Silabus
Silabus Pendalaman
Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) Edisi 2019
Dokumen silabus ini disusun untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) Edisi 2019. Peserta didik akan mengkaji latar belakang sejarah, pendekatan teologis, substansi ajaran, serta konsekuensi praktisnya bagi kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Silabus ini dirancang bagi para pemimpin gereja, pengajar katekisasi, mahasiswa teologi, serta anggota jemaat yang ingin memperdalam pengetahuan tentang identitas dan doktrin GKJ.
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran dalam silabus ini, peserta diharapkan dapat:
1. Memahami konteks sejarah dan proses perumusan PPA GKJ.
2. Mengenali pendekatan soteriologis yang dijadikan dasar dalam PPA GKJ.
3. Menjelaskan inti ajaran GKJ mengenai Alkitab, keselamatan dari Allah, gereja, dan kehidupan orang beriman.
4. Menerapkan ajaran GKJ dalam konteks kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
5. Merefleksikan signifikansi PPA GKJ bagi gereja dan masyarakat Indonesia saat ini.
Metode Pembelajaran:
· Diskusi Mendalam
· Analisis Studi Kasus
· Refleksi Individual
· Presentasi
· Proyek akhir: tulisan atau presentasi refleksi mengenai implementasi PPA GKJ dalam konteks pelayanan (30%)
Rincian Silabus per Pertemuan:
Pertemuan 1: Pengenalan PPA GKJ
· Tujuan: Memahami konteks historis dan kedudukan PPA GKJ sebagai sebuah dokumen gerejawi.
· Topik Bahasan:
· Kronologi penyusunan PPA GKJ (1996, 2005, 2019)
· Kedudukan PPA GKJ sebagai dokumen resmi gereja
· Konteks pergumulan internal GKJ
· Bahan Bacaan: Bagian Pengantar PPA GKJ (hal. i–13)
· Aktivitas: Diskusi mengenai urgensi perumusan PPA GKJ.
Pertemuan 2: Pendekatan Soteriologis dan Tahapan Pemikiran
· Tujuan: Memahami pendekatan soteriologis serta perkembangan tahap berpikir yang melatarbelakangi PPA GKJ.
· Topik Bahasan:
· Pendekatan soteriologis dalam PPA GKJ
· Tahap berpikir: mitis, ontologis, fungsional (menurut van Peursen)
· Implikasi pendekatan fungsional bagi GKJ
· Bahan Bacaan: Pendahuluan PPA GKJ (hal. 9–13)
· Aktivitas: Analisis contoh penerapan pendekatan fungsional dalam teks.
Pertemuan 3: Ajaran Gereja dan Alkitab
· Tujuan: Memahami relasi antara ajaran gereja dan Alkitab.
· Topik Bahasan:
· Alasan perlunya gereja memiliki rumusan ajaran
· Hubungan antara ajaran gereja dan Alkitab
· Otoritas Alkitab
· Bahan Bacaan: Bab I dan II (hal. 16–21)
· Aktivitas: Diskusi tentang otoritas Alkitab dalam praktik kehidupan bergereja.
Pertemuan 4: Keselamatan dari Allah
· Tujuan: Memahami doktrin keselamatan Allah sebagaimana dirumuskan dalam PPA GKJ.
· Topik Bahasan:
· Makna dan hakikat keselamatan
· Peristiwa-peristiwa keselamatan: Israel, Yesus, Roh Kudus
· Doktrin Allah Tritunggal dalam perspektif fungsional
· Bahan Bacaan: Bab III (hal. 22–34)
· Aktivitas: Refleksi mengenai pengalaman keselamatan dalam kehidupan pribadi peserta.
Pertemuan 5: Gereja dan Tata Laksana Gerejawi
· Tujuan: Memahami hakikat gereja serta tata kelola kehidupan gerejawi menurut GKJ.
· Topik Bahasan:
· Gereja sebagai manifestasi sikap percaya
· Tugas dan panggilan gereja
· Kesatuan dalam keberagaman gereja
· Bahan Bacaan: Bab IV (hal. 35–51)
· Aktivitas: Studi kasus mengenai hubungan antar denominasi Kristen.
Pertemuan 6: Ibadah dan Sakramen
· Tujuan: Memahami makna ibadah dan sakramen dalam tradisi GKJ.
· Topik Bahasan:
· Ibadah sebagai sarana pemeliharaan iman
· Sakramen baptisan dan perjamuan kudus
· Partisipasi anak-anak dalam sakramen
· Bahan Bacaan: Bab IV (bagian 5–6, hal. 46–51)
· Aktivitas: Simulasi liturgi ibadah GKJ.
Pertemuan 7: Etika Kehidupan Orang Beriman
· Tujuan: Memahami sikap hidup yang harus ditunjukkan orang percaya di tengah dunia.
· Topik Bahasan:
· Hidup beretika sebagai ekspresi syukur
· Tanggung jawab terhadap kelestarian alam
· Sikap terhadap kebudayaan
· Bahan Bacaan: Bab V (hal. 52–62)
· Aktivitas: Diskusi mengenai isu lingkungan dari sudut pandang iman.
Pertemuan 8: Orang Percaya dan Ilmu Pengetahuan
· Tujuan: Memahami hubungan antara iman, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
· Topik Bahasan:
· Sikap terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
· Sekularisme, saintisme, teknologisme
· Peran iman dan akal budi
· Bahan Bacaan: Bab V (bagian 4–5, hal. 59–62)
· Aktivitas: Diskusi tentang tantangan teknologi bagi kehidupan beriman.
Pertemuan 9: Orang Percaya dan Negara
· Tujuan: Memahami pandangan GKJ mengenai kehidupan bernegara.
· Topik Bahasan:
· Pandangan mengenai negara dan kekuasaan
· Hak Asasi Manusia dan martabat manusia
· Relasi antara gereja dan negara
· Bahan Bacaan: Bab V (bagian 6–8, hal. 63–73)
· Aktivitas: Analisis kebijakan publik berdasarkan perspektif iman.
Pertemuan 10: Orang Percaya dan Agama-Agama Lain
· Tujuan: Memahami sikap GKJ dalam menyikapi agama-agama lain.
· Topik Bahasan:
· Pemahaman tentang agama
· Sikap terhadap pemeluk agama lain
· Dialog dan kolaborasi antar umat beragama
· Bahan Bacaan: Bab V (bagian 8, hal. 70–73)
· Aktivitas: Simulasi dialog antar umat beragama.
Pertemuan 11: Warisan Rohani GKJ
· Tujuan: Memahami warisan rohani yang dipegang teguh oleh GKJ.
· Topik Bahasan:
· Sepuluh Perintah Allah
· Hukum Kasih
· Pengakuan Iman Rasuli
· Doa
· Bahan Bacaan: Bab VI (hal. 74–89)
· Aktivitas: Refleksi mengenai relevansi Sepuluh Perintah Allah di era modern.
Pertemuan 12: Penerapan PPA GKJ dalam Konteks Pelayanan
· Tujuan: Menerapkan PPA GKJ dalam pelayanan gerejawi dan sosial.
· Topik Bahasan:
· Integrasi ajaran GKJ dalam katekisasi, ibadah, dan diakonia
· Tantangan dan peluang implementasi PPA GKJ
· Presentasi proyek akhir
· Aktivitas: Presentasi proyek akhir oleh peserta.
Pertemuan 13: Refleksi Akhir dan Penutupan
· Tujuan: Merefleksikan perjalanan belajar dan meneguhkan komitmen penerapan.
· Aktivitas:
· Berbagi refleksi akhir
· Evaluasi terhadap silabus
· Peneguhan komitmen
---
Pertemuan 1
Makalah: Pengantar Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ)
Pendahuluan
Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah salah satu denominasi Protestan di Indonesia yang didirikan pada 17 Februari 1931. Sebagai sebuah gereja yang mandiri, GKJ membutuhkan suatu dokumen resmi yang memuat rumusan pokok-pokok ajaran, kepercayaan, serta pedoman hidup bagi warganya. Dokumen tersebut adalah Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ). Makalah ini membahas latar belakang, sejarah perumusan, status sebagai dokumen gerejawi, serta urgensi keberadaan PPA GKJ, dengan merujuk pada pengantar resmi dokumen edisi 2019 dan sumber-sumber pendukung lainnya.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk memahami PPA GKJ sebagai fondasi identitas teologis dan praktis GKJ di tengah konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan modern.
Sejarah Perumusan PPA GKJ
Sejak berdirinya pada 1931, GKJ menggunakan Piwulang Agami Kristen, yaitu terjemahan Katekismus Heidelberg (1563), sebagai pedoman ajaran utama selama 65 tahun. Katekismus tersebut berasal dari tradisi Reformasi Eropa abad ke-16, disusun oleh Zacharias Ursinus dan Caspar Olevianus di Jerman, dan diadopsi oleh gereja-gereja Calvinis di Belanda.
Keinginan untuk menyusun ajaran sendiri mulai muncul sejak Sidang Sinode XVI GKJ tahun 1981, dan semakin menguat pada Sidang Sinode XVII tahun 1984. Inisiatif awal datang dari Klasis Salatiga melalui Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo yang menyiapkan draf awal.
Proses penyusunan berlangsung dalam waktu yang panjang:
· Sidang Sinode Kontrakta 1992 membentuk Tim PPA GKJ pertama, dipimpin oleh Pdt. P. Pudjaprijatma.
· Sidang Sinode XXI kemudian melanjutkan dengan tim baru di bawah pimpinan Pdt. Djimanto Setyadi.
· Setelah 12 tahun, PPA GKJ akhirnya disahkan pada Sidang Sinode Terbatas tahun 1996 sebagai dokumen resmi gereja.
Revisi dilakukan pada periode berikutnya:
· Edisi 2005 — disahkan pada Sidang Sinode Non-Reguler di Bandungan, Semarang, dipimpin tim di bawah Pdt. Andreas Untung Wijono, bertujuan untuk menyederhanakan bahasa, menyempurnakan isi, dan menyesuaikan dengan masukan dari jemaat.
· Edisi 2019 — dipicu oleh mandat Sidang Sinode XXVII tahun 2016, dikerjakan oleh Komisi Ajaran GKJ, untuk menyelaraskan dengan Tata Gereja dan Tata Laksana (TGTL) GKJ yang baru disahkan pada tahun 2015.
Proses panjang ini mencerminkan komitmen GKJ untuk senantiasa mengevaluasi dan memperbarui ajarannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Status PPA GKJ sebagai Dokumen Gerejawi
PPA GKJ memiliki status resmi sebagai dokumen gerejawi sejak pengesahannya pada Sidang Sinode Terbatas 1996. Dokumen ini memuat kepercayaan inti gereja dan pedoman hidup bagi warga GKJ, bersifat mengikat, dan hanya dapat diubah melalui keputusan Sidang Sinode GKJ.
PPA GKJ meneruskan tradisi Reformasi abad ke-16 dengan prinsip-prinsip utamanya:
· Sola gratia (keselamatan semata-mata karena anugerah Allah)
· Solo Christo (hanya melalui Kristus)
· Sola fide (diterima hanya melalui iman)
· Sola scriptura (sumber ajaran hanya Alkitab)
Seluruh pejabat gereja (pendeta, penatua, diaken) wajib menandatangani PPA GKJ pada saat peneguhan atau penahbisan, sebagai bentuk janji setia terhadap Alkitab dan ajaran gereja. Dokumen ini bukan dimaksudkan untuk menggantikan Pengakuan Iman Rasuli, melainkan sebagai pengembangannya dalam konteks kekhasan GKJ.
Latar Belakang Pergumulan GKJ
GKJ lahir dalam konteks kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, GKJ menghadapi pergumulan untuk melepaskan ketergantungan pada warisan teologis Eropa yang dinilai kurang relevan.
Katekismus Heidelberg disusun di Eropa abad ke-16 dengan konteks masyarakat Kristen yang homogen, dan banyak berisi polemik dengan Gereja Katolik Roma. Sementara itu, GKJ hidup di Indonesia pasca-kemerdekaan, dengan masyarakat yang sangat majemuk: mayoritas beragama Islam, disertai keberagaman denominasi Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, serta ratusan suku dan bahasa (lebih dari 400 bahasa daerah).
Pergumulan utama yang dihadapi meliputi:
· Globalisasi dan revolusi di bidang komunikasi serta IPTEK.
· Sekularisme.
· Tantangan etis dalam masyarakat yang menganut prinsip "Bhinneka Tunggal Ika".
Oleh karena itu, GKJ memerlukan sebuah rumusan ajaran yang kontekstual, dengan pendekatan soteriologis (keselamatan Allah sebagai benang merah pemersatu), agar dapat menjadi saksi yang efektif di tengah perubahan zaman.
Urgensi Perumusan PPA GKJ
Penyusunan PPA GKJ dinilai sangat mendesak karena beberapa alasan:
1. Kemandirian gereja — GKJ perlu merumuskan ajaran sendiri, tidak lagi bergantung pada warisan kolonial.
2. Kajian kritis terhadap warisan — Warisan dari abad ke-17 harus diuji ulang berdasarkan Alkitab dan disesuaikan apabila tidak lagi relevan.
3. Relevansi dengan tantangan zaman — Perlu menjawab isu-isu konkret seperti globalisasi, teknologi, kemajemukan budaya, dan sekularisasi, sehingga ajaran dapat menjadi pegangan praktis bagi warga gereja.
4. Identitas dan misi — PPA GKJ menjadi sarana bagi GKJ untuk bertanggung jawab dalam karya penyelamatan Allah, dengan fokus pada kesaksian di tengah masyarakat Indonesia modern.
Tanpa dokumen ini, GKJ berisiko kehilangan arah di tengah perubahan masyarakat yang berlangsung dengan cepat.
Kesimpulan
PPA GKJ merupakan tonggak penting dalam perjalanan GKJ sebagai gereja mandiri di Indonesia. Disahkan tahun 1996 dan direvisi pada 2005 serta 2019, dokumen ini bukan sekadar warisan teologis, melainkan sebuah respons aktif terhadap pergumulan kontekstual di tanah Jawa dan Indonesia secara umum. Urgensinya terletak pada kemampuannya untuk menjaga identitas Reformasi sambil tetap relevan dengan perkembangan zaman. Diskusi lebih mendalam tentang PPA GKJ diharapkan dapat memperkaya pemahaman warga gereja mengenai panggilan iman di tengah masyarakat yang majemuk.
---Makalah: Perbandingan Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) dengan Katekismus Heidelberg
Pendahuluan
Gereja Kristen Jawa (GKJ) selama beberapa dekade (1931–1996) menggunakan Piwulang Agami Kristen, yaitu terjemahan Katekismus Heidelberg (1563), sebagai pedoman ajaran resmi. Katekismus Heidelberg adalah dokumen klasik tradisi Reformasi yang disusun oleh Zacharias Ursinus dan Caspar Olevianus atas mandat Kurfürst Friedrich III dari Palatinate, Jerman. Dokumen ini menjadi salah satu dari "Tiga Bentuk Kesatuan" (Three Forms of Unity) gereja-gereja Reformasi Belanda dan masih digunakan secara luas hingga kini.
Pada tahun 1996, GKJ mengesahkan Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) sebagai dokumen ajaran sendiri, yang kemudian direvisi pada 2005 dan 2019. PPA GKJ bukanlah terjemahan atau adaptasi langsung Katekismus Heidelberg, melainkan sebuah rumusan baru yang tetap setia pada tradisi Reformasi tetapi disesuaikan dengan konteks Indonesia. Makalah ini membandingkan kedua dokumen tersebut dari aspek teologi, struktur, format, konteks, dan fungsinya.
Kesamaan
1. Tradisi Teologis Reformasi
Kedua dokumen berpijak pada prinsip-prinsip utama Reformasi abad ke-16:
· Sola Scriptura (Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi)
· Sola Gratia, Sola Fide, Solus Christus, Soli Deo Gloria
Substansi pokok ajaran tentang Allah Tritunggal, dosa manusia, penebusan melalui Kristus, karya Roh Kudus, gereja, sakramen, dan hidup kekal pada dasarnya sama.
2. Pendekatan Soteriologis (Berpusat pada Keselamatan)
Katekismus Heidelberg terkenal dengan pertanyaan pertamanya yang sangat menghibur: "Apakah satu-satunya penghiburanmu dalam hidup dan mati?" Jawabannya merangkum seluruh ajaran dalam skema kesengsaraan manusia – pembebasan oleh Kristus – ucapan syukur.
PPA GKJ secara eksplisit menyatakan bahwa pendekatannya juga soteriologis: keselamatan Allah dalam Kristus menjadi benang merah yang menyatukan seluruh rumusan ajaran.
3. Struktur Berdasarkan Pengakuan Iman Rasuli
Kedua dokumen menguraikan ajaran dengan mengikuti alur Pengakuan Iman Rasuli:
· Allah Bapa dan ciptaan
· Yesus Kristus dan penebusan
· Roh Kudus, gereja, pengampunan dosa, kebangkitan, dan hidup kekal
Ditambah penjelasan tentang sakramen, hukum Allah, dan doa.
Perbedaan
1. Format dan Gaya Penyajian
· Katekismus Heidelberg: Berbentuk katekismus klasik, yaitu 129 pertanyaan dan jawaban (Q&A), dibagi menjadi 52 Hari Tuhan (Lord's Days) agar dapat diajarkan satu per minggu sepanjang tahun. Format tanya-jawab ini dirancang untuk pengajaran katekisasi kepada anak-anak, remaja, dan jemaat awam.
· PPA GKJ: Berbentuk pernyataan doktrinal naratif (bukan tanya-jawab), disusun dalam bab-bab dan butir-butir bernomor. Tidak dibagi menjadi 52 minggu. Format ini lebih mirip pengakuan iman (confession) daripada katekismus pengajaran.
2. Konteks Historis dan Sosial
· Katekismus Heidelberg: Disusun tahun 1563 di Eropa yang mayoritas Kristen, dalam situasi polemik antara Reformasi (Calvinis) dengan Katolik Roma dan sebagian Lutheran. Bahasanya mencerminkan pergumulan teologis abad ke-16 Eropa.
· PPA GKJ: Disusun mulai 1980-an hingga 1996 (revisi 2005 dan 2019) di Indonesia pasca-kemerdekaan, dengan masyarakat yang majemuk (Islam mayoritas, berbagai agama dan suku). PPA GKJ menekankan relevansi ajaran bagi konteks globalisasi, sekularisme, kemajemukan budaya, dan tantangan keindonesiaan ("Bhinneka Tunggal Ika").
3. Bahasa dan Tingkat Kesulitan
· Katekismus Heidelberg (dalam terjemahan Jawa/Indonesia lama): Menggunakan bahasa yang agak kuno dan rumit, dengan istilah-istilah teologis klasik Eropa.
· PPA GKJ: Menggunakan bahasa Indonesia modern yang lebih sederhana dan mudah dipahami, terutama setelah revisi 2005 yang menyederhanakan redaksi.
4. Fungsi dalam Gereja
· Katekismus Heidelberg: Utamanya untuk pengajaran katekisasi (pendidikan iman jemaat, terutama anak dan calon anggota gereja).
· PPA GKJ: Lebih berfungsi sebagai dokumen gerejawi resmi yang mengikat, yang wajib ditandatangani oleh pendeta, penatua, dan diaken saat peneguhan/penahbisan. PPA GKJ menjadi dasar identitas teologis GKJ sebagai gereja mandiri, bukan lagi bergantung pada warisan misionaris Belanda.
5. Penyesuaian Isi
Meskipun inti ajaran sama, PPA GKJ melakukan beberapa penyesuaian kecil untuk konteks Indonesia, misalnya:
· Penekanan lebih eksplisit pada misi dan kesaksian di tengah masyarakat majemuk.
· Penyelarasan dengan Tata Gereja dan Tata Laksana (TGTL) GKJ terbaru (2015).
· Menghindari rumusan yang terlalu polemikal terhadap Katolik Roma yang kurang relevan di Indonesia.
Kesimpulan
PPA GKJ adalah pewaris setia Katekismus Heidelberg dalam hal substansi teologis dan pendekatan soteriologis Reformasi, tetapi merupakan rumusan baru yang mandiri dan kontekstual. Perbedaan utama terletak pada format (tanya-jawab vs. pernyataan doktrinal), konteks (Eropa abad 16 vs. Indonesia modern), dan fungsi (pengajaran katekisasi vs. dokumen mengikat gerejawi).
Dengan PPA GKJ, Gereja Kristen Jawa menegaskan kemandiriannya sekaligus tetap berpijak pada warisan Reformasi yang kokoh. Perbandingan ini mengingatkan kita bahwa ajaran iman Kristen harus tetap setia pada Alkitab namun juga relevan dengan zaman dan tempat di mana gereja dipanggil untuk menjadi saksi.
Makalah: Contoh Perbedaan Isi Teologi antara Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ) dan Katekismus Heidelberg
Pendahuluan
Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ), khususnya edisi 2019, tetap setia pada inti teologi Reformasi yang dirumuskan dalam Katekismus Heidelberg (1563). Kedua dokumen ini menekankan prinsip-prinsip utama seperti sola gratia, solus Christus, sola fide, dan sola scriptura, dengan pendekatan soteriologis yang berpusat pada keselamatan Allah sebagai penghiburan utama umat.
Namun, PPA GKJ bukan sekadar terjemahan atau pengulangan Heidelberg. Dokumen ini disusun untuk menegaskan kemandirian GKJ sebagai gereja di Indonesia, dengan kajian kritis terhadap warisan Eropa dan adaptasi terhadap konteks masyarakat majemuk pasca-kemerdekaan. Perbedaan isi teologi muncul terutama dalam pendekatan, rumusan doktrin, dan penambahan topik kontekstual. Makalah ini menyajikan beberapa contoh perbedaan tersebut, berdasarkan pengantar PPA GKJ edisi 2019 dan perbandingan dengan Katekismus Heidelberg.
Contoh Perbedaan Isi Teologi
1. Pendekatan Teologis: Fungsional versus Ontologis
· Katekismus Heidelberg: Menggunakan pendekatan ontologis klasik, yang berfokus pada hakikat essensial Allah, Kristus, dan Roh Kudus sesuai rumusan konsili kuno (misalnya, Nicea-Konstantinopel untuk Trinitas dan Chalcedon untuk dua kodrat Kristus). Rumusan ini mencerminkan konteks abad ke-16 Eropa yang sedang mengonsolidasikan doktrin melawan polemik Katolik Roma.
· PPA GKJ: Mengadopsi pendekatan fungsional (relasional dan berorientasi proses), yang lebih sesuai dengan tahap berpikir modern. Doktrin diuraikan berdasarkan fungsi dan peran dalam sejarah keselamatan Allah, bukan hakikat metafisik abstrak. Alasan: Untuk relevansi dengan masyarakat Indonesia modern yang dipengaruhi globalisasi, IPTEK, dan pemikiran relasional.
Contoh spesifik pada Doktrin Trinitas:
· Heidelberg: Mengikuti rumusan konsili klasik (satu esensi, tiga pribadi).
· PPA GKJ (Bab III): Trinitas dikaitkan secara fungsional dengan karya penyelamatan---Allah Bapa dalam sejarah Israel, Anak dalam peristiwa Yesus, Roh Kudus dalam pengutusan gereja---tanpa bergantung pada formula Nicea-Chalcedon.
2. Rumusan tentang Gereja dan Panggilannya
· Katekismus Heidelberg: Menguraikan gereja dalam konteks Eropa Kristen homogen, fokus pada atribut gereja (satu, kudus, am, apostolik), pengampunan dosa, dan kehidupan kekal (Q&A 54–86). Kurang menekankan hubungan dengan masyarakat non-Kristen atau tantangan sekuler modern.
· PPA GKJ (Bab IV dan V): Menguraikan gereja secara fenomenologis (deskripsi fungsi dan relasi), dengan penambahan eksplisit tentang panggilan di dunia majemuk. Ada bab khusus yang tidak ada di Heidelberg:
· Sikap terhadap alam (kelestarian lingkungan sebagai rumah bersama, hak generasi mendatang).
· Sikap