Simbol

Symbol dalam ibadah




Charles Sanders Pierce dalam ilmu semiotika (dari kata semeio yang berarti tanda) membedakan ada tiga tanda yang dipakai oleh manusia yaitu Ikon, Indeks dan Simbol. Ikon dipakai bila yang dipakai untuk menandai sesuatu dengan yang ditandai itu memiliki kemiripan. Patung yang memiliki tiga dimensi termasuk kategori Ikon. Indeks dipakai bila yang dipakai untuk menandai sesuatu itu memiliki kedekatan eksistensial dengan yang ditandai. Petunjuk jalan atau rambu lalu lintas termasuk dalam kategori indeks. Simbol cenderung bersifat abstrak yang dipakai berdasarkan kesepakatan atau konvensi dan memalaui proses yang panjang.

Ketiga system tanda yang dipakai oleh manusia tersebut di atas meskipun bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan secara mutlak. Dalam hidup beragama yang sering dipakai adalah system symbol. Lihat PPA GKJ, Ibadah dimaknai sebagai suatu tindakan dramatis simbolis manusia untuk menghayati hubungannya dengan Tuhan. Ekspresi yang bersifat simbolik dipakai oleh manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.



semiotika

Rabu, 06 Januari 2010 11:32 Administrator



Indeks Artikel

semiotika


SemiotikaL tanda dan makna


semiotika dan semiologi


Tanda :Tripologi tanda (ikon, indexs simbol)


Semua Halaman


Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda:

<!--[if !supportLists]-->• <!--[endif]-->signified

<!--[if !supportLists]-->• signifier <!--[endif]-->

<!--[if !supportLists]-->• <!--[endif]-->signifie dan significant yang bersifat atomistis.

Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).

Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).

Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. Connotative Sign (tanda konotatif)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes.

Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua.

Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda.

Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.





Semiotika: tanda dan makna

Semua kenyataan cultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.





Semiotika dan Semiologi

Semiotika dan semiologi pada dasarnya adalah dua istilah untuk satu bidang keilmuan yang sama. Memang, beberapa tokoh mencoba untuk memberikan perbedaan pada dua istilah ini seperti membatasi objek kajian semiologi pada bagian teoretis dan semiotika untuk bagian praktisnya. Namun, upaya ini tidak mendapatkan landasan yang kuat berdasarkan kepada pemakaian yang sudah umum berlaku.

Sebenarnya, dua istilah ini muncul dari dua kelompok berbeda yang melakukan kajian dan penelitian terhadap satu bidang keilmuan yang sama. Semiologi lebih umum digunakan dalam kajian-kajian berbahasa Prancis, sementara semiotika lebih populer digunakan dalam kajian-kajian berbahasa Inggris.Istilah kedua ini, bahkan sekarang merupakan istilah yang paling umum digunakan.

Bisa jadi orang-orang Prancis lebih senang menggunakan istilah semiologi karena penggunaan Saussuer terhadapnya, sementara orang-orang Inggris lebih suka menggunakan istilah semiotika karena penggunaan John Lock (16321704) terhadap istilah ini pertama kali, yang secara langsung mengambilnya dari bahasa Yunani, semeiotike.Kalangan yang mempelajari literatur Inggris tentu sudah akrab dengan pernyataan Lock dalam kajiannya yang sangat terkenal tentang watak pemahaman bahwa istilah itu berarti mazhab tanda-tanda atau doctrine of signs.

Definisi yang ia berikan terhadap istilah ini adalah Aktivitas yang secara khusus meneliti tentang watak tanda-tanda yang digunakan oleh pikiran dalam mencapai pemahaman terhadap sesuatu atau dalam menyampaikan ketahuan-ketahuannya kepada orang lain. [Essay Concerning Human Understanding. 1689. P.32]

Pada hakikatnya, Lock bukanlah orang pertama yang menyentuh bidang keilmuan ini. Objek kajian ini sudah ada sejak masa Plato dan Aristoteles dan terus berkembang dalam kajian para filsuf tanpa memberikannya nama atau istilah ini. Hanya tabiat keilmuan modern dan spesifikasi bidang membuat istilah ini menjadi lebih spesial sebagai salah satu kajian kritik susastra, sejak awal abad ke-20. Dalam perkembangannya, semiotika menjadi pisau analitik terhadap apa pun yang berperan sebagai tanda dan struktur tanda yang mewakili pikiran manusia.

Objek kajian bidang ini merupakan kristalisasi dari perpaduan tiga bidang utama kajian dan menjadi mazhab tersendiri dalam filsafat, yaitu (1) Pragmatisme yang menjadi karakter kajian filsuf Amerika, Charles Sanders Peirce (18391914); (2) Phenomelogi yang selalu terkait dengan nama E. Husserl (18591938); dan (3) Strukturalisme yang berlandaskan pada kajian-kajian Saussure dalam linguistik.

Bagaimana istilah ini dalam padangan Peirce? Semiotika adalah proses simbolisasi atau representasi (semiosis). Proses, yaitu dinamika yang terpadu di dalamnya tiga unsur dinamis, yakni tidak tetap, tidak final, dan tidak pasti. Dalam teorinya tentang tanda, Peirce mendefinisikannya sebagai representasi terhadap sesuatu bahwa ia mampu menyampaikan sebagian sisi atau dayanya kepada orang lain.

Kris Budiman, dengan bahasa yang singkat padat, menguraikan bahwa semiotika dalam pandangan Peirce merujuk kepada doktrin formal tentang tanda-tanda. Jadi, yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri punsejauh terkait dengan pikiran manusiaseluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Karena, bilatidak demikian, manusia tidak akan dapat menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda non-verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan atas dasar relasi-relasi. [Kris Budiman, Kosa Semiotika. Jogjakarta: LKiS, 1999, hlm. 108.]

Konsep dasar yang diperkenalkan oleh Peirce dalam semiotika bahwa ada tiga komponen yang saling terikat atau berkorelasi satu sama lain, yaitu: tanda, objek yang ditunjukkan oleh tanda itu, dan faktor penafsirnya (interpretant).

Dalam kajian semiotika, objek yang ditunjukkan oleh tanda biasa disebut dengan petanda meskipun penyebutan ini masih harus dijelaskan lebih jauh secara ilmiah.Dalam teori Saussure, petanda (signifie) adalah sandingan penanda (siginifiant). Sebuah tanda, khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi-dua atau dwimuka,terdiri dari unsur penanda (citra-bunyi) dan petanda (konsep). Kedua elemen tanda benar-benar menyatu dan saling tergantung. Kombinasi dari kedua unsur inilah yang kemudian menghasilkan tanda.Jadi, tanda dalam kajian ini berbeda dengan penanda yang hanya menjadi unsurnya.

Mungkin dari sudut ini kemudian Peirce melihat bahwa tanda tidak menunjukkan kepada sesuatu secara utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya, tetapi hanya kepada sebagiannya. Artinya, hubungan antara tanda dan objek yang ditunjukkan adalah hubungan yang taksempurna. Oleh karena itu, dibutuhkan komponen ketiga yang ia sebut faktor penafsir atau interpretant. Jadi, hubungan ini berpotensi beda dan selalu bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktor penafsirnya itu. Karenanya, tanda bersifat dinamis.

Menurut teori Peirce, dalam kaitannya dengan tiga komponen itu, ada tiga metode utama yang bisa kita tetapkan secara spesifik untuk melakukan proses representasi, penunjukan, atau simbolisasi. Oleh karenanya, kita bisa membedakan tanda-tanda ke dalam tiga tipe. Pertama, tanda yang menyerupai objek yang direpresentasikan atau acuan simbolnya, seperti maket dan peta. Peirce menyebut tanda ini dengan istilah icon, yaitu bentuk pengecilan dari objeknya atau miniatur. Kedua, tanda yang berkaitan secara nyata dengan objek yang ditunjukkannya seperti jarum jam dan penunjuk arah angin (weathercock). Tipe ini disebut oleh Peirce dengan istilah index. Ketiga, tanda yang keterikatannya dengan objek petandanya berlaku dalam pandangan umum atau tradisi (arbiter dan linear), seperti kata dan tanda lalu lintas. Tipe ketiga ini disebut oleh Peirce dengan istilah simbol.

Perbedaan representasi atau simbolisasi akan sangat besar pada objek tanda yang sangat abstrak. Bisa dinilai dengan melakukan klasifikasi berdasarkan tiga tipe tanda ini. Sebagai contoh, dan ini paling krusial dalam pandangan manusia, eksistensi Tuhan dalam kehidupan manusia dan bagaimana kelompok-kelompok sebut saja agama-agamamerepresentasikan Tuhan dari keyakinannya.

Dalam Islam, Tuhan hanya boleh direpresentasikan dalam simbol, yaitu kata yang mewakili eksistensi-Nya. Itu pun masih dengan pembatasan-pembatasan, yang kemudian melahirkan banyak aliran berkaitan dengan Nama dan Sifat. Perintah menghadap kiblat dalam shalat sekilas merupakan tanda yang berbentuk index. Namun, hanya bisa dimaknai sebagai pelaksanaan perintah dan makna lain di luar penunjukkan terhadap eksistensi Tuhan (posisi).

Eksistensi Tuhan dalam agama lain direpresentasikan dalam bentuk yang berbeda, tergantung sejauh mana ajaran agamanya membolehkan. Kristen, misalnya, simbolisasi eksistensi Tuhan diwujudkan dalam bentuk salib. Agama lain, dalam bentuk arca-arca atau lainnya yang mewakili eksistensi Tuhan, sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Alasan semiotik kenapa Islam melakukan pembatasan terhadap penunjukkan eksistensi Tuhan ini bisa ditelusuri, dari konsep Peirce tentang tanda, bahwa relasi tanda dan objek yang ditunjukkannya adalah taksempurna. Tanda tidak selalu menunjukkan kepada objeknya secara utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya. Sementara itu, Tuhan adalah Mahasempurna.Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Islam sangat menjaga bentuk representasi itu agar jangan sampai simbol yang digunakan untuk mengungkapkan eksistensi-Nya mencederai kandungan maksudnya yang utuh dan sempurna.

Dalam pembicaraan sederhana dan diskusi lepas dengan teman saya, TaufikDamas, muncul kesimpulan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin luhur dan suci. Juga, semakin sulit untuk diwakilkan dengan suatu tanda yang mengacu pada maknanya yang utuh dan sempurna. Tuhan adalah wujud yang paling abstrak, paling tak terjangkau.

Bisasaya tambahkan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin besar peran faktor penafsir yang bertautan dengan tanda pada satu sisi dan dengan objek yang ditunjukkan oleh tanda pada sisi lain. Semakin besar pula potensi perbedaan dalam relasi itu.

Dari konsep ini, kita bisa melihat hal-hal lain dan bagaimana manusia mencoba merepresentasikan dalam tanda-tanda yang digunakannya. Cinta dan kasih sayang, misalnya.

Kembali kepada pembahasan konsep tanda dalam pandangan Peirce. Sedikit banyak, dalam membangun konsepnya tentang tanda dengan prinsip berikutini, Peirce telah menorehkan garis-garis awal bagi sebagian prinsip Dekonstruktivisme. Dia coba memecah relasi unsur dan melihatnya satu per satu untuk dijadikan bahan analisis. Dari situ ia melihat bahwa relasi antara tanda dan faktor penafsir bergantung erat dengan relasi antara tanda dan objek.

Dengan demikian, faktor penafsir bertautan dengan objek sebanding pertautannya dengan tanda itu sendiri. Dari sini, faktor penafsir dapat dipandang sebagai tanda lain (kedua) yang dimunculkan oleh tanda yang asli (pertama) di dalam pikiran seseorang yang melihat atau mendengar dan mencoba memahaminya.

Secara singkat, itu berarti bahwa proses penafsiran pada kenyataannya tidak lain adalah proses menempatkan tanda pada tanda lain, apa pun bentuknya. Seseorang yang mendengar kata Padang, misalnya, bisa jadi memerlukan icon sebuah maket konstruksi kota, atau index penunjuk ke sebuah kota, atau simbol kata sinonim atau yang menjelaskan. Demikianlah, menafsirkan Padangartinya menggantikan tanda asli (pertama) dengan tanda lain (kedua), apa pun jenisnya, sehingga benak sang pendengar tidak beralih kepada makna lain yang berupa tanah lapang yang luas.

Jika disebutkan sebelumnya bahwa tanda dalam konsep Peirce mencakup seluruh konstruksi struktur dalam kehidupan yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia, maka bahasa sebagai konstruksi pemikiran dan pengetahuan, menurut Peirce, merupakan struktur tanda-tanda yang saling berjalin, bertaut, berpadu, dan mampu melahirkan tanda-tanda yang lain dari dalam konstruksinya tanpa batas dan ikatan.

Artinya, prinsip dinamisme tanda merupakan karakter dominan dalam teori Peirce, yaitu apa yang kita sebut sebagai perintisan terhadap teori Dekonstruktivisme yang cenderung membebaskan tanda-tanda dari ikatan-ikatan tradisionalnya atau ikatan-ikatan lazimnya.

Peirce pada dasarnya membahas ilmu tentang tanda-tanda secara umum, tidak terfokus pada bahasa atau alam sadar seperti dilakukan oleh Husserl (18591938) setelahnya. Husserl merupakan salah seorang pendiri mazhab Phenomenology modern.

Relasi Makna C.S Pierce

<!--[if !vml]--> <!--[endif]--><!--[if !vml]--> <!--[endif]-->“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni objeknya”







Tanda :Tripologi tanda (ikon, indexs simbol)



tanda mengacu pada sesuatu diluar dirnya sendiri—objek—dan ini dipahami oleh seseorang serta memiliki efek di benak penggunanya—interpretant—kita mesti menyadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, namun Pierce menyebutnya dimana-mana efek pertandaan yang tepat, yaitu konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna terhadap objek.

Lalu bagaimana menjabarkan konsep relasi makna (tanda,interpetant,objeka) C.S Pierce? untuk memudahkan megoperasionalkan konsep makna ini, pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian yaitu: ikon,indeks,simbol yang disebut tipologi tanda.

Penjelasannya seperti ini….

Ikon, adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek yang digambarkan. Tanda visual seperti fotografi adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaannya dengan objek. Sebuah foto pesawat Hercules C-130 adalah ikon dari objek yang bernama pesawat Hercules C-130, karena foto pesawat tersebut berusaha menyamakan dengan objek yang diacunya. Karena bentuknya yang sama/mirip dengan objek, ikon dapat diamati dengan cara melihatnya.

Indeks, adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang kedua-duanya dihubungkan. Indeks, merupakan tanda yang hubungan eksisitensialnya langsung dengan objeknya. Runtuhnya rumah-rumah adalah indeks dari gempa. Terendamnya bangunan adalah indeks dari banjir. Sebuah ideks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek tersebut.

Simbol, adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari berbagai tipe tanda.

Jadi titik tekan semiotika Pierce pada semiotika visual. Berbeda dengan Sausure yang menitik beratkan pada semiotika linguistik.

sumber bacaan: Jhon Fiske, Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2004

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013