Langsung ke konten utama

Kolektif kolegial sebagai bentuk kepemimpinan Majelis untuk Menumbuhkan kebersamaan dalam pelayanan

Kolektif kolegial sebagai bentuk kepemimpinan Majelis untuk Menumbuhkan kebersamaan dalam pelayanan
"Pembinaan Majelis GKJ Tuntang Barat"
Kamis, 1 Juni 2017
Catatan awal
Untuk menumbuhkan kebersamaan dan menumbuhkan motivasi bersemangat dalam pelayanan, saya memberikan catatan awal sbg berikut:
1.Upaya diatas bukanlah karya manusia melainkan karya Allah. Hal menumbuhkan kebersamaan dan semangat pelayanan dalam gereja diyakini spt
Mazmur 127:1:”Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah tukang-tukang bekerja”.
Juga perlu kesadaran bahwa Kristus yang membangun jemaat-Nya (Mat 16:8)
dan demi siapa jemaat dibangun (Efesus 2:20,22).

Mengapa saya beri catatan awal spt ini? Sebab dalam hal pembangunan jemaat kita seringkali jatuh dlm dua ekstrem. Pertama kita sangat hapal akan ayat2 tsb akan tetapi kemudian kita bertindak seolah-olah Tuhan tidak ada. Atau ekstrem yang lain yakni percaya bahwa Yesus yang membangun shg peran manusia akhirnya ditiadakan. Di satu sisi Roh Kudus tidak berkarya, di sisi lain manusia tidak berfungsi. Jalan tengah yg kita amini bahwa Yesus membangun dan sekaligus menyerahkan tugas kepada manusia. 
I Kor 3:9:”Kami adalah kawan sekerja Allah”. Kita adalah kooperator dan kawan Allah. Bertindaknya Roh memungkinkan tindakan manusia tidak menjadi sia-sia, atau berlebihan atau tanpa guna. Sekaligus Roh memungkinkan manusia untuk bertindak dengan sadar dan bijak. Kenyataan ini membuat kita tidak gampang frustasi dan sekaligus memperluas wawasan kita akan apa yng sedang kita kerjakan di dalam gereja.
2.Upaya di atas juga menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh menganggap enteng tugas tersebut namun sekaligus tidak menganggapnya terlalu sulit juga. Di satu pihak kita harus berani melihat kenyataan tantangan yg ada dan dilain pihak kita harus melihat bahwa fakta tsb bukanlah fakta yg stagnan, melainkan bisa berubah dan diubah. Berbeda dengan fakta alamiah, fakta yg terjadi di gereja adalah fakta sosial yang bisa diubah. Pengertian  ini kita perlukan supaya menjadikan kita tidak mudah menjadi lelah dan menyerah.
3.catatan yg ketiga, ada banyak faktor yang memang mempengaruhi kehidupan bergereja kita. Selain faktor eksternal yang banyak pengaruhnya, kadang kita sendiri kurang memperhatikan factor internal. Maksudnya kita kurang mampu memaksimalkan faktor internal, potensi-potensi yang ada di dalam gereja itu sendiri. Dalam tulisan ini saya lebih membobot pada faktor internal gereja. Secara khusus pada pemilihan sistem kerja Kolegial Kolektif Majelis sebagai faktor internal yang sangat mempengaruhi kehidupan jemaat.  Jadi saya tidak bicara soal Tantangan serta Ancaman yang ada di luar gereja. Namun lebih ke soal dapur gereja.
Menumbuhkan kebersamaan dalam pelayanan
Memang ada banyak faktor (dlm faktor internal itu sendiri) yang mempengaruhi hal kebersamaan dan munculnya semangat pelayanan di dalam gereja. Akan tetapi pada kesempatan ini sebelum kita memperhatikan hal Kolektif Kolegial, kita akan menyinggung beberapa hal yang saya anggap mendasar: Di antaranya ialah:
1.Hal berfokus pada warga
Dalam PPAG Persekutuan tidak lagi dianggap sebagai suatu Tugas Gereja. Mengapa? Dikatakan bahwa persekutuan itu adalah suatu keniscayaan. Tumbuhnya kebersamaan akan muncul dengan sendirinya (sebuah keniscayaan) manakala orang2 di dalam gereja sudah memahami hal ideal (manusia yg berwatak sosial) bahwa mereka memang harus membentuk persekutuan. Seperti penggambaran Tubuh Kristus (lihat 1 Kor 12) yang mengandaikan semua warga dan potensi membentuk satu kesatuan yang saling mengikat dan memperlengkapi dan menguntungkan. Demikian pula setiap warga dewasa harus sadar bahwa dia memerlukan persekutuan. Sehingga tidak perlu dikatakan sebagai suatu Tugas Gereja. Dalam hal ini haklikat manusia sebagai mahkluk sosial menjadi dasarnya.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah adanya faktor “kesenangan”. Hal orang bersekutu dalam kebersamaan dengan senang hati ternyata merupakan faktor yang efektif bagi penuhnya kebersamaan dalam gereja. Paling tidak faktor itu akan meningkatkan partisipasi dan membuat tujuan serta kegiatan dapat tercapai dengan lebih sering dan lebih baik (kuantitatif maupun kualitatif). Dengan adanya faktor kegembiraan, orang berkomunikasi dengan lebih banyak, dengan lebih terbuka, dengan lebih jujur. Dengan adanya kesenangan orang lebih rela melayani, lebih mudah saling memberi  informasi dan dapat saling mengoreksi kekurangan. Teladan dapat kita lihat dalam gereja perdana (lihat Kisah rasul pasal 2 dan 4). Sikap saling mengasihi antara orang beriman membuat orang luar mendengar injil.
Dalam pergaulan jemaat, faktor kesenangan sering kita sebut dengan adanya iklim yang kondusif. Maksudnya seluruh prosedur dan tata cara pergaulan yang berlaku di gereja menjadikan warga merasa senang sebab mereka dihargai dan dihormati sebagaimana layaknya orang yang telah dicintai oleh Tuhan. Jadi perihal bagaimana setiap warga jemaat dipandang dan dinilai serta bagaimana warga diperlakukan itu yang akan memunculkan tingkat partisipasi yang tinggi. Hal ini berarti kita harus berani melihat dan meninjau kembali prosedur dan struktur yang ada dalam kehidupan bergereja kita. Apakah prosedur dan struktur bergereja kita sdh mengandaikan pandangan yang positip kepada warga gereja atau tidak.
Mengapa kita harus memperhatikan setiap warga, satu demi satu (logika saya adanya 1 pendeta untuk 300 warga, kalau pendeta dianggap sebagai pioner profesional pelayanan))? Sebab dalam organisasi apapun terlebih dalam gereja, faktor manusia merupakan faktor yang terpenting, bahkan warga merupakan (“asset”) milik yang penting dan berharga. Dan organisasi harus bertindak berdasar kesadaran akan hal itu. Warga harus dilihat sebagai Subyek (di-uwong-ke).
Kehadiran, sumbangan dan kemampuan mereka harus dihargai. Oleh karena itu para pemimpin jemaat harus memandang warga sebagai “yang ikut mengambil keputusan” dan bukan semata-mata sebagai pelaksana atau yang terkenai dampak atas sebuah keputusan yang diambil. Warga harus ikut mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam kuasa. Pimpinan harus melihat bahwa warga adalah orang dewasa yang mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga mampu bertanggung jawab atas keberlangsungan organisasi/gereja.  Yang menjadi tugas pimpinan adalah mendengar dan kemudian menolong mereka untuk menjalankan pekerjaan. Pimpinan membuka diri terhadap kritik, tidak mempersalahkan atau mengeluh.  Pimpinan harus mudah didekati, perlu struktur organisasi yang datar, perlu dikembangkan proses komunikasi yg bottom-up.
Landasan teologis bisa kita dapatkan dalam surat-surat rasul Paulus dan Petrus untuk jemaat perdana. Semisal dalam kitab Efesus 4 ayat 11-16. Di sana kita melihat bahwa berbagai jabatan yang ada dalam jemaat pada akhirnya harus bertujuan dan diperuntukan/berfokus untuk pembangunan jemaat. Jadi semua diperuntukkan dan diabdikan untuk pertumbuhan jemaat. Agar orang-orang kudus dapat menuju pada pemenuhan di dalam Kristus.
Lebih tegas Petrus dalam 1 Petrus 2:9 menyapa jemaat :”Kamulah imamat rajawi”. Dari sini kita mengenal istilah Luther tentang Imamat Am orang percaya. Karena Roh Kudus dicurahkan kepada setiap orang percaya, dan korban Kristus diperuntukkan pula bagi setiap orang percaya maka berlaku prinsip egaliter/kesetaraan di antara setiap orang percaya. 
Dalam sejarah  kita bisa melihat perbedaan antara struktur masyarakat Israel dengan gereja. Di mana dalam struktur masyarakat Israel dikenal istilah Representasi. Israel merupakan representasi seluruh bangsa. Imam agung bertindak atas nama para imam. Imam bertindak atas nama para Lewi. Lewi bertindak atas nama orang-orang Israel laki-laki. Orang Israel laki-laki bertindak atas nama perempuan dan anak. Ada hierarki.  Sementara itu dalam gereja lebih ditandai oleh sifat Partisipasi. Tidak ada lagi yang bertindak atas nama orang lain. Setiap orang berdiri di samping yang lain. Dari sini kita melihat upaya penekanan penghormatan yang luar biasa pada setiap jemaat. Setiap orang percaya sekali lagi adalah Subyek.  
Oleh karena itu setiap anggota jemaat  harus menerima satu sama lain. Jika jemaat menjadi jemaat karena diterima oleh Allah tanpa  syarat demikian pula hendaknya jemaat dengan jemaat yang lain saling menerima tanpa syarat. Menjadi paguyuban yang ciri pokoknya adalah saling menerima orang lain tanpa syarat. Hal ini begitu mudah kita pahami namun sekaligus begitu sulit untuk dialami. Sebab seharusnya di jemaat orang bisa menemukan Allah.  Gereja menjadi tempat untuk saling mengenal dan menghargai sebagai manusia, di mana setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri dan di mana ada juga ruang untuk orang lain. Di mana manusia merasa terlindung dan dikuatkan untuk menjalani kehidupan. Kondisi semacam itu membuat adanya komunikasi terbuka dan penuh keakraban.
Penghormatan dan penghargaan yang tinggi pada diri manusia (terlebih manusia yang telah percaya dan menjadi anggota Tubuh Kristus) dirumuskan dalam PPA GKJ pertanyaan dan jawaban no 23 dan 24, sbb:
23.   Pert    :     Bagaimana penyelamatan Allah ke atas manusia itu kita pahami?
        Jwb    :     Penyelamatan Allah itu kita pahami sebagai anugerah karena:
                        1.   Dilakukan atas dasar kasih Allah.
2.   Melalui kehendak dan prakarsa Allah.
                        3.   Dikerjakan oleh Allah.
                                [Yoh.3:16; Ef.2:1-9; Tit.3:3-7; 1Yoh.4:9,10]

24.   Pert    :     Bagaimana penyelamatan Allah yang adalah anugerah itu dapat dinalar?
        Jwb    :     Hal itu dapat dinalar sebagai berikut:
                        1.   Allah menyelamatkan manusia karena Ia mengasihi manusia.
                        2.   Allah mengasihi manusia karena bagi-Nya manusia berharga untuk dikasihi.
                        3.   Bagi Allah manusia berharga untuk dikasihi karena manusia mempunyai martabat di atas semua makhluk yang lain.
                        4.   Martabat manusia itu adalah bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah.
                                [Kej.1:26,27; Yoh.3:16; 1Yoh.4:9,10; band. Ef.4:24; Kol.3:10]

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa ketika warga dilihat sebagai subyek (yang dewasa dan mampu bertanggungjawab dalam kebebasan, yang juga mendapat pencurahan Roh Kudus) dan mereka juga melihat yang lain juga sebagai subyek maka akan terjadi kehidupan yang saling menerima satu sama lain.  Warga menjadi saling membuka diri dan memperlihatkan bahwa orang lain juga boleh berada. Dengan begitu akan terjadi komunikasi yang terbuka dan akrab.  Adapun langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut adalah:
-semua warga dilibatkan dalam penentuan tujuan, dengan demikian semua terlibat dalam menentukan kebijakan.
-semua warga mendapatkan informasi yang mereka butuhkan dan diundang pula untuk memberikan semua informasi dalam komunikasi terbuka.
-semua dilibatkan dalam penentuan kebijakan yang penting bagi mereka dan bahwa keputusan diambil sedemikian rupa sehingga integritas pribadi orang terjamin.
-semua dapat mempengaruhi hidup jemaat pada umumnya.
-semua diterima dan diperlakukan dengan respek.

Inilah perwujudan dari Imamat Am.

2.Memperhatikan relasi-relasi yang terjadi
Hal lain yang memungkinkan kita dapat menumbuhkan kebersamaan dalam pelayanan adalah faktor Relasi. Yakni Keseluruhan relasi dan hubungan antara orang-orang yang ada dalam organisasi (gereja) yang ditampakkan melalui bagan struktur, peraturan, tata gereja dan lain-lain. Biasanya dalam gereja dibedakan dalam 3 aspek ini: (1)relasi antara masing-masing anggota individual  dalam organisasi, (2)relasi antara anggota individual dengan organisasi sebagai keseluruhan (dan juga dengan kelompok-kelompok yang merupakan bagiannya), (3)relasi antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Pada pokok ini hanya point 1 dan 2 yang akan saya singgung.
a.Relasi antar individu
Biasanya sifat relasi dalam gereja sering dinyatakan dengan pengertian paguyuban. Secara sadar atau tidak kita dihadapkan dengan pasangan pengertian Gemeinschaft dan Gesellschaft. Yang mana Gemeinschaft  dipahami sbg pola relasi ala pedesaan (jaman dulu) yang mengandaikan ciri-ciri kekeluargaan sejati dan Gesellschaft dipahami  sbg masyarakat perkotaan (masa kini) yang cenderung lebih sakelek atau formal/yuridis.  Dalam kenyataannya pembedaan 2 pengertian tsb untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan gereja adalah tindakan yang tidak tepat benar. Pengandaian Gemeinschaft bahwa orang menjadi saling memperhatikan (karena sering bertemu) dan saling melayani tanpa pamrih, serta pengandaian pada Gesellschaft bahwa masyarakat perkotaan hanyalah manusia acuh tak acuh dan hanya saling menolong untuk menerima, ternyata sdh mendapat banyak kritikan. Oleh karena itu 2 pengertian tsb tidak bisa begitu saja diberlakukan atau dipakai untuk membentuk suatu persekutuan yang ideal di gereja. Akan tetapi 2 pola tersebut bisa kita pakai untuk melihat kehidupan gereja secara keseluruhan.
Salah satu kritik kita dapati pada Peter H.Mann yang membuktikan bahwa tidak adanya kontak belum tentu tidak adanya kerelaan. Perlu dibuat pembeda antara Ada atau Tidak Ada-nya kontak dengan sikap yang melatarbelakanginya. Sehingga Mann membuat 4 tipe relasi:
A.Adanya kontak faktual + Sikap Positip
B.Tidak adanya kontak faktual + Sikap Positip
C.Adanya kontak faktual + Sikap Negatip
D.Tidak adanya kontak faktual + Sikap Negatip

Tipe A dan D paling jelas, sehingga tidak perlu kita perhatikan. Tipe B dan C paling menarik.  Tipe C memperlihatkan bahwa kontak faktual (memberi salam dan saling menolong) dapat bersamaan dengan munculnya sikap negatip. Tipe B menunjukkan sebaliknya sebab orang hormat pada privacy orang lain dan sekaligus siap menolong. Dapat ada sikap positip meskipun tidak ada kontak faktual. 4 tipe ini sangat menolong kita untuk melihat hal-hal/kasus yang terjadi di gereja kita.
Artinya bagaimana kita memperbesar kemungkinan poin A dan B, serta bagaimana kita mensiasati atau meminimalisir poin C dan D.  
Study Josef Pieper mengenai bentuk-bentuk dasar relasi manusia membedakan dalam 2 kategori pokok, yakni Relasi yang di-Ia-kan dan relasi yang Tidak di-Ia-kan.
Dalam relasi yg pertama para partisipan Saling menerima. Contoh: relasi antar tema, guru dan murid, penjual dan pembeli. Syarat: sejauh para aktor saling memperhitungkan dan saling memperhatikan.
Sedangkan dalam relasi kedua kita dapati pada situasi konflik, yang mana para aktor berusaha untuk menang atas yang lain.
Dalam Relasi yang di-Iakan, Pieper menyebut dan membedakan 3 macam relasi yakni: Gemeinschaft, Gesellschaft dan Organisasi.
Pieper menyebut relasi yang didasarkan karena adanya kepentingan dan milik bersama sebagai relasi Gemeinschaft. Yakni kesadaran kepentingan/nilai bersama. Menekankan apa yang menjadi milik bersama, sedang yang bersifat pribadi diletakkan dibelakang.
Sedangkan relasi yang didasarkan pada kepentingan diri sendiri namun kepentingan, nilai dan martabat orang lain juga dihargai disebut oleh Pieper sebagai Gesellschaft.
Dan relasi yang didasarkan tugas bersama dan tujuan organisasi disebut sebagai relasi Organisasi.
Jadi ada 3 relasi yang diiakan. Pernyataan Pieper yang menarik adalah bahwa semua ikatan atau kenyataan sosial (entah itu keluarga, PT atau Gereja) jika ingin kondisi yang stabil harus memberi ruang kepada ketiga jenis relasi yang di-Iakan tersebut. Tingkat partisipasi akan meningkat manakala tidak ada jenis relasi yang dimutlakkan.
Jadi bagi jemaat yang ingin adanya pertumbuhan partisipasi  perlu mengembangkan ketiga jenis relasi yang di-Iakan sebagaimana disebut oleh Pieper di atas. Sebab penekanan pada jenis relasi Gemeinschaft akan membuat orang tertekan sebab ia tidak dapat mengekspresikan kepentingannya sendiri. Akan tetapi pementingan kepentingan sendiri (Gesellschaft) yang terlalu kuat juga tidak baik bagi hidup kebersamaan. Sejauh orang lain diterima dan diakui, termasuk kepentingannya, maka orang akan tetap merasa terikat dalam kebersamaan.  
Filipi 2: 4 senantiasa mengingatkan: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.
Kesimpulannya: jemaat akan meningkat partisipasinya jika tidak ada jenis relasi yang dimutlakkan.  Tiga jenis yang harus senantiasa disadari dan kembangkan yakni:
-Gemeinschaft beserta aturan mainnya yaitu: keterbukaan, pengorbanan dan kelangsungan/kontinunitas.
-Organisasi, dengan pemberian undangan dan ruang bagi setiap orang untuk mempergunakan bakat khusunya bagi tujuan organisasi
-Gesselschaft, yakni adanya pengakuan bahwa manusia berhak untuk membela kepentingan diri asal menurut aturan main yang disepakati.

b.Relasi anggota individu dengan organisasi
Dalam ilmu sosiologi agama warga gereja biasa dibedakan dalam 4 tipe (Fichter), yakni: anggota Inti, anggota Biasa, anggota Marginal dan anggota Tidur.
Pembagian semacam ini bertolak dari individu serta relasinya dengan organisasi.  Untuk perspektif partisipasi pembagian semacam ini jelas berat sebelah karena partisipasi organisasi tidak hanya ditentukan oleh Sikap Individu terhadap organisasi tetapi ditentukan juga oleh sikap organisasi terhadap individu. Saya pikir justru yang terakhir ini yang penting kita perhatikan saat ini.  Remmerswaal mengembangkan tipologi keanggotaan organisasi bertolak pada dua variable yakni Atraksi (kadar ketertarikan anggota pada organisasi) dan Penerimaan (kadar organisasi memperlakukan dengan serius anggotanya/penerimaan organisasi).
Kita bisa melihat analisa Remmerswaal dalam bagan sbb:



atraktivitas
penerimaan
Positip
Netral
Negatip
Positip
1
2
3
Netral
4
5
6
Negatip
7
8
9

Keterangan:
Dalam kedua variable dinilai dengan Positip, Netral dan Negatip.
Atraksi negatip berarti seorang anggota tidak ingin masuk organisasi.
Atraksi Positip berarti anggota bermotivasi untuk menjadi anggota (terus)
Atraksi Netral berarti anggota acuh tak acuh terhadap organisasi.
Penerimaan Positip berarti anggota kelompok/organisasi bereaksi terhadap tingkah laku individu, baik atas yang menyimpang (kecewa) maupun yg taat (memuji) atas norma organisasi.
Penerimaan netral berarti anggota kelompok bersikap acuh tak acuh atau toleran terhadap partisipasi tidaknya seseorang.
Penerimaan negatip berarti bahwa anggota kelompok memperlakukan individu seakan-akan ia tidak termasuk kelompok, ia dianggap tidak ada.

Dari skema diatas dapat diperjelas sebagai berikut:
1                 = Orang yang senang dan dihargai
2 dan 3      =Orang senang ikut namun tidak didorong oleh kelompok (2) atau malah dihalangi (3)
4                 =orang yang dihargai oleh kelompok ia sendiri tidak suka masuk.
5 dan 6      = anggota biasa (hanya namanya saja) yang tidak diperhatikan (5) atau malah mau dilepas oleh kelompok (6).
7                 = anggota yang “memberontak”; orang yang enggan ikut (misalnya ikut hanya karena membutuhkan sesuatu) dan yang didekati secara positip oleh kelompok.
8 dan 9      = orang yang enggan ikut dan oleh kelompok hampir tidak (8) atau sama sekali tidak dihargai (9).

Skema atau bagan Remmerswaal ini hanya untuk menolong kita menilai sebagai organisasi. Meskipun dalam praktek kenyataan bisa lebih rumit. Jadi dalam sikap individupun bisa kita dapati sikap yg bernuansa yang lebih rumit. Bisa jadi ia netral terhadap organisasi besar, tapi ia positip atas organisasi yg lebih sempit (blok/kelompok) yg ada dalam organisasi yang besar. Bagaimanapun bagan tersebut menolong kita melihat dan menilai bahwa sikap organisasi atas individu sangat berpengaruh besar atas munculnya partisipasi.
Perhatian atau penerimaan organisasi biasa diwujudkan secara pastoral dalam kegiatan perkunjungan. Kegiatan perkunjunganlah yang selama ini diakui dan dilakukan oleh gereja sepanjang abad sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidup bergereja. Manakala perkunjungan sdh dipersiapkan dengan baik akan menghasilkan impact yang cukup besar. Biasanya persiapan perkunjungan dilakukan  dengan mempertimbangkan situasi iman warga, yang bisa dilihat dalam:
Konteks situasi : tempat warga tinggal, pekerjaan, kepuasan dlm pekerjaan, relasi dengan tetangga dll.
Konteks iman: bagaimana menimplementasikan iman dlm rumah tangga, pekerjaan dan lingkungan.
Konteks bergereja; apakah ada ikatan dengan gereja, apa harapan atas gereja, tingkat partisipasi dalam gereja, dll.

Menurut penelitian Boonstra ada beberapa fungsi dari perkunjungan, yakni:
1.Perkunjungan berfungsi positip bagi mereka yg sdh lama tidak dikunjungi, mendapat kesan diprhatikan.
2.Pengalaman negatip bergereja dapat dibicarakan secara terbuka. Fungsi mau mendengar dan memberi penjelasan dengan sabar dibutuhkan.
3.Perkunjungan membuka kesempatan untuk berbicara tentang tantangan iman dalam suasana pribadi.
4.Bagi pengunjung mendapat pengalaman yg positip, dapat belajar bergaul secara bijak.
5.Lewat perkunjungankita dapat melihat gereja dari kacamata anggota marginal dan dapat melihat kendala yg ditemukan oleh orang lain dalam keinginan berpartisipasi.
6.Kepemimpinan dapat mengambil masukan dan menentukan kebijakan tidak berdasar dari apa yg actual ada namun juga dari yang potensial.

Peran dan penerimaan organisasi kepada anggota lebih menemukan fungsi positip dalam karya perkunjungan. Perkunjungan terbukti memiliki banyak manfaat. Tidak semata-mata untuk meningkatkan partisipasi saja, melainkan juga untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas tentang organisasi itu sendiri. Perlu Tim atau komisi khusus untuk melakukan tugas mulia dan fungsional ini.

3.Kolegial Kolektif.
a.Dasar-dasar.
a.1. Paham Trinitas dan Tritunggal
Dalam paham Trinitas atau Tritunggal ada Kemajemukan karya dalam pandangan mengenai Karya penyelamatan

Trinitas atau tritunggal memiliki latar belakang pengertian, yaitu sbg  cara Allah melaksanakan penyelamatan-Nya di dalam sejarah.
rumusan Bapa, Anak dan Roh Kudus itu dapat dijelaskan sbg cara pelaksanaan penyelamatan Allah di dalam sejarah, ketritunggalan Allah dapat dijelaskan demikian:
1.Dalam hubungan dengan peristiwa bangsa Israel sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Lama, Allah dikenal sebagai Bapa.
2.Dalam hubungan dengan peristiwa manusiawi Yesus sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Baru, Allah dikenal juga sebagai Anak.
3.Dalam hubungan dengan peristiwa Roh Kudus, sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Baru dan di dalam sejarah gereja hingga kini, Allah dikenal juga sebagai Roh Kudus.

Bapa, Anak dan Roh Kudus itu Allah yang satu dan sama. Jadi, pribadinya hanya satu, yaitu Allah. Itulah sebabnya dalam kepemimpinan Gereja dipuilih kepemimpinan Majelis/Dewan dengan 3 pejabat gerejawei (Penatua, Pendeta dan Diaken).

a.2.PPAG mengenai Kepemimpinan.
Dlm memandang kepemimpinan gereja PPAG memberi penjelasan sebagai berikut:
Kepemimpinan adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam  suatu kehidupan bersama. Gereja membutuhkan kepemimpinan. Oleh karena itu, di dalam kehidupan gereja ada kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan dan keteraturan akan terjadi Chaos.
                                   
Karena Gereja adalah kehidupan bersama relegius/agamawi maka ia membutuhkan pola kepemimpinan yang Khas, yang dicirikan sebagai berikut:
Ada dua sisi kepemimpinan dalam gereja, yaitu:
1.         Sisi ilahi, yaitu sebagai buah penyelamatan Allah, gereja dengan kehidupannya dipimpin oleh Allah melalui bekerjanya Roh Kudus dengan Alkitab sebagai alat-Nya.
2.         Sisi manusiawi, yaitu sebagai kehidupan bersama, gereja dipimpin oleh manusia atas kehendak Allah.
                                   
Oleh karena adanya dua sisi kepemimpinan maka GKJ meramu kepemimpinan dengan azas bahwa kepemimpinan gereja dilaksanakan dengan pedoman bahwa segala sesuatu yang diputuskan dan dilakukan oleh manusia dalam kepemimpinan gereja itu harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada Allah.

Pertanggungjawaban itu diwujudkan dalam keputusan dan tindakan yang didasarkan pada tiga tolok ukur berjenjang, yaitu Alkitab, pokok-pokok ajaran gereja dan peraturan gereja yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang dirumuskan di dalam ajaran gereja.
                                   
Adapun bentuk kepemimpinan gereja GKJ dipilih dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:
Banyak bentuk kepemimpinan gereja, tetapi berdasarkan watak gereja sebagai kehidupan bersama religius yang di dalamnya setiap orang percaya memiliki jabatan imamat am, maka yang paling tepat bagi GKJ ialah bentuk kepemimpinan dewan yang lazim disebut majelis gereja.
                                   
Dan berdasarkan imamat am orang percaya, lahirlah dua asas kehidupan bergereja, yakni:
1.         Asas kesederajatan, yaitu setiap orang percaya mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Oleh karena itu dalam kepemimpinan di GKJ seseorang tidak ditempatkan di atas orang-orang percaya yang lain.
2.         Asas pemerataan, yaitu setiap orang percaya berhak menjadi anggota majelis gereja. Oleh karena itu keanggotaan majelis gereja di GKJ dibatasi untuk jangka waktu tertentu dalam rangka memberi kesempatan kepada warga GKJ mengambil bagian dalam kepemimpinan gereja.

Berdasarkan dua azas di atas maka majelis gereja dibentuk dengan cara Dilakukan Pemilihan Anggota Majelis gereja yang terdiri dari orang-orang percaya anggota gereja setempat.

Karena keberadaan gereja adalah keberadaan dalam lingkup pekerjaan penyelamatan Allah, maka sifat kepemimpinan gereja adalah pelayanan. Oleh karena itu mereka yang duduk sebagai majelis gereja adalah pelayan-pelayan Allah, meskipun dalam praktek mereka dipilih dan ditunjuk dari antara warga gereja.
                                   
Pelayanan kepemimpinan Majelis gereja diwujudkan dalam tugas mengatur oleh Penatua, tugas mengajar oleh Pendeta dan tugas pelayanan kasih oleh Diaken.
Dari ketiga jabatan dalam kemajelisan muncul Pola kerja Majelis yang diberi nama Kolegial kolektif/kolektif kolegial.

a.3.Tata Gereja dan Tata Laksana 2005
Tager Pasal 7
KEPEMIMPINAN GEREJA
1.GKJ pada dasarnya dipimpin  Allah sendiri  yang secara kolektif dilaksanakan oleh orang-orang yang secara khusus atas kehendak Allah dalam kebijaksanaan-Nya dipilih, dipanggil, dan ditahbiskan atau diteguhkan untuk memangku jabatan sebagai Pendeta, Penatua, dan Diaken  yang selanjutnya disebut Majelis Gereja.
2.Hakikat kepemimpinan GKJ adalah pelayanan yang didasarkan pada Alkitab, Pokok-pokok Ajaran Gereja GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ.

Talak Pasal 5
MAJELIS GEREJA
Tugas Majelis Gereja adalah menjadi penanggung jawab segala kegiatan gereja baik di bidang Pemberitaan Penyelamatan Allah, Pemeliharaan Iman, maupun Organisasi Gereja. Pelaksanaan tugas Majelis Gereja meliputi:
1.         Bersama-sama warga gereja melaksanakan Pemberitaan Penyelamatan Allah.
2.         Menjaga ajaran gereja.
3.         Menyelenggarakan katekisasi atau pengajaran agama Kristen.
4.         Menyelenggarakan kebaktian, pelayanan Sakramen, dan kegiatan-kegiatan Pemeliharaan Iman.
5.         Menyelenggarakan Sidang Majelis Gereja untuk:
a.         Menentukan kebijakan dan arah pelayanan gereja.
b.         Koordinasi pelaksanaan tugas-tugas pelayanan gereja.
c.         Melaksanakan evaluasi pelaksanaan program pelayanan gereja.
6.         Mengangkat dan memberhentikan badan-badan pembantu Majelis Gereja.
7.         Mewakili gereja baik ke dalam maupun ke luar.
Struktur Majelis Gereja:
1.         Struktur Majelis sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota.
2.         Bidang-bidang pelayanan untuk melaksanakan tugas panggilan gereja dibentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing gereja, namun sekurang-kurangnya terdiri dari:
a.         Bidang Ibadah dengan pokok perhatian pelayanan Kebaktian dan Sakramen.
b.         Bidang Kesaksian Pelayanan dengan pokok perhatian pada Pemberitaan Penyelamatan Allah dan Pelayanan Diakona.
c.         Bidang Pembinaan Warga Gereja dengan pokok perhatian pada Pemeliharaan Iman serta Pembinaan dan Pengaderan.
d.         Bidang Penatalayanan dengan pokok perhatian pada keuangan dan sarana-prasarana.
3.         Pembagian tugas personalia dalam struktur Majelis Gereja perlu mempertimbangkan tugas-tugas jabatan gerejawi masing-masing.
Rahasia Jabatan.
Setiap anggota Majelis Gereja harus memegang teguh rahasia jabatan yaitu rahasia yang menyangkut pribadi warga gereja dan rahasia organisasi gereja. Rahasia jabatan itu harus tetap dipegang teguh, walaupun yang bersangkutan sudah tidak lagi menjadi anggota Majelis Gereja.

Pasal 16
SIDANG MAJELIS GEREJA

Materi:
1.         Perihal Pemberitaan Injil, Pemeliharaan Iman Warga Gereja, Administrasi, dan Keuangan Gereja.
2.         Evaluasi pelaksanaan kegiatan Gereja.
3.         Masalah-masalah kebersamaan Klasikal, Sinodal, oikumenis, dan kemasyarakatan.
Peserta:
1.         Penatua, pendeta, dan diaken gereja tersebut.
2.         Bagi gereja yang belum memiliki pendeta sendiri, maka Pendeta Konsulen untuk Gereja itu menjadi peserta Sidang Majelis.
3.         Undangan yang dikehendaki untuk menjadi nara sumber suatu  masalah tertentu.
4.         Warga Gereja yang mempunyai kepentingan dan diterima oleh Majelis Gereja.
Pimpinan:
1.         Pimpinan Sidang adalah Ketua dan Sekretaris Majelis Gereja.
2.         Jika Ketua atau Sekretaris Majelis Gereja berhalangan hadir, maka sidang menunjuk penggantinya.
Kuorum.
1.         Sidang dinyatakan sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) anggota Majelis Gereja. Anggota Majelis Gereja yang tidak hadir karena sakit atau izin diperhitungkan hadir.
2.         Apabila jumlah anggota Majelis Gereja tidak mencapai kuorum, maka Sidang ditunda selambat-lambatnya satu minggu. Setelah ditunda selambat-lambatnya satu minggu ternyata masih tetap tidak mencapai kuorum, maka Sidang tersebut dianggap sah.
Frekuensi.
Sidang diselengggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Proses Pengambilan Keputusan.
Keputusan Sidang diambil dalam semangat persekutuan dan kasih berdasarkan tiga tolok ukur yang berjenjang yaitu Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ.
Hak bicara dan hak suara.
1.         Setiap anggota Majelis Gereja mempunyai hak bicara dan hak suara.
2.         Pendeta Konsulen memiliki hak bicara dan hak suara dalam sidang di gereja yang dikonsuleni.
3.         Peserta sidang yang bukan anggota Majelis Gereja mempunyai hak bicara, tetapi tidak mempunyai hak suara.
Keputusan.
1.         Setiap keputusan Sidang dirumuskan dan dicatat sebagai Akta Sidang Majelis Gereja.
2.         Akta Sidang dilaksanakan dan disimpan sebagai dokumen Gereja.


a.4.Tata Gereja dan Tata Laksana 2015
Tager
Pasal 9
Kepemimpinan GKJ

1.   Hakikat Kepemimpinan GKJ
GKJ dipimpin oleh Allah sendiri yang oleh karya penyelamatan-Nya ke atas manusia dan dunia menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat sekaligus Kepala Gereja. Ia juga yang telah memanggil orang-orang percaya sebagai rekan sekerja Allah dalam melanjutkan karya penyelamatan-Nya, untuk menjadi pelayan bagi-Nya dan bagi gereja-Nya, dengan menganugerahkan jabatan-jabatan gerejawi yang dipercayakan kepada orang-orang tertentu yang dikehendaki-Nya. Atas dasar pemahaman tersebut, hakikat kepemimpinan GKJ adalah kepemimpinan pelayan atau kepemimpinan yang melayani.

2.   Fungsi Kepemimpinan GKJ
Kepemimpinan GKJ berfungsi sebagai alat untuk melayani kehendak Allah bagi gereja-Nya, sehingga GKJ dapat melaksanakan tugas panggilannya sebagai gereja.

3.   Tujuan Kepemimpinan GKJ
Kepemimpinan GKJ bertujuan untuk memberdayakan segenap warga GKJ, sehingga GKJ dapat melaksanakan tugas panggilannya sebagai gereja.

4.   Bentuk Kepemimpinan GKJ
Kepemimpinan GKJ dilakukan secara kolektif yang terdiri dari orang-orang yang secara khusus dipilih, dipanggil, dan ditahbiskan atau diteguhkan ke dalam jabatan-jabatan gerejawi sebagai Penatua, Pendeta, dan Diaken, yang dalam kebersamaannya disebut Majelis Gereja.


Pasal 10
Majelis GKJ

1.   Penatua
Penatua adalah jabatan gerejawi yang dianugerahkan kepada seseorang yang dipanggil, dipilih dan diteguhkan untuk melayani jemaat setempat dengan tugas utama mengatur kehidupan gereja.

2.   Pendeta
Pendeta adalah jabatan gerejawi, baik yang bersifat fungsional maupun struktural, yang dianugerahkan kepada seseorang yang dipanggil, dipilih, dan ditahbiskan/diteguhkan untuk melayani jemaat penuh waktu dengan tugas utama mengajar dan melayankan sakramen dengan keluasan pelayanan aras Jemaat, Klasis, Sinode, dan Gereja-gereja lain dalam ikatan oikumene.

3.   Diaken
Diaken adalah jabatan gerejawi yang dianugerahkan kepada seseorang yang dipanggil, dipilih, dan diteguhkan untuk melayani jemaat setempat dengan tugas utama melakukan pelayanan kasih.


Pasal 11
Persidangan Majelis GKJ

1.   Persidangan Majelis Gereja
Persidangan Majelis Gereja adalah persidangan para pemangku jabatan gerejawi yang dilaksanakan secara rutin untuk membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan gereja dan tugas panggilannya.

2.   Persidangan Majelis Gereja Istimewa
Persidangan Majelis Gereja Istimewa adalah persidangan para pemangku jabatan gerejawi yang dilaksanakan secara tidak rutin untuk membicarakan masalah-masalah tertentu.

3.   Keputusan Persidangan Majelis Gereja
a.      Keputusan persidangan Majelis Gereja dan/atau keputusan persidangan Majelis Gereja Istimewa ditetapkan berdasarkan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, serta keputusan-keputusan persidangan Klasis dan Sinode.
b.      Keputusan persidangan Majelis Gereja dan/atau keputusan persidangan Majelis Gereja Istimewa bersifat mengikat dan berlaku umum bagi segenap warga GKJ yang bersangkutan.
Talak
BAB IV
KEPEMIMPINAN GEREJA 

Pasal 9
Kepemimpinan GKJ

1.   Hakikat Kepemimpinan GKJ
Hakikat kepemimpinan GKJ sebagaimana dimaksud dalam Tata Gereja GKJ Pasal 9, Ayat 1 dipahami dan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.   GKJ menundukkan diri kepada Allah yang di dalam Yesus Kristus menjadi Pemimpin sekaligus Kepala Gereja.
b.   GKJ menerima panggilan Allah untuk menjadi rekan sekerja dalam melanjutkan karya penyelamatan-Nya, serta menjadi pelayan bagi-Nya dan bagi gereja-Nya, dengan kesediaan menerima dan menghormati anugerah jabatan-jabatan gerejawi yang dipercayakan kepada orang-orang tertentu yang dikehendaki-Nya.
c.   Dalam kesadaran akan panggilan Allah tersebut, GKJ menerapkan prinsip kepemimpinan pelayan dan memberlakukannya dalam seluruh aktivitas pelayanan.

2.   Fungsi Kepemimpinan GKJ
Fungsi kepemimpinan GKJ sebagaimana dimaksud dalam Tata Gereja GKJ Pasal 9, Ayat 2 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.   Setiap orang yang dipercaya untuk memegang jabatan gerejawi dan para pelayan gereja lainnya perlu menyadari bahwa dirinya adalah alat untuk melayani kehendak Allah bagi gereja-Nya.
b.   Sebagai alat untuk melayani kehendak Allah bagi gereja-Nya, setiap orang yang dipercaya untuk memegang jabatan gerejawi, dan para pelayan gereja lainnya pada dasarnya adalah pelayan Allah sekaligus pelayan gereja.
c.   Sebagai pelayan Allah sekaligus pelayan gereja, setiap orang yang dipercaya untuk memegang jabatan gerejawi, dan para pelayan gereja lainnya perlu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersama warga gereja mengalami pertumbuhan iman sehingga gereja dapat melaksanakan tugas panggilannya.

3.   Tujuan Kepemimpinan GKJ
Tujuan kepemimpinan GKJ sebagaimana dimaksud dalam Tata Gereja GKJ Pasal 9, Ayat 3 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.   Setiap orang yang dipercaya untuk memegang jabatan gerejawi, dan para pelayan gereja lainnya perlu memberdayakan segenap warga GKJ sehingga GKJ dapat melaksanakan tugas panggilan gereja.
b.   Pemberdayaan warga gereja tersebut dilakukan melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk kegiatan gereja dengan melibatkan warga gereja sebagai subjek pelayanan.
c.   Pemberdayaan warga gereja perlu mempertimbangkan aspek keseimbangan antara laki-laki dan perempuan serta generasi tua dan muda.

4.   Bentuk Kepemimpinan GKJ
Bentuk kepemimpinan GKJ sebagaimana dimaksud dalam Tata Gereja GKJ Pasal 9, Ayat 4 dilaksanakan dengan  ketentuan sebagai berikut:
a.   Setiap GKJ memiliki Majelis Gereja.
b.   Pemilihan, pemanggilan dan penahbisan/peneguhan orang-orang tertentu dari antara warga gereja ke dalam jabatan-jabatan gerejawi sebagai Penatua, Pendeta dan Diaken dilaksanakan melalui proses dan tata cara yang ditetapkan dalam Pasal 10 Tata Laksana ini.
c.   Penatua, Pendeta dan Diaken adalah penanggung jawab segala kegiatan gereja baik dibidang pemberitaan penyelamatan Allah, pemeliharaan iman warga gereja, maupun organisasi gereja.
d.   Dalam penjalankan tugas organisasi gereja, Majelis Gereja dapat menyusun struktur kemajelisan yang sekurang-kurangnya terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota.
e.   Dalam pelaksanaan tugasnya Majelis Gereja dapat membentuk badan-badan pelayanan tertentu berupa Komisi, Kelompok Kerja, Tim, Panitia, dan badan-badan pelayanan lainnya.
f.    Dalam pelaksanaan tugasnya badan-badan pelayanan tersebut bertanggung jawab kepada Majelis Gereja.


Adapun maksud dari Kolektif Kolegial : bahwa seluruh proses pengambilan kebijakan dalam berorganisasi, semuanya berpijak pada kebersamaan, dimana seluruh  anggota harus terlibat. Di mana pengambilan keputusan di Majelis berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyawarah secara berjenjang (MPH ke Pleno), satu sama lain saling melengkapi, masalah internal dan eksternal diputuskan dalam pleno, fungsi koordinasi (tidak one man show), tidak bisa ditentukan oleh gaya atau karakter seseorang saja.
Kolektif kolegial merupakan formulasi kepemimpinan dalam ikatan guna membangun kebersamaan dan satu ikatan, guna terciptanya iklim ikatan yang kondusif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kolektif berarti secara bersama dan Kolegial yang mempunyai arti akrab seperti teman sejawat.
Dari arti tersebut kita dapat menarik bahwa pengertian Kolektif Kolegial adalah kebersamaan seperti dalam pertemanan sejawat.
Maksudnya adalah dalam berorganisasi perlu bersama dalam derap dan langkah seperti halnya pertemanan seseorang, dalam regulasi kolektif kolegial ini semua anggota dinyatakan sama dalam setiap pengambilan keputusan begitu juga tanggung jawabnya.
Artinya bahwa anggota mempunyai porsi sama dalam menyatakan pendapat terkait organisasinya.  Kata musyawarah menjadi kata kunci sebab sebagai  salah satu syarat yang mutlak diperlukan demi kepentingan organisasi.
Selain musyawarah, perlu juga anggota dari sebuah organisasi ini mempunyai ikatan emosi yang cukup kuat antar anggota.
Dengan mengetahui hal ini, dapat kita ketahui bahwa peran ketua merupakan bukan hanya sebagai figur teladan dan simbol kekuasaan yang penuh. Namun ketua juga dikatakan sama dengan anggota lainnya. Dalam konsep ini dikatakan sama antara anggota dan ketua , namun dalam porsi tanggung jawab teknis setiap program kerja berbeda. Ketika dalam organisasi ditemukan sebuah kesalahan, bukan hanya ketua seorang yang dinyatakan bersalah dan dijadikan kambing hitam namun juga anggota lainnya.

Namun kelemahan dalam regulasi ini terbilang tidak cukup rumit. Kelemahan itu antara lain adalah :
1.       Perlu waktu lama dalam pengambilan keputusan.
Keputusan organisasi menjadi hal terpenting demi berjalannya roda organisasi. Dalam regulasi kolektif kolegial ini dinyatakan lamban.
Kelambanan ini dikarenakan sebuah keadaan yang bisa kita lihat yaitu porsi sama dalam organisasi. Ketika seseorang beragumentasi  mengenai keputusan organisasi bukan langsung diterima oleh seluruh anggota namun musyawarah menjadi patokan keputusan.
Argumen ini tidak melihat siapa yang memberikannya, sekalipun ketua organisasi.
Jika ketua saja tidak dapat mengambil keputusan secara mutlak, maka yang terjadi argumen-argumen baru yang tentu perlu banyak waktu untuk memilih argumen yang ditentukan oleh sekian anggota.
2.       Terbelenggunya inovasi individu
Diatas disebutkan bahwa setiap anggota dinyatakan sama dalam setiap keputusan maupun argumen.
Dan ini berdampak pula pada individu-individu anggota yang mempunyai inovasi cemerlang guna kemajuan organisasinya.
Ketika individu ini memberikan agumen yang cemerlang, namun kebanyakan anggota belum dapat menerimanya maka argumen ini dianulir oleh kebanyakan anggota.

Kelemahan ini bukan tanpa solusi, ada beberapa solusi dalam mengurangi hal itu.
Yang pertama yaitu mengurangi kesenjangan antar anggota. Dengan ini kita bisa mengatasi sebuah kejadian ide cemerlang tak dapat diterima. Artinya jika tidak ada kesenjangan kita akan menerima semua yang sama antar anggota termasuk argumen dan ide-ide anggota.
Yang kedua adalah mengambil keputusan yang efektif guna terciptanya karakteristik organisasi yang cepat tanggap terhadap masalah. Ini berguna ketika pilihan terlampau lama dan banyak, ini menjadi hal terpenting dalam hal pengambilan keputusan.






                                                                                          Rawapening, 1 Juni 2017

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013