sebagai bentuk kontrol sosial tidak hanya terbatas di Amerika Serikat. Di
Uni Soviet (dulu), sebagai contoh, banyak pembangkang di tahun-tahun belakangan
ini tidak dikirim ke kamp konsentrasi di Siberia, tapi dikirim ke rumah sakit
jiwa. Daftar penyair, penulis, dan intelektual yang telah
didefinisikan ”sakit jiwa” dan bukan penjahat kriminal oleh penguasa Soviet,
sangatlah panjang. Psikiatris di Uni Soviet tidak sinis seperti yang
kita pikirkan. Dengan ”realitas” mereka adalah Marxist-Leninist, ternyata
banyak di antara mereka yang berpikir bahwa orang-orang yang tidak beradaptasi
terhadap realitas dianggap mempunyai cacat psikologis dan harus ditempatkan di
lembaga pengasingan. Namun apakah mereka sadar atau tidak tentang
implikasi politis dari diagnosis mereka, psikiatris di Uni Soviet telah memberi
cap ”sakit jiwa” sebagai metode kontrol sosial.
Ada berbagai
penjelasan tentang meningkatnya penggunaan komitmen sipil sebagai mekanisme
kontrol sosial. ”Ada beberapa mereka (kriminologis positif) yang
memandang peningkatan tersebut sebagai pergeseran warisan (beneficial shift)
dari penekanan tradisional tentang menghukum orang untuk merehabilitasi
mereka…Penjelasan lain dari meningkatnya penggunaan komitmen sipil (pergeseran
dari hukum pidana) bahwa komitmen sipil berfungsi sebagai ganti dari, atau
merupakan pelengkap dari, hukum pidana untuk mengontrol secara sosial bentuk
tingkah laku yang tidak diinginkan” (Forst, 1978:9-10). Penggunaan
komitmen sipil bukannya tanpa kritikan. Beberapa kritikus
menyarankan pembatalan semua komitmen sipil karena hak-hak konstitusional dari individu-individu
yang diberikan kepada mereka telah dilanggar, walaupun ada sejumlah hukum
akhir-akhir ini yang dirancang untuk melindungi hak-hak dari orang yang sakit
jiwa. Yang lainnya tidak setuju karena membolehkan orang untuk
menghindari hukuman yang pantas baginya. Walaupun issue ini tetap
kontroversial, penggunaan komitmen sipil sebagai bentuk kontrol sosial sedang
meningkat di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.
C. Kejahatan tanpa
Korban
Amerika Serikat telah
menginvestasikan sejumlah sumberdaya untuk mengontrol kejahatan tanpa korban
dimana kerugian terjadi terutama pada individu-individu yang melakukannya
(Schur, 1965:170). Lebih dari 10 juta orang yang ditahan di Laporan Kriminal
Seragam FBI (the FBI Uniform Crime Report) tahun 1977, separuhnya mencakup kejahatan
tanpa korban. Lebih dari 3,3 juta orang yang ditahan adalah yang
melibatkan minuman keras dan untuk perilaku yang tidak patut (disorderly
conduct) yang seringkali dipengaruhi oleh minuman keras. Lebih dari
300.000 remaja ditahan karena melarikan diri dari rumah atau karena pelanggaran
jam malam (curfew). Ada 642.700 orang ditahan karena narkoba, dimana
457.600 orang karena mempunyai marijuana. Yang ditahan karena
pelacuran ada 85.900 orang dan karena judi ada 58.700 orang (Federal Bureau of
Investigation, 1978: 172).
Kriminalisasi dari
beberapa tindakan yang tidak mempunyai korban berakar dari fakta bahwa
masyarakat memandang tindakan-tindakan ini sebagai pelanggaran moral (morally
repugnant) dan berniat untuk menahan individu-individu agar tidak melakukan
hal-hal tersebut. Banyak yang ditahan karena perbuatan kejahatan
tanpa korban tidak pernah diprosekusi : penahanan dan pemenjaraan 1 hari sering
digunakan karena sebagai cara untuk menerapkan kontrol sosial terhadap orang
yang mabuk atau pelacur tanpa melalui persidangan yang
panjang. Sebagai contoh, kebiasaan minum minuman keras dapat
membentuk suatu catatan kriminal yang luar biasa panjang (formidable) karena
berulang-ulang ditahan, walaupun mereka tidak pernah merugikan orang lain
kecuali mungkin dirinya sendiri (La Fave, 1965: 439). Salah satu
penelitian menemukan bahwa 2/3 dari orang-orang yang berulang-ulang ditahan
karena alkohol telah dituntut tidak lebih daripada mabuk di depan umum (public
intoxication) dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait, misalnya bergerombol
dengan teman-teman (vagrancy), selama karir ”kejahatan” mereka (Pittman,
dikutip oleh Landsman, 1973: 288).
Kebanyakan literatur
tentang kejahatan tanpa korban berkaitan dengan kecanduan narkoba, pelacuran,
perjudian, aborsi, homoseksual, pornografi dan percabulan, bunuh diri,
kecanduan alkohol, dan penyimpangan heteroseksual. Ini adalah
tindakan kejahatan ”mala prohibita” (yaitu, perilaku yang merupakan
kejahatan karena statuta, tapi tidak ada konsensus apakah tindakan ini
kejahatan atau tidak). Mereka bertindak melawan interest publik atau moralitas
dan muncul di hukum pidana sebagai kejahatan melawan kepatutan publik (public
decency), ketertiban (order), atau keadilan (justice). Tindakan
kriminal seperti pembunuhan atau perkosaan adalah ”mala in se” (yaitu,
jahat dari sananya dengan persetujuan publik tentang bahaya-bahaya yang
dilakukannya) (Rich, 1978: 27).
Kejahatan tanpa korban
juga dibedakan dari kejahatan-kejahatan lainnya oleh elemen transaksi atau
pertukaran konsensual. Kejahatan ini juga dibedakan dari sejenis
kejahatan lainnya karena kurangnya kerugian yang terlihat terhadap orang lain
dan oleh kesulitan menegakkan hukum melawan mereka sebagai akibat dari sulitnya
dilihat (low visibility) dan tidak adanya orang yang mengeluh (the absense of
complainants). Dengan kata lain, mereka adalah kejahatan tanpa
penggugat (plaintiffless crimes) – yaitu, mereka yang terlibat adalah
partisipan yang mau, yang menurut aturan, tidak mengajukan komplain kepada polisi
bahwa suatu kejahatan telah dilakukan. Walaupun kebanyakan orang
tidak menggolongkan tindakan seperti ini sebagai kejahatan, polisi dan
pengadilan terus-menerus menerapkan hukum terhadap kelompok-kelompok ini
sebagai pemakai narkoba, pelacur, penjudi, homoseksual, dan distributor
benda-benda pornografi – hukum yang sebagian besar masyarakat tidak
memandangnya sebagai sah dan menolak untuk menaatinya. Kontrol
formal yang dilakukan terhadap perilaku seperti ini sangatlah mahal dan tidak
efektif. Namun, masih tetap melayani fungsi tertentu. Robert M. Rich
(1978:28) mencatat bahwa orang-orang yang diberi label penjahat berfungsi
sebagai contoh bagi anggota-anggota masyarakat. Ketika hukum
ditegakkan terhadap anggota-anggota kelompok kelas bawah dan kelompok minoritas
(orang berkulit hitam, atau keturunan Spanyol), telah membolehkan orang-orang
yang mempunyai kekuasaan (orang-orang kelas menengah atas) untuk merasa bahwa
hukum telah berfungsi sesuai maksud awalnya karena ia memelihara dan memperkuat
mitos bahwa individu-individu berstatus rendah bertanggung jawab atas
kebanyakan penyimpangan di dalam masyarakat. Akhirnya, kontrol terhadap
kejahatan tanpa korban, dalam bentuk penahanan dan pendakwaan, memperkuat
anggapan dalam masyarakat bahwa polisi dan sistem peradilan pidana melakukan
tugasnya dengan baik dalam melindungi standar moral
masyarakat. Sekarang kita akan menganggap hukum sebagai alat untuk
kontrol sosial untuk kejahatan tanpa korban tertentu seperti kecanduan narkoba,
pelacuran, dan perjudian.
1. Kecanduan Obat Bius
Penggunaan obat bius
non medis, seperti opium dan heroin, walaupun praktek kuno, hanya pada
akhir-akhir ini saja telah menjadi tindakan kejahatan di Amerika
Serikat. Sebelum tahun 1914, hanya ada usaha sporadis untuk mengatur
penggunaan obat bius. Walaupun beberapa negara bagian telah berusaha untuk
mengontrol penggunaan obat bius dengan mengundangkan hukum untuk memberi
komitmen sipil kepada lembaga-lembaga untuk pecandu obat bius dan menetapkan
bahwa penggunaan zat narkotik tertentu adalah melawan hukum, tidak sebelum
tahun 1914 bahwa setiap usaha sistematis telah dilakukan untuk meregulasi
penggunaan obat bius di Amerika Serikat. Pada tahun 1914, telah
diundangkan Undang-Undang Harrison (the Harrison Act). Itu adalah
usaha pertama kali untuk mengurusi secara menyeluruh narkotik dan obat-obatan
berbahaya yang ada pada masa itu. Bentuknya adalah pengenaan pajak,
atau lebih tepat, serangkaian pajak barang-barang
terlarang. Penggunaan obat bius dibatasi hanya untuk tujuan-tujuan
medis dan riset oleh individu-individu atau fasilitas-fasilitas berlisensi.
Namun dalam interpretasi terhadap undang-undang tersebut, keputusan pengadilan
dalam kasus-kasus tertentu, dan dalam hukum suplementer, sangsi-sangsi pidana
diterapkan bagi kepemilikan yang tidak sah, penjualan, atau transfer obat
bius. Negara-negara bagian juga telah mengundang sejumlah hukum anti
narkotika. Di Amerika Serikat, hukuman untuk pelanggaran hukum
narkotika telah semakin berat di tahun-tahun belakangan ini dengan hukuman
penjara yang semakin meningkat bagi penjualan dan kepemilikan dari banyak
narkoba, seperti heroin atau kokain (U.S. Department of Justice, 1978).
Dugaan jumlah pecandu
obat bius di Amerika Serikat meningkat terus. Di awal 1970an,
estimasinya bervariasi antara 400.000 sampai 600.000. Di tahun 1977,
laporan sementara dari Komisi DPR tentang Penyalahgunaan dan Pengontrolan
Narkotika (the House Select Committee on Narcotics Abuse and Control)
mengestimasi sekitar 800.000 pecandu heroin, dimana hanya 1/3-nya yang menjalani
perawatan. Lebih banyak lagi anak muda yang menggunakan heroin saat
ini daripada sebelumnya di sejarah Amerika Serikat (Clinard dan Meier, 1979:
301). Selain obat bius keras (hard drugs), estimasi pengguna
marijuana di Amerika Serikat adalah lebih dari 15 juta, dan lebih dari 36 juta
orang Amerika telah, pada suatu saat, menggunakan marijuana, termasuk sekitar
1/3 dari jumlah mahasiswa (Nawaz, 1978).
Secara hukum, obat
psikoaktif digolongkan ke dalam 3 kategori dasar, yaitu obat legal (alkohol,
kafeine, nikotin); obat dengan resep (amphetamin, barbiturat, trankualiser/
obat penenang) yang harus disertai resep dokter; dan obat illegal (marijuana,
heroin, dan halusinogen) yang tidak dijual dalam kondisi apapun. Kokain
dan morfin membentuk sub kategori. Keduanya mempunyai penggunaan
medis terbatas namun sangat potensial untuk disalahgunakan. Kategori
tersebut tidak didasarkan kepada kerugian potensial atau kualitas adiktif dari
obat bius. Di bawah Undang-Undang Zat-Zat Kontrol Federal (the
Federal Controlled Substance Act) tahun 1970, marijuana dan heroin
diklasifikasikan bersama / sama, walaupun heroin adalah adiktif secara fisik
dan marijuana tidak.
Undang-undang
Marijuana di negara-negara bagian telah berubah secara drastis di tahun-tahun
belakangan ini. Kepemilikan sejumlah kecil marijuana di kebanyakan
negara bagian tidak dianggap lagi sebagai tindakan kejahatan
(felony). Sebagian negara bagian memperlakukan kepemilikan marijuana
mirip dengan pelanggaran lalu lintas. Di California, sebagai contoh,
seseorang yang mempunyai 1 ounce (4 gram) atau kurang dari marijuana hanya
didenda maksimum sebesar $ 100 (Rp 1 juta).
2. Pelacuran
Jika ada satu bidang
dalam hukum pidana yang membangkitkan kegelisahan yang paling besar tentang
moral publik, adalah perilaku seksual. Kisaran perilaku seksual yang
diliput oleh hukum adalah sangat luas dan menyeluruh sehingga hukum telah
menjaring pelaku kejahatan yang terdiri dari anak belasan tahun dan orang
dewasa. Salah satu alasan (justifications) dari kontrol yang lengkap
terhadap perilaku seksual adalah untuk melindungi sistem
keluarga. Sejumlah hukum negara bagian mengontrol tindakan-tindakan
yang kalau tidak dikontrol akan membahayakan kehormatan wanita sebelum
pernikahan, seperti berbagai hukum tentang perkosaan (suka-sama-suka atau
dengan paksaan), perselingkuhan (fornication), hubungan seksual orangtua-anak
(incest), dan penyimpangan seksual dari remaja. Undang-Undang Pidana tentang
perselingkuhan (adultery) juga dirancang untuk melindungi keluarga dengan
mencegah hubungan seksual di luar pernikahan (Quinney, 1975:
83-84). Selain itu, sejumlah besar hukum federal dan negara bagian
mengontrol pengiklanan, penjualan, distribusi, dan ketersediaan dari
kontrasepsi; aborsi, sterilisasi sukarela, dan pembuahan artifisial / bayi
tabung (Weinberg, 1979). Karena kompleksitas dari kontrol hukum
terhadap perilaku seksual dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, bagian ini
akan membatasi diskusi tentang kontrol hukum terhadap pelacuran perempuan yang
mencakup ½ juta perempuan di Amerika Serikat baik penuh waktu ataupun paruh
waktu (Rich, 1978:62).
3. Perjudian
Perjudian, seperti
halnya obat bius atau pelacuran, adalah transaksi suka-sama-suka (consensual
transaction) dan tindak kejahatan tanpa penggugat (plaintiffless
crime). Para pemainnya adalah partisipan yang berminat yang umumnya
tidak memberitahu polisi bahwa suatu tindak kejahatan telah
dilakukan. Aktivitas penegakan hukum oleh karena itu harus dimulai
oleh polisi yang kemudian bertindak sebagai orang yang komplain / pelapor
(complainant) mewakili masyarakat. Sebaliknya, aktivitas penegakan
hukum bagi tindak kejahatan lainnya, seperti perampokan (burglary or muggings),
biasanya terjadi karena adanya respons dari komplain / laporan masyarakat.
Seperti telah saya
sampaikan sebelumnya, pada tahun 1977 ada 50.700 orang yang ditahan karena
perjudian. Sejak tahun 1972, Laporan Kriminal Uniform FBI (the FBI’s
Uniform Crime Report) mencakup data statistik yang terpisah untuk tiga kategori
penahanan karena perjudian, yaitu : bandar judi (bookmaking), angka-angka dan
lotere, serta semua jenis perjudian lainnya. Kategori terakhir
terdiri dari penahanan karena main kartu dan judi koprok (judi dadu) yang
umumnya adalah ditahan dari perjudian kelas bawah di pinggir-pinggir jalan.
Kategori terakhir ini adalah merupakan penahanan terbesar untuk kasus perjudian
di Amerika Serikat dan di tahun 1977 terdapat 44.900 penahanan (Federal Bureau
of Investigation, 1978: 172).
Secara historis,
pelarangan dan regulasi dari perjudian umumnya adalah fungsi dari negara
bagian. Perlibatan federal terhadap perjudian dimulai di akhir abad
19, ketika Kongres mengakhiri operasi perjudian yang korup dengan menolak hak
pengiriman suratnya dan kemampuan untuk bertransaksi bisnis melewati
batas-batas negara bagian. Tindakan besar berikutnya dari pihak
federal mengenai perjudian dilakukan pada tahun 1949, ketika Kongres
memberlakukan undang-undang yang melarang kapal-kapal perjudian yang berlayar
di pantai California.Tindakan lainnya adalah melarang transportasi
barang-barang perjudian melewati batas negara bagian. Undang-Undang
Pengontrolan Tindak Kejahatan Terorganisir (the Organized Crime Control Act)
pada tahun 1970 lebih lanjut memperluas jurisdiksi dari perjudian
antar negara bagian, dan membuatnya sebagai tindak pidana federal untuk
mengoperasikan bisnis perjudian illegal tertentu. Kongres juga telah
mempengaruhi aktivitas-aktivitas perjudian melalui pemberlakuan kekuatan pajak,
dengan memungut bea dan pajak penghasilan terhadap operasi perjudian dan pajak
meterai untuk peralatan perjudian, dan dengan memajaki pemenang perjudian
dengan pajak penghasilan federal (Komisi Peninjauan Kebijakan Nasional tentang
Perjudian – Commission on the Review of the National Policy Toward Gambling, 1976:
5).
D. Kejahatan Kerah
Putih
Istilah ”kejahatan
kerah putih” (”white-collar crime”) pertama kali digunakan oleh Edwin H.
Sutherland (1949:9) dalam suatu pidato pembukaan di depan Asosiasi Sosiologi
Amerika (the American Sociological Association) pada tahun
1939. ”Kejahatan kerah putih”, ia mengatakan, ” dapat didefinisikan kurang
lebih sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat dan
berstatus tinggi sebagai bagian dari penghasilannya”. Ia mencatat adanya bentuk
kejahatan ini dengan suatu penelitian tentang karier di 70 perusahaan besar,
perusahaan yang bernama besar, yang secara mengejutkan telah melakukan 980
pelanggaran terhadap Undang-Undang Pidana, atau rata-rata 14 pelanggaran
masing-masing. Di belakang tindakan pidana seperti pengiklanan palsu
(false advertising), praktek-praktek perburuhan yang tidak adil, penahanan
perdagangan, persetujuan penetapan harga, manipulasi saham, pelanggaran hak
cipta, dan penggelapan pajak, yang dilakukan oleh eksekutif kelas menengah atas
yang sangat terhormat. Gilbert Ceis (1978: 279) berargumen bahwa ” kejahatan
kerah putih mempunyai ancaman yang jauh lebih serius terhadap kebaikan
(well-being) dan integritas dari masyarakat kita dari tindak kejahatan yang
lebih tradisional”. Selain itu, seperti yang disimpulkan oleh Komisi
Kepresidenan tentang Penegakan Hukum dan Administrasi Pengadilan (the
President’s Commission on Law Enforcement and Administration of Justice)
(1967b: 104), ”kejahatan kerah putih mempengaruhi iklim moral keseluruhan dari
masyarakat kita. Penyimpangan oleh perusahaan dan manager mereka
yang biasanya menempati posisi pemimpin dalam masyarakat mereka, membentuk
suatu contoh yang cenderung menggerus dasar moral dari hukum….”. Hal itu
menimbulkan pertanyaan tentang saham (equity) hukum dan memberi justifikasi
untuk pelanggaran hukum tipe-tipe lainnya.
E. Kontrol Sosial bagi
Pembangkang
”Amerika Serikat”,
tulis Jethro K. Lieberman (1972: 74) ”mempunyai sejarah panjang untuk menerima
orang-orang pembangkan (dissent) dalam hal yang abstrak dan menghukumnya dalam
hal yang konkret”. Hukum mendukung pemerintah sebagai pemegang sah
dari kekuasaan di dalam masyarakat. Pemerintah, pada gilirannya, terlibat
secara sah dalam pengontrolan warganegaranya. Tujuan utama dari
pemerintah adalah memberi kesejahteraan bagi warganegaranya, melindungi nyawa
dan propertinya, dan memelihara keteraturan / kedamaian (order) di dalam
masyarakat. Untuk memelihara keteraturan, pemerintah diberi mandat
untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan. Namun demikian,
dalam masyarakat demokratis, ada pertanyaan tentang keabsahan pemerintah dalam
”meminggirkan” pembangkang (stiffles dissent) dengan alasan untuk memelihara
keteraturan / kedamaian. Pada prinsipnya, dalam masyarakat demokratis, tradisi
dan nilai-nilai yang menerima (affirm) pembangkang sudah
mencukupi. Pada saat yang sama, agar keteraturan sosial dapat diciptakan,
suatu masyarakat perlu menjamin bahwa hubungan kekuasaan yang ada dipelihara
waktu demi waktu. Selain itu, orang-orang yang dalam posisi berkuasa
yang mengambil keuntungan dari pengaturan kekuasaan, akan menggunakan
pengaruhnya untuk membiarkan adanya penindasan (repression) terhadap
orang-orang yang berani melawan pemerintah. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah umumnya memilih untuk mengontrol dan menekan para pembangkang.
Salah satu cara yang
efektif dalam mengontrol pembangkang adalah melalui berbagai proses-proses
seleksi yang digunakan untuk menempatkan individu-individu ke dalam posisi
sosial yang diinginkan (Oberschall, 1973: 249-250). Dalam hampir semua
sistem politik, pemimpin mempunyai cara-cara untuk mengontrol pemilihan dan mobilisasi
orang-orang melalui sistem patronase, kepanjangan birokrasi pemerintah, dan
pengajakan / penggalangan (cooptation) dalam banyak
bentuk. Kesetiaan dan kepatuhan (loyalty and conformity) umumnya
merupakan kriteria utama untuk kemajuan karier. Salah satu bentuk
lainnya dari kontrol dalam konteks ini adalah mengeluarkan individu-individu
yang tidak patuh dengan harapan yang diberikan dan yang menyuarakan opini yang
”tidak populer”. Dalam hal-hal tertentu, pemimpin dapat mengontrol
langsung penawaran dan permintaan dari pelayanan dan kemampuan
tertentu. Sebagai contoh, ”dengan menjalankan pengaruh terhadap
anggaran (budget), pemeriksaan, beasiswa mahasiswa, dan pengabdian pada
masyarakat, pemerintah dapat dalam beberapa tahun mengurangi jumlah total
mahasiswa dengan maksud untuk mengurangi atau mengeliminasi mahasiswa yang
bermasalah dan populasi sarjana yang menganggur yang telah dibawa ke dalam
sistem dan disubsidi” (Oberschall, 1973: 250).
Kontrol juga dapat
dicapai melalui manipulasi struktur keuntungan material (Janowitz,
1975). Sebagai contoh, Frances Fox Piven dan Richard A. Cloward
(1971) mengatakan bahwa program kesejahteraan berfungsi sebagai mekanisme
kontrol sosial di masa pengangguran massal dengan menyalurkan gejolak sosial
(social unrest) dan oleh karena itu mengurangi pembangkang. Mereka
berdua berargumen bahwa program bantuan publik digunakan untuk meregulasi
aktivitas politik dan ekonomi dari kaum miskin. Dalam masa depresi
ekonomi yang berat, keabsahan dari sistem politis ada kemungkinan untuk
dipertanyakan oleh kaum miskin. Kemungkinan pengdongkelan kekuasaan
status quo dan hubungan-hubungan properti di masyarakat akan
meningkat. Ada peningkatan permintaan untuk perubahan pengaturan
sosial dan ekonomi. Di bawah ancaman ini, program bantuan publik
dimulai atau dikembangkan oleh pemerintah. Mereka berdua memberikan
banyak contoh tentang kasus Eropa abad ke enambelas ke pertengahan abad ke
duapuluh Amerika, dengan mencatat thesis mereka bahwa kesejahteraan sosial
telah digunakan sebagai mekanisme kontrol sosial dan suatu cara oleh pemerintah
untuk mengurangi gejolak sosial melalui intervansi langsung. Mereka
mencatat, bahwa ketika kondisi ekonomi meningkat, peranan bantuan (relief) ini
akan dipotong kembali sebagai respons terhadap tekanan dari orang-orang yang
mempekerjakan kaum miskin sehingga menjamin penawaran yang cukup dari tenaga
kerja murah.
Salah satu opsi bagi
pemerintah untuk menggunakan kontrol terhadap pembangkang adalah melalui aparat
kontrol sosial penekan yang berkaitan dengan tindak kejahatan, menegakkan
hukum, dan menjaga interaksi sosial secara damai dan
teratur. Dibandingkan dengan mekanisme lainnya, ”suatu response
menekan terhadap kekacauan sosial adalah cara yang termurah dan yang paling
cepat ada untuk mengontrol masyarakat yang dipunyai oleh pemerintah”
(Oberschall, 1973: 252). Pemerintah diharapkan oleh warganya, dan
dipersyaratkan oleh hukum, untuk melindungi nyawa dan properti, dan untuk
menahan pelaku tindak illegal. Sebagai tambahan dari respons menekan terhadap
para pembangkang, pemerintah mempunyai sejumlah ”senjata” yang agak nyata
(tidak tersembunyi) walaupun sama-sama efektifnya, untuk mekanisme
kontrol. Sebagai contoh, David Wise (1978: 399-400) menunjuk bahwa
Badan Intelijens Pusat (Central Intelligence Agency – CIA), walaupun dilarang
oleh hukum, telah terlibat dalam operasi domestik untuk mengawasi dan
mengontrol aktivitas-aktivitas dari warga Amerika. Selama 20 tahun, CIA
telah membuka 215.000 surat kilat khusus, mengawasi 28 juta surat, dan memfoto
2,7 juta orang dan aktivitasnya. Selama era Presiden Nixon, dalam
Operasi Kekacauan (Operation Chaos), CIA telah mengikuti aktivist anti perang,
menginfiltrasi kelompok-kelompok anti perang, memasuki rumah orang secara
illegal dan menyadap saluran telpon, mengindeks / memasukkan 300.000 nama dalam
komputer ”Hydra”, dan mengumpulkan file terpisah dari 7.200 orang
Amerika.
F. Hukum Administratif
dan Kontrol Sosial
Kesalahpengertian luas
tentang hukum adalah pendapat bahwa hukum terdiri sepenuhnya dari hukum pidana
dengan segala aparat pidananya yaitu : polisi, jaksa, hakim, juri, hukuman dan
penjara. Kesalahpengertian lainnya adalah semua hukum dapat dibagi
ke dalam hukum pidana dan hukum perdata. Namun sumber-sumber sistem
hukum adalah jauh lebih kaya dari lebih luas sehingga tidak ada satupun dari
kedua pandangan tersebut yang benar (Summers dan Howard, 1972:
198). Seksi ini akan membahas bagaimana cara-cara hukum yang berbeda
dapat digunakan untuk mengontrol apa yang oleh Robert S. Summers dan George H.
Howard disebut sebagai ”aktivitas utama swasta” (private primary activity).
Mereka berdua menggunakan konsep ini untuk menggambarkan berbagai tujuan,
seperti produksi dan pemasaran listrik dan gas alam, persyaratan dan
pengoperation dari kereta api, transportasi udara, dan fasilitas-fasilitas
transportasi lainnya, pengolahan dan distribusi makanan, pembangunan bangunan,
jembatan, dan fasilitas umum lainnya, serta penyiaran radio dan
televisi. Namun aktivitas-aktivitas tidak membentuk sebagai urusan
skala besar seperti produksi atau persyaratan (provision) dari transportasi
udara dan sejenisnya. Daftar ini dapat diperpanjang dengan
persyaratan untuk pelayanan-pelayanan medis oleh dokter, kepemilikan dan
pengoperasian dari kendaraan bermotor oleh warganegara biasa, pembangunan
perumahan lokal oleh tukang kayu, dan penjualan dan pembelian saham
dan obligasi oleh individu-individu. Aktivitas-aktivitas utama
swasta tidak hanya diinginkan secara positif, tapi juga penting untuk
memfungsikan masyarakat modern. Aktivitas-aktivitas ini
membangkitkan keperluan-keperluan hukum yang dipenuhi melalui mekanisme kontrol
administratif.
Dalam masyarakat
modern, semua jenis pelayanan diperlukan, seperti yang diberikan oleh dokter,
fasilitas-fasilitas transport, dan perusahaan-perusahaan
listrik. Namun dokter yang tidak kompeten bisa membunuh pasien
daripada menyembuhkannya. Seorang pilot pesawat yang tidak
berkualifikasi akan menyebabkan pesawat jatuh, dan membunuh semua orang yang
ada di pesawat. Seorang pembuat katering mungkin meracuni separuh dari
anggota masyarakat. Selain inkompetensi / ketidakmampuan atau kecerobohan,
penyalahgunaan juga sangat mungkin terjadi. Seorang individu dapat
kehilangan seluruh tabungannya melalui pengoperasian saham yang meyimpang. Sebuah
perusahaan telpon dapat menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya dan menarik
biaya telpon yang sangat tinggi. Seorang pemilik dari fasilitas pengolahan
limbah nuklir mungkin ingin memotong aturan (cut the corners), sehingga seluruh
masyarakat terekspos dengan radiasi.
Aktivitas-aktivitas
utama swasta, seperti yang dicatat oleh Summers dan Howard (1972: 199), dapat
menyebabkan kerugian (harm), kerugian yang bisa dihindari (avoidable
harm). Pesawat terbang dapat dibuat aman terbang, dan penggelapan
saham oleh broker yang “nakal” (fly-by-night operator) dapat dikurangi.
Kontrol hukum terhadap aktivitas-aktivitas ini dijustifikasi berdasarkan 2
alasan : pencegahan kerugian (prevention of harm) dan peningkatan kebaikan
(promotion of good). Sebagai contoh, dalam kasus penyiaran radio dan
televisi, hukum dapat berperan dalam mengontrol disiarkannya kecabulan
(obscenity) dan masalah perimbangan program, seperti meliputi urusan-urusan
publik, sebagai tambahan dari program hiburan dan olahraga. Kontrol dari
aktivitas utama swasta dilakukan melalui hukum administratif, terutama dalam
konteksi lisensi, inspeksi, dan ancaman publisitas.
1. Lisensi
Kontrol terhadap
profesi-profesi dan aktivitas-aktivitas tertentu melalui lisensi /
perijinan Kekuasaan hukum administratif adalah tidak hanya menetapkan
standar dan menghukum para pihak yang gagal mematuhi hukum, “Kepercayaan bahwa
penegakan hukum lebih baik dicapai melalui pencegahan daripada penghukuman
(prosecution) telah menyumbangkan kemunculan regulasi administratif sebagai
alat utama dari kontrol pemerintah” (Horak, dikutip oleh Summers dan Howard,
1972: 202). Mensyaratkan dan memberikan lisensi untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu adalah alat kontrol yang klasik. Suatu
lisensi mungkin diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan, mengoperasikan
bisnis, melayani pelanggan khusus atau area khusus, atau untuk memproduksi
produk tertentu. Dokter dan pengacara harus menjalani pelatihan dan
mendemonstrasikan beberapa kompetensi sebelum mereka mendapatkan surat kualifikasi
untuk berpraktek. Di sini, lisensi digunakan untuk menegakkan standar
kualifikasi dasar. Perusahaan penerbangan tidak dapat menerbangi rute tertentu
semau mereka dan para penyiar radio atau tv tidak bisa bebas memilih frekuensi
semau mereka sendiri. Hal yang mendasari semua peraturan lisensi
adalah penolakan hak (denial of a right) untuk melakukan aktivitas yang
diinginkan, kecuali dengan lisensi. Dalam hal ini, lisensi adalah suatu
izin (permit) atau hak (privilege) untuk melakukan aktivitas tertentu yang
dijamin oleh suatu otoritas yang berwenang dimana, menurut hukum, hal
sebaliknya akan melanggar hukum (would otherwise be unlawfull). Lisensi
adalah suatu izin resmi untuk melakukan sejenis aktivitas tertentu, seperti
menerbangkan pesawat atau mengoperasikan suatu stasiun televisi.
Kontrol terhadap
profesi-profesi dan aktivitas-aktivitas tertentu melalui lisensidapat
dimengerti (justified) sebagai proteksi publik dari pelayanan dan produk yang
kurang mutunya (inferior), palsu (fraudulent), atau berbahaya
(dangerous). Namun dalam pembahasan ini, kontrol telah diperluas
dengan pekerjaan-pekerjaan (occupations) yang paling banter hanya mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan publik secara minimal. Di beberapa negara
bagian, lisensi diperlukan untuk peramal bintang (cosmetologists), ahli
pelelangan (auctioners), ahli pengendali cuaca (weather control practitioners),
pengemudi taksi (taxidermist), pengelola kuburan mobil (junkyard operators),
dan ahli pemasangan AC (weather vane installers). Negara bagian Hawaii memberi
lisensi untuk artis tatoo; New Hampshire memberi lisensi untuk para penjual
penangkal petir (lightning-rod salespersons). Di negara bagian Delaware 86 mata
pencaharian / pekerjaan diberi lisensi, termasuk pemain sirkus, penjaga tempat bowling,
ahli bunga, dan pemilik rumah bilyar. Sampai beberapa tahun yang
lalu, merupakan pelanggaran hukum bagi orang yang mencari mata pencaharian
dengan memperbaiki jam yang rusak di negara bagian North
Carolina. Hukumannya adalah hukuman 6 bulan penjara, sama dengan
para penjual obat tanpa lisensi (U.S. News & World Report, 1979:
70). Sebagai tambahan dari pengeluaran lisensi untuk mata
pencaharian / pekerjaan tersebut, negara bagian juga melakukan pengawasan
berupa pencabutan atau penangguhan lisensi. Sebagai contoh,
menurut hukum administratif, negara bagian dapat menarik lisensi
untuk berpraktek bagi pengacara, dokter, atau ahli kecantikan, dan mungkin saja
membatalkan lisensi dari pemilik restoran agar tidak buka bisnis selama
beberapa hari dalam satu tahun atau bahkan selamanya.
2. Inspeksi
Hukum administratif
memberikan kekuatan-kekuatan investigasi dan inspeksi kepada lembaga-lembaga
regulatori. Inspeksi periodik adalah satu cara untuk memonitor aktivitas
yang sedang berlangsung di bawah juridiksi suatu lembaga tertentu.
Inspeksi seperti itu menentukan apakah mobil, pesawat terbang, dan kereta api
dapat berjalan, produk-produk pertanian dapat memenuhi standar kualitas,
koran-koran dapat memperoleh hak pengiriman pos kilat, dan sebagainya. Prosedur-prosedur
yang sama dapat digunakan untuk mencegah distribusi dari makanan dan
obat-obatan yang tidak aman, melarang pemasukan tanaman dan hewan yang sakit ke
dalam suatu negara, atau untuk membatalkan (suspend) lisensi terbang seorang
pilot sambil menunggu dengar pendapat tentang tindakan indisiplinernya.
Di berbagai industri,
inspektur pemerintah beroperasi di tempat industri berada
(premises). Sebagai contoh, ketika inspektur dari Badan Obat dan
Makanan (Food and Drug Administration) menemukan adanya bakteri di dalam sup,
maka manufakturer dari sup tersebut akan menarik semua dagangannya dari
toko-toko makanan dan rak-rak di tempat manufakturer serta memusnahkan semua
kaleng-kaleng sup yang ada – karena adanya ancaman yang tidak tertulis tetapi umum
dimengerti bahwa Badan Obat dan Makanan berhak menjatuhkan hukuman (Gellhorn,
1972: 102).
Inspeksi merupakan
alat utama bagi supervisi dan kontrol administratif. Sebagai contoh,
bank-bank nasional berada di bawah pengawasan Dewan Bank Cadangan Federal /
Bank Pusat Amerika Serikat (Federal Reserve Board) dan Perusahaan Asuransi
Deposit Federal / Lembaga Penjamin Simpanan Federal (Federal Deposit Insurance
Corporation) melalui kunjungan-kunjungan dari inspekturnya untuk memeriksa
catatan-catatan bank. Seorang staf tata kota / tata bangunan dapat menginspeksi
bangunan-bangunan untuk menentukan kepatuhan terhadap Undang-undang Bangunan
(Building Codes). Di suatu waktu, inspeksi dilakukan secara
kadang-kadang (occasionally), misalnya menjamin kepatuhan terhadap
Undang-undang Bangunan. Di waktu lainnya, inspeksi
dilakukan secara kontinu, misalnya inspeksi terhadap makanan. Kedua
bentuk inspeksi, baik sporadis / kadang-kadang ataupun kontinu, telah
menghadirkan tekanan untuk meregulasi diri sendiri dan menyumbang terhadap
kontrol internal seperti yang telah diperintahkan oleh
hukum. Kadang-kadang, inspeksi-inspeksi ini juga akan berakibat
kepada proposal / usulan untuk perbaikan legislasi standar regulasi tatakelola
(legislation governing regulatory standards).
3. Ancaman Publisitas
Di dalam suatu
masyarakat sederhana dimana orang cenderung kenal satu sama lain,
mempublikasikan orang yang berbuat salah / jahat (publicizing wrongdoers) dapat
mempunyai efek signifikan untuk mengubah perilaku orang tersebut. Sistem
kontrol sosial seperti itu biasanya tidak jalan di masyarakat industrial
perkotaan dalam hal adanya penyimpangan perilaku individu. Perusahaan
besar yang menjual produk bermerk yang diketahui luas, namun demikian, akan
sangat terpengaruh oleh ancaman publisitas “negatif” (adverse publicity) yang
beredar luas / beroplag besar (Nagel, 1975: 347).
Barangkali kekuatan
potensial terbesar di tangan administrator adalah kekuasaan untuk mempublikasi
(Gellhorn, 1972: 110). Suatu publisitas yang dikeluarkan yang
menggambarkan dengan detail karakter dari pelanggaran yang didakwakan dan
pelanggar yang terlibat dapat mengakibatkan kerugian segera yang tidak kecil
(can inflict immediate damage). Sebagai contoh, sebelum Hari Terima
Kasih (Thanksgiving) pada tahun 1959, Menteri Pendidikan, Kesehatan dan
Kesejahteraan (Secretary opf Health, Education and Welfare) praktis telah
menghancurkan semua pasar buah cranberry dengan mengumumkan pada konperensi
pers bahwa beberapa buah cranberry telah terkontaminasi oleh zat yang dapat
menghasilkan kanker. Keefektivan dan kekuatan dari publisitas adalah mekanisme
kontrol yang akhir-akhir ini telah dikonfirmasi bahwa pengumuman bakteri
(botulism) dalam sekaleng sup telah membunuh seorang
lelaki. Publisitas tersebut telah menghancurkan Perusahaan Sup
Bonvivant (Gellhorn, 1972: 110). Namun perlu dicatat, bahwa kekuatan
publikasi tidak hanya dimiliki oleh pegawai pemerintah. Sebagai contoh,
kehancuran pabrik mobil Corvair disebabkan oleh buku Ralph Nader yang berjudul
”Tidak Aman pada Kecepatan Berapapun” (Unsafe at Any Speed, 1965) dan
publikasi-publikasinya yang lain.
Di banyak bidang,
publisitas sangat berguna kalau tidak amat sangat diperlukan dalam fungsi
kontrol. Pada tahun 1970 legislasi polusi udara federal, sebagai
contoh, telah memberitahu publik melalui publikasi sejauh mana setiap pabrik
mobil patuh terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh Badan Perlindungan
Lingkungan (Environmental Protection Agency). Seringkali,
perusahaan-perusahaan yang menghasilkan polusi setuju untuk menghentikan
kegiatannya dan mematuhi perintah lembaga administratif karena ketakutan
terhadap konsekuensi dari publisitas yang merugikan (Nagel, 1975:
347). Selain itu, dalam penegakan legislasi yang melindungi konsumen
dari manufakturer dan penjualan makanan dan obat-obatan yang tidak asli (impure
food and drugs), kemampuan lembaga administratif untuk menginformasikan publik
bahwa suatu produk mungkin berisi bahan-bahan yang merugikan (harmful
ingredients) dapat mengambil peran penting dalam mencegah konsumsi produk yang
di bawah investigasi tersebut sampai akurasi dari dugaan ini dapat
ditentukan.
Namun demikian dalam
kasus-kasus tertentu, perusahaan-perusahaan yang mempunyai monopoli terhadak
produknya, seperti perusahaan listrik dan perusahaan gas, tidak akan dirugikan
oleh publisitas yang negatif. Lembaga-lembaga pemerintahan,
kadang-kadang, juga segan untuk memberi kesan negatif (stigma)
perusahaan-perusahaan karena publisitas negatif dipandang sebagai ajudikasi
informal, walaupun seringkali digunakan dan dijustifikasi oleh pendapat bahwa
orang mempunyai hak untuk tahu (people have a right to
know).
G. Kesimpulan
Pembahasan dalam Bab
ini telah memandang hukum sebagai kontrol sosial formal. Hukum akan
bermain bila kontrol sosial yang lain lemah, tidak efektif, atau tidak
ada. Individu-individu dan kelompok-kelompok dipandu untuk
berperilaku dalam cara-cara yang dapat diterima melalui proses sosialisasi dan
tekanan eksternal dalam bentuk sangsi dari orang atau kelompok lain. Mekanisme
kontrol sosial melalui tekanan dari luar dapat bersifat formal maupun informal,
dan mencakup sangsi-sangsi positif maupun negatif.