17 Agustus 2023
DIMERDEKAKAN UNTUK SALING MENGASIHI
Bacaan I : Imamat 19:1-5, 17-18
Tanggapan : Mazmur 133
Bacaan II : Galatia 5:13-15
Bacaan Injil : Matius 5:43-48
Saudara yang terkasih,
Merdeka...merdeka ...merdeka
Negara kita sungguh sudah merdeka. Merdeka plus demokratis. Karena demokratis menjadi sangat mengagungkan kebebasan. Orang merasa berhak untuk berkata apa saja, di mana saja, tentang siapa saja. Orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa peduli dengan omongan siapa saja. Presiden mengkhawatirkan adanya polusi atau penurunan budaya adiluhur dan luruhnya Pakerti luhur.
Bagi mereka punya Semboyan “yang penting tidak melanggar hukum dan tidak mengganggu orang lain”. Itu menjadi mantra yang membenarkan segala perkara. Makna kebebasan perlu kita lihat kembali dalam konteks kemerdekaan RI saat ini.
Ada dua fenomena yang terkait kebebasan atau kemerdekaan, yaitu:
Pertama, ada orang yang keliru memahami arti kemerdekaan. Mereka anggap kemerdekaan sebagai kesempatan untuk hidup sebebas-bebasnya. Bicara sebebas bebasnya.
Kedua, ada orang yang sudah dimerdekakan, tetapi ingin kembali hidup sebagai orang terjajah. Mental terjajah dan tidak sadar ada neokolonialisme.
Kedua fenomena ini hanya mengulang apa yg sudah pernah terjadi dalam kehidupan jemaat mula- mula. Sebagian orang menganggap kemerdekaan Kristen sebagai kesempatan untuk berbuat dosa. Soal Gracia kebablasan. Sebagian lagi jatuh dalam ajakan para mengajar Yudais untuk kembali melakukan hukum Taurat secara ketat, khususnya tentang sunat. Neokolonial baru.
Saudara yang terkasih,
Paulus menegaskan tentang kemerdekaan yang jemaat miliki di dalam Kristus (5:13a). Mereka yang dibenarkan di dalam Kristus melalui iman adalah orang-orang yang merdeka. Dalam ayat 13b-15 kita diajak untuk memberikan respons yang tepat, ada larangan (ayat 13b), nasihat (ayat 13c-14), dan peringatan (ayat 15).
Pertama, larangan untuk membuka kesempatan bagi dosa (ay. 13b). Pemahaman bahwa kesalehan sama sekali tidak diperlukan dan tidak dipedulikan oleh Allah inilah yang sedang dibicarakan di ayat 13b. Soal gratis dimutlakkan. Sebagian jemaat telah salah memahami, yaitu kebebasan tersebut dianggap sebagai “kesempatan untuk kehidupan dalam dosa”.
Kedua, nasihat untuk melayani sesama (ay. 13c-14). Tidak cukup untuk menjauhi dosa namun juga diperintahkan untuk melakukan sesuatu, jangan menjadi pasif, jadilah aktif berbuat baik dan menebar kebaikan. Istilah yang dipakai “melayani sesama”, kata “melayani” (douleuĊ) di sini cukup mengejutkan karena sebelumnya muncul dengan arti “menghambakan diri” (perhambaan pada berhala atau roh-roh dunia (4:8-9, 25)). Disini Paulus ingin mengajarkan bahwa kebebasan (dari dosa) adalah penghambaan (pada kebenaran). Pada kebaikan.
Ketiga, peringatan terhadap kerusakan fatal (ay. 15). Sebagian jemaat Galatia menjadi tidak bisa lagi hidup damai dengan sesamanya. Mereka gila hormat, suka menantang, dan saling mendengki (5:26). Mereka juga merasa diri lebih baik daripada orang lain (6:3-4, 12). Paulus memberikan kecaman keras di sini: “Awaslah, supaya kamu jangan saling membinasakan” (5:15b). Kata “membinasakan” (analiskĊ) lebih mengarah pada menghancurkan dengan api. Kebencian adalah api yang menghanguskan semua yang bertengkar. Tidak ada pemenang. Kita lihat akibat kebakaran sebuah pulau di Hawai.
Hal mengenai larangan juga dapat dilihat dalam bacaan pertama, yaitu Imamat 19 yang merupakan kumpulan hukum dan peraturan dari Allah bagi orang Israel, demi kekudusan orang Israel sebagai bangsa pilihan. Seluruh hukum dan peraturan tersebut berasal dari Allah.
Dalam ayat 1 dan 2 ditampilkan peran Musa sebagai perantara orang Israel dengan Allah, “berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan pada mereka, Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Ay. 1-2) yang merupakan seruan pembuka dari Tuhan yang dialamatkan pada Musa. Seruan tersebut menunjukkan bagaimana mereka harus hidup kudus di hadapan Allah dengan bercermin pada Allah sendiri yang adalah kudus. Kekudusan Allah menjadi titik tolak kesucian mereka, dan kekudusan mereka diukur dari seberapa jauh mereka taat menjalankan segala perintah yang dari Tuhan. Itu harus terlihat setelah mereka dimerdekakan.
Perintah tersebut ditandai dengan kata “janganlah” yang mengandung makna suatu larangan. Larangan berarti ada batas- batas yang harus ditaati. Artinya, ketika orang setia pada larangan dan peraturan yang telah ditetapkan, maka orang akan mendapat kebahagiaan. Mungkin orang tidak mendapat maknanya ketika sedang menjalankan larangan tersebut, tetapi dikemudian hari dijamin bahwa orang yang setia terhadap larangan dari suatu peraturan, akan mendapat kebahagiaan.
Hal inilah yang mau ditampilkan bahwa ketika orang Israel dengan setia menjalankan hukum dan peraturan Tuhan, maka keselamatan akan menjadi milik mereka. Hukum dan peraturan yang harus mereka taati pada bagian ini, adalah bahwa mereka harus bisa mencintai sesamanya, siapa pun sesamanya itu, teristimewa yang ditekankan disini adalah mencintai orang miskin. Jadi, kekudusan orang Israel dicapai dalam perwujudan cinta akan sesama.
Kedua bacaan tersebut dapat kita lihat menekankan pada satu hal, yaitu mengasihi orang lain. Seperti halnya Tuhan Yesus juga menekankan hal tersebut melalui bacaan Injil Matius 5: 43- 48, bahwa ada Perintah yang lama (ay. 43), yaitu perintah untuk mengasihi sesama manusia yang bersumber dari Imamat 19:18. Orang-orang Yahudi memahami “sesama manusia” secara lebih sempit. Mereka hanya membatasi ungkapan itu pada sesama bangsa Israel (Im 19:18a). Namun Tuhan Yesus mengajarkan Perintah yang baru (ay. 44). Hal ini didasarkan saat ketika Tuhan Yesus berusaha menafsirkan Imamat 19:18 apa adanya. Sesama manusia berarti semua manusia, tidak peduli siapa dan bagaimana relasi orang itu dengan kita. Dengan pemikiran semacam ini, musuh-musuh pun masuk dalam kategori sesama manusia. Jika demikian, kita juga harus mengasihi musuh-musuh kita.
Di mata Tuhan Yesus, kasih bukan hanya ada di dalam hati. Ini berkaitan dengan tindakan, bukan hanya perasaan. Harus ada bukti konkrit dari kasih itu, yaitu:
Mendoakan (ay. 44b). Yang didoakan adalah pertobatan mereka. Mendoakan musuh tidaklah mudah.
Berbuat baik (ay. 45). Doa saja tidaklah cukup. Ayat 45 mengajarkan agar kita sendiri yang melakukan kebaikan itu kepada musuh-musuh kita.
Memberi salam (ay. 47). Memberi salam menyiratkan sebuah inisiatif. Dalam budaya Yahudi, sebuah salam sekaligus berisi ucapan berkat (10:12-13). Ini bukan sekadar sapaan biasa. Ini mengandung sebuah doa kepada Allah.
Saudara yang terkasih,
Kemerdekaan yang Kristus berikan bukanlah kesempatan untuk berbuat yang salah, namun untuk mengasihi dan melayani sesama. Mari kita terapkan saling mengasihi dan melayani mulai dari orang-orang di sekeliling kita hingga kepada orang yang belum mengenal Kristus sehingga nama Kristus semakin dimuliakan dan semakin terjadi kedamaian karena semua orang bersaudara seperti dalam Mazmur 133. Mari kita saling mendoakan, saling berbuat baik, dan saling menyapa untuk semakin memperkokoh kehidupan bersama kita di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Merdeka...merdeka ...merdeka.
Tuhan memberkati. Amin