Pastoral transformatif
Lamp 4, Akta Sidang Sinode Istimewa GKJ
Prambanan, 2015
Pelayanan Gereja Kristen Jawa
Yang Bersifat Pastoral-Transformatif
Pendahuluan
Sebagai persekutuan orang-orang beriman pada penyelamatan Allah, Gereja-Gereja Kristen Jawa mengembangkan berbagai pelayanan wujud tanggapan dan tanggung jawab mewartakan kebenaran, keadilan, dan kasih demi mengupayakan perbaikan dunia menuju terwujudnya syallom (damai-sejahtera) seperti perjuangan dan teladan Yesus. Gereja sadar harus memperbaiki diri serta belajar terus menerus memahami kondisi dunia yang senantiasa berubah baik dalam paradigma, budaya, pengetahuan, maupun sistim sosial. Bahasa dan simbol yang dipakainya pun harus relevan dengan kondisi jaman agar pewartaannya dapat dipahami oleh masyarakat. Kemampuan belajar ini tidak hanya berasal dari pengalaman yang telah dijalani, melainkan dikembangkan berdasarkan keberanian berimajinasi dan berfantasi. Melalui keduanya manusia berusaha memetakan serta mendengarkan lagi hal-hal yang terjadi di masa lalu tetapi tidak tampak dalam narasi, atau mencoba membayangkan dan mendengarkan kemungkinan percakapan dan pesan di masa depan dengan segala kompleksitasnya.
Percakapan-percakapan (diskursus) di masa lalu penting diangkat kembali dalam rangka mendengarkan suara-suara lain yang tidak tercatat sepenuhnya dalam teks yang ada di masa kini. Ketika kita mendengarkan berbagai pesan masa lalu kemudian mempertemukannya dengan kompleksitas kemungkinan di masa depan dalam wadah refleksi kekinian maka kita akan dibentuk menjadi lebih bijaksana menentukan pilihan, tindakan, serta tidak terjatuh pada sikap menghakimi.
Terkait dengan hal-hal masa depan, sebenarnya gereja telah mengenalnya, atau yang dalam bahasa teologis disebut sebagai harapan. Keselamatan di masa depan itu memang masih berupa harapan yang akan mendapatkan kesempurnaan, tetapi bila harapan itu sedemikian nyata sehingga menurut Rasul Paulus hidup kita kita seharusnya hanya menunggu keselamatan, melainkan harus menunjukkan hidup yang menjadi bukti atas keselamatan. Gereja harus dapat menjadi bukti, terjemahan, dan saksi dari keselamatan yang diyakini. Tidak ada jarak lagi antara “harapan yang dibayangkan / diyakini” dan “harapan yang dihidupi”. Semua itu akan menjadi “pengalaman” serta merupakan bagian mendasar bagi proses pengambilan keputusan maupun tindakan oleh gereja.
Kenyataannya, seringkali manusia meninggalkan sisi penting imajinasi dalam proses belajar tentang hidup. Sikap kita semata-mata merupakan tanggapan terhadap pengalaman yang telah dilalui, maka tindakan , keputusan moral dan norma masa kini sebatas ditentukan oleh masa lalu. Seringkali kita menganggap hadirnya masa depan sebagai ancaman dari nilai-nilai yang telah direfleksikan sebelumnya. Anggapan ini disertai tindakan preventif yang cenderung tertutup, membentengi diri, dan meyakini seolah-olah masa lalu lebih baik daripada yang akan terjadi di masa depan. Pemahaman gereja selalu tertinggal paling tidak selangkah dari hal yang seharusnya dilakukan. Refleksi gereja tertinggal dan tidak relevan dengan masanya, karena tidak dilakukan dengan cara berpikir imajiner yang berorientasi masa depan. Gereja seringkali menghasilkan nilai-nilai yang cenderung konservatif, yang tidak terlalu relevan / kurang dipahami oleh jaman yang sedang datang. Kondisi ini menghasilkan benturan-benturan antara realitas baru, perubahan cara berpikir, dan nilai-nilai lama yang telah diyakini serta mengakar yang sulit untuk diubah, bahkan menjadi pagar-pagar pembatas. Dampak terbesar adalah ketidakmampuan gereja menjangkau generasi baru di jaman baru. Gereja seringkali memiliki perasaan terancam dan teraniaya oleh pihak lain maupun perubahan baru yang dirasakan tidak lagi mampu dibendung. Kesenjangan paradigma antar generasi tidak dapat terhindari yang berujung pada konflik dan ketegangan antar jemaat.
Perubahan Tata Gereja (TG) dan Tata Laksana (TL) diharapkan dapat memberi ruang pada perluasan paradigma dan horison kultural gereja melalui perjumpaan interkultural dalam ranah budaya, agama, teologi dan sosial, yang dikerjakan secara kreatif, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan dalam lingkup jemaat lokal maupun sinodal bersama masyarakat luas, sehingga terjadi diskursus dialektis bagi pengkayaan refleksi iman serta lahirnya narasi teologis baru yang kontekstual.
Menjadi Gereja yang Kontekstual
Kontekstualisasi sebagai sebuah terminologi sudah dikenal oleh GKJ seiring munculnya istilah tersebut, ketika istilah itu muncul dalam diskursus teologi akademik. Sedangkan klaim melakukan kontekstualisasi telah terjadi jauh sebelumnya. Terbukti bahwa orang-orang Jawa tidak serta-merta menerima datangnya budaya baru tanpa resistensi dan seleksi. Sebagai contoh, meskipun kolonialisme membawa budaya dan cara hidup berbeda, baik berupa nama, makanan, pakaian, cara makan, tetapi orang-orang Jawa pada masa itu merasa tidak pantas untuk menyandang nama asing pada dirinya, sehingga orang-orang Jawa bertahan menggunakan nama lokal. Meskipun mereka menjadi Kristen tetapi mereka tidak begitu mudah menggunakan nama-nama Barat sebagai tambahan atau pengganti nama Jawa sebelumnya. Bagi orang Jawa, menjadi Kristen tidak serta merta menghilangkan identitas kejawaannya, melainkan mereka tetap sebagaimana dirinya dengan nama dan cara berpikir lokal.
Budaya malu dan ngrumangsani bagaimana pun turut berperan. Meski berinteraksi dengan budaya dan sistim pemerintah Kolonial Belanda, kenyataannya orang Jawa tetap merasa tidak pantas meniru budaya Belanda. Bagi orang Jawa, ada kesadaran bahwa sesempurna dirinya meniru budaya baru yang datang pastilah tidak mungkin menjadi seperti yang ditirunya secara persis dan identik. Istilah londo wurung Jawa tanggung, tidak lain menunjukkan bahwa proses meniru baginya justru akan menghasilkan keterasingan, karena ia bukan Belanda dan bukan Jawa, yang justru akan berakhir pada penolakan dari komunitasnya. Tidak ada pilihan bagi orang Jawa kecuali tetap menjadi dirinya dalam budayanya sendiri. Seorang Jawa tidak dapat sepenuh rasa berbicara dengan sesama orang Jawa dalam bahasa asing (bahkan bahasa Indonesia). Biasanya antar orang Jawa akan tetap berbahasa Jawa, meski ngoko, karena ini memberikan efek kesadaran “semedulur”, setara dan akrab, dibandingkan ketika menggunakan bahasa yang bukan bahasa ibu. Sekarang perasaan ini mungkin telah banyak terkikis karena generasi baru tidak lagi mempraktikkan kejawaan sebagaimana generasi Jawa sebelumnya. Perkembangan moda transportasi, komunikasi, dan teknologi memperlancar interaksi serta perjumpaan antar manusia.
GKJ mengenal dua tokoh yang melakukan upaya kontekstualisasi yaitu Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach. Keduanya menganggap kekristenan sebagai ngelmu kresten. Kekristenan tidak dipahami sebagaimana doktrin yang diajarkan Zending tetapi diwarnai dan diterjemahkan dalam kultur Jawa. Nilai-nilai kekristenan dipisahkan dari budaya Barat (Zending), kemudian nilai-nilai tersebut disemaikan dalam konteks Jawa, sehingga terjadi proses perjumpaan antara nilai etis Kristen dengan local wisdom, cara berpikir, dan simbol budaya Jawa. Melalui proses ini, seorang Jawa dapat memahami nilai-nilai Injil sesuai budayanya sendiri. Injil dirasakan sebagai Injil yang menjumpai orang Jawa di rumahnya sendiri. Harus diakui bahwa proses ini merupakan bentuk sinkretisme, tetapi bentuk sinkretisme vertikal, bukan horisontal. Sinkretisme tidak dapat dihindari. Hidup adalah sebuah proses sinkretis tanpa akhir.
Konteks tidak sekedar menjadi tempat tetapi dipahami sebagai subyek aktif yang ikut menterjemahkan dan merefleksikan nilai-nilai Injil. Kontekstualisasi bukanlah sekedar adaptasi atau menggabungkan dua budaya berbeda, melainkan memperjumpakannya (senyawa), sehingga menghasilkan narasi budaya dan kesadaran baru. Kontekstualisasi dilakukan melalui proses panjang dan berliku-liku, baik penerimaan, konfrontasi, afirmasi, akomodasi, penolakan yang dilakukan melalui proses interaksi secara internal atau eksternal. Kejawaan bukan sekedar atribut tetapi kedalaman pemahaman mengenai kehidupan itu sendiri. Orang yang benar-benar hidup dan paham tentang budaya Jawa disebut njawani. Berbeda dengan orang Jawa yang sekedar mengenakan atribut budaya Jawa luarnya saja, bila tidak disertai dengan pemahaman yang benar tetap akan disebut Jawa ning ora njawani. Hasil kontekstualisasi bukanlah hybrid, tetapi harus merupakan pemahaman baru dilahirkan dari nilai-nilai yang telah diperjumpakan, tidak sekedar melarut melainkan senyawa. Seperti persilangan dua bunga berbeda warna, menghasilkan bunga baru dengan warna harmonis yang merupakan perpaduan, bukan sekedar percampuran, sehingga tersurat pesan baru yang disampaikan oleh narasi bunga baru tersebut.
Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach pantas disebut tokoh kontekstualisasi kekristenan Jawa karena mereka menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan sekedar menggabungkan, bukan sekedar meniru atau adaptasi, tetapi sebuah proses menghasilkan kesadaran baru yang berasal dari perjumpaan-perjumpaan secara alamiah dan setara. Mereka menjadi orang Kristen sekaligus juga menjadi orang Jawa yang baru pada waktu yang bersamaan yang diwujudkan dalam cara berpikir, konsepsi, dan kebiasaan yang dilakukan selanjutnya. Narasi baru yang dihasilkan menjadi narasi yang jauh lebih memadai dan cocok bagi jamannya karena dihasilkan secara bersama-sama.
Setiap orang memiliki cakrawala budaya masing-masing sesuai batasan-batasan kultural yang dialami kemudian diyakininya. Sebelum bertemu dengan orang (yang) lain, mungkin saja masing-masing merasa puas dan seolah-olah budayanya itu mampu menjawab semua kebutuhannya, bahkan seperti menjadi rumah bagi dirinya. Rumah yang memberi rasa aman dan kepastian-kepastian. Pengalaman tersebut dipertahankan bahkan dibela. Ketika seseorang bertemu dengan orang lain dari budaya / pengalaman berbeda maka akan terjadi konflik cara pandang. Masing-masing menilai dan membandingkan cakrawala pandangnya. Pada saat bersamaan masing-masing juga memasuki ruang “kritis” sekaligus “krisis” dimana akhirnya mengantar pada “keraguan” terhadap batas-batas yang telah diyakini sebelumnya. Masing-masing sadar adanya pengalaman dan kenyataan lain selain yang selama ini diyakini dan dialami. Kenyataan lain tersebut ada yang pada akhirnya diafirmasi atau diterima, tetapi ada juga yang ditolak atau dipermasalahkan, sebab dianggap tidak sesuai dengan harapan masing-masing. Kemungkinan lain, perbedaan yang dijumpai itu dipertimbangkan sebagai informasi dimasukkan dalam ruang dialog kritis. Semua proses inilah yang disebut dialectical discourse (diskursus dialektis). Dalam proses tersebut ada aktivitas saling menimbang, berargumentasi, serta menilai antara yang dipahami dengan yang baru dijumpai yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada situasi dilematis ketika melewati tahap penilaian hingga pengambilan keputusan, hingga akhirnya beralih pada pencerahan dan inspirasi. Pada tahap inilah transformasi terjadi, yaitu perubahan dari hal-hal lama menjadi hal-hal baru, atau dalam bahasa Injil disebutkan sebagai dilahirkan kembali, yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang.
Diskursus di atas mensyaratkan adanya kesetaraan dari masing-masing pihak yang berjumpa, meski tidak dapat dipungkiri masing-masing memiliki kualitas yang berbeda. Bila semua proses terjadi secara simetris maka kemungkinan selanjutnya adalah transformasi pada kedua belah pihak. Masing-masing mengalami pencerahan menemukan hal baru yang pada gilirannya dipertahankan untuk sementara waktu, lalu diperbaiki atau direvisi berdasarkan perjumpaan selanjutnya, kemudian dibuang, digantikan, atau melahirkan sesuatu yang baru sama sekali. Kekristenan dan budaya Jawa merupakan dua budaya berbeda dengan cara pandang berbeda. Keduanya perlu melewati diskursus dialektis yang mengantar pada proses pemeriksaan, pembandingan, mempertimbangkan, memikirkan, serta mengambil keputusan-keputusan membentuk diri menjadi baru. Inilah yang kemudian disebut sebagai kontekstualisasi yang menghasilkan transformasi paradigma budaya.
Memasuki Konteks Masa Depan
Konteks bukanlah sekedar menunjuk pada tempat, melainkan juga termasuk di dalamnya antara lain ruang waktu, situasi yang melingkupi, atau pun semua elemen mempengaruhi di sekitarnya, baik langsung maupun tidak langsung. Tidak mungkin ada elemen atau unsur yang sama sekali terpisah tanpa terkait dengan yang lain. Apa pun dan siapa pun selalu bersinggungan dengan sesuatu di luar dirinya dalam kesatuan keseluruhannya. Demikian pula setiap individu selalu merupakan bagian yang dipengaruhi bahkan dihasilkan oleh hubungan dan keterikatan seluruh sistim yang melingkupinya. Oleh karenanya untuk memahami seseorang perlu memahami hal-hal lain di sekitarnya.
Tidaklah tepat bila kita menganggap bahwa konteks hanyalah terkait tempat atau sebuah batas budaya di wilayah geografis tertentu, atau lingkungan yang dapat dilihat dan dapat diraba. Periode waktu yang diciptakan manusia dapat dikategorikan juga sebagai ruang dan tentu saja termasuk sebagai konteks. Memang tidak tampak riil, karena ruang waktu hanyalah sebuah kesepakatan tentang batas-batas yang tidak nyata. Tetapi, hal ini sangat penting bagi manusia, karena dengannya manusia dapat mentargetkan capaian ataupun mengukur usaha yang harus dilakukan pada periode tertentu.
Manusia membatasi periode waktu yang belum dijalani tersebut dengan sebutan masa depan, yang sedang dijalani sebagai masa sekarang, dan yang telah dialami sebagai masa lalu, masing-masing secara detail dibagi lagi dalam ukuran waktu yang lebih spesifik. Karakter khusus dari masa depan adalah sebagai ruang waktu yang dipenuhi dengan kemungkinan dan potensi-potensi tanpa batas. Meski pun belum menjadi kenyataan tetapi masa depan seharusnya menjadi konteks yang harus dipertimbangkan. Manusia dapat membayangkannya secara imajiner bahkan juga fantasi, lalu memikirkan bagaimana menghadapi atau berinteraksi dengan kemungkinan dan potensi-potensi tersebut. Kita sadar bahwa kemungkinan di masa depan merupakan sesuatu yang bebas dan belum tentu terjadi, tetapi masa depan itu pasti datang lalu memasuki masa yang kita sebut dengan masa sekarang. Proses ini sangat cepat dan tidak terbendung. Sudah sewajarnya semua itu, meski imajiner, perlu diperhitungkan.
Bayangan-bayangan tentang sesuatu di masa depan tidak boleh disepelekan karena mempengaruhi kita dan membentuk pikiran serta paradigma yang ada di masa sekarang. Hal yang kita sebut sebagai masa sekarang sesungguhnya tidak pernah eksis dalam waktu lama, apalagi stagnan. Ketika kita mengucapkan kata sekarang, maka sekarang itu sudah berlalu, dan ucapan kita tentang sekarang itu sudah menjadi masa lalu. Masa yang disebut sekarang hanyalah simpul yang ada sekejap lalu lenyap. Simpul itu merupakan simpul pertemuan antara masa depan dan masa lalu. Tepian masa lalu atau ujung yang tersisa dari masa lalu bertemu dengan ujung yang datang dari masa depan, dan pertemuan keduanya merupakan titik yang kemudian disebut sebagai ruang waktu sekarang. Sekali lagi, ia begitu cepat berlalu. Pada saat kita menyadarinya maka kita sudah tidak lagi berada di titik sekarang tadi, melainkan telah berada di depannya, dan sekarang itu dalam sekejap telah menjadi masa lalu.
Mengapa pembahasan ini penting? Karena kita ingin memperluas pemahaman bahwa konteks bukan semata-mata berkaitan dengan hal-hal fisik atau elemen material, melainkan konteks juga berkaitan dengan ruang waktu yang secara imajiner dibuat oleh manusia.
Pada ruang waktu yang kita sebut masa depan itu terdapat segala kemungkinan dan potensi meskipun belum mencapai kepenuhan wujudnya sebagai kenyataan. Manusia dibentuk oleh banyak elemen di masa lalu, masa sekarang, dan khusus masa depan. Bila manusia terlalu terikat masa lalu maka ia akan menjadi manusia yang mengagungkan atau menyesali hal-hal yang telah lewat. Tetapi bila manusia hanya membayangkan masa depan maka ia akan menjadi manusia yang bermimpi tanpa melakukannya. Ia hidup dan terjebak pada potensialitas semata. Kita ada tetapi tidak ada, karena belum mengada dan belum berada di masa depan itu. Sebaliknya seseorang yang hanya berorientasi pada masa sekarang juga terjebak oleh sikap-sikap yang pragmatis. Ketiga ruang waktu yang secara imajiner dibuat oleh manusia, yang terdiri dari masa lalu (mengingat), masa sekarang (mengaktualisasikan), dan masa depan (harapan) tidak dapat diabaikan sama sekali karena ketiganya mempengaruhi setiap individu. Bila kita terjebak dalam salah satu ruang waktu imajiner tersebut maka tidak mampu melihat keluasan dan kepelbagaian kemungkinan. Bila kita hanya mengingat kesedihan atau trauma akibat kejadian yang telah lewat seringkali membuat seseorang tidak mampu menikmati masa sekarang atau masa depan.
Kegagalan seseorang memahami kepelbagaian pasti juga akan berimbas pada yang lain, karena hakikatnya manusia selalu memiliki relasi sosial dengan yang lain. Kondisi ini menjadi pemicu hubungan asimetris lainnya dalam konteks yang lebih luas. Dominasi akan dibalas dengan dominasi baru. Persepsi negatif merangsang persepsi negatif lainnya. Bila hal ini terus menerus terjadi, maka dampaknya semakin meluas menghambat perjumpaan selanjutnya. Kondisi ini memunculkan persaingan, perseteruan, kesalahpahaman, dan tidak mampu menumbuhkan harapan. Kegagalan perjumpaan dengan elemen-elemen konteks akan menghasilkan ketidakharmonisan relasi dan berarti semakin memperbesar terjadinya kesalahan persepsi hingga bertahan dengan upaya-upaya dominasi. Masing-masing tidak lagi percaya sinergi dan saling bergantung, melainkan berebut eksistensi dan menganggap yang lain sebagai ancaman. Kondisi demikian menyebabkan disintegrasi serta kekacauan lebih luas karena jauh dari solidaritas.
Keterasingan dan Keterlemparan
Kondisi sebagaimana disebutkan di atas, merupakan kegagalan dalam memahami diri, sekaligus memahami lingkungannya. Dalam kondisi ini seseorang / institusi tidak mampu menterjemahkan atau membahasakan diri maka tujuannya tidak dapat dipahami oleh yang lain. Keterjebakan pada kondisi ketidakmampuan membahasakan diri menyebabkan seseorang atau individu semakin terpisah dari yang lain. Kerusakan relasi semakin terjadi, manusia semakin terasing dari dirinya, sesamanya, dan Penciptanya. Manusia yang terasing dari yang lain adalah manusia yang terlempar dari ikatan, dasar, dan komunitas. Dia susah memahami dan juga susah dipahami. Keterlemparan berarti tidak memiliki akar, tidak memiliki kaitan dengan yang lain, dan tidak mampu memahami keterkaitan diri dengan yang lain, serta memandang dunia dari perspektif yang semata-mata dari kepentingan diri sendiri.
Keterlemparan semacam ini mengarahkan manusia pada dominasi dan keterjebakan perspektif sempit dan dangkal. Konflik dan kekacauan dunia menjadi bukti bahwa banyak orang terjebak hanya pada diri dan kelompoknya tetapi tanpa sertai pengenalan diri dan yang lain. Manusia menjadi anonim, tidak tahu siapa dirinya dan siapa orang lain, sekaligus tidak paham arah dan tujuan berikutnya. Hal ini bertentangan dengan hakikat manusia yang sebenarnya memerlukan sesama karena keterbatasan dirinya. Kerjasama antar manusia merupakan hal yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Hakikat manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan orang (yang) lain untuk mencapai tujuan. Kondisi keterlemparan dan keterasingan ini memperlemah manusia dan semakin meningkatkan kekhawatirannya. Ketakutannya akan menjebaknya semakin tidak mampu menerima perbedaan dari manusia lain. Ia akan berada dalam dilema terus menerus. Kondisi ini dapat mengakibatkan manusia menjadi putus asa tanpa menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Ia akan mudah jatuh pada pencarian bentuk-bentuk pemuasan diri secara instan, ringan, dan dangkal. Manusia tidak lagi mampu berefleksi mendalam sebab hal itu dirasakan terlalu kompleks dan membebani diri. Munculnya budaya populer saat ini juga tidak terlepas dari pengaruh keterasingan dan keterlemparan diri. Manusia jatuh pada sebuah perjalanan tanpa tanggung jawab karena masing-masing diri menjadi anonim bagi yang lain dan bahkan dirinya tidak mengenal siapa dirinya. Manusia berbicara tentang dirinya tanpa kehadiran dirinya. Hubungan antar manusia hanyalah bersifat kontraktual, antara produsen dan konsumen tanpa tahu siapa masing-masing yang memproduksi atau menggunakan barang yang dihasilkan. Satu-satunya pengantara antara produsen dan konsumen adalah ketertarikan pada kapital dan fokus pada cara melipatgandakannya. Kapital adalah subyek. Manusia bekerja sebagai obyek demi pelipatgandaan kapital tersebut. Siapa yang menguasai kapital dan proses produksi akan menguasai massa atau manusia yang lain.
Ketiadaan pengenalan personal ini menjadikan tujuan dari perjuangan hidup manusia berbeda dari yang seharusnya. Tidak lagi pada nilai yang meningkatkan martabat dengan membuktikan bahwa dirinya bermanfaat dan berguna bagi kebaikan yang lain, melainkan sebaliknya, menuntut manfaat orang lain bagi dirinya. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang memiliki tujuan untuk menjembatani kebutuhan dan menghubungkan kebutuhan masing-masing individu demi mencapai kesejahteraan bersama, melaikan semata-mata menciptakan peluang pasar sebesar-besarnya demi keuntungan sebesar-besarnya dengan kesempatan seluas-luasnya. Media massa tidak lagi menjadi media yang menyampaikan pesan dalam rangka makna, melainkan pesan yang disampaikan adalah perluasan pasar dan demi keuntungan sekelompok orang saja, yaitu pemilik kapital (modal). Hubungan antara pemilik modal dan orang yang bekerja pada pemilik modal (pekerja) menciptakan perseteruan abadi. Kondisi perseteruan akan membawa manusia pada pertikaian dan konflik terus menerus dimana sebagai akibatnya adalah degradasi kemanusiaan secara keseluruhan.
Hal ini semakin buruk terjadi, sebab media komunikasi yang semakin menyatukan sistim berelasinya manusia ternyata bukanlah media yang netral karena telah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dari kedua belah pihak. Media massa tidak menjadi sarana menghubungkan manusia melainkan membenturkan manusia dengan segala macam kepentingan-kepentingannya. Manusia pada tahap ini tidak lagi mengetahui secara pasti kebutuhannya, tidak tahu lagi sebenarnya siapa yang sedang dibela, dan nilai-nilai apa yang sedang diperjuangkan. Manusia di jaman ini merasakan kesenangan minus kebahagiaan, tanpa penemuan makna. Bahasa dimainkan tanpa membentuk makna melalui diskursus dialektis, melainkan hanya menjadi instrumen kekuasaan baik pemilik modal maupun pekerja. Masing-masing saling berebut kekuasaan untuk menguasai dan mengalahkan yang lain. Media massa menjadi subyek yang memimpin manusia. Tayangan-tayangan informasi dan hiburan pada media massa selalu terikat pada keuntungan pihak yang membuatnya, berorientasi pada rating bukan pada makna bagi mereka yang melihat atau membacanya. Fungsi kritis manusia hilang, dan terus menerus menjadi semakin dangkal. Oleh karenanya tidak ada harapan yang mampu dibangun bersama, kecuali kesenangan bersama.
Agama termasuk institusi yang juga mudah dikooptasi dan dapat menjadi instrumen kekuasaan, terutama ketika agama salah memilih sahabat. Agama seringkali salah memilih sahabat, sebagaimana kritik Yesus terhadap Bait Allah. Seharusnya yang menjadi sahabat agama adalah budaya tetapi yang dipilih justru kekuasaan dan kapital/modal/uang. Saat ini keduanya menjadi tempat berlindung banyak pihak karena sepertinya merekalah yang mampu memberikan perlindungan bagi agama. Tetapi kenyataannya bahwa perlindungan yang ditawarkan baik kapital maupun kuasa, selalu meminta kembali dan dukungan balik dari agama sebab di dalam agama ada kesetiaan dan emosi massa yang langsung terikat pada sistim keyakinan. Siapa pun yang mampu masuk dengan jalur agama akan dengan mudah mempengaruhi seseorang tanpa daya kritis karena agama menunjukkan sesuatu yang sejak semula diyakini manusia sebagai yang tidak boleh dipertanyakan dan tidak bisa diperdebatkan. Semua yang dikatakan adalah mengatasnamakan Tuhan yang absolut, maka agama juga menjadi agama yang memainkan pesan-pesan absolut. Di sinilah massa akan mudah terbawa pada tujuan yang disuarakan agama. Kondisi ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para pemilik modal dan penguasa untuk masuk ke dalam jantung agama dan menjadi bagian yang mampu menciptakan dogma dan doktrin karena mengarahkan manusia pada ketergantungan teologis. Tetapi sebenarnya agama seringkali menjadi bagian yang digunakan untuk legitimasi kekuasaan dari berbagai pihak, baik pemilik modal maupun pekerja, keduanya melakukan kritik dan serangan dengan mengatasnamakan agama.
Pemilik modal menggunakan agama untuk menenangkan massa pekerja dan membuat mereka tidak kritis terhadap keadaan, tetapi di sisi lain para pekerja menggunakan agama untuk menemukan inspirasi memberontak dan membebaskan diri pada mereka yang dikategorikan sebagai para penindas/penguasa. Alhasil pertikaian dan konflik tanpa ujung dan ketidakjelasan antara pemenang dan yang kalah. Munculnya kelompok-kelompok radikal agama terbukti tidak pernah terlepas dari dukungan modal orang-orang yang memiliki kepentingan politik kekuasaan dengan mencari legitimasi dari simbol agama. Ketimpangan sosial dan ketidakadilan semakin meluas dan semakin lebar jurangnya, tetapi lembaga-lembaga agama merasa telah berbuat banyak dengan sikap dan tindakan karikatif yang memberi dan menciptakan ketergantungan baru. Sikap kritis manusia untuk menghidupi etika yang bermakna dan membebaskan diri dari belenggu-belenggu sosial tidak lagi dianggap menjadi kesadaran yang sifatnya mendesak. Inilah yang seharusnya menjadi gereja saat ini, sekaligus membawa gereja pada pertanyaan kritis dan reflektif: Sejauhmana gereja telah terjebak dalam situasi ini? Bagaimana suara kritis yang berasal dari ketulusan iman dapat disuarakan gereja bagi dunia? Bagaimana strategi dan kerjasama gereja bersama masyarakat demi membangun transformasi ke arah perubahan yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh ciptaan? Mengapa gereja terkesan
Panggilan Misioner Gereja
Gereja sebagai komunitas yang melanjutkan keprihatinan Yesus menunjukkan bahwa Allah melawat umat-Nya dan menginginkan pembaharuan bagi relasi antar segenap ciptaan. Para penulis Kitab Suci menyaksikan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan dunia. Kesaksian Injil mengarahkan manusia pada kesadaran terhadap tujuan eksistensial penciptaan semesta. Gereja menyuarakan pewartaan Yesus tentang pertobatan, pengampunan dosa, dan rekonsiliasi. Kesemuanya itu disampaikan Yesus dalam bahasa penderitaan dan kesederhanaan. Pesan Yesus sangatlah jelas bahwa Ia anti kemapanan dan selalu mempersoalkan hal-hal yang telah diyakini secara stagnan. Bahkan ia mencitrakan kelompok pelayanannya sebagai kelompok yang terus menerus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Yesus mengkritik Bait Allah yang terjebak pada konspirasi antara agamawan dan pemilik kapital demi melanggengkan kekuasaan. Meskipun demikian Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah diwartakan untuk semua orang baik yang kaya maupun miskin, yang kuat dan yang lemah. Tujuan dari pewartaan Yesus adalah keberpihakan pada mereka yang tertindas, tetapi juga membuka pertobatan bagi yang menindas. Yesus mengkritik mereka yang tertindas, tanpa membenturkan mereka dengan para penguasa, sebab tujuan-Nya adalah membebaskan semua pihak dari permusuhan dengan mendasarkan pada pertobatan. Baik penguasa maupun yang dikuasai, yang menindas dan tertindas, pada dasarnya terjebak oleh dosa yang tidak lain akibatnya adalah keterasingan dan keterlemparan dari hakikat gambar Allah. Undangan Yesus bukanlah untuk memasuki Sorga, melainkan untuk bergabung dalam Kerajaan Allah, sebagai ketundukan serta kesetiaan pada Allah yang memerintah kehidupan. Keselamatan adalah undangan untuk menjadi pelaku keselamatan, ketika manusia kembali menjadi seperti gambar Allah sesuai pada saat diciptakan-Nya. Keselamatan adalah pemulihan kehidupan. Keselamatan di masa depan yang digambarkan dengan kesempurnaan sorgawi merupakan keselamatan eskatologis yang sudah harus dimulai perwujudannya di bumi melalui tindakan yang mencerminkan keselamatan itu. Hanya mereka yang diselamatkan Allah yang mampu melakukan tindakan yang menyelamatkan yaitu ketika seseorang mengasihi, bertindak adil, tunduk pada kebenaran, dan hidup kudus.
Pelayanan sakramen Baptis dan Perjamuan Kudus oleh gereja harus dipahami sebagai bukti yang menunjukkan bahwa setiap orang yang tergabung dalam persekutuan telah menaklukkan dirinya dalam ketundukan pada Kristus sebagai utusan Bapa dan pada pemeliharaan Roh Kudus. Ketaatan gereja bukan pada hal lain kecuali yang ditunjukkan dalam penggambaran peran dan tugas misi Yesus, yang menunjukkan pada kekuasaan Bapa dan Roh Kudus. Gereja bukan saja mengimani keselamatan nanti di Sorga, melainkan juga panggilan yang melekat dengan keselamatan itu sendiri, yaitu menjadi hamba Yesus Kristus dan menempatkan kepentingan-Nya sebagai yang utama dan tertinggi di dalam hidup. Sedangkan Perjamuan Kudus merupakan simbol dan lambang bahwa sebagai umat yang percaya pada keselamatan Allah telah dipersatukan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Perjamuan Kudus adalah tanda bahwa Allah memelihara iman, atau bahwa Yesus telah menjadi teladan bagi partisipasi kita menjadi manusia yang siap melakukan pembenahan terhadap dunia secara terus-menerus sebagaimana telah diteladankan oleh-Nya sendiri. Setiap orang percaya siap menjadi saksi kebenaran Ilahi dengan resiko terburuk yaitu kematian, sebab Yesus pun telah melakukan demikian.
Keterlibatan dan partisipasi pembaharuan dunia bersama Yesus ini tidak mungkin terjadi bila secara internal gereja tidak menunjukkan adanya perubahan dan sikap hidup yang sesuai dengan etika Kristus. Konsistensi tindakan harus ditunjukkan terlebih dahulu pada tataran internal sebelum menyaksikannya ke luar. Maka, dengan demikan kondisi umat yang terampuni, terpulihkan, dan dipanggil ke luar harus dirasakan serta dibuktikan terlebih dahulu di dalam kehidupan Gereja sendiri. Pewartaan tanpa keteladanan hanyalah mempermalukan Kristus.
Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ merupakan instrumen yang dimaksudkan untuk memberikan koridor berdasarkan hasil refleksi teologis dan kesepakatan Gereja-Gereja Kristen Jawa untuk mengatur diri agar tetap menjadi persekutuan orang percaya yang bersifat organisme (gerakan), serta mampu menunjukkan kewibawaan, kesucian, dan kemuliaan Kristus. Melalui TGTL ini setiap GKJ berusaha berjuang meneladani Yesus Kristus.
Menurut para penulis Injil, Yesus adalah tokoh yang memberikan pesan kuat tentang pentingnya menjaga agar ajaran tidak terjebak menjadi ideologi yang diagungkan melainkan tetap menjadi gerakan yang memperjuangkan penemuan kembali kemanusiaan sebagaimana yang dikehendaki Allah. mencatat bahwa Yesus dan kelompok muridnya merupakan sebuah gerakan yang berinteraksi dengan kondisi sosial pada masanya tanpa dimaksudkan menjadi doktrin tunggal yang stagnan. Allah melawat umat-Nya merupakan tindakan yang cair dan terbuka. Tidak ada identitas yang dibakukan dan sekedar diikuti. Keterbukaannya itulah justru yang menjadi identitas dan karakter kesetiaan Allah pada seluruh ciptaan-Nya. Identitas tidak ditunjukkan melalui simbol-simbol tetap, melainkan gerakan itu sendiri merupakan identitas Yesus yang terbuka. Allah adalah Roh yang tidak terikat pada kultus dan kultur tertentu. Ia berada di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Situasi stagnan membuai manusia tidak lagi kritis. Demikian pula tradisi, norma, dan nilai seharusnyalah dihidupi, bukan hanya dijaga agar tidak hilang atau luntur.
Manusia memiliki kecenderungan membuat rumah dan pagar dogmatis, serta merasa nyaman di dalamnya. Dalam kondisi keberagamaan, maka stagnasi adalah bahaya, mengakibatkan berkurangnya kepekaan sosial serta tidak lagi mampu memahami yang lain kecuali fokus pada batasan dogmatis yang dibuat kelompoknya sendiri. Ketika tradisi menjadi kuat maka tafsir sosial pun menjadi lemah karena manusia mengira semua dalam kondisi beres dan telah dapat diatasi oleh aturan turun-temurunn. Tradisi agama sering dipakai untuk mengalihkan manusia dari percakapan tentang hakikat kemanusiaan. Seringkali tafsir sosial pada akhirnya menjadi tafsir yang didiktekan oleh para penguasa agama yang tidak lain bersahabat dekat dengan para pemilik kapital dan politik kekuasaan. Sasaran Yesus dalam pelayanan-Nya justru menyadarkan manusia pada bahaya stagnasi. Bait Allah akan “dirobohkan” dan dibangun kembali. Yesus memberi teladan perlawanan melawan kuasa dan kapital yang telah mengkooptasi Bait Allah. Cara Yesus bukan dengan menggerakkan massa atau melawan dengan kekerasa, tetapi justu secara konsisten melakukannya dalam kesederhanaan / kebersahajaan, tidak terjebak pada pusaran kepentingan kuasa, terus-menerus memberi ruang partisipasi publik tanpa diskriminasi, serta menunjukkan prioritas keberpihakan kepada yang lemah dengan menjadi bagian darinya, dan memberikan harapan untuk tetap bertahan serta berjuang.
Kriteria gerakan dan bentuk harapan ini bukan pada nilai atau standar pikiran manusia melainkan pada rancangan yang berasal dari Allah. Artinya, manusia tidak mendapatkan akses sama sekali untuk menjadi hakim atas yang lain. Tugas manusia yang dipanggil-Nya adalah semata-mata untuk melakukan apa yang dialaminya tentang kehendak Allah sekaligus hal tersebut sebagai kesaksian dan keteladanan bersama yang lain. Manusia diajak untuk tidak lagi memikirkan diri dan kekuasaan, melainkan mengosongkan dirinya. Tidak ada musuh yang harus diperhitungkan sebagai musuh. Bahkan orang yang berseberangan secara ideologis dan tradisi keagamaan bisa menjadi sesama bagi tujuan penemuan kembali martabat manusia yang berjalan seiring jalan Tuhan. Hal ini menjelaskan kepada para pembaca bahwa ajaran Yesus tidak memulai perjuangan dari kelompok primordial-Nya, melainkan secara langsung justru menunjukkan adanya upaya melintasi batas-batas dan membuka sekat-sekat yang selama ini dibuat oleh tokoh-tokoh agama yang membedakan antara ruang najis dan tahir, ruang profan dan ruang sakral, serta memisahkan antara yang dipilih dan tidak dipilih, yang menerima dan yang menolak, yang melakukan dan yang tidak melakukan. Yesus Kristus justru meniadakan pembedaan tersebut semuanya setara, digembalakan sebagai domba-domba yang menuju padang rumput hijau, padang rumput kebenaran.
Yesus menghentikan dualisme dan dikhotomi tentang sorga dan bumi. Satu pesan yang jelas bahwa Allah berpihak pada semua orang dengan cara yang tidak dipikirkan manusia. Artinya batas-batas yang dibuat oleh manusia tentang sorga dan bumi direlatifkan dan dilangkahi Allah begitu saja. Di hadapan-Nya tidak berlaku sekat-sekat yang dibuat oleh tokoh-tokoh agama sekalipun. Dengan cara demikianlah perjuangan mengembalikan martabat manusia dari keterasingan dan keterlemparannya harus dilakukan. Lawatan Allah ke dunia merupakan lawatan Gembala yang menggembalakan kembali domba-domba-Nya dengan cara baru. Ia tidak pernah menggembalakan dengan kekuasaan melainkan berpihak pada kepentingan domba-Nya. Ia mengubah perspektif atau paradigma domba-domba-Nya dengan hal-hal baru di luar kebiasaan dan tradisi mana pun. Ia memutuskan hubungan sebab akibat kekerasan dengan kasih tulus yang sama sekali tidak menuntut. Kasih adalah aktivitas memulai sesuatu, bukan membalaskan atas sesuatu. Tidak ada sekat, tidak ada kekuasaan yang dipaksakan, tidak ada permusuhan dan mengadu antara kelompok satu dengan yang lain. Kasih Allah ini digambarkan sebagai kasih yang berorintasi dan bermula dari keteladanan penyataan Yesus sebagai hamba yang setia, taat, hingga kematian-Nya. Allah adalah Allah yang tidak seperti dirumuskan oleh manusia. Ia mengampuni dan menunjukkan bahwa diri-Nya tidak terikat pada salah satu umat, melainkan menyelamatkan dunia dan semua manusia sebagai umat-Nya. Manusia disadarkan bahwa ukuran tidak lagi menjadi hak manusia untuk melakukannya, karena manusia pada posisi yang sama yaitu orang-orang berdosa yang bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah.
Sebaliknya, manusia diajarkan untuk menjadi kelompok umat baru yang saling memberikan dukungan bagi yang lain, saling mengasihi, mengampuni, dan menyadarkan pada kasih Ilahi. Umat tidak hidup dalam ketakutan terhadap tuntutan Allah, melainkan dalam ikatan kasih yang membebaskan. Semua ini mengajarkan umat membongkar batasan dan definisi tentang kebenaran dari perspektif manusia. Meskipun sudah diselamatkan, tetapi manusia tidak mamppu memahami kebenaran yang luas dan dalam itu. Kebenaran adalah di luar jangkauan pemikiran manusia. Oleh karenanya, cara hidup yang benar dari manusia adalah ketundukan dalam kebenaran Roh Kudus. Manusia tidak mampu menguasai kebenaran, maka tidak pula terjatuh pada absolute claim tentang kebenaran.
Perjumpaan dengan yang lain inilah yang justru membawa manusia pada kesadaran hal-hal baru yang mampu membuatnya kembali dari keterlemparan atau keterasingannya. Manusia tidak terjebak pada nalar dan tindakan sempit yang dia kira sebagai kebenaran, tetapi pada kesempatan ini justru dibawa pada kesadaran memahami kebenaran melampaui yang diyakini selama ini. Berjalan bersama Roh Kudus berarti sebuah proses memperbaiki cara pandang secara terus-menerus, serta harus berani terbuka, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi. Orang lain di luar diri kitalah yang akan membaca/ memberi identitas kita. Perubahan ini tidak perlu disesali selama dilakukan secara alamiah dan tidak karena paksaan. Proses ini merupakan kekuatan sosial dalam melakukan transformasi terus-menerus. Gereja tidak menggurui masyarakat tentang keselamatan, tetapi melalui proses ini gereja bersama masyarakat saling berjumpa dan belajar tentang bagaimana keselamatan dipahami. Tentu saja bukan sekedar keselamatan sorgawi, tetapi yang lebih mendasar adalah keselamatan sosial bagi seluruh dunia. Keselamatan tidak hanya menjadi urusan individu melainkan menjadi urusan bersama (sosial) dan diperjuangkan bersama-sama lintas pengalaman budaya / agama.Bahasa dan pengalaman berbeda tidak saling dipertentangkan, melainkan dipertemukan untuk mendapatkan bahasa dan pengalaman bersama, sehingga dapat diperoleh cara-cara yang diyakini sebagai milik bersama. Proses panjang ini seharusnya menjadi karakter dan bentuk dialog lintas budaya dan lintas iman.
Dialog disalahartikan sebatas demi mencari kesepahaman. Seharusnya tidak demikian, sebab dialog berarti melalui suatu percakapan / diskursus. Dialog tidak untuk menghasilkan perdamaian sebab perdamaian justru merupakan syarat mutlak dialog. Hanya dengan terciptanya perdamaian maka dialog itu dimungkinkan. Dialog dilakukan dengan mempertemukan perbedaan serta mempercakapkannya. Dialog bertujuan untuk menghasilkan suatu narasi bersama yang diyakini dan dipahami sebagai cara mencapai damai-sejahtera sehingga dapat dikerjakan. Iman dan agama tidak menjadi alat perpecahan melainkan merupakan titik berangkat menuju percakapan menemukan pengalaman interrelijius yang juga merupakan spiritualitas terbuka yang tidak tersekat-sekat. Spiritualitas terbuka ini menggerakkan komunitas / masyarakat dalam arti lebih luas. Kehidupan GKJ saat ini dan masa depan mengarah pada kesadaran demikian.
Makna Identitas Jawa Bagi GKJ
Gereja Kristen Jawa adalah gereja yang berada dalam konteks budaya Jawa serta mengakui bahwa budaya Jawa tersebut merupakan kekayaan yang telah membentuk kehidupannya secara kompleks, luas, dan dalam. Budaya Jawa yang dimaksud bukan sekedar budaya dalam arti proforma (sekedar mengikuti tata cara yang berlaku) melainkan esensi (hakikat). Artinya, bahwa budaya Jawa telah menjadi bagian yang membentuk identitas ke-GKJ-an atau hal-hal yang terkait dengan Gereja Kristen Jawa secara keseluruhan. Jawa adalah identitas, tetapi semua ini bukanlah identitas statis. Proses pembentukan identitas Jawa yang dikenal sekarang ini merupakan identitas yang dibentuk oleh banyak faktor dalam waktu yang lama.
GKJ sebagai gereja tidak menyangkal perubahan, baik organisasi maupun manusianya (organisme). Demikian pula dengan budaya Jawa senantiasa dipahami sebagai budaya yang bergerak dan berubah sesuai dengan perubahan manusia menghadapi kondisi dan jaman yang juga berubah. Cara pandang sempit ketakutan kehilangan budaya Jawa tidak perlu ada, sebab kejawaan atau budaya Jawa tidak mungkin hilang selama ada orang-orang yang menghidupinya. Artinya komitmen untuk menjaga budaya bukan pada komitmen sekedar menjaga simbol-simbol yang kelihatan, melainkan yang lebih penting adalah nilai-nilai yang dihidupi dan diyakini oleh masyarakat Jawa secara dinamis. Apa artinya kita memiliki bentuk budaya yang tetap, bila tidak ada lagi orang yang menghidupinya? Sebaliknya bentuk budaya harus dipahami sebagai cerminan dari nilai-nilai yang sedang dikembangkan bersama. Bentuk-bentuk budaya yang pernah dimiliki akan dijajarkan sebagai catatan sejarah panjang budaya, yang akan menjadi sebuah catatan hidup berkembangnya nilai-nilai Jawa.
Dengan kata lain, budaya Jawa adalah ruang di mana kita masing-masing beriman dan berjumpa. Melalui ruang budaya ini masing-masing merasa dekat dan mendapatkan perekat di antara perbedaan-perbedaan. Mempertahankan Budaya Jawa bukanlah urusan utama (prioritas) GKJ dibandingkan tugas kesaksian iman tentang Yesus Kristus sebagai pernyataan Kasih dan Penyelamatan Allah. Meskipun demikian kecintaan pada budaya Jawa tidak dapat dipungkiri, mengingat bahwa selama budaya inilah yang menjadi pendamping dalam memahami Injil dan memberi ruang konteks beriman. Budaya Jawa adalah teman dan sekaligus ruang yang telah membuktikan bahwa Allah juga hadir di masa lalu, sekarang, dan mendatang dalam bentuk yang unik dan otentik. Oleh karenanya budaya Jawa tidak sekedar dipahami sebagai sesuatu yang diam ketika berhadapan dengan iman atau kekristenan, melainkan Jawa dipahami sebagai orangtua yang juga melahirkan kita dan mengantar kita pada perjumpaan dengan Injil. Kecintaan kita terhadapnya diwujudkan dalam kreativitas dan inovasi di jaman baru. Demikian pula dengan Injil, merupakan hal yang diyakini dan dialami, sebagai yang juga membentuk diri gereja, jemaat, atau individu. Injil tidak menghilangkan budaya, tetapi budaya tidak ditempatkan sebagai lebih diutamakan daripada Injil. Budaya Jawa adalah kacamata saat membaca dan menerima Injil. Jawa akan memberikan karakter berbeda dalam beriman. Jawa akan menjadi paradigma yang juga dipertimbangkan dalam mengembangkan paradigma kekristenan kita. Kemudian, setelah semua ini terjadi, dihasilkan bentuk-bentuk kesadaran baru dalam budaya Jawa yang diperbarui.
Budaya Jawa bukan sekedar bahasa atau ekspresi yang digunakan untuk mengkomunikasikan kekristenan agar lebih dipahami konteks, melainkan Jawa dipahami sebagai partner, ruang, konteks sekaligus dan bahkan orangtua bagi perkembangan kekristenan yang unik dan otentik dengan kacamata kultural tertentu. Ini semua penting untuk menunjukkan kepada masyarakat luas tentang bagaimana Allah yang hadir dan menyejarah. Diharapkan orang lain atau masyarakat juga melakukan hal yang sama sehingga kesaksian iman mereka akan memiliki karakter kultural yang pada akhirnya dapat dipertemukan untuk saling memperkaya, memperluas, dan memperdalam pemahaman tentang karya Allah dan kehidupan. Kekristenan dipengaruhi oleh kejawaan dan begitu juga sebaliknya kejawaan mempengaruhi kekristenan yang dikembangkan selanjutnya. Injil sebagai kabar baik, pada dasarnya selalu dikembangkan dalam perspektif kultural tertentu. Injil yang dikembangkan di Yudea, tidak serta merta mampu dipakai untuk konteks lain tanpa melalui pertemuan dan perumusan ulang sesuai konteks lokal, meski harus senantiasa dicermati benang merah pesan dan hakikatnya. Inilah yang disebut kontekstualisasi.
Perubahan bentuk budaya perlu disyukuri dan diupayakan terus-menerus, demikian pula sebaliknya perubahan memahami iman juga senantiasa harus disambut sebagai berkat. Semua ini merupakan bukti bahwa budaya di mana kita hidup senantiasa tercerahkan oleh hal-hal baru termasuk tercerahkan oleh Injil. Bila GKJ ingin bertanggung jawab atas keberlangsungan budaya Jawa maka janganlah dipahami sekedar mempertahankan bentuk-bentuknya agar tetap seperti sekarang dan berlaku tetap sampai kapan pun. Jika ini yang terjadi maka kita justru sedang membunuh dan mengkredilkan budaya Jawa itu sendiri. Budaya Jawa merangsang iman kita untuk memahami Injil, dan demikian pula Injil menjadi partner bagi upaya mengembangkan budaya Jawa sebagai hasil ekspresi nilai-nilai lokal yang telah tercerahkan oleh Injil.
Merumuskan Eklesiologi Di Jaman Baru
Tanpa kemampuan berubah maka gereja hanyalah berada pada ruangnya sendiri terisolir dari yang lain. Ekklesiologi adalah sebuah pengertian gereja tentang dirinya sendiri. GKJ berusaha merumuskan dirinya berdasarkan pertimbangan teologis maupun sosio-kulturalnya masa kini. Gereja dipanggil untuk kembali memasuki dunia dan berproses bersamanya bagi suatu transformasi bersama. Pemahaman masyarakat tentang iman dan agama senantiasa berubah, mengikuti konteks masyarakat yang semakin menuntut adanya kesamaan, keseimbangan, dan kesetaraan kedudukan. Gereja bukan lagi pada posisi lebih tahu dibandingkan yang lain. Sebaliknya, gereja juga belajar dari pengalaman sosial nyata yang ada di sekitarnya. Di sinilah gereja tidak bisa lagi menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, melainkan harus menjadi gereja yang terbuka. Ekklesiologi saat ini harus dipahami sebagai gereja yang berada di pasar dan bukan sekedar altar. Konsep gereja sebagai agora (pasar) inilah yang memberikan ruang bagi masing-masing orang untuk berinteraksi secara setara/ simetris berbagi pengalaman maupun perspektif dengan yang lain.
Setiap pengalaman baik dari diri sendiri maupun yang lain dipahami sebagai pengalaman yang memiliki nilai sama penting. Pengalaman dari yang lain perlu dimengerti agar kita dibawa pada sebuah wawasan yang lebih luas yang tidak mungkin kita alami sendirian. Di sinilah konsep ekklesiologi dkembangkan, dari kesadaran menjadi gereja bagi yang lain, tetapi sebaliknya menjadi gereja bersama dengan yang lain. Perbedaan jabatan gerejawi haruslah dipahami sebagai perbedaan peran, tetapi posisi masing-masing harus dipahami setara. Imamat am orang percaya merupakan penekanan yang menunjukkan bahwa setiap orang pantas didengar karena mereka masing-masing juga memiliki fungsi imamat yang setara. Sebagai contoh: meski Pendeta memiliki kewenangan untuk membaptis, tetapi bukan berarti bahwa orang yang dibaptis berada pada posisi yang lebih rendah. Baik tua maupun muda, berjabatan gerejawi atau pun tidak berjabatan gerejawi, memiliki kedudukan yang sama di dalam iman, yaitu sebagai saksi kebenaran Ilahi yang diperoleh berdasarkan pada pengalamannya bersama Roh Kudus.
Tuhan hadir dalam setiap pengalaman manusia siapapun dan bagaimana pun mereka. Maka berdasarkan kenyataan ini, setiap pengalaman adalah berharga untuk didengar dan direfleksikan oleh gereja. Bahkan tidak hanya pengalaman yang dimiliki oleh orang yang tergabung dalam gereja saja yang penting melainkan juga pengalaman lain dari orang-orang yang tidak tergabung dalam organisasi gereja. Konsep ekklesia sudah saatnya berubah bukan saja kalangan terbatas melainkan siapa pun yang merasa dan menyadari diri sebagai bagian dari orang yang menyaksikan kebenaran ilahi maka dia adalah ekklesia. Dengan demikian ekklesia tidak dipahami sebagai bagian yang dibatasi oleh organisasi melainkan batasan ekklesia adalah hakekat, yaitu orang-orang yang memiliki kesadaran sebagai saksi kebenaran Ilahi.
Ekklesia tidak dibatasi oleh agama tertentu, melainkan lintas agama karena kebenaran Illahi adalah kebenaran yang melampaui batas-batas agama. Ekklesia dalam arti terbatas (gereja) tidak dipertentangkan dengan ekklesia yang bersifat universal (persekutuan umat Allah). Artinya meskipun istilah ekklesia digunakan untuk menyebutkan persekutuan orang-orang yang percaya pada Yesus Kristus, tidak berarti bahwa persekutuan ini dipertentangkan dengan mereka yang beragama berbeda. Ekklesia dalam cakupan sempit merupakan bagian dari ekklesia dalam arti yang universal. Ekklesia dalam pengertian persekutuan orang-orang beriman, bukan persekutuan orang-orang yang dibatasi agama tertentu saja. Yesus Kristus yang datang dari Bapa, tidak boleh dijebak dalam cakupan primordial yang dibuat manusia.
Ekklesia yang memiliki pengertian seperti di atas, juga akan memiliki konsekuensi menggeser pengertian lain yang terkait, antara lain: oikumene. Bila Ekklesia tidak lagi terbatas pada hal yang bersifat material atau identitas luar, maka oikumene seharusnya juga menjadi suatu kesadaran bahwa manusia menghidupi dunia dan kapal yang sama. Semua manusia adalah pengembara yang bertahan mencari jalan kembali dan dalam kesadaran inilah maka semua manusia berada dalam perahu dan dunia yang sama yang sedang menuju arah pulang. Bukan berarti bahwa batasan primordial tidak perlu, melainkan seharusnya ditempatkan pada proporsinya, tanpa harus membatasi atau mengukur yang lain. Sebagai sebuah identitas primordial dapat saja dipakai tetapi dilakukan secara terbuka dan cair. Artinya pemahaman dan konsep dari yang lain dipertimbangkan secara terbuka dalam sebuah proses belajar bersama mengenali suara dan panggilan Allah. Sebab, Allah hadir pada ranah universal maupun partikular pada saat yang sama.
Ekklesiologi masa kini perlu memiliki paradigma baru, yaitu sebagai sebuah rumusan teologi bergereja yang dibangun bersama yang lain. Hal ini merupakan hasil dari konsistensi berpikir dan alur paradigma bahwa ekklesiologi tidak dibangun dari dalam gedung melainkan dari agora (pasar) dimana iman bergeser dari altar ditempatkan pada ruang publik. Dunia yang luas inilah altar, sebagai tempat Allah beraktivitas (menyejarah). Ketika gereja adalah gereja yang terbuka di ruang publik maka pada dasarnya teologi dan agama adalah juga terbuka bagi siapa pun yang berada di ruang publik untuk berpartisipasi membentuknya. Gereja di jaman baru ini harus mampu menerima dan terbuka terhadap intervensi dan interaksi dari pihak lain. Perjumpaan ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan gagasan kepada dunia yang lebih luas, tetapi sekaligus juga ruang belajar dan pengkayaan gagasan dari dunia yang lebih luas bagi gereja. Subyek-subyek yang berbeda memberikan keluasan wawasan dan kedalaman refleksi dalam beriman. Di dalam proses perjumpaan antar perbedaan maka seseorang mendapatkan kesempatan untuk “mempertanyakan” dan “merekonstruksi” rumusan-rumusan yang telah ada.
Tidak perlu takut terhadap iman yang terkikis, karena pada dasarnya iman tidak pernah terbangun secara permanen sehingga tidak ada pengikisan dari iman sebelumnya. Justru bila terjadi proses perubahan konsep iman maka ini merupakan sebuah proses yang seharusnya disyukuri. Bukankah iman adalah iman yang senantiasa relevan dan terkait dengan penyataan Roh Kudus yang terus menerus merupakan gerakan. Iman harus mengikuti gerakan Roh Kudus tersebut yang memperjumpakan kita dengan yang lain yang tidak terbayangkan sebelumnya. Iman yang dewasa adalah iman yang tidak statis, mampu mencerna dan memikirkan perkembangan-perkembangan baru, serta mengalami perubahan-perubahan tanpa kehilangan orientasinya.
Jemaat yang Pastoral dan Transformatif
GKJ dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya untuk memikirkan ulang dirinya, situasi yang terjadi, serta orang lain. Karena, setiap orang mengalami perubahan. Tidak mungkin kita menghadapi situasi masa kini (paradigma abad 21) dengan cara-cara berteologi abad pertengahan atau bahkan abad awal munculnya kekristenan. Tradisi dapat saja diteruskan tetapi selalu harus disertai dengan penjelasan yang rasional serta dapat diterima oleh rasa jaman yang berbeda. Bila tidak, maka tradisi hanyalah merupakan kerangkeng yang menghambat, atau bahan olok-olokan belaka karena tidak lagi bisa diterima oleh jaman baru dan yang senantiasa berubah ini. Kehidupan gerejawi memerlukan tradisi yang dipegang secara turun-temurun untuk menunjukkan benang merah perjalanan gereja, namun juga memerlukan interpretasi dan penterjemahan setelah dipertemukan dengan konteks baru. Tradisi tidak sekedar berjumpa hal baru melainkan juga dipertimbangkan bersama, bercakap-cakap dalam diskursus kultural bersama dengan sesuatu yang sama sekali berbeda. Masing-masing harus memiliki argumen, mengapa tradisi lama harus ada di masa kini, atau mengapa jaman baru memerlukan kehadiran tradisi lama tersebut?
Kontekstualisasi seringkali dipahami secara salah karena lebih menekankan pada adaptasi dengan lingkungan / konteks setempat tetapi kurang disadari sebagai sebuah perjumpaan dan membangun teologi bersama dengan yang lain. Artinya dalam proses kontekstualisasi harus terjadi proses pembentukan narasi baru hasil dari diskursus dengan setiap elemen konteks yang ada. Kontekstualisasi tidak dimaksudkan sebagai sebuah strategi agar gereja dapat diterima atau dipahami oleh yang lain, melainkan agar gereja mampu mendengarkan yang lain serta berproses bersama dengan yang lain demi menghasilkan teologi baru bagi sebuah sikap sosial baru yang lebih relevan sesuai dengan konteksnya. Tidak ada yang diremehkan dan tidak ada yang meremehkan meskipun berbeda keyakinan sebab masing-masing menyadari bahwa Roh Kudus hadir pada semua orang maka setiap orang penting untuk didengar dan terlibat, apa pun latar belakang agama, budaya, atau kategori sosialnya. Teologi yang dihasilkan gereja bersama dengan yang lain tidak eksklusif tetapi dapat mewakili harapan bersama masyarakat. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengubah dunia, tetapi gereja dipanggil juga untuk mampu mengubah diri bersama dunia. Transformasi terjadi bila masing-masing pihak baik gereja maupun konteks mengalami perubahan.
Pelayanan gereja memiliki tujuan misi mewartakan kabar sukacita (Injil) yang semua dilakukan dengan cara yang ditunjukkan Sang Gembala Agung Yesus. Maka pelayanan gereja selalu merupakan pelayanan pastoral, dan sebaliknya juga bahwa pelayanan pastoral gereja merupakan perwujudan bagi misi gereja menyaksikan kabar baik. Melalui pelayanan (pastoral) gereja menunjukkan kehadiran Yesus yang memberikan harapan dan membawa pendamaian, pengampunan, kebangkitan, dan transformasi hidup. Pelayanan pastoral gereja tidak membawa manusia pada kesadaran seperangkat aturan melainkan kesadaran arah ke mana seharusnya melangkah bersama menuju kesempurnaan sebagaimana ditunjukkan Yesus Kristus. Gereja melayani sesama untuk mengarahkan pada Yesus Kristus Sang Gembala Agung.
Pastoral adalah karakter pelayanan gereja. Oleh karenanya tidak ada satu pun pelayanan yang bermuara pada kepentingan gereja, melainkan kepentingan Allah, dengan cara menunjukkan pada tranformasi yang diajarkan Yesus Kristus. Karakter pelayanan Yesus ditunjukkan dalam empat hal utama: a) pelawatan Allah dengan keberpihakan pada mereka yang lemah dan tertindas bagi upaya pendamaian; b) mengosongkan diri dan mendengarkan keluhan umatnya; c) serta berinteraksi dengan cara yang dipahami umatnya dalam nilai-nilai kasih karunia, kerelaan berkorban demi konsistensi perjuangannya mewujudkan keadilan, damai, dan sejahtera; d) bertujuan pada kebangkitan diri atau dengan kata lain transformasi diri oleh semua yang terlibat di dalamnya.
Secara internal, maka gereja sebagai suatu persekutuan orang percaya dipanggil untuk mampu memberikan bukti dalam kehidupan sehari-hari. Pastoral transformatif tidak saja diperuntukkan bagi pelayanan gereja ke luar atau masyarakat luas, melaikan hal tersebut harus terlebih dahulu berhasil diujikan dalam kehidupan bersama di dalam tubuh diri gereja sendiri. Oleh karenanya Pastoral Transformatif perlu dilakukan gereja di dalam mengatasi setiap permasalahan yang muncul di dalam dirinya sendiri. Konsep pastoral transformatif pada dasarnya menunjukkan bahwa di dalam gereja yang terjadi adalah bekerja bersama saling mendukung dalam mewujudkan kesempurnaan di dalam Kristus dengan mendasarkan pada kesadaran bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi kebaikan karena setiap manusia dan ciptaan tidak terlepas dari pancaran dan penyertaan kasih Ilahi.
Gereja dalam hal ini para pejabat gerejawi maupun jemaat tidak lagi ditempatkan pada posisi yang satu lebih tahu atau lebih memiliki hak daripada yang lain, tetapi masing-masing berada dalam ketidaktahuan tentang hal-hal yang dikehendaki Allah. Meskipun terbatas masing-masing memiliki pengenalan dan telah mendapatkan kebijaksanaan dari Allah melalui Roh Kudus untuk melakukan perbuatan yang baik. Perjumpaan ini tidak sekedar mempertemukan konsep melainkan mempertemukan pengalaman, memori, refleksi, harapan, bahkan trauma dan phobia. Di sinilah persepsi masing-masing diuji dan diperluas, lalu memperbaikinya bersama. Melalui perjumpaan ini terjadilah intervensi dan mau tidak mau akan memasuki proses saling mempengaruhi. Perjumpaan yang berulang-ulang akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang membuat kita semakin lama semakin terikat dan saling bergantung pada yang lain. Hanya dengan mengalami konfrontasi, penolakan, konflik, dan penerimaan, maka masing-masing mendapatkan pengalaman belajar sekaligus mengikatkan diri terhadap yang lain, baik terkait harapan, konsep, persepsi, maupun cara-cara mereka mengekspresikan pemahamannya dalam bentuk simbolik.
Dalam sikap konkrit gerejawi, maka pastoral transformatif memberikan dasar untuk menghindari bentuk-bentuk kebijakan gereja yang bersifat menghukum, mendeskreditkan, atau menempatkan seseorang pada posisi inferior dibandingkan yang lain. Gereja dan pelayan gerejawi perlu lebih sensitif terhadap bentuk-bentuk kekerasan dan hal yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi manusia. Sebab kebijakan gereja tidak serta merta dapat mengatur kehidupan seseorang. Gereja dan kebijakan yang diambil hanya boleh menjadi sarana untuk mengantar manusia pada pengenalan dan penemuan dirinya sebagai manusia yang utuh sebagaimana dikehendaki Allah ketika menciptakannya. Penemuan diri ini akan memampukan manusia untuk menghampiri, peduli, dan berangkulan memberi ruang untuk saling memberi. Ketika situasi ini ada maka manusia dapat saling mencerahkan, menguatkan, dan memberdayakan. Gereja dalam melakukan aktivitas pastoral harus mampu menunjukkan pada Gembala Agung yang melawat dan peduli pada umat-Nya yang telah terserak selama ini. Ia mengumpulkan kembali dalam kesetaraan dan perjamuan agung bersama-Nya, dimana masing-masing mampu mempercakapkan pengalamannya bersama dengan yang lain dan Diri-Nya.
Gereja dipanggil untuk tidak menjadi organisasi yang menentukan benar dan salah, sebab gereja adalah gereja yang terlebih dahulu diberi pengalaman pengampunan dari ketidaklayakan dirinya untuk diampuni. Pengalaman ini menjadi dasar kenosis dan kerendahatian gereja. Oleh karena itu dalam pelayanan pastoral selanjutnya, maka gereja seharusnya mampu meneladankan pertobatan dan menginspirasi orang untuk bertobat dalam suatu kesadaran masing-masing mendukung sebagai saudara seiman. Dalam hal ini, dinyatakan melalui sikap penerimaan, tidak meninggalkan, melainkan menghampiri, peduli, dan mampu saling merangkul kembali, saling memberi dukungan serta mempertahankan kesatuan persekutuan di dalam kasih Kristus. Setiap anggota jemaat, iklim pelayanan, struktur, kepemimpinan, tujuan dan tugas yang digariskan, serta konsepsi teologis yang dikembangkan oleh gereja bermuara pada kebijakan yang mencerahkan, menguatkan, dan memberdayakan setiap anggota Jemaat. Pastoral tranformatif bukan sekedar mencari solusi pastoral sebagai problem solving melainkan mencari kemungkinan terbaik dari situasi yang tidak baik melalui penghargaan pada setiap usaha dan kondisi manusia sehingga masing-masing dimampukan untuk bangkit dan merayakan kehidupan.
Pelayanan pastoral yang transformatif berarti pelayanan pastoral yang mampu mengajak orang untuk bersama-sama menemukan diri dan mengenal Gembala Agung sebagai ikatan baru rekonsiliasi, kasih, dan perubahan sikap. Transformasi bukan saja untuk diri orang lain, tetapi transformasi juga dilakukan pada diri gereja sendiri atas perjumpaannya dengan yang lain yang disadari juga sebagai cara Allah mempertobatkan dirinya. Orang lain tidak dianggap sepele hanya sebagai obyek pewartaan saja, karena pada dasarnya orang lain juga dipakai Allah demi mentransformasi gereja. Kesaksian gereja justru terletak pada perwujudan diri yang mengalami transformasi terus-menerus. Gereja meneladankan bagaimana mentransformasi diri di dalam Kristus.
Kesimpulan
Sebagai gereja yang hidup bersama masyarakat, GKJ senantiasa diharapkan dapat menjadi bagian dari perjuangan bersama untuk mewujudkan keadilan, damai, dan sejahtera. GKJ sebagai gereja yang terus bertumbuh dan berkembang secara kontekstual tidak memiliki alasan untuk merasa terasing atau diasingkan bila proses berinteraksi bersama masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Kristus yang adalah juga menjadi nilai-nilai keutamaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Optimisme sebagaimana dicatat oleh Kisah Para Rasul tentang jemaat yang bersekutu serta disukai banyak orang merupakan hal yang secara nyata dapat diwujudkan sekarang ini. Hanya melalui kebersamaan dan berbagi dengan yang lain sajalah maka gereja dapat menjadi gereja yang sesungguhnya, sebab ukuran dari keberhasilan misi gereja adalah pertobatan, pengampunan, rekonsiliasi, serta membangun masa depan baru (kebangkitan) yang memberi inspirasi kebangkitan bagi yang lain. Untuk mencapainya gereja perlu memperbaiki diri di dalam dan di luar sesuai dengan karakter dan tujuan panggilannya.
Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ bukanlah hukum yang memberikan kita ikatan, melainkan sebuah instrumen yang memberikan titik-titik arah dan koridor kesepakatan bersama untuk dipertimbangkan bagi diskursus lanjutan menemukan kesadaran baru, tanggung jawab, dan sikap hidup yang lebih baik sesuai dengan iman dan teologi yang diyakininya.
Keterbukaan gereja menjadi salah satu kunci untuk mampu membangun kebersamaan tersebut. GKJ melalui TGTL tersebut diharapkan dapat mentransformasi gereja senantiasa sebagai gereja yang belajar, bekerja, dan merayakan kehidupan bersama dengan yang lain. Ketiganya ini sekaligus menjadi parameter kedekatan gereja dengan tujuan dan proses idealnya. Bila dalam pelaksanaan di lingkup lokal (gereja) pelaksaaan TGTL ternyata justru memberikan inspirasi atau jalan yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut, maka proses yang sedang kita jalani pastilah sedang menuju ke arah yang sebenarnya bukan tujuan kita.
Transformasi GKJ bersama yang lain secara terus-menerus menjadi teladan sekaligus pengikat kebersamaan, sehingga upaya pencapaian keadilan, damai, dan kesejahteraan masyarakat bukan saja tergantung pada gereja melainkan dikerjakan serta diwujudkan dalam kebersamaan dengan yang lain juga. Transformasi ini merupakan arah dan kekuatan bersama. Oleh karenanya gereja dengan yang lain tidak terpisahkan, melainkan selalu sadar perlunya belajar bersama, bekerja bersama, dan merayakan bersama.
Perubahan TGTL saat ini mengajak kita masing-masing sebagai GKJ untuk berdiam sejenak berefleksi tentang panggilan dan tujuan kita dalam konteks yang lebih luas dan dalam kebersamaan dengan seluruh ciptaan. GKJ diakui kemandiriannya menentukan kebijakan lokal masing-masing sesuai koridor yang disepakti dalam TGTL. Tujuannya untuk melanjutkan pelayanan sambil mengarah pada jalan pulang yaitu pertobatan terus-menerus mengikuti jalan yang ditunjukkan Sang Gembala Agung, Yesus Kristus. Masing-masing gereja dan pelayan gereja dipanggil untuk menyatakan transformasi dirinya sebagai kesaksian hidup bersama Tuhan. Bukan mengajar atau menuntut transformasi, melainkan meneladankan transformasi dalam keterbukaannya dengan yang lain, sebagaimana seharusnya dilalui. Secara ringkas, TGTL tidak dimaksudkan untuk memberikan ikatan normatif atau aturan yang diberlakukan untuk semua gereja.
Kesadaran tertinggi manusia bukan terletak pada ketaatan terhadap aturan dan kesepakatan sosial, melainkan ketika seseorang menemukan arah dan kesadaran etis dalam bertindak, yang didapatkan dari nilai-nilai hasil pengalaman yang bebas yang membawa pada martabat dan kemuliaan manusia sebagai Gambar Allah. Disinilah TGTL GKJ dimaksudkan sebagai bukti pergeseran paradigma, dari yang bersifat normatif menuju pencapaian kesadaran etis. GKJ mengakui keunikan dan keotentikan setiap gereja sebagai gereja yang juga telah mengalami kehendak Tuhan. Pengalaman berbeda inilah merupakan kekayaan bagi GKJ untuk memperjumpakan dalam sebuah diskursus/ wacana dialektis tidak hanya dengan sesama GKJ melainkan juga dengan seluruh elemen budaya dan masyarakat di sekitarnya. TGTL hanyalah sebuah kesepakatan tentang koridor untuk berjalan, tanpa harus membatasi kedalaman dan keluasan pergumulan setiap GKJ sesuai pengalaman masing-masing. Pergumulan yang diperjumpakan ini akan menghasilkan sebuah kesadaran baru terus menerus, sehingga membawa GKJ tidak lagi menjadi gereja yang berjalan karena hukum atau kekakuan aturan yang menyeragamkan, melainkan berjalan dalam keberbedaan dengan kesadaran etis dan tanggung jawab sesuai ajaran Sang Guru Agung, Yesus.
02 Agustus 2015
An. Komisi Tata Gereja GKJ
Pdt. Djoko Prasetyo
Prambanan, 2015
Pelayanan Gereja Kristen Jawa
Yang Bersifat Pastoral-Transformatif
Pendahuluan
Sebagai persekutuan orang-orang beriman pada penyelamatan Allah, Gereja-Gereja Kristen Jawa mengembangkan berbagai pelayanan wujud tanggapan dan tanggung jawab mewartakan kebenaran, keadilan, dan kasih demi mengupayakan perbaikan dunia menuju terwujudnya syallom (damai-sejahtera) seperti perjuangan dan teladan Yesus. Gereja sadar harus memperbaiki diri serta belajar terus menerus memahami kondisi dunia yang senantiasa berubah baik dalam paradigma, budaya, pengetahuan, maupun sistim sosial. Bahasa dan simbol yang dipakainya pun harus relevan dengan kondisi jaman agar pewartaannya dapat dipahami oleh masyarakat. Kemampuan belajar ini tidak hanya berasal dari pengalaman yang telah dijalani, melainkan dikembangkan berdasarkan keberanian berimajinasi dan berfantasi. Melalui keduanya manusia berusaha memetakan serta mendengarkan lagi hal-hal yang terjadi di masa lalu tetapi tidak tampak dalam narasi, atau mencoba membayangkan dan mendengarkan kemungkinan percakapan dan pesan di masa depan dengan segala kompleksitasnya.
Percakapan-percakapan (diskursus) di masa lalu penting diangkat kembali dalam rangka mendengarkan suara-suara lain yang tidak tercatat sepenuhnya dalam teks yang ada di masa kini. Ketika kita mendengarkan berbagai pesan masa lalu kemudian mempertemukannya dengan kompleksitas kemungkinan di masa depan dalam wadah refleksi kekinian maka kita akan dibentuk menjadi lebih bijaksana menentukan pilihan, tindakan, serta tidak terjatuh pada sikap menghakimi.
Terkait dengan hal-hal masa depan, sebenarnya gereja telah mengenalnya, atau yang dalam bahasa teologis disebut sebagai harapan. Keselamatan di masa depan itu memang masih berupa harapan yang akan mendapatkan kesempurnaan, tetapi bila harapan itu sedemikian nyata sehingga menurut Rasul Paulus hidup kita kita seharusnya hanya menunggu keselamatan, melainkan harus menunjukkan hidup yang menjadi bukti atas keselamatan. Gereja harus dapat menjadi bukti, terjemahan, dan saksi dari keselamatan yang diyakini. Tidak ada jarak lagi antara “harapan yang dibayangkan / diyakini” dan “harapan yang dihidupi”. Semua itu akan menjadi “pengalaman” serta merupakan bagian mendasar bagi proses pengambilan keputusan maupun tindakan oleh gereja.
Kenyataannya, seringkali manusia meninggalkan sisi penting imajinasi dalam proses belajar tentang hidup. Sikap kita semata-mata merupakan tanggapan terhadap pengalaman yang telah dilalui, maka tindakan , keputusan moral dan norma masa kini sebatas ditentukan oleh masa lalu. Seringkali kita menganggap hadirnya masa depan sebagai ancaman dari nilai-nilai yang telah direfleksikan sebelumnya. Anggapan ini disertai tindakan preventif yang cenderung tertutup, membentengi diri, dan meyakini seolah-olah masa lalu lebih baik daripada yang akan terjadi di masa depan. Pemahaman gereja selalu tertinggal paling tidak selangkah dari hal yang seharusnya dilakukan. Refleksi gereja tertinggal dan tidak relevan dengan masanya, karena tidak dilakukan dengan cara berpikir imajiner yang berorientasi masa depan. Gereja seringkali menghasilkan nilai-nilai yang cenderung konservatif, yang tidak terlalu relevan / kurang dipahami oleh jaman yang sedang datang. Kondisi ini menghasilkan benturan-benturan antara realitas baru, perubahan cara berpikir, dan nilai-nilai lama yang telah diyakini serta mengakar yang sulit untuk diubah, bahkan menjadi pagar-pagar pembatas. Dampak terbesar adalah ketidakmampuan gereja menjangkau generasi baru di jaman baru. Gereja seringkali memiliki perasaan terancam dan teraniaya oleh pihak lain maupun perubahan baru yang dirasakan tidak lagi mampu dibendung. Kesenjangan paradigma antar generasi tidak dapat terhindari yang berujung pada konflik dan ketegangan antar jemaat.
Perubahan Tata Gereja (TG) dan Tata Laksana (TL) diharapkan dapat memberi ruang pada perluasan paradigma dan horison kultural gereja melalui perjumpaan interkultural dalam ranah budaya, agama, teologi dan sosial, yang dikerjakan secara kreatif, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan dalam lingkup jemaat lokal maupun sinodal bersama masyarakat luas, sehingga terjadi diskursus dialektis bagi pengkayaan refleksi iman serta lahirnya narasi teologis baru yang kontekstual.
Menjadi Gereja yang Kontekstual
Kontekstualisasi sebagai sebuah terminologi sudah dikenal oleh GKJ seiring munculnya istilah tersebut, ketika istilah itu muncul dalam diskursus teologi akademik. Sedangkan klaim melakukan kontekstualisasi telah terjadi jauh sebelumnya. Terbukti bahwa orang-orang Jawa tidak serta-merta menerima datangnya budaya baru tanpa resistensi dan seleksi. Sebagai contoh, meskipun kolonialisme membawa budaya dan cara hidup berbeda, baik berupa nama, makanan, pakaian, cara makan, tetapi orang-orang Jawa pada masa itu merasa tidak pantas untuk menyandang nama asing pada dirinya, sehingga orang-orang Jawa bertahan menggunakan nama lokal. Meskipun mereka menjadi Kristen tetapi mereka tidak begitu mudah menggunakan nama-nama Barat sebagai tambahan atau pengganti nama Jawa sebelumnya. Bagi orang Jawa, menjadi Kristen tidak serta merta menghilangkan identitas kejawaannya, melainkan mereka tetap sebagaimana dirinya dengan nama dan cara berpikir lokal.
Budaya malu dan ngrumangsani bagaimana pun turut berperan. Meski berinteraksi dengan budaya dan sistim pemerintah Kolonial Belanda, kenyataannya orang Jawa tetap merasa tidak pantas meniru budaya Belanda. Bagi orang Jawa, ada kesadaran bahwa sesempurna dirinya meniru budaya baru yang datang pastilah tidak mungkin menjadi seperti yang ditirunya secara persis dan identik. Istilah londo wurung Jawa tanggung, tidak lain menunjukkan bahwa proses meniru baginya justru akan menghasilkan keterasingan, karena ia bukan Belanda dan bukan Jawa, yang justru akan berakhir pada penolakan dari komunitasnya. Tidak ada pilihan bagi orang Jawa kecuali tetap menjadi dirinya dalam budayanya sendiri. Seorang Jawa tidak dapat sepenuh rasa berbicara dengan sesama orang Jawa dalam bahasa asing (bahkan bahasa Indonesia). Biasanya antar orang Jawa akan tetap berbahasa Jawa, meski ngoko, karena ini memberikan efek kesadaran “semedulur”, setara dan akrab, dibandingkan ketika menggunakan bahasa yang bukan bahasa ibu. Sekarang perasaan ini mungkin telah banyak terkikis karena generasi baru tidak lagi mempraktikkan kejawaan sebagaimana generasi Jawa sebelumnya. Perkembangan moda transportasi, komunikasi, dan teknologi memperlancar interaksi serta perjumpaan antar manusia.
GKJ mengenal dua tokoh yang melakukan upaya kontekstualisasi yaitu Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach. Keduanya menganggap kekristenan sebagai ngelmu kresten. Kekristenan tidak dipahami sebagaimana doktrin yang diajarkan Zending tetapi diwarnai dan diterjemahkan dalam kultur Jawa. Nilai-nilai kekristenan dipisahkan dari budaya Barat (Zending), kemudian nilai-nilai tersebut disemaikan dalam konteks Jawa, sehingga terjadi proses perjumpaan antara nilai etis Kristen dengan local wisdom, cara berpikir, dan simbol budaya Jawa. Melalui proses ini, seorang Jawa dapat memahami nilai-nilai Injil sesuai budayanya sendiri. Injil dirasakan sebagai Injil yang menjumpai orang Jawa di rumahnya sendiri. Harus diakui bahwa proses ini merupakan bentuk sinkretisme, tetapi bentuk sinkretisme vertikal, bukan horisontal. Sinkretisme tidak dapat dihindari. Hidup adalah sebuah proses sinkretis tanpa akhir.
Konteks tidak sekedar menjadi tempat tetapi dipahami sebagai subyek aktif yang ikut menterjemahkan dan merefleksikan nilai-nilai Injil. Kontekstualisasi bukanlah sekedar adaptasi atau menggabungkan dua budaya berbeda, melainkan memperjumpakannya (senyawa), sehingga menghasilkan narasi budaya dan kesadaran baru. Kontekstualisasi dilakukan melalui proses panjang dan berliku-liku, baik penerimaan, konfrontasi, afirmasi, akomodasi, penolakan yang dilakukan melalui proses interaksi secara internal atau eksternal. Kejawaan bukan sekedar atribut tetapi kedalaman pemahaman mengenai kehidupan itu sendiri. Orang yang benar-benar hidup dan paham tentang budaya Jawa disebut njawani. Berbeda dengan orang Jawa yang sekedar mengenakan atribut budaya Jawa luarnya saja, bila tidak disertai dengan pemahaman yang benar tetap akan disebut Jawa ning ora njawani. Hasil kontekstualisasi bukanlah hybrid, tetapi harus merupakan pemahaman baru dilahirkan dari nilai-nilai yang telah diperjumpakan, tidak sekedar melarut melainkan senyawa. Seperti persilangan dua bunga berbeda warna, menghasilkan bunga baru dengan warna harmonis yang merupakan perpaduan, bukan sekedar percampuran, sehingga tersurat pesan baru yang disampaikan oleh narasi bunga baru tersebut.
Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach pantas disebut tokoh kontekstualisasi kekristenan Jawa karena mereka menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan sekedar menggabungkan, bukan sekedar meniru atau adaptasi, tetapi sebuah proses menghasilkan kesadaran baru yang berasal dari perjumpaan-perjumpaan secara alamiah dan setara. Mereka menjadi orang Kristen sekaligus juga menjadi orang Jawa yang baru pada waktu yang bersamaan yang diwujudkan dalam cara berpikir, konsepsi, dan kebiasaan yang dilakukan selanjutnya. Narasi baru yang dihasilkan menjadi narasi yang jauh lebih memadai dan cocok bagi jamannya karena dihasilkan secara bersama-sama.
Setiap orang memiliki cakrawala budaya masing-masing sesuai batasan-batasan kultural yang dialami kemudian diyakininya. Sebelum bertemu dengan orang (yang) lain, mungkin saja masing-masing merasa puas dan seolah-olah budayanya itu mampu menjawab semua kebutuhannya, bahkan seperti menjadi rumah bagi dirinya. Rumah yang memberi rasa aman dan kepastian-kepastian. Pengalaman tersebut dipertahankan bahkan dibela. Ketika seseorang bertemu dengan orang lain dari budaya / pengalaman berbeda maka akan terjadi konflik cara pandang. Masing-masing menilai dan membandingkan cakrawala pandangnya. Pada saat bersamaan masing-masing juga memasuki ruang “kritis” sekaligus “krisis” dimana akhirnya mengantar pada “keraguan” terhadap batas-batas yang telah diyakini sebelumnya. Masing-masing sadar adanya pengalaman dan kenyataan lain selain yang selama ini diyakini dan dialami. Kenyataan lain tersebut ada yang pada akhirnya diafirmasi atau diterima, tetapi ada juga yang ditolak atau dipermasalahkan, sebab dianggap tidak sesuai dengan harapan masing-masing. Kemungkinan lain, perbedaan yang dijumpai itu dipertimbangkan sebagai informasi dimasukkan dalam ruang dialog kritis. Semua proses inilah yang disebut dialectical discourse (diskursus dialektis). Dalam proses tersebut ada aktivitas saling menimbang, berargumentasi, serta menilai antara yang dipahami dengan yang baru dijumpai yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada situasi dilematis ketika melewati tahap penilaian hingga pengambilan keputusan, hingga akhirnya beralih pada pencerahan dan inspirasi. Pada tahap inilah transformasi terjadi, yaitu perubahan dari hal-hal lama menjadi hal-hal baru, atau dalam bahasa Injil disebutkan sebagai dilahirkan kembali, yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang.
Diskursus di atas mensyaratkan adanya kesetaraan dari masing-masing pihak yang berjumpa, meski tidak dapat dipungkiri masing-masing memiliki kualitas yang berbeda. Bila semua proses terjadi secara simetris maka kemungkinan selanjutnya adalah transformasi pada kedua belah pihak. Masing-masing mengalami pencerahan menemukan hal baru yang pada gilirannya dipertahankan untuk sementara waktu, lalu diperbaiki atau direvisi berdasarkan perjumpaan selanjutnya, kemudian dibuang, digantikan, atau melahirkan sesuatu yang baru sama sekali. Kekristenan dan budaya Jawa merupakan dua budaya berbeda dengan cara pandang berbeda. Keduanya perlu melewati diskursus dialektis yang mengantar pada proses pemeriksaan, pembandingan, mempertimbangkan, memikirkan, serta mengambil keputusan-keputusan membentuk diri menjadi baru. Inilah yang kemudian disebut sebagai kontekstualisasi yang menghasilkan transformasi paradigma budaya.
Memasuki Konteks Masa Depan
Konteks bukanlah sekedar menunjuk pada tempat, melainkan juga termasuk di dalamnya antara lain ruang waktu, situasi yang melingkupi, atau pun semua elemen mempengaruhi di sekitarnya, baik langsung maupun tidak langsung. Tidak mungkin ada elemen atau unsur yang sama sekali terpisah tanpa terkait dengan yang lain. Apa pun dan siapa pun selalu bersinggungan dengan sesuatu di luar dirinya dalam kesatuan keseluruhannya. Demikian pula setiap individu selalu merupakan bagian yang dipengaruhi bahkan dihasilkan oleh hubungan dan keterikatan seluruh sistim yang melingkupinya. Oleh karenanya untuk memahami seseorang perlu memahami hal-hal lain di sekitarnya.
Tidaklah tepat bila kita menganggap bahwa konteks hanyalah terkait tempat atau sebuah batas budaya di wilayah geografis tertentu, atau lingkungan yang dapat dilihat dan dapat diraba. Periode waktu yang diciptakan manusia dapat dikategorikan juga sebagai ruang dan tentu saja termasuk sebagai konteks. Memang tidak tampak riil, karena ruang waktu hanyalah sebuah kesepakatan tentang batas-batas yang tidak nyata. Tetapi, hal ini sangat penting bagi manusia, karena dengannya manusia dapat mentargetkan capaian ataupun mengukur usaha yang harus dilakukan pada periode tertentu.
Manusia membatasi periode waktu yang belum dijalani tersebut dengan sebutan masa depan, yang sedang dijalani sebagai masa sekarang, dan yang telah dialami sebagai masa lalu, masing-masing secara detail dibagi lagi dalam ukuran waktu yang lebih spesifik. Karakter khusus dari masa depan adalah sebagai ruang waktu yang dipenuhi dengan kemungkinan dan potensi-potensi tanpa batas. Meski pun belum menjadi kenyataan tetapi masa depan seharusnya menjadi konteks yang harus dipertimbangkan. Manusia dapat membayangkannya secara imajiner bahkan juga fantasi, lalu memikirkan bagaimana menghadapi atau berinteraksi dengan kemungkinan dan potensi-potensi tersebut. Kita sadar bahwa kemungkinan di masa depan merupakan sesuatu yang bebas dan belum tentu terjadi, tetapi masa depan itu pasti datang lalu memasuki masa yang kita sebut dengan masa sekarang. Proses ini sangat cepat dan tidak terbendung. Sudah sewajarnya semua itu, meski imajiner, perlu diperhitungkan.
Bayangan-bayangan tentang sesuatu di masa depan tidak boleh disepelekan karena mempengaruhi kita dan membentuk pikiran serta paradigma yang ada di masa sekarang. Hal yang kita sebut sebagai masa sekarang sesungguhnya tidak pernah eksis dalam waktu lama, apalagi stagnan. Ketika kita mengucapkan kata sekarang, maka sekarang itu sudah berlalu, dan ucapan kita tentang sekarang itu sudah menjadi masa lalu. Masa yang disebut sekarang hanyalah simpul yang ada sekejap lalu lenyap. Simpul itu merupakan simpul pertemuan antara masa depan dan masa lalu. Tepian masa lalu atau ujung yang tersisa dari masa lalu bertemu dengan ujung yang datang dari masa depan, dan pertemuan keduanya merupakan titik yang kemudian disebut sebagai ruang waktu sekarang. Sekali lagi, ia begitu cepat berlalu. Pada saat kita menyadarinya maka kita sudah tidak lagi berada di titik sekarang tadi, melainkan telah berada di depannya, dan sekarang itu dalam sekejap telah menjadi masa lalu.
Mengapa pembahasan ini penting? Karena kita ingin memperluas pemahaman bahwa konteks bukan semata-mata berkaitan dengan hal-hal fisik atau elemen material, melainkan konteks juga berkaitan dengan ruang waktu yang secara imajiner dibuat oleh manusia.
Pada ruang waktu yang kita sebut masa depan itu terdapat segala kemungkinan dan potensi meskipun belum mencapai kepenuhan wujudnya sebagai kenyataan. Manusia dibentuk oleh banyak elemen di masa lalu, masa sekarang, dan khusus masa depan. Bila manusia terlalu terikat masa lalu maka ia akan menjadi manusia yang mengagungkan atau menyesali hal-hal yang telah lewat. Tetapi bila manusia hanya membayangkan masa depan maka ia akan menjadi manusia yang bermimpi tanpa melakukannya. Ia hidup dan terjebak pada potensialitas semata. Kita ada tetapi tidak ada, karena belum mengada dan belum berada di masa depan itu. Sebaliknya seseorang yang hanya berorientasi pada masa sekarang juga terjebak oleh sikap-sikap yang pragmatis. Ketiga ruang waktu yang secara imajiner dibuat oleh manusia, yang terdiri dari masa lalu (mengingat), masa sekarang (mengaktualisasikan), dan masa depan (harapan) tidak dapat diabaikan sama sekali karena ketiganya mempengaruhi setiap individu. Bila kita terjebak dalam salah satu ruang waktu imajiner tersebut maka tidak mampu melihat keluasan dan kepelbagaian kemungkinan. Bila kita hanya mengingat kesedihan atau trauma akibat kejadian yang telah lewat seringkali membuat seseorang tidak mampu menikmati masa sekarang atau masa depan.
Kegagalan seseorang memahami kepelbagaian pasti juga akan berimbas pada yang lain, karena hakikatnya manusia selalu memiliki relasi sosial dengan yang lain. Kondisi ini menjadi pemicu hubungan asimetris lainnya dalam konteks yang lebih luas. Dominasi akan dibalas dengan dominasi baru. Persepsi negatif merangsang persepsi negatif lainnya. Bila hal ini terus menerus terjadi, maka dampaknya semakin meluas menghambat perjumpaan selanjutnya. Kondisi ini memunculkan persaingan, perseteruan, kesalahpahaman, dan tidak mampu menumbuhkan harapan. Kegagalan perjumpaan dengan elemen-elemen konteks akan menghasilkan ketidakharmonisan relasi dan berarti semakin memperbesar terjadinya kesalahan persepsi hingga bertahan dengan upaya-upaya dominasi. Masing-masing tidak lagi percaya sinergi dan saling bergantung, melainkan berebut eksistensi dan menganggap yang lain sebagai ancaman. Kondisi demikian menyebabkan disintegrasi serta kekacauan lebih luas karena jauh dari solidaritas.
Keterasingan dan Keterlemparan
Kondisi sebagaimana disebutkan di atas, merupakan kegagalan dalam memahami diri, sekaligus memahami lingkungannya. Dalam kondisi ini seseorang / institusi tidak mampu menterjemahkan atau membahasakan diri maka tujuannya tidak dapat dipahami oleh yang lain. Keterjebakan pada kondisi ketidakmampuan membahasakan diri menyebabkan seseorang atau individu semakin terpisah dari yang lain. Kerusakan relasi semakin terjadi, manusia semakin terasing dari dirinya, sesamanya, dan Penciptanya. Manusia yang terasing dari yang lain adalah manusia yang terlempar dari ikatan, dasar, dan komunitas. Dia susah memahami dan juga susah dipahami. Keterlemparan berarti tidak memiliki akar, tidak memiliki kaitan dengan yang lain, dan tidak mampu memahami keterkaitan diri dengan yang lain, serta memandang dunia dari perspektif yang semata-mata dari kepentingan diri sendiri.
Keterlemparan semacam ini mengarahkan manusia pada dominasi dan keterjebakan perspektif sempit dan dangkal. Konflik dan kekacauan dunia menjadi bukti bahwa banyak orang terjebak hanya pada diri dan kelompoknya tetapi tanpa sertai pengenalan diri dan yang lain. Manusia menjadi anonim, tidak tahu siapa dirinya dan siapa orang lain, sekaligus tidak paham arah dan tujuan berikutnya. Hal ini bertentangan dengan hakikat manusia yang sebenarnya memerlukan sesama karena keterbatasan dirinya. Kerjasama antar manusia merupakan hal yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Hakikat manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan orang (yang) lain untuk mencapai tujuan. Kondisi keterlemparan dan keterasingan ini memperlemah manusia dan semakin meningkatkan kekhawatirannya. Ketakutannya akan menjebaknya semakin tidak mampu menerima perbedaan dari manusia lain. Ia akan berada dalam dilema terus menerus. Kondisi ini dapat mengakibatkan manusia menjadi putus asa tanpa menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Ia akan mudah jatuh pada pencarian bentuk-bentuk pemuasan diri secara instan, ringan, dan dangkal. Manusia tidak lagi mampu berefleksi mendalam sebab hal itu dirasakan terlalu kompleks dan membebani diri. Munculnya budaya populer saat ini juga tidak terlepas dari pengaruh keterasingan dan keterlemparan diri. Manusia jatuh pada sebuah perjalanan tanpa tanggung jawab karena masing-masing diri menjadi anonim bagi yang lain dan bahkan dirinya tidak mengenal siapa dirinya. Manusia berbicara tentang dirinya tanpa kehadiran dirinya. Hubungan antar manusia hanyalah bersifat kontraktual, antara produsen dan konsumen tanpa tahu siapa masing-masing yang memproduksi atau menggunakan barang yang dihasilkan. Satu-satunya pengantara antara produsen dan konsumen adalah ketertarikan pada kapital dan fokus pada cara melipatgandakannya. Kapital adalah subyek. Manusia bekerja sebagai obyek demi pelipatgandaan kapital tersebut. Siapa yang menguasai kapital dan proses produksi akan menguasai massa atau manusia yang lain.
Ketiadaan pengenalan personal ini menjadikan tujuan dari perjuangan hidup manusia berbeda dari yang seharusnya. Tidak lagi pada nilai yang meningkatkan martabat dengan membuktikan bahwa dirinya bermanfaat dan berguna bagi kebaikan yang lain, melainkan sebaliknya, menuntut manfaat orang lain bagi dirinya. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang memiliki tujuan untuk menjembatani kebutuhan dan menghubungkan kebutuhan masing-masing individu demi mencapai kesejahteraan bersama, melaikan semata-mata menciptakan peluang pasar sebesar-besarnya demi keuntungan sebesar-besarnya dengan kesempatan seluas-luasnya. Media massa tidak lagi menjadi media yang menyampaikan pesan dalam rangka makna, melainkan pesan yang disampaikan adalah perluasan pasar dan demi keuntungan sekelompok orang saja, yaitu pemilik kapital (modal). Hubungan antara pemilik modal dan orang yang bekerja pada pemilik modal (pekerja) menciptakan perseteruan abadi. Kondisi perseteruan akan membawa manusia pada pertikaian dan konflik terus menerus dimana sebagai akibatnya adalah degradasi kemanusiaan secara keseluruhan.
Hal ini semakin buruk terjadi, sebab media komunikasi yang semakin menyatukan sistim berelasinya manusia ternyata bukanlah media yang netral karena telah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dari kedua belah pihak. Media massa tidak menjadi sarana menghubungkan manusia melainkan membenturkan manusia dengan segala macam kepentingan-kepentingannya. Manusia pada tahap ini tidak lagi mengetahui secara pasti kebutuhannya, tidak tahu lagi sebenarnya siapa yang sedang dibela, dan nilai-nilai apa yang sedang diperjuangkan. Manusia di jaman ini merasakan kesenangan minus kebahagiaan, tanpa penemuan makna. Bahasa dimainkan tanpa membentuk makna melalui diskursus dialektis, melainkan hanya menjadi instrumen kekuasaan baik pemilik modal maupun pekerja. Masing-masing saling berebut kekuasaan untuk menguasai dan mengalahkan yang lain. Media massa menjadi subyek yang memimpin manusia. Tayangan-tayangan informasi dan hiburan pada media massa selalu terikat pada keuntungan pihak yang membuatnya, berorientasi pada rating bukan pada makna bagi mereka yang melihat atau membacanya. Fungsi kritis manusia hilang, dan terus menerus menjadi semakin dangkal. Oleh karenanya tidak ada harapan yang mampu dibangun bersama, kecuali kesenangan bersama.
Agama termasuk institusi yang juga mudah dikooptasi dan dapat menjadi instrumen kekuasaan, terutama ketika agama salah memilih sahabat. Agama seringkali salah memilih sahabat, sebagaimana kritik Yesus terhadap Bait Allah. Seharusnya yang menjadi sahabat agama adalah budaya tetapi yang dipilih justru kekuasaan dan kapital/modal/uang. Saat ini keduanya menjadi tempat berlindung banyak pihak karena sepertinya merekalah yang mampu memberikan perlindungan bagi agama. Tetapi kenyataannya bahwa perlindungan yang ditawarkan baik kapital maupun kuasa, selalu meminta kembali dan dukungan balik dari agama sebab di dalam agama ada kesetiaan dan emosi massa yang langsung terikat pada sistim keyakinan. Siapa pun yang mampu masuk dengan jalur agama akan dengan mudah mempengaruhi seseorang tanpa daya kritis karena agama menunjukkan sesuatu yang sejak semula diyakini manusia sebagai yang tidak boleh dipertanyakan dan tidak bisa diperdebatkan. Semua yang dikatakan adalah mengatasnamakan Tuhan yang absolut, maka agama juga menjadi agama yang memainkan pesan-pesan absolut. Di sinilah massa akan mudah terbawa pada tujuan yang disuarakan agama. Kondisi ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para pemilik modal dan penguasa untuk masuk ke dalam jantung agama dan menjadi bagian yang mampu menciptakan dogma dan doktrin karena mengarahkan manusia pada ketergantungan teologis. Tetapi sebenarnya agama seringkali menjadi bagian yang digunakan untuk legitimasi kekuasaan dari berbagai pihak, baik pemilik modal maupun pekerja, keduanya melakukan kritik dan serangan dengan mengatasnamakan agama.
Pemilik modal menggunakan agama untuk menenangkan massa pekerja dan membuat mereka tidak kritis terhadap keadaan, tetapi di sisi lain para pekerja menggunakan agama untuk menemukan inspirasi memberontak dan membebaskan diri pada mereka yang dikategorikan sebagai para penindas/penguasa. Alhasil pertikaian dan konflik tanpa ujung dan ketidakjelasan antara pemenang dan yang kalah. Munculnya kelompok-kelompok radikal agama terbukti tidak pernah terlepas dari dukungan modal orang-orang yang memiliki kepentingan politik kekuasaan dengan mencari legitimasi dari simbol agama. Ketimpangan sosial dan ketidakadilan semakin meluas dan semakin lebar jurangnya, tetapi lembaga-lembaga agama merasa telah berbuat banyak dengan sikap dan tindakan karikatif yang memberi dan menciptakan ketergantungan baru. Sikap kritis manusia untuk menghidupi etika yang bermakna dan membebaskan diri dari belenggu-belenggu sosial tidak lagi dianggap menjadi kesadaran yang sifatnya mendesak. Inilah yang seharusnya menjadi gereja saat ini, sekaligus membawa gereja pada pertanyaan kritis dan reflektif: Sejauhmana gereja telah terjebak dalam situasi ini? Bagaimana suara kritis yang berasal dari ketulusan iman dapat disuarakan gereja bagi dunia? Bagaimana strategi dan kerjasama gereja bersama masyarakat demi membangun transformasi ke arah perubahan yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh ciptaan? Mengapa gereja terkesan
Panggilan Misioner Gereja
Gereja sebagai komunitas yang melanjutkan keprihatinan Yesus menunjukkan bahwa Allah melawat umat-Nya dan menginginkan pembaharuan bagi relasi antar segenap ciptaan. Para penulis Kitab Suci menyaksikan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan dunia. Kesaksian Injil mengarahkan manusia pada kesadaran terhadap tujuan eksistensial penciptaan semesta. Gereja menyuarakan pewartaan Yesus tentang pertobatan, pengampunan dosa, dan rekonsiliasi. Kesemuanya itu disampaikan Yesus dalam bahasa penderitaan dan kesederhanaan. Pesan Yesus sangatlah jelas bahwa Ia anti kemapanan dan selalu mempersoalkan hal-hal yang telah diyakini secara stagnan. Bahkan ia mencitrakan kelompok pelayanannya sebagai kelompok yang terus menerus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Yesus mengkritik Bait Allah yang terjebak pada konspirasi antara agamawan dan pemilik kapital demi melanggengkan kekuasaan. Meskipun demikian Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah diwartakan untuk semua orang baik yang kaya maupun miskin, yang kuat dan yang lemah. Tujuan dari pewartaan Yesus adalah keberpihakan pada mereka yang tertindas, tetapi juga membuka pertobatan bagi yang menindas. Yesus mengkritik mereka yang tertindas, tanpa membenturkan mereka dengan para penguasa, sebab tujuan-Nya adalah membebaskan semua pihak dari permusuhan dengan mendasarkan pada pertobatan. Baik penguasa maupun yang dikuasai, yang menindas dan tertindas, pada dasarnya terjebak oleh dosa yang tidak lain akibatnya adalah keterasingan dan keterlemparan dari hakikat gambar Allah. Undangan Yesus bukanlah untuk memasuki Sorga, melainkan untuk bergabung dalam Kerajaan Allah, sebagai ketundukan serta kesetiaan pada Allah yang memerintah kehidupan. Keselamatan adalah undangan untuk menjadi pelaku keselamatan, ketika manusia kembali menjadi seperti gambar Allah sesuai pada saat diciptakan-Nya. Keselamatan adalah pemulihan kehidupan. Keselamatan di masa depan yang digambarkan dengan kesempurnaan sorgawi merupakan keselamatan eskatologis yang sudah harus dimulai perwujudannya di bumi melalui tindakan yang mencerminkan keselamatan itu. Hanya mereka yang diselamatkan Allah yang mampu melakukan tindakan yang menyelamatkan yaitu ketika seseorang mengasihi, bertindak adil, tunduk pada kebenaran, dan hidup kudus.
Pelayanan sakramen Baptis dan Perjamuan Kudus oleh gereja harus dipahami sebagai bukti yang menunjukkan bahwa setiap orang yang tergabung dalam persekutuan telah menaklukkan dirinya dalam ketundukan pada Kristus sebagai utusan Bapa dan pada pemeliharaan Roh Kudus. Ketaatan gereja bukan pada hal lain kecuali yang ditunjukkan dalam penggambaran peran dan tugas misi Yesus, yang menunjukkan pada kekuasaan Bapa dan Roh Kudus. Gereja bukan saja mengimani keselamatan nanti di Sorga, melainkan juga panggilan yang melekat dengan keselamatan itu sendiri, yaitu menjadi hamba Yesus Kristus dan menempatkan kepentingan-Nya sebagai yang utama dan tertinggi di dalam hidup. Sedangkan Perjamuan Kudus merupakan simbol dan lambang bahwa sebagai umat yang percaya pada keselamatan Allah telah dipersatukan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Perjamuan Kudus adalah tanda bahwa Allah memelihara iman, atau bahwa Yesus telah menjadi teladan bagi partisipasi kita menjadi manusia yang siap melakukan pembenahan terhadap dunia secara terus-menerus sebagaimana telah diteladankan oleh-Nya sendiri. Setiap orang percaya siap menjadi saksi kebenaran Ilahi dengan resiko terburuk yaitu kematian, sebab Yesus pun telah melakukan demikian.
Keterlibatan dan partisipasi pembaharuan dunia bersama Yesus ini tidak mungkin terjadi bila secara internal gereja tidak menunjukkan adanya perubahan dan sikap hidup yang sesuai dengan etika Kristus. Konsistensi tindakan harus ditunjukkan terlebih dahulu pada tataran internal sebelum menyaksikannya ke luar. Maka, dengan demikan kondisi umat yang terampuni, terpulihkan, dan dipanggil ke luar harus dirasakan serta dibuktikan terlebih dahulu di dalam kehidupan Gereja sendiri. Pewartaan tanpa keteladanan hanyalah mempermalukan Kristus.
Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ merupakan instrumen yang dimaksudkan untuk memberikan koridor berdasarkan hasil refleksi teologis dan kesepakatan Gereja-Gereja Kristen Jawa untuk mengatur diri agar tetap menjadi persekutuan orang percaya yang bersifat organisme (gerakan), serta mampu menunjukkan kewibawaan, kesucian, dan kemuliaan Kristus. Melalui TGTL ini setiap GKJ berusaha berjuang meneladani Yesus Kristus.
Menurut para penulis Injil, Yesus adalah tokoh yang memberikan pesan kuat tentang pentingnya menjaga agar ajaran tidak terjebak menjadi ideologi yang diagungkan melainkan tetap menjadi gerakan yang memperjuangkan penemuan kembali kemanusiaan sebagaimana yang dikehendaki Allah. mencatat bahwa Yesus dan kelompok muridnya merupakan sebuah gerakan yang berinteraksi dengan kondisi sosial pada masanya tanpa dimaksudkan menjadi doktrin tunggal yang stagnan. Allah melawat umat-Nya merupakan tindakan yang cair dan terbuka. Tidak ada identitas yang dibakukan dan sekedar diikuti. Keterbukaannya itulah justru yang menjadi identitas dan karakter kesetiaan Allah pada seluruh ciptaan-Nya. Identitas tidak ditunjukkan melalui simbol-simbol tetap, melainkan gerakan itu sendiri merupakan identitas Yesus yang terbuka. Allah adalah Roh yang tidak terikat pada kultus dan kultur tertentu. Ia berada di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Situasi stagnan membuai manusia tidak lagi kritis. Demikian pula tradisi, norma, dan nilai seharusnyalah dihidupi, bukan hanya dijaga agar tidak hilang atau luntur.
Manusia memiliki kecenderungan membuat rumah dan pagar dogmatis, serta merasa nyaman di dalamnya. Dalam kondisi keberagamaan, maka stagnasi adalah bahaya, mengakibatkan berkurangnya kepekaan sosial serta tidak lagi mampu memahami yang lain kecuali fokus pada batasan dogmatis yang dibuat kelompoknya sendiri. Ketika tradisi menjadi kuat maka tafsir sosial pun menjadi lemah karena manusia mengira semua dalam kondisi beres dan telah dapat diatasi oleh aturan turun-temurunn. Tradisi agama sering dipakai untuk mengalihkan manusia dari percakapan tentang hakikat kemanusiaan. Seringkali tafsir sosial pada akhirnya menjadi tafsir yang didiktekan oleh para penguasa agama yang tidak lain bersahabat dekat dengan para pemilik kapital dan politik kekuasaan. Sasaran Yesus dalam pelayanan-Nya justru menyadarkan manusia pada bahaya stagnasi. Bait Allah akan “dirobohkan” dan dibangun kembali. Yesus memberi teladan perlawanan melawan kuasa dan kapital yang telah mengkooptasi Bait Allah. Cara Yesus bukan dengan menggerakkan massa atau melawan dengan kekerasa, tetapi justu secara konsisten melakukannya dalam kesederhanaan / kebersahajaan, tidak terjebak pada pusaran kepentingan kuasa, terus-menerus memberi ruang partisipasi publik tanpa diskriminasi, serta menunjukkan prioritas keberpihakan kepada yang lemah dengan menjadi bagian darinya, dan memberikan harapan untuk tetap bertahan serta berjuang.
Kriteria gerakan dan bentuk harapan ini bukan pada nilai atau standar pikiran manusia melainkan pada rancangan yang berasal dari Allah. Artinya, manusia tidak mendapatkan akses sama sekali untuk menjadi hakim atas yang lain. Tugas manusia yang dipanggil-Nya adalah semata-mata untuk melakukan apa yang dialaminya tentang kehendak Allah sekaligus hal tersebut sebagai kesaksian dan keteladanan bersama yang lain. Manusia diajak untuk tidak lagi memikirkan diri dan kekuasaan, melainkan mengosongkan dirinya. Tidak ada musuh yang harus diperhitungkan sebagai musuh. Bahkan orang yang berseberangan secara ideologis dan tradisi keagamaan bisa menjadi sesama bagi tujuan penemuan kembali martabat manusia yang berjalan seiring jalan Tuhan. Hal ini menjelaskan kepada para pembaca bahwa ajaran Yesus tidak memulai perjuangan dari kelompok primordial-Nya, melainkan secara langsung justru menunjukkan adanya upaya melintasi batas-batas dan membuka sekat-sekat yang selama ini dibuat oleh tokoh-tokoh agama yang membedakan antara ruang najis dan tahir, ruang profan dan ruang sakral, serta memisahkan antara yang dipilih dan tidak dipilih, yang menerima dan yang menolak, yang melakukan dan yang tidak melakukan. Yesus Kristus justru meniadakan pembedaan tersebut semuanya setara, digembalakan sebagai domba-domba yang menuju padang rumput hijau, padang rumput kebenaran.
Yesus menghentikan dualisme dan dikhotomi tentang sorga dan bumi. Satu pesan yang jelas bahwa Allah berpihak pada semua orang dengan cara yang tidak dipikirkan manusia. Artinya batas-batas yang dibuat oleh manusia tentang sorga dan bumi direlatifkan dan dilangkahi Allah begitu saja. Di hadapan-Nya tidak berlaku sekat-sekat yang dibuat oleh tokoh-tokoh agama sekalipun. Dengan cara demikianlah perjuangan mengembalikan martabat manusia dari keterasingan dan keterlemparannya harus dilakukan. Lawatan Allah ke dunia merupakan lawatan Gembala yang menggembalakan kembali domba-domba-Nya dengan cara baru. Ia tidak pernah menggembalakan dengan kekuasaan melainkan berpihak pada kepentingan domba-Nya. Ia mengubah perspektif atau paradigma domba-domba-Nya dengan hal-hal baru di luar kebiasaan dan tradisi mana pun. Ia memutuskan hubungan sebab akibat kekerasan dengan kasih tulus yang sama sekali tidak menuntut. Kasih adalah aktivitas memulai sesuatu, bukan membalaskan atas sesuatu. Tidak ada sekat, tidak ada kekuasaan yang dipaksakan, tidak ada permusuhan dan mengadu antara kelompok satu dengan yang lain. Kasih Allah ini digambarkan sebagai kasih yang berorintasi dan bermula dari keteladanan penyataan Yesus sebagai hamba yang setia, taat, hingga kematian-Nya. Allah adalah Allah yang tidak seperti dirumuskan oleh manusia. Ia mengampuni dan menunjukkan bahwa diri-Nya tidak terikat pada salah satu umat, melainkan menyelamatkan dunia dan semua manusia sebagai umat-Nya. Manusia disadarkan bahwa ukuran tidak lagi menjadi hak manusia untuk melakukannya, karena manusia pada posisi yang sama yaitu orang-orang berdosa yang bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah.
Sebaliknya, manusia diajarkan untuk menjadi kelompok umat baru yang saling memberikan dukungan bagi yang lain, saling mengasihi, mengampuni, dan menyadarkan pada kasih Ilahi. Umat tidak hidup dalam ketakutan terhadap tuntutan Allah, melainkan dalam ikatan kasih yang membebaskan. Semua ini mengajarkan umat membongkar batasan dan definisi tentang kebenaran dari perspektif manusia. Meskipun sudah diselamatkan, tetapi manusia tidak mamppu memahami kebenaran yang luas dan dalam itu. Kebenaran adalah di luar jangkauan pemikiran manusia. Oleh karenanya, cara hidup yang benar dari manusia adalah ketundukan dalam kebenaran Roh Kudus. Manusia tidak mampu menguasai kebenaran, maka tidak pula terjatuh pada absolute claim tentang kebenaran.
Perjumpaan dengan yang lain inilah yang justru membawa manusia pada kesadaran hal-hal baru yang mampu membuatnya kembali dari keterlemparan atau keterasingannya. Manusia tidak terjebak pada nalar dan tindakan sempit yang dia kira sebagai kebenaran, tetapi pada kesempatan ini justru dibawa pada kesadaran memahami kebenaran melampaui yang diyakini selama ini. Berjalan bersama Roh Kudus berarti sebuah proses memperbaiki cara pandang secara terus-menerus, serta harus berani terbuka, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi. Orang lain di luar diri kitalah yang akan membaca/ memberi identitas kita. Perubahan ini tidak perlu disesali selama dilakukan secara alamiah dan tidak karena paksaan. Proses ini merupakan kekuatan sosial dalam melakukan transformasi terus-menerus. Gereja tidak menggurui masyarakat tentang keselamatan, tetapi melalui proses ini gereja bersama masyarakat saling berjumpa dan belajar tentang bagaimana keselamatan dipahami. Tentu saja bukan sekedar keselamatan sorgawi, tetapi yang lebih mendasar adalah keselamatan sosial bagi seluruh dunia. Keselamatan tidak hanya menjadi urusan individu melainkan menjadi urusan bersama (sosial) dan diperjuangkan bersama-sama lintas pengalaman budaya / agama.Bahasa dan pengalaman berbeda tidak saling dipertentangkan, melainkan dipertemukan untuk mendapatkan bahasa dan pengalaman bersama, sehingga dapat diperoleh cara-cara yang diyakini sebagai milik bersama. Proses panjang ini seharusnya menjadi karakter dan bentuk dialog lintas budaya dan lintas iman.
Dialog disalahartikan sebatas demi mencari kesepahaman. Seharusnya tidak demikian, sebab dialog berarti melalui suatu percakapan / diskursus. Dialog tidak untuk menghasilkan perdamaian sebab perdamaian justru merupakan syarat mutlak dialog. Hanya dengan terciptanya perdamaian maka dialog itu dimungkinkan. Dialog dilakukan dengan mempertemukan perbedaan serta mempercakapkannya. Dialog bertujuan untuk menghasilkan suatu narasi bersama yang diyakini dan dipahami sebagai cara mencapai damai-sejahtera sehingga dapat dikerjakan. Iman dan agama tidak menjadi alat perpecahan melainkan merupakan titik berangkat menuju percakapan menemukan pengalaman interrelijius yang juga merupakan spiritualitas terbuka yang tidak tersekat-sekat. Spiritualitas terbuka ini menggerakkan komunitas / masyarakat dalam arti lebih luas. Kehidupan GKJ saat ini dan masa depan mengarah pada kesadaran demikian.
Makna Identitas Jawa Bagi GKJ
Gereja Kristen Jawa adalah gereja yang berada dalam konteks budaya Jawa serta mengakui bahwa budaya Jawa tersebut merupakan kekayaan yang telah membentuk kehidupannya secara kompleks, luas, dan dalam. Budaya Jawa yang dimaksud bukan sekedar budaya dalam arti proforma (sekedar mengikuti tata cara yang berlaku) melainkan esensi (hakikat). Artinya, bahwa budaya Jawa telah menjadi bagian yang membentuk identitas ke-GKJ-an atau hal-hal yang terkait dengan Gereja Kristen Jawa secara keseluruhan. Jawa adalah identitas, tetapi semua ini bukanlah identitas statis. Proses pembentukan identitas Jawa yang dikenal sekarang ini merupakan identitas yang dibentuk oleh banyak faktor dalam waktu yang lama.
GKJ sebagai gereja tidak menyangkal perubahan, baik organisasi maupun manusianya (organisme). Demikian pula dengan budaya Jawa senantiasa dipahami sebagai budaya yang bergerak dan berubah sesuai dengan perubahan manusia menghadapi kondisi dan jaman yang juga berubah. Cara pandang sempit ketakutan kehilangan budaya Jawa tidak perlu ada, sebab kejawaan atau budaya Jawa tidak mungkin hilang selama ada orang-orang yang menghidupinya. Artinya komitmen untuk menjaga budaya bukan pada komitmen sekedar menjaga simbol-simbol yang kelihatan, melainkan yang lebih penting adalah nilai-nilai yang dihidupi dan diyakini oleh masyarakat Jawa secara dinamis. Apa artinya kita memiliki bentuk budaya yang tetap, bila tidak ada lagi orang yang menghidupinya? Sebaliknya bentuk budaya harus dipahami sebagai cerminan dari nilai-nilai yang sedang dikembangkan bersama. Bentuk-bentuk budaya yang pernah dimiliki akan dijajarkan sebagai catatan sejarah panjang budaya, yang akan menjadi sebuah catatan hidup berkembangnya nilai-nilai Jawa.
Dengan kata lain, budaya Jawa adalah ruang di mana kita masing-masing beriman dan berjumpa. Melalui ruang budaya ini masing-masing merasa dekat dan mendapatkan perekat di antara perbedaan-perbedaan. Mempertahankan Budaya Jawa bukanlah urusan utama (prioritas) GKJ dibandingkan tugas kesaksian iman tentang Yesus Kristus sebagai pernyataan Kasih dan Penyelamatan Allah. Meskipun demikian kecintaan pada budaya Jawa tidak dapat dipungkiri, mengingat bahwa selama budaya inilah yang menjadi pendamping dalam memahami Injil dan memberi ruang konteks beriman. Budaya Jawa adalah teman dan sekaligus ruang yang telah membuktikan bahwa Allah juga hadir di masa lalu, sekarang, dan mendatang dalam bentuk yang unik dan otentik. Oleh karenanya budaya Jawa tidak sekedar dipahami sebagai sesuatu yang diam ketika berhadapan dengan iman atau kekristenan, melainkan Jawa dipahami sebagai orangtua yang juga melahirkan kita dan mengantar kita pada perjumpaan dengan Injil. Kecintaan kita terhadapnya diwujudkan dalam kreativitas dan inovasi di jaman baru. Demikian pula dengan Injil, merupakan hal yang diyakini dan dialami, sebagai yang juga membentuk diri gereja, jemaat, atau individu. Injil tidak menghilangkan budaya, tetapi budaya tidak ditempatkan sebagai lebih diutamakan daripada Injil. Budaya Jawa adalah kacamata saat membaca dan menerima Injil. Jawa akan memberikan karakter berbeda dalam beriman. Jawa akan menjadi paradigma yang juga dipertimbangkan dalam mengembangkan paradigma kekristenan kita. Kemudian, setelah semua ini terjadi, dihasilkan bentuk-bentuk kesadaran baru dalam budaya Jawa yang diperbarui.
Budaya Jawa bukan sekedar bahasa atau ekspresi yang digunakan untuk mengkomunikasikan kekristenan agar lebih dipahami konteks, melainkan Jawa dipahami sebagai partner, ruang, konteks sekaligus dan bahkan orangtua bagi perkembangan kekristenan yang unik dan otentik dengan kacamata kultural tertentu. Ini semua penting untuk menunjukkan kepada masyarakat luas tentang bagaimana Allah yang hadir dan menyejarah. Diharapkan orang lain atau masyarakat juga melakukan hal yang sama sehingga kesaksian iman mereka akan memiliki karakter kultural yang pada akhirnya dapat dipertemukan untuk saling memperkaya, memperluas, dan memperdalam pemahaman tentang karya Allah dan kehidupan. Kekristenan dipengaruhi oleh kejawaan dan begitu juga sebaliknya kejawaan mempengaruhi kekristenan yang dikembangkan selanjutnya. Injil sebagai kabar baik, pada dasarnya selalu dikembangkan dalam perspektif kultural tertentu. Injil yang dikembangkan di Yudea, tidak serta merta mampu dipakai untuk konteks lain tanpa melalui pertemuan dan perumusan ulang sesuai konteks lokal, meski harus senantiasa dicermati benang merah pesan dan hakikatnya. Inilah yang disebut kontekstualisasi.
Perubahan bentuk budaya perlu disyukuri dan diupayakan terus-menerus, demikian pula sebaliknya perubahan memahami iman juga senantiasa harus disambut sebagai berkat. Semua ini merupakan bukti bahwa budaya di mana kita hidup senantiasa tercerahkan oleh hal-hal baru termasuk tercerahkan oleh Injil. Bila GKJ ingin bertanggung jawab atas keberlangsungan budaya Jawa maka janganlah dipahami sekedar mempertahankan bentuk-bentuknya agar tetap seperti sekarang dan berlaku tetap sampai kapan pun. Jika ini yang terjadi maka kita justru sedang membunuh dan mengkredilkan budaya Jawa itu sendiri. Budaya Jawa merangsang iman kita untuk memahami Injil, dan demikian pula Injil menjadi partner bagi upaya mengembangkan budaya Jawa sebagai hasil ekspresi nilai-nilai lokal yang telah tercerahkan oleh Injil.
Merumuskan Eklesiologi Di Jaman Baru
Tanpa kemampuan berubah maka gereja hanyalah berada pada ruangnya sendiri terisolir dari yang lain. Ekklesiologi adalah sebuah pengertian gereja tentang dirinya sendiri. GKJ berusaha merumuskan dirinya berdasarkan pertimbangan teologis maupun sosio-kulturalnya masa kini. Gereja dipanggil untuk kembali memasuki dunia dan berproses bersamanya bagi suatu transformasi bersama. Pemahaman masyarakat tentang iman dan agama senantiasa berubah, mengikuti konteks masyarakat yang semakin menuntut adanya kesamaan, keseimbangan, dan kesetaraan kedudukan. Gereja bukan lagi pada posisi lebih tahu dibandingkan yang lain. Sebaliknya, gereja juga belajar dari pengalaman sosial nyata yang ada di sekitarnya. Di sinilah gereja tidak bisa lagi menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, melainkan harus menjadi gereja yang terbuka. Ekklesiologi saat ini harus dipahami sebagai gereja yang berada di pasar dan bukan sekedar altar. Konsep gereja sebagai agora (pasar) inilah yang memberikan ruang bagi masing-masing orang untuk berinteraksi secara setara/ simetris berbagi pengalaman maupun perspektif dengan yang lain.
Setiap pengalaman baik dari diri sendiri maupun yang lain dipahami sebagai pengalaman yang memiliki nilai sama penting. Pengalaman dari yang lain perlu dimengerti agar kita dibawa pada sebuah wawasan yang lebih luas yang tidak mungkin kita alami sendirian. Di sinilah konsep ekklesiologi dkembangkan, dari kesadaran menjadi gereja bagi yang lain, tetapi sebaliknya menjadi gereja bersama dengan yang lain. Perbedaan jabatan gerejawi haruslah dipahami sebagai perbedaan peran, tetapi posisi masing-masing harus dipahami setara. Imamat am orang percaya merupakan penekanan yang menunjukkan bahwa setiap orang pantas didengar karena mereka masing-masing juga memiliki fungsi imamat yang setara. Sebagai contoh: meski Pendeta memiliki kewenangan untuk membaptis, tetapi bukan berarti bahwa orang yang dibaptis berada pada posisi yang lebih rendah. Baik tua maupun muda, berjabatan gerejawi atau pun tidak berjabatan gerejawi, memiliki kedudukan yang sama di dalam iman, yaitu sebagai saksi kebenaran Ilahi yang diperoleh berdasarkan pada pengalamannya bersama Roh Kudus.
Tuhan hadir dalam setiap pengalaman manusia siapapun dan bagaimana pun mereka. Maka berdasarkan kenyataan ini, setiap pengalaman adalah berharga untuk didengar dan direfleksikan oleh gereja. Bahkan tidak hanya pengalaman yang dimiliki oleh orang yang tergabung dalam gereja saja yang penting melainkan juga pengalaman lain dari orang-orang yang tidak tergabung dalam organisasi gereja. Konsep ekklesia sudah saatnya berubah bukan saja kalangan terbatas melainkan siapa pun yang merasa dan menyadari diri sebagai bagian dari orang yang menyaksikan kebenaran ilahi maka dia adalah ekklesia. Dengan demikian ekklesia tidak dipahami sebagai bagian yang dibatasi oleh organisasi melainkan batasan ekklesia adalah hakekat, yaitu orang-orang yang memiliki kesadaran sebagai saksi kebenaran Ilahi.
Ekklesia tidak dibatasi oleh agama tertentu, melainkan lintas agama karena kebenaran Illahi adalah kebenaran yang melampaui batas-batas agama. Ekklesia dalam arti terbatas (gereja) tidak dipertentangkan dengan ekklesia yang bersifat universal (persekutuan umat Allah). Artinya meskipun istilah ekklesia digunakan untuk menyebutkan persekutuan orang-orang yang percaya pada Yesus Kristus, tidak berarti bahwa persekutuan ini dipertentangkan dengan mereka yang beragama berbeda. Ekklesia dalam cakupan sempit merupakan bagian dari ekklesia dalam arti yang universal. Ekklesia dalam pengertian persekutuan orang-orang beriman, bukan persekutuan orang-orang yang dibatasi agama tertentu saja. Yesus Kristus yang datang dari Bapa, tidak boleh dijebak dalam cakupan primordial yang dibuat manusia.
Ekklesia yang memiliki pengertian seperti di atas, juga akan memiliki konsekuensi menggeser pengertian lain yang terkait, antara lain: oikumene. Bila Ekklesia tidak lagi terbatas pada hal yang bersifat material atau identitas luar, maka oikumene seharusnya juga menjadi suatu kesadaran bahwa manusia menghidupi dunia dan kapal yang sama. Semua manusia adalah pengembara yang bertahan mencari jalan kembali dan dalam kesadaran inilah maka semua manusia berada dalam perahu dan dunia yang sama yang sedang menuju arah pulang. Bukan berarti bahwa batasan primordial tidak perlu, melainkan seharusnya ditempatkan pada proporsinya, tanpa harus membatasi atau mengukur yang lain. Sebagai sebuah identitas primordial dapat saja dipakai tetapi dilakukan secara terbuka dan cair. Artinya pemahaman dan konsep dari yang lain dipertimbangkan secara terbuka dalam sebuah proses belajar bersama mengenali suara dan panggilan Allah. Sebab, Allah hadir pada ranah universal maupun partikular pada saat yang sama.
Ekklesiologi masa kini perlu memiliki paradigma baru, yaitu sebagai sebuah rumusan teologi bergereja yang dibangun bersama yang lain. Hal ini merupakan hasil dari konsistensi berpikir dan alur paradigma bahwa ekklesiologi tidak dibangun dari dalam gedung melainkan dari agora (pasar) dimana iman bergeser dari altar ditempatkan pada ruang publik. Dunia yang luas inilah altar, sebagai tempat Allah beraktivitas (menyejarah). Ketika gereja adalah gereja yang terbuka di ruang publik maka pada dasarnya teologi dan agama adalah juga terbuka bagi siapa pun yang berada di ruang publik untuk berpartisipasi membentuknya. Gereja di jaman baru ini harus mampu menerima dan terbuka terhadap intervensi dan interaksi dari pihak lain. Perjumpaan ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan gagasan kepada dunia yang lebih luas, tetapi sekaligus juga ruang belajar dan pengkayaan gagasan dari dunia yang lebih luas bagi gereja. Subyek-subyek yang berbeda memberikan keluasan wawasan dan kedalaman refleksi dalam beriman. Di dalam proses perjumpaan antar perbedaan maka seseorang mendapatkan kesempatan untuk “mempertanyakan” dan “merekonstruksi” rumusan-rumusan yang telah ada.
Tidak perlu takut terhadap iman yang terkikis, karena pada dasarnya iman tidak pernah terbangun secara permanen sehingga tidak ada pengikisan dari iman sebelumnya. Justru bila terjadi proses perubahan konsep iman maka ini merupakan sebuah proses yang seharusnya disyukuri. Bukankah iman adalah iman yang senantiasa relevan dan terkait dengan penyataan Roh Kudus yang terus menerus merupakan gerakan. Iman harus mengikuti gerakan Roh Kudus tersebut yang memperjumpakan kita dengan yang lain yang tidak terbayangkan sebelumnya. Iman yang dewasa adalah iman yang tidak statis, mampu mencerna dan memikirkan perkembangan-perkembangan baru, serta mengalami perubahan-perubahan tanpa kehilangan orientasinya.
Jemaat yang Pastoral dan Transformatif
GKJ dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya untuk memikirkan ulang dirinya, situasi yang terjadi, serta orang lain. Karena, setiap orang mengalami perubahan. Tidak mungkin kita menghadapi situasi masa kini (paradigma abad 21) dengan cara-cara berteologi abad pertengahan atau bahkan abad awal munculnya kekristenan. Tradisi dapat saja diteruskan tetapi selalu harus disertai dengan penjelasan yang rasional serta dapat diterima oleh rasa jaman yang berbeda. Bila tidak, maka tradisi hanyalah merupakan kerangkeng yang menghambat, atau bahan olok-olokan belaka karena tidak lagi bisa diterima oleh jaman baru dan yang senantiasa berubah ini. Kehidupan gerejawi memerlukan tradisi yang dipegang secara turun-temurun untuk menunjukkan benang merah perjalanan gereja, namun juga memerlukan interpretasi dan penterjemahan setelah dipertemukan dengan konteks baru. Tradisi tidak sekedar berjumpa hal baru melainkan juga dipertimbangkan bersama, bercakap-cakap dalam diskursus kultural bersama dengan sesuatu yang sama sekali berbeda. Masing-masing harus memiliki argumen, mengapa tradisi lama harus ada di masa kini, atau mengapa jaman baru memerlukan kehadiran tradisi lama tersebut?
Kontekstualisasi seringkali dipahami secara salah karena lebih menekankan pada adaptasi dengan lingkungan / konteks setempat tetapi kurang disadari sebagai sebuah perjumpaan dan membangun teologi bersama dengan yang lain. Artinya dalam proses kontekstualisasi harus terjadi proses pembentukan narasi baru hasil dari diskursus dengan setiap elemen konteks yang ada. Kontekstualisasi tidak dimaksudkan sebagai sebuah strategi agar gereja dapat diterima atau dipahami oleh yang lain, melainkan agar gereja mampu mendengarkan yang lain serta berproses bersama dengan yang lain demi menghasilkan teologi baru bagi sebuah sikap sosial baru yang lebih relevan sesuai dengan konteksnya. Tidak ada yang diremehkan dan tidak ada yang meremehkan meskipun berbeda keyakinan sebab masing-masing menyadari bahwa Roh Kudus hadir pada semua orang maka setiap orang penting untuk didengar dan terlibat, apa pun latar belakang agama, budaya, atau kategori sosialnya. Teologi yang dihasilkan gereja bersama dengan yang lain tidak eksklusif tetapi dapat mewakili harapan bersama masyarakat. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengubah dunia, tetapi gereja dipanggil juga untuk mampu mengubah diri bersama dunia. Transformasi terjadi bila masing-masing pihak baik gereja maupun konteks mengalami perubahan.
Pelayanan gereja memiliki tujuan misi mewartakan kabar sukacita (Injil) yang semua dilakukan dengan cara yang ditunjukkan Sang Gembala Agung Yesus. Maka pelayanan gereja selalu merupakan pelayanan pastoral, dan sebaliknya juga bahwa pelayanan pastoral gereja merupakan perwujudan bagi misi gereja menyaksikan kabar baik. Melalui pelayanan (pastoral) gereja menunjukkan kehadiran Yesus yang memberikan harapan dan membawa pendamaian, pengampunan, kebangkitan, dan transformasi hidup. Pelayanan pastoral gereja tidak membawa manusia pada kesadaran seperangkat aturan melainkan kesadaran arah ke mana seharusnya melangkah bersama menuju kesempurnaan sebagaimana ditunjukkan Yesus Kristus. Gereja melayani sesama untuk mengarahkan pada Yesus Kristus Sang Gembala Agung.
Pastoral adalah karakter pelayanan gereja. Oleh karenanya tidak ada satu pun pelayanan yang bermuara pada kepentingan gereja, melainkan kepentingan Allah, dengan cara menunjukkan pada tranformasi yang diajarkan Yesus Kristus. Karakter pelayanan Yesus ditunjukkan dalam empat hal utama: a) pelawatan Allah dengan keberpihakan pada mereka yang lemah dan tertindas bagi upaya pendamaian; b) mengosongkan diri dan mendengarkan keluhan umatnya; c) serta berinteraksi dengan cara yang dipahami umatnya dalam nilai-nilai kasih karunia, kerelaan berkorban demi konsistensi perjuangannya mewujudkan keadilan, damai, dan sejahtera; d) bertujuan pada kebangkitan diri atau dengan kata lain transformasi diri oleh semua yang terlibat di dalamnya.
Secara internal, maka gereja sebagai suatu persekutuan orang percaya dipanggil untuk mampu memberikan bukti dalam kehidupan sehari-hari. Pastoral transformatif tidak saja diperuntukkan bagi pelayanan gereja ke luar atau masyarakat luas, melaikan hal tersebut harus terlebih dahulu berhasil diujikan dalam kehidupan bersama di dalam tubuh diri gereja sendiri. Oleh karenanya Pastoral Transformatif perlu dilakukan gereja di dalam mengatasi setiap permasalahan yang muncul di dalam dirinya sendiri. Konsep pastoral transformatif pada dasarnya menunjukkan bahwa di dalam gereja yang terjadi adalah bekerja bersama saling mendukung dalam mewujudkan kesempurnaan di dalam Kristus dengan mendasarkan pada kesadaran bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi kebaikan karena setiap manusia dan ciptaan tidak terlepas dari pancaran dan penyertaan kasih Ilahi.
Gereja dalam hal ini para pejabat gerejawi maupun jemaat tidak lagi ditempatkan pada posisi yang satu lebih tahu atau lebih memiliki hak daripada yang lain, tetapi masing-masing berada dalam ketidaktahuan tentang hal-hal yang dikehendaki Allah. Meskipun terbatas masing-masing memiliki pengenalan dan telah mendapatkan kebijaksanaan dari Allah melalui Roh Kudus untuk melakukan perbuatan yang baik. Perjumpaan ini tidak sekedar mempertemukan konsep melainkan mempertemukan pengalaman, memori, refleksi, harapan, bahkan trauma dan phobia. Di sinilah persepsi masing-masing diuji dan diperluas, lalu memperbaikinya bersama. Melalui perjumpaan ini terjadilah intervensi dan mau tidak mau akan memasuki proses saling mempengaruhi. Perjumpaan yang berulang-ulang akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang membuat kita semakin lama semakin terikat dan saling bergantung pada yang lain. Hanya dengan mengalami konfrontasi, penolakan, konflik, dan penerimaan, maka masing-masing mendapatkan pengalaman belajar sekaligus mengikatkan diri terhadap yang lain, baik terkait harapan, konsep, persepsi, maupun cara-cara mereka mengekspresikan pemahamannya dalam bentuk simbolik.
Dalam sikap konkrit gerejawi, maka pastoral transformatif memberikan dasar untuk menghindari bentuk-bentuk kebijakan gereja yang bersifat menghukum, mendeskreditkan, atau menempatkan seseorang pada posisi inferior dibandingkan yang lain. Gereja dan pelayan gerejawi perlu lebih sensitif terhadap bentuk-bentuk kekerasan dan hal yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi manusia. Sebab kebijakan gereja tidak serta merta dapat mengatur kehidupan seseorang. Gereja dan kebijakan yang diambil hanya boleh menjadi sarana untuk mengantar manusia pada pengenalan dan penemuan dirinya sebagai manusia yang utuh sebagaimana dikehendaki Allah ketika menciptakannya. Penemuan diri ini akan memampukan manusia untuk menghampiri, peduli, dan berangkulan memberi ruang untuk saling memberi. Ketika situasi ini ada maka manusia dapat saling mencerahkan, menguatkan, dan memberdayakan. Gereja dalam melakukan aktivitas pastoral harus mampu menunjukkan pada Gembala Agung yang melawat dan peduli pada umat-Nya yang telah terserak selama ini. Ia mengumpulkan kembali dalam kesetaraan dan perjamuan agung bersama-Nya, dimana masing-masing mampu mempercakapkan pengalamannya bersama dengan yang lain dan Diri-Nya.
Gereja dipanggil untuk tidak menjadi organisasi yang menentukan benar dan salah, sebab gereja adalah gereja yang terlebih dahulu diberi pengalaman pengampunan dari ketidaklayakan dirinya untuk diampuni. Pengalaman ini menjadi dasar kenosis dan kerendahatian gereja. Oleh karena itu dalam pelayanan pastoral selanjutnya, maka gereja seharusnya mampu meneladankan pertobatan dan menginspirasi orang untuk bertobat dalam suatu kesadaran masing-masing mendukung sebagai saudara seiman. Dalam hal ini, dinyatakan melalui sikap penerimaan, tidak meninggalkan, melainkan menghampiri, peduli, dan mampu saling merangkul kembali, saling memberi dukungan serta mempertahankan kesatuan persekutuan di dalam kasih Kristus. Setiap anggota jemaat, iklim pelayanan, struktur, kepemimpinan, tujuan dan tugas yang digariskan, serta konsepsi teologis yang dikembangkan oleh gereja bermuara pada kebijakan yang mencerahkan, menguatkan, dan memberdayakan setiap anggota Jemaat. Pastoral tranformatif bukan sekedar mencari solusi pastoral sebagai problem solving melainkan mencari kemungkinan terbaik dari situasi yang tidak baik melalui penghargaan pada setiap usaha dan kondisi manusia sehingga masing-masing dimampukan untuk bangkit dan merayakan kehidupan.
Pelayanan pastoral yang transformatif berarti pelayanan pastoral yang mampu mengajak orang untuk bersama-sama menemukan diri dan mengenal Gembala Agung sebagai ikatan baru rekonsiliasi, kasih, dan perubahan sikap. Transformasi bukan saja untuk diri orang lain, tetapi transformasi juga dilakukan pada diri gereja sendiri atas perjumpaannya dengan yang lain yang disadari juga sebagai cara Allah mempertobatkan dirinya. Orang lain tidak dianggap sepele hanya sebagai obyek pewartaan saja, karena pada dasarnya orang lain juga dipakai Allah demi mentransformasi gereja. Kesaksian gereja justru terletak pada perwujudan diri yang mengalami transformasi terus-menerus. Gereja meneladankan bagaimana mentransformasi diri di dalam Kristus.
Kesimpulan
Sebagai gereja yang hidup bersama masyarakat, GKJ senantiasa diharapkan dapat menjadi bagian dari perjuangan bersama untuk mewujudkan keadilan, damai, dan sejahtera. GKJ sebagai gereja yang terus bertumbuh dan berkembang secara kontekstual tidak memiliki alasan untuk merasa terasing atau diasingkan bila proses berinteraksi bersama masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Kristus yang adalah juga menjadi nilai-nilai keutamaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Optimisme sebagaimana dicatat oleh Kisah Para Rasul tentang jemaat yang bersekutu serta disukai banyak orang merupakan hal yang secara nyata dapat diwujudkan sekarang ini. Hanya melalui kebersamaan dan berbagi dengan yang lain sajalah maka gereja dapat menjadi gereja yang sesungguhnya, sebab ukuran dari keberhasilan misi gereja adalah pertobatan, pengampunan, rekonsiliasi, serta membangun masa depan baru (kebangkitan) yang memberi inspirasi kebangkitan bagi yang lain. Untuk mencapainya gereja perlu memperbaiki diri di dalam dan di luar sesuai dengan karakter dan tujuan panggilannya.
Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ bukanlah hukum yang memberikan kita ikatan, melainkan sebuah instrumen yang memberikan titik-titik arah dan koridor kesepakatan bersama untuk dipertimbangkan bagi diskursus lanjutan menemukan kesadaran baru, tanggung jawab, dan sikap hidup yang lebih baik sesuai dengan iman dan teologi yang diyakininya.
Keterbukaan gereja menjadi salah satu kunci untuk mampu membangun kebersamaan tersebut. GKJ melalui TGTL tersebut diharapkan dapat mentransformasi gereja senantiasa sebagai gereja yang belajar, bekerja, dan merayakan kehidupan bersama dengan yang lain. Ketiganya ini sekaligus menjadi parameter kedekatan gereja dengan tujuan dan proses idealnya. Bila dalam pelaksanaan di lingkup lokal (gereja) pelaksaaan TGTL ternyata justru memberikan inspirasi atau jalan yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut, maka proses yang sedang kita jalani pastilah sedang menuju ke arah yang sebenarnya bukan tujuan kita.
Transformasi GKJ bersama yang lain secara terus-menerus menjadi teladan sekaligus pengikat kebersamaan, sehingga upaya pencapaian keadilan, damai, dan kesejahteraan masyarakat bukan saja tergantung pada gereja melainkan dikerjakan serta diwujudkan dalam kebersamaan dengan yang lain juga. Transformasi ini merupakan arah dan kekuatan bersama. Oleh karenanya gereja dengan yang lain tidak terpisahkan, melainkan selalu sadar perlunya belajar bersama, bekerja bersama, dan merayakan bersama.
Perubahan TGTL saat ini mengajak kita masing-masing sebagai GKJ untuk berdiam sejenak berefleksi tentang panggilan dan tujuan kita dalam konteks yang lebih luas dan dalam kebersamaan dengan seluruh ciptaan. GKJ diakui kemandiriannya menentukan kebijakan lokal masing-masing sesuai koridor yang disepakti dalam TGTL. Tujuannya untuk melanjutkan pelayanan sambil mengarah pada jalan pulang yaitu pertobatan terus-menerus mengikuti jalan yang ditunjukkan Sang Gembala Agung, Yesus Kristus. Masing-masing gereja dan pelayan gereja dipanggil untuk menyatakan transformasi dirinya sebagai kesaksian hidup bersama Tuhan. Bukan mengajar atau menuntut transformasi, melainkan meneladankan transformasi dalam keterbukaannya dengan yang lain, sebagaimana seharusnya dilalui. Secara ringkas, TGTL tidak dimaksudkan untuk memberikan ikatan normatif atau aturan yang diberlakukan untuk semua gereja.
Kesadaran tertinggi manusia bukan terletak pada ketaatan terhadap aturan dan kesepakatan sosial, melainkan ketika seseorang menemukan arah dan kesadaran etis dalam bertindak, yang didapatkan dari nilai-nilai hasil pengalaman yang bebas yang membawa pada martabat dan kemuliaan manusia sebagai Gambar Allah. Disinilah TGTL GKJ dimaksudkan sebagai bukti pergeseran paradigma, dari yang bersifat normatif menuju pencapaian kesadaran etis. GKJ mengakui keunikan dan keotentikan setiap gereja sebagai gereja yang juga telah mengalami kehendak Tuhan. Pengalaman berbeda inilah merupakan kekayaan bagi GKJ untuk memperjumpakan dalam sebuah diskursus/ wacana dialektis tidak hanya dengan sesama GKJ melainkan juga dengan seluruh elemen budaya dan masyarakat di sekitarnya. TGTL hanyalah sebuah kesepakatan tentang koridor untuk berjalan, tanpa harus membatasi kedalaman dan keluasan pergumulan setiap GKJ sesuai pengalaman masing-masing. Pergumulan yang diperjumpakan ini akan menghasilkan sebuah kesadaran baru terus menerus, sehingga membawa GKJ tidak lagi menjadi gereja yang berjalan karena hukum atau kekakuan aturan yang menyeragamkan, melainkan berjalan dalam keberbedaan dengan kesadaran etis dan tanggung jawab sesuai ajaran Sang Guru Agung, Yesus.
02 Agustus 2015
An. Komisi Tata Gereja GKJ
Pdt. Djoko Prasetyo