Kotbah 15 okto 2023
15 Oktober 2023
“Damai Sejahtera yang Melampaui Segala Akal”
Keluaran 32:1-14
Mazmur 106:1-6, 19-23
Filipi 4:4-9
Matius 22:1-14
Tema Bacaan Minggu ini menantang kita untuk mengarahkan diri kita pada jalan Tuhan dan bukan pada jalan yang kita buat sendiri.
Seperti yang dikatakan John Calvin, pikiran manusia adalah pabrik pembuatan berhala-berhala. Berhala modern itu bisa kita sebut sbg kemakmuran, konsumerisme, yang semuanya didasarkan pada ideologi yang mendahulukan kepentingan kita di atas kepentingan Tuhan dan kesejahteraan manusia yang lain.
Tuhan memang menghargai inovasi dan kreativitas, bahkan Ia memberi akal budi di mana memiliki kekuatan hampir di luar batas; namun kreativitas sejati – kebebasan sejati – muncul ketika kita memadukan visi kita(manusia) dengan visi Tuhan demi kesejahteraan diri kita sendiri dan dunia.
Dengan memperhatikan visi Tuhan, dengan menyelaraskan diri kita dengan visi Tuhan, upaya itu akan memampukan kita untuk melampaui kepentingan pribadi demi meningkatkan kesejahteraan komunitas kita dan dunia.
Bacaan kita Keluaran (Keluaran 32:1-14) mengingatkan kita memikirkan dan mewaspadai obyek-obyek ibadah kita. Apakah kita menyembah Tuhan yang benar atau tuhan palsu ciptaan kita sendiri?
Israel sekali lagi mengalami kegagalan kepercayaan. Saat Musa berada di puncak gunung, israel menjadi cemas. Tampaknya Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dilihat terlalu abstrak dan jauh, dan tidak cukup nyata untuk memuaskan kebutuhan mereka akan objek pemujaan yang konkret; dan Musa tidak ada di sana untuk meyakinkan mereka. Israel lalu menjadi was-was dan menenangkan kegelisahannya dengan menciptakan tuhannya sendiri, yaitu anak lembu emas, yang terbatas, dapat diamati, dan mampu dimanipulasi dengan ibadahnya. Untuk meredakan kecemasan mereka, mereka menciptakan keilahian yang posisinya lebih rendah daripada diri mereka sendiri. Perilaku mereka pada akhirnya menimbulkan ketidaksenangan ilahi. Allah Keluaran berniat menghukum mereka, namun Musa memohon untuk memberi israel satu kesempatan lagi.
Refleksi atas kisah Israel dlm keluaran: Apa yang sebenarnya paling penting dalam hidup ini? Apakah perilaku kita mengikuti nilai-nilai kita? Misalnya, kebanyakan orang tua mengatakan bahwa keluarga adalah yang utama; namun sering kali keluarga dan hubungan dlm keluarga menjadi prioritas kedua dalam kehidupan profesional kita. Meskipun kita berbicara tentang membina hubungan yang positif dengan anak-anak kita, kita sering kali menghabiskan lebih banyak waktu di depan I-pad atau ponsel dibandingkan bermain dengan mereka di taman bermain setempat. Agar menjadi utuh, nilai-nilai dan perilaku kita harus selaras. Secara praktis, kata “tuhan” menjawab pertanyaan, “Apa yang benar-benar penting bagi kita?” dan ini bisa menjadi masalah hidup dan mati, secara rohani, emosional, dan fisik.
Mazmur 106 memberitakan hal kasih setia Tuhan. Tuhan melakukan hal-hal besar, menyegarkan kita, memberi jalan di mana tidak ada jalan. Namun, kita menukar kemuliaan Tuhan dengan benda-benda yang kita buat sendiri. Meskipun kita bisa mencintai Sang Pencipta karena cinta kita terhadap makhluk, kita menempatkan diri kita dalam risiko jika kita salah mengartikan keduanya. Memang benar, kita mencintai ciptaan dengan benar ketika kecintaan kita pada yang terbatas dalam lingkup dan dalam koridor mencintai yang Illahi.
Filipi 4:1-9 adalah panduan dasar tentang pembinaan rohani dan jalan untuk menyembah Tuhan yang benar. Rasa syukur, syafaat, pujian, dan kegembiraan mengarahkan hidup manusia kepada Yang Mahakudus. Mereka menghubungkan kita dengan realitas abadi yang lebih besar yang dengannya kita hidup dan bergerak serta yang jadi sumber keberadaan kita. Iman kita dipupuk dan dibentuk dengan hidup yg afirmatif/penguatan.
Di dunia yang ditandai dengan pemikiran polarisasi, negativitas, dan kelangkaan, Paulus menasihati para pendengarnya dan kita saat ini untuk hidup dengan afirmatif (semangat penguatan). Dengan berfokus pada hal-hal afirmatif, kita jadi sadar akan gerakan Tuhan dalam hidup kita. Jemaat Filipi, seperti gereja-gereja saat ini, menghadapi kenyataan perang, keterbatasan dan kelangkaan, namun mereka tidak perlu terhambat secara rohani oleh keterbatasan. Kita perlu yakin akan penguatan dan peneguhan dari Tuhan.
Sebenarnya dalam Kata "keterbatasan", ada di dalamnya kandungan atau mengandung adanya kemungkinan. Kita harus realistis terhadap persoalan waktu, bakat, dan harta, dan kita juga perlu sadar akan realisme yang lebih dalam, adanya semesta dan sistem terbuka yang kita jalani, yang diliputi oleh gerakan pemeliharaan ilahi yang halus – dan terkadang dramatis.
Mengikuti nasihatnya untuk “memikirkan hal-hal ini,” yaitu aspek-aspek positif dalam kehidupan, Paulus membuat dua penegasan yang penting dan berani: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Kristus yang menguatkan aku” dan “Allahku akan memenuhi segala kebutuhanku.” Dengan tetap terhubung dengan Tuhan, ada energi dan kemungkinan baru muncul, meskipun kita tidak dapat melakukan hal yang mustahil, namun apa yang tampaknya mustahil kini berada dalam jangkauan kita. Sebab ada Tuhan yang dapat melakukan hal yang bagi kita mustahil.
Perumpamaan Yesus dalam Matius 22:1-14 terlihat brutal dan penuh kekerasan, jika dipahami secara harfiah. Visinya tentang Tuhan seolah tidak memberikan ruang bagi kesalahan. Raja mudah marah dan dendam terhadap orang-orang yang tidak dapat menghadiri jamuan makannya, beberapa di antaranya mungkin mempunyai alasan kuat untuk tidak hadir. Dalam kemarahan, raja berusaha mengundang seluruh masyarakat, tanpa memandang status atau kedudukan. Tapi, raja masih kesal; kemarahannya meluas kepada mereka yang mengatakan “ya” terhadap undangannya. Memang benar, jika kita tidak berpakaian dengan benar, kita akan dipukuli dan diusir.
Sebab manakala kita berani mengatakan “ya” pada wilayah Tuhan akan membuka kita pada berbagai kemungkinan; mengatakan “tidak” menutup pintu menuju kepenuhan kemurahan hati ilahi.
Alam Tuhan selalu menjadi tempat kesempatan kedua dan ketiga. Namun kemurahan-Nya yang berlimpah tidak bisa diremehkan. Kita perlu berpakaian yang pantas di hadapan-Nya. Memakai pakaian pesta. Tentu perumpamaan ini bersifat simbolis.
Jadi Bacaan minggu ini mengundang kita untuk mempertimbangkan nilai-nilai dan praktik spiritual kita. Surat Filipi memberikan pedoman dalam pembentukan iman yg bersifat affirmatif, yang dapat mengubah kehidupan dan pengalaman kita akan realitas. Mempercayai Tuhan dan memiliki keterbukaan akan penguatan dari Tuhan melalui praktik spiritual yang membuka hati dan pikiran kita pada energi yang mengejutkan dan petualangan yang hidup sebagai sahabat Tuhan. Amin