Siapa Bapamu
Bacaan:
Mazmur 107:1-9
I Tesalonika 2:9-13
Matius 23:1-12
KJ 15:1
10:1-3
36:1-4
246:1-2
445:1-
384:1-4
460:1
Pengantar:
Sebutan Ayah/Bapa.
Sebutan Bapa tentu sangat familiar ditelinga kita yang hidup di dalam dunia Patriakhal. Dalam dunia patriakhal seorang pria dewasa (lebih-lebih yang sudah lanjut usia dan berpengaruh) sangat berperan dan menentukan bagi anggota keluarga dan orang-orang di lingkungannya. Peran seorang Bapa berada dalam posisi yang sangat tinggi/superior. Sehingga berakibat peran yang lain dilumpuhkan dan didominasi.
Dalam budaya patriakhal, wanita sering dianggap sebagai pihak yang sangat lemah dan tidak berdaya. Padahal kini dalam budaya modern hal itu ternyata tidaklah benar 100 persen. Di jaman modern ternyata wanita dapat memiliki peran yang tidak kalah disbanding dengan peran laki-laki. Hal ini terkadi karena mungkin pada jaman dahulu khususnya di jaman purba, peran para pria sangat menentukan karena dulu segala pekerjaan masih mengandalkan kekuatan otot. Kita ingat bahwa pada jaman manusia purba, kekuatan otot sangat menentukan dalam hal perburuan binatang untuk makanan sehari-hari. Tapi di jaman modern kini segala pekerjaan penting hampir dilakukan dan dioperasikan dengan menggunakan segala perangkat computer dan alat lainnya, sehingga untuk itu tidak diperlukan kekuatan otot laki-laki. Dalam Pekerjaan yang professional atau pekerjaan sehari-hari, kekuatan otot telah digantikan dengan system tehnologi yang canggih.
Karena peran seorang pria sebagai seorang Bapa dianggap superior, maka para pria justru kehilangan kemampuan utamanya untuk menjadi seorang Bapa dalam arti yang positip dan lebih luas. Mereka tidak dapat memerankan fungsinya sebagai seorang Bapa dengan penuh kasih. Akibatnya cukup banyak para bapa yang mudah menyakiti hati istri dan anak-anak mereka. Mereka menerapkan sikap otoriter dan kadang menggunakan cara yang keras untuk mengatur kehidupan keluarga atau
orang-orang di tempat pekerjaannya. Makna peran seorang Bapa sering diidentikkan dengan sikap “maskulin” yang konotasinya menunjukkan sikap kelaki-lakian yang kasar, tangguh, kejam dan selalu memaksakan kehendak. Padahal arti seorang Bapa tidaklah demikian. Karena di dalam diri seorang Bapa tersirat suatu model dari ketokohan yang dilandasi oleh kebijaksanaan, intelektualitas dan keteladanan moral. Itulah sebabnya gelar Bapa dalam Alkitab kemudian dikenakan pada sesuatu yang ilahi, yaitu Allah. Secara khusus dalam pengajaran Tuhan Yesus, Allah dipanggil dengan Bapa/Abba.
Hanya satu Bapamu.
Dalam ajarannya Tuhan yesus mengajar murid-murid untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami yang di sorga (Mat 6:9). Lalu di Mat 23:9, Tuhan Yesus berkata:”Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu bapamu, yaitu Dia yang di sorga”. Umat Israel di PL sebenarnya mengetahui bahwa Yahweh Tuhan adalah seperti seorang Bapa yang peduli dan menyayangi umat yang menderita. Karena itu di Mazmur 103:13 menyatakan: “seperti Bapa sayang kepada anak-anaknya demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan dia”. Namun dalam pengajaran Tuhan Yesus, peran dan kedudukan Allah sebagai Bapa boleh dipraktekkan dalam ungkapan umat yang berdoa dan beribadah. Sehingga umat, dalam pengajaran Tuhan Yesus, dapat menyapa Allah sebagai Bapa secara personal dan intim. Padahal sebutan Bapa dalam kehidupan sehari-hari umat Israel sebenarnya hanya dikenakan kepada ayah mereka secara duniawi. Umat israel yang paling saleh enggan memanggil Allah sebagai bapa saat mereka berdoa atau beribadah. Secara lebih khusus lagi, melalui kehidupan dan pelayanan Tuhan yesus, kita dapat mengalami kehadiran Allah sebagai Bapa dan kita dijadikan Kristus sebagai “anak-anak Allah”. Bukankah karya penebusan Kristus pada hakikatnya bukan sekedar membuat hubungan Allah dan manusia menjadi lebih dekat, tetapi yang lebih utama adalah menciptakan sebuah relasi yang begitu personal sehingga kita oleh kuasa anugerahnya dapat memanggil Allah sebagai Bapa. Jelas sekali makna Allah sebagai Bapa bukan dengan pengertian sebagai sosok ilahi yang “maskulin” atau sosok pribadi yang keras, otoriter, kejam dan suka memaksa. Justru sebaliknya dalam sebautan Allah sebagai Bapa kita dapat merasakan kelembutan, keramahan, kebaikan, kemurahan, kesetiaan dan kasih Tuhan yang begitu peduli dengan umat yang berseru kepadanya. Di hadapan Allah sebagai bapa kita dapat mengalami rasa aman dan perlindungannya.
Konteks matius 23:9 sebenarnya berlatar belakang kritik Tuhan Yesus terhadap kehidupan atau spiritualitas ahli taurat dan orang farisi. Mereka suka menampilkan diri di depan public dengan simbol-simbol keagamaan
agar orang lain dapat melihat kesalehan mereka. Selain itu mereka suka sekali dipanggil sebagai Rabbi, Bapa, pemimpin. Padahal kehidupan atau spiritualitas mereka hanya sebatas wewenang mengajar, namun perbuatan2 mereka sehari-hari tercela. Ahli taurat dan orang farisi ewaktu itu hanya cakap mengajar tapi praktek hidup mereka penuh dengan kelaliman dan kemunafikan. Di Mat 23:3 Tuhan Yesus berkata:”sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”. Sehingga mereka tidak dapat memerankan diri sebagai figure seorang Rabbi (yang menjadi teladan) dalam arti yang sesungguhnya. Mereka juga gagal memerankan diri sebagai figure seorang Bapa dan pemimpin yang peduli dan saying kepada anak-anaknya. Mungkin saat mereka mengajar di sinagoge atau di bait Allah, figure sebagai Rabbi, bapa dan pemimpin sepertinya tidak terbantahkan. Tetapi sayangnya figure yang mulia tersebut berubah total saat mereka keluar dari tempat ibadah. Sebab dalam kehidupan mereka sehari-hari mereka lebih banyak menonjolkan kehausan untuk memeperoleh penghormatan, pamer kesalehan dan hanya mampu meletakkan beban kewajiban yang sangat berat kepada umat. Dengan demikian mereka gagal untuk teladan/panutan secara moral dan iman; sehingga mereka gagal untuk memerankan fungsinya sebagai seorang rabbi, bapa dan pemimpin rohani bagi uat Allah. Bukankah jabatan sebagai rabbi, bapa dan pemimpin rohani membutuhkan integritas diri?
Tanggungjawab dan kemandirian.
Fungsi seorang bapa diungkapkan oleh Paulus berkenaan dengan pelayanannya di tengah-tengah jemaat, yaitu: “sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja singa malam supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga diantara kamu, kami memberitakan injil Allah kepada kamu” (I Tes 2:9). Dalam tugasnya sebagai pelayan Kristuspaulus berupaya untuk tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani, karena itu paulus memilih bekerja siang dan alam untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Dia ingin tugas pemberitaan Injil terhalang karena jemaat Kristen waktu itu belum memiliki kemampuan dana untuk mendukung seluruh pelayanannya. Namun apabila jemaat pada masa kini mampu, maka tidaklah pantas sikap rasul paulus tersebut dijadikan sebagai acuan untuk mengabaikan tanggungjawab jemaat.. Prinsip etis paulus tersebut lahir dari hati seorang Bapa bagi anak-anaknya. Sebab yang utama bagi paulus adalah dapat senantiasa memberitakan injil kepada semua bangsa. Karena itu spiritualitas paulus yang mengedepankan kemandirian perlu kita contoh dalam melaksanakan pelayanan, sehingga pelayanan kita tidak sampai menjadi beban dan tergantung pada orang lain. Kita juga tidak perlu
menuntut dan memaksa orang lain agar mereka berperan sebagai Bapa. Sebab yang terpenting adalah apakah kita telah memerankan diri secara tulus sebagai Bapa bagi orang lain. Apabila setiap orang mau memerankan dirinya sebagai seorang bapa bagi sesamanya, maka setiap orang akan berupaya untuk saling melindungi dan menjaga keselamatan orang-orang di sekitarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota jemaat juga dipanggil untuk menjadi seorang Bapa yang mampu bersikap mandiri dan bertanggungjawab. Kita masih menjumpai para bapa yang kurang bertanggungjawab sehingga mengabaikan tanggungjawab memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Padahal makna peran seorang bapa justru ditandai oleh karakter yang ulet dan rajin bekerja. Mereka tidak pernah menyerah kepada kesulitan, hambatan dan permasalahan yang dijumpai saat mereka bekerja. Mereka ulet terus menerus belajar dan mau memperbaiki diri sehingga mereka akhirnya menjadi terlatih dan profesional.
Memberi arahan hidup benar.
Seorang Bapa mampu memberi arahan agar anak mereka dapat hidup dalam kebenaran Tuhan. Otoritas seorang Bapa untuk memberikan arahan, bimbingan, nasehat kepada anak-anak pada hakikatnya dilandasi oleh spiritualitas yang telah dibuktikan dalam hidup sehari-hari. Dengan prinsip keteladanan tersebut paulus berkata:”Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat , supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam kerajaan dan kemuliaan-Nya”.(I Tes 2:11-12). Problem yang sering dihadapi seorang bapa pada masa kini adalah mereka sering kehilangan otoritas untuk memberi arahan dan bimbingan kepada anak mereka.Padahal mereka umunya selalu memberi nasehat yang baik dan bermaksud peduli dengan anak-anak. Tapi tampaknya nasehat mereka kurang didengar. Sebabnya dapat beragam, bisa karena anak-anak yang memiliki karakter yang sulit untuk mendengar nasehat orang lain, atau karena orang tua yang tidak dapat menjadi teladan kongkrit dalam hidup sehari-hari.Dalam hal ini anak sering melihat bapa mereka hanya pandai memberi nasehat tapi dalam praktek justru melanggar apa yang menjadi nasehatnya sendiri. Jadi kewibawaan atau otoritas sebagai Bapa akan terbangun dengan kokoh , ketika orang tua mampu membuktikan semua perkataan, nasehat dan pengajarannya dalam hidup sehari-hari.
Sebagai orang tua, seorang tua tidaklah sekedar memberi makanan, pendidikan dan fasilitas yang baik bagi anak-anak mereka. Sebab anak
juga membutuhkan arahan hidup yang benar sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak dapat disebut sebagai bapa yang berhasil hanya karena anak-anak sudah dapat terpenuhi kebutuhannya, selesai study dan dapat pekerjaan yang baik. Kita berhasil sebagai seorang bapa ketika anak kita justru hidup dalam spiritualitas yang baik. Memiliki persekutuan yang intim dengan Allah. Kita akan menjadi bapa yang malang ketika anak-anak kita tidak pernah mengenal Kristus.
Kaya dalam pengampunan.
Karakter seorang bapa ditandai oleh sikapnya yang selalu kaya dalam pengampunan terhadap anak-anaknya. Dia tidak pernah membuang anak-anaknya yang tersesat. Dalam hal ini karakter seorang bapa berpedoman kepada Allah yang Murah hati, bapa yang sayang kepada anak-anaknya. Sehingga ketika anak yang tersesaty berseru maka Tuhan segera menolong dan menyelamatkan mereka. Dalam Mazmur 107:4-5 melukiskan situasi orang-orang yang lemah lesu, mereka juga sedang lapar dan haus dalam arti yang luas. Lalu di ayat 6 dan 7 disebutkan:”maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dilepaskannya mereka dari kesesakan mereka.dibawanya mereka menempuh jalan yang lurus, sehingga sampai ke kota tempat kediaman orang”. Kasih sayang Allah sebagai bapa dinyatakan dalam karya yang menyelamatkan. Allah berkenan memulihkan setiap kecemasan dari orang-orang yang berseru kepadanya dan memimpin mereka ke jalan yang benar. Itu sebabnya penulis mazmur mengajak umat untuk bersyukur kepada Tuhan sebab ia baik (Maz 107 ayat 1). Jadi meski dalam mazmur 107 tidak disebut Allah sebagai Bapa, namun dari karya-karyanya yang penuh kasih mencerminkan kasih seorang bapa kepada anak-anaknya yang sedang menderita dan tersesat.
Konflik antar ayah dan anak seringkali menjadi trauma psikis yang cukup panjang . Mungkin kita mengetahui anak-anak kita memiliki kelemahan dan kesalahan. Beberapa atau berulang kali anak kita menyakiti dan mengabaikan nasehat kita. Tapi jika kita berpijak pada kemurahan Allah, maka kita tidak akan pernah berhenti untuk memaapkan dan mengampuni mereka. Sayangnya ketika kita dilukai oleh anak kita, kita segera berbalik membenci dan tidak mau peduli lagi kepada mereka. Inilah yang menyebabkan konflik antara kita dan anak-anak menjadi trauma psikis yang merusak pertumbuhan mental anak-anak. Dengan demikian kita tidak mampu berdiri sebagai Bapa.
Jika demikian, mari kita berdiri sebagai Bapa yang:
Bertanggungjawab, punya otoritas karena mampu jadi panutan, mampu mengarahkan kepada Firman Tuhan dan terlebih siap mengampuni senantiasa. Amin.
Mazmur 107:1-9
I Tesalonika 2:9-13
Matius 23:1-12
KJ 15:1
10:1-3
36:1-4
246:1-2
445:1-
384:1-4
460:1
Pengantar:
Sebutan Ayah/Bapa.
Sebutan Bapa tentu sangat familiar ditelinga kita yang hidup di dalam dunia Patriakhal. Dalam dunia patriakhal seorang pria dewasa (lebih-lebih yang sudah lanjut usia dan berpengaruh) sangat berperan dan menentukan bagi anggota keluarga dan orang-orang di lingkungannya. Peran seorang Bapa berada dalam posisi yang sangat tinggi/superior. Sehingga berakibat peran yang lain dilumpuhkan dan didominasi.
Dalam budaya patriakhal, wanita sering dianggap sebagai pihak yang sangat lemah dan tidak berdaya. Padahal kini dalam budaya modern hal itu ternyata tidaklah benar 100 persen. Di jaman modern ternyata wanita dapat memiliki peran yang tidak kalah disbanding dengan peran laki-laki. Hal ini terkadi karena mungkin pada jaman dahulu khususnya di jaman purba, peran para pria sangat menentukan karena dulu segala pekerjaan masih mengandalkan kekuatan otot. Kita ingat bahwa pada jaman manusia purba, kekuatan otot sangat menentukan dalam hal perburuan binatang untuk makanan sehari-hari. Tapi di jaman modern kini segala pekerjaan penting hampir dilakukan dan dioperasikan dengan menggunakan segala perangkat computer dan alat lainnya, sehingga untuk itu tidak diperlukan kekuatan otot laki-laki. Dalam Pekerjaan yang professional atau pekerjaan sehari-hari, kekuatan otot telah digantikan dengan system tehnologi yang canggih.
Karena peran seorang pria sebagai seorang Bapa dianggap superior, maka para pria justru kehilangan kemampuan utamanya untuk menjadi seorang Bapa dalam arti yang positip dan lebih luas. Mereka tidak dapat memerankan fungsinya sebagai seorang Bapa dengan penuh kasih. Akibatnya cukup banyak para bapa yang mudah menyakiti hati istri dan anak-anak mereka. Mereka menerapkan sikap otoriter dan kadang menggunakan cara yang keras untuk mengatur kehidupan keluarga atau
orang-orang di tempat pekerjaannya. Makna peran seorang Bapa sering diidentikkan dengan sikap “maskulin” yang konotasinya menunjukkan sikap kelaki-lakian yang kasar, tangguh, kejam dan selalu memaksakan kehendak. Padahal arti seorang Bapa tidaklah demikian. Karena di dalam diri seorang Bapa tersirat suatu model dari ketokohan yang dilandasi oleh kebijaksanaan, intelektualitas dan keteladanan moral. Itulah sebabnya gelar Bapa dalam Alkitab kemudian dikenakan pada sesuatu yang ilahi, yaitu Allah. Secara khusus dalam pengajaran Tuhan Yesus, Allah dipanggil dengan Bapa/Abba.
Hanya satu Bapamu.
Dalam ajarannya Tuhan yesus mengajar murid-murid untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami yang di sorga (Mat 6:9). Lalu di Mat 23:9, Tuhan Yesus berkata:”Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu bapamu, yaitu Dia yang di sorga”. Umat Israel di PL sebenarnya mengetahui bahwa Yahweh Tuhan adalah seperti seorang Bapa yang peduli dan menyayangi umat yang menderita. Karena itu di Mazmur 103:13 menyatakan: “seperti Bapa sayang kepada anak-anaknya demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan dia”. Namun dalam pengajaran Tuhan Yesus, peran dan kedudukan Allah sebagai Bapa boleh dipraktekkan dalam ungkapan umat yang berdoa dan beribadah. Sehingga umat, dalam pengajaran Tuhan Yesus, dapat menyapa Allah sebagai Bapa secara personal dan intim. Padahal sebutan Bapa dalam kehidupan sehari-hari umat Israel sebenarnya hanya dikenakan kepada ayah mereka secara duniawi. Umat israel yang paling saleh enggan memanggil Allah sebagai bapa saat mereka berdoa atau beribadah. Secara lebih khusus lagi, melalui kehidupan dan pelayanan Tuhan yesus, kita dapat mengalami kehadiran Allah sebagai Bapa dan kita dijadikan Kristus sebagai “anak-anak Allah”. Bukankah karya penebusan Kristus pada hakikatnya bukan sekedar membuat hubungan Allah dan manusia menjadi lebih dekat, tetapi yang lebih utama adalah menciptakan sebuah relasi yang begitu personal sehingga kita oleh kuasa anugerahnya dapat memanggil Allah sebagai Bapa. Jelas sekali makna Allah sebagai Bapa bukan dengan pengertian sebagai sosok ilahi yang “maskulin” atau sosok pribadi yang keras, otoriter, kejam dan suka memaksa. Justru sebaliknya dalam sebautan Allah sebagai Bapa kita dapat merasakan kelembutan, keramahan, kebaikan, kemurahan, kesetiaan dan kasih Tuhan yang begitu peduli dengan umat yang berseru kepadanya. Di hadapan Allah sebagai bapa kita dapat mengalami rasa aman dan perlindungannya.
Konteks matius 23:9 sebenarnya berlatar belakang kritik Tuhan Yesus terhadap kehidupan atau spiritualitas ahli taurat dan orang farisi. Mereka suka menampilkan diri di depan public dengan simbol-simbol keagamaan
agar orang lain dapat melihat kesalehan mereka. Selain itu mereka suka sekali dipanggil sebagai Rabbi, Bapa, pemimpin. Padahal kehidupan atau spiritualitas mereka hanya sebatas wewenang mengajar, namun perbuatan2 mereka sehari-hari tercela. Ahli taurat dan orang farisi ewaktu itu hanya cakap mengajar tapi praktek hidup mereka penuh dengan kelaliman dan kemunafikan. Di Mat 23:3 Tuhan Yesus berkata:”sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”. Sehingga mereka tidak dapat memerankan diri sebagai figure seorang Rabbi (yang menjadi teladan) dalam arti yang sesungguhnya. Mereka juga gagal memerankan diri sebagai figure seorang Bapa dan pemimpin yang peduli dan saying kepada anak-anaknya. Mungkin saat mereka mengajar di sinagoge atau di bait Allah, figure sebagai Rabbi, bapa dan pemimpin sepertinya tidak terbantahkan. Tetapi sayangnya figure yang mulia tersebut berubah total saat mereka keluar dari tempat ibadah. Sebab dalam kehidupan mereka sehari-hari mereka lebih banyak menonjolkan kehausan untuk memeperoleh penghormatan, pamer kesalehan dan hanya mampu meletakkan beban kewajiban yang sangat berat kepada umat. Dengan demikian mereka gagal untuk teladan/panutan secara moral dan iman; sehingga mereka gagal untuk memerankan fungsinya sebagai seorang rabbi, bapa dan pemimpin rohani bagi uat Allah. Bukankah jabatan sebagai rabbi, bapa dan pemimpin rohani membutuhkan integritas diri?
Tanggungjawab dan kemandirian.
Fungsi seorang bapa diungkapkan oleh Paulus berkenaan dengan pelayanannya di tengah-tengah jemaat, yaitu: “sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja singa malam supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga diantara kamu, kami memberitakan injil Allah kepada kamu” (I Tes 2:9). Dalam tugasnya sebagai pelayan Kristuspaulus berupaya untuk tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani, karena itu paulus memilih bekerja siang dan alam untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Dia ingin tugas pemberitaan Injil terhalang karena jemaat Kristen waktu itu belum memiliki kemampuan dana untuk mendukung seluruh pelayanannya. Namun apabila jemaat pada masa kini mampu, maka tidaklah pantas sikap rasul paulus tersebut dijadikan sebagai acuan untuk mengabaikan tanggungjawab jemaat.. Prinsip etis paulus tersebut lahir dari hati seorang Bapa bagi anak-anaknya. Sebab yang utama bagi paulus adalah dapat senantiasa memberitakan injil kepada semua bangsa. Karena itu spiritualitas paulus yang mengedepankan kemandirian perlu kita contoh dalam melaksanakan pelayanan, sehingga pelayanan kita tidak sampai menjadi beban dan tergantung pada orang lain. Kita juga tidak perlu
menuntut dan memaksa orang lain agar mereka berperan sebagai Bapa. Sebab yang terpenting adalah apakah kita telah memerankan diri secara tulus sebagai Bapa bagi orang lain. Apabila setiap orang mau memerankan dirinya sebagai seorang bapa bagi sesamanya, maka setiap orang akan berupaya untuk saling melindungi dan menjaga keselamatan orang-orang di sekitarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota jemaat juga dipanggil untuk menjadi seorang Bapa yang mampu bersikap mandiri dan bertanggungjawab. Kita masih menjumpai para bapa yang kurang bertanggungjawab sehingga mengabaikan tanggungjawab memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Padahal makna peran seorang bapa justru ditandai oleh karakter yang ulet dan rajin bekerja. Mereka tidak pernah menyerah kepada kesulitan, hambatan dan permasalahan yang dijumpai saat mereka bekerja. Mereka ulet terus menerus belajar dan mau memperbaiki diri sehingga mereka akhirnya menjadi terlatih dan profesional.
Memberi arahan hidup benar.
Seorang Bapa mampu memberi arahan agar anak mereka dapat hidup dalam kebenaran Tuhan. Otoritas seorang Bapa untuk memberikan arahan, bimbingan, nasehat kepada anak-anak pada hakikatnya dilandasi oleh spiritualitas yang telah dibuktikan dalam hidup sehari-hari. Dengan prinsip keteladanan tersebut paulus berkata:”Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat , supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam kerajaan dan kemuliaan-Nya”.(I Tes 2:11-12). Problem yang sering dihadapi seorang bapa pada masa kini adalah mereka sering kehilangan otoritas untuk memberi arahan dan bimbingan kepada anak mereka.Padahal mereka umunya selalu memberi nasehat yang baik dan bermaksud peduli dengan anak-anak. Tapi tampaknya nasehat mereka kurang didengar. Sebabnya dapat beragam, bisa karena anak-anak yang memiliki karakter yang sulit untuk mendengar nasehat orang lain, atau karena orang tua yang tidak dapat menjadi teladan kongkrit dalam hidup sehari-hari.Dalam hal ini anak sering melihat bapa mereka hanya pandai memberi nasehat tapi dalam praktek justru melanggar apa yang menjadi nasehatnya sendiri. Jadi kewibawaan atau otoritas sebagai Bapa akan terbangun dengan kokoh , ketika orang tua mampu membuktikan semua perkataan, nasehat dan pengajarannya dalam hidup sehari-hari.
Sebagai orang tua, seorang tua tidaklah sekedar memberi makanan, pendidikan dan fasilitas yang baik bagi anak-anak mereka. Sebab anak
juga membutuhkan arahan hidup yang benar sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak dapat disebut sebagai bapa yang berhasil hanya karena anak-anak sudah dapat terpenuhi kebutuhannya, selesai study dan dapat pekerjaan yang baik. Kita berhasil sebagai seorang bapa ketika anak kita justru hidup dalam spiritualitas yang baik. Memiliki persekutuan yang intim dengan Allah. Kita akan menjadi bapa yang malang ketika anak-anak kita tidak pernah mengenal Kristus.
Kaya dalam pengampunan.
Karakter seorang bapa ditandai oleh sikapnya yang selalu kaya dalam pengampunan terhadap anak-anaknya. Dia tidak pernah membuang anak-anaknya yang tersesat. Dalam hal ini karakter seorang bapa berpedoman kepada Allah yang Murah hati, bapa yang sayang kepada anak-anaknya. Sehingga ketika anak yang tersesaty berseru maka Tuhan segera menolong dan menyelamatkan mereka. Dalam Mazmur 107:4-5 melukiskan situasi orang-orang yang lemah lesu, mereka juga sedang lapar dan haus dalam arti yang luas. Lalu di ayat 6 dan 7 disebutkan:”maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dilepaskannya mereka dari kesesakan mereka.dibawanya mereka menempuh jalan yang lurus, sehingga sampai ke kota tempat kediaman orang”. Kasih sayang Allah sebagai bapa dinyatakan dalam karya yang menyelamatkan. Allah berkenan memulihkan setiap kecemasan dari orang-orang yang berseru kepadanya dan memimpin mereka ke jalan yang benar. Itu sebabnya penulis mazmur mengajak umat untuk bersyukur kepada Tuhan sebab ia baik (Maz 107 ayat 1). Jadi meski dalam mazmur 107 tidak disebut Allah sebagai Bapa, namun dari karya-karyanya yang penuh kasih mencerminkan kasih seorang bapa kepada anak-anaknya yang sedang menderita dan tersesat.
Konflik antar ayah dan anak seringkali menjadi trauma psikis yang cukup panjang . Mungkin kita mengetahui anak-anak kita memiliki kelemahan dan kesalahan. Beberapa atau berulang kali anak kita menyakiti dan mengabaikan nasehat kita. Tapi jika kita berpijak pada kemurahan Allah, maka kita tidak akan pernah berhenti untuk memaapkan dan mengampuni mereka. Sayangnya ketika kita dilukai oleh anak kita, kita segera berbalik membenci dan tidak mau peduli lagi kepada mereka. Inilah yang menyebabkan konflik antara kita dan anak-anak menjadi trauma psikis yang merusak pertumbuhan mental anak-anak. Dengan demikian kita tidak mampu berdiri sebagai Bapa.
Jika demikian, mari kita berdiri sebagai Bapa yang:
Bertanggungjawab, punya otoritas karena mampu jadi panutan, mampu mengarahkan kepada Firman Tuhan dan terlebih siap mengampuni senantiasa. Amin.
Komentar