Sinau Basa Jawa

Sinau Basa Jawa
Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memilikifonem-fonem berikut:

Vokal
Aksara swara
Depan
Tengah
Belakang
Lambang
(nama)
Lambang
(nama)
Lambang
(nama)
Terbuka
i
i-jejeg
   
u
u-jejeg: ditulis 'u'
½ Terbuka
e
é-jejeg: ditulis 'é'
i-miring: ditulis 'i'
ə
e-pepet: ditulis 'e' atau 'ě'
o
o-jejeg
u-miring: ditulis 'u'
½ Tertutup
(ɛ)
e-miring: ditulis 'e'

(ɔ)
o-miring: ditulis 'o'
a-jejeg: ditulis 'a'
Tertutup

a
a-miring

Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [babaʔ] 'luka'; [bɔbɔʔ]'param' atau 'lobang', sikile di-bɔbɔʔi 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔʔi 'pintunya dilubangi'; dan [boboʔ] 'tidur'. [warɔʔ] 'rakus' sedang [waraʔ] 'badak'; [lɔr] 'utara' sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan [pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a] (a-miring), namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ] (a-jejeg). Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] (i-jejeg) namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [ɛ] (i-miring). Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcɛl].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] (u-jejeg) namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o] (u-miring). Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] (e-jejeg) namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ] (e-miring). Contoh: /lélé/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] (o-jejeg) namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ] (o-miring). Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Konsonan
Aksara wyanjana
Labial
Dental
Alveolar
Retrofleks
Palatal
Velar
Glotal
Letupan
p b
t d
ʈ ɖ
tʃ dʒ
k g
ʔ
Frikatif


s
(ʂ)


h
Likuida & semivokal
w
l
r

j


Sengau
m
n
(ɳ)
ɲ
ŋ

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atauretrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
Nama dan penulisan abjad Latin dalam bahasa Jawa
Pra 1942
Yogyakarta (1991)
Nama
b
b
tj
c
d
d
dh
dhé
f
ef
g
g
h
h
ha
dj
j
k
k
ka
l
l
el
m
m
em
n
n
en
p
p
q
ki
r
r
er
s
s
es
t
t
th[1] [2]
thé
v
w
w
x
eks
j
y
z
zet

Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah suku kata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah sebagai berikut:
·        (n) adalah fonem sengau homorgan.
·        K1 adalah konsonan letupan atau likuida.
·        (l) adalah likuida yaitu /r/, /l/, atau /w/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk letupan.
·        V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
·        K2 adalah semua konsonan kecuali letupan palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
·        a (V)
·        ang (VK)
·        pang (KVK)
·        prang (KlVK)
·        mprang (nKlVK)
Sama halnya dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya, kata dasar asli dalam bahasa Jawa terdiri atas dua suku kata(bisilabis); kata yang terdiri dari lebih dari tiga suku kata akan dipecah menjadi kelompok-kelompok bisilabis untuk pengejaannya. Dalam bahasa Jawa modern, kata dasar bisilabis memiliki bentuk: nKlvVnKlvVK.

Tata Bahasa
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya dan tingkat tutur karma. Atau secara umum dibagi menjadi dua saja yaitu tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur karma.

Aksara jawa
Aksara jawa berbeda dengan huruf Latin yang kita gunakan sekarang ini untuk menulis. Aksara jawa terdiri dari :
1.    Aksara Carakan / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦕꦫꦏꦤ꧀. Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata ato biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu : ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga ;
2.    Aksara Pasangan / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦥꦱꦔꦤ꧀. Bentuk mati (huruf) dari aksara inti, yaitu : h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, dh, j, y, ny, m, g, b, th, ng ; pasangan
3.    Aksara Swara / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ. Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama orang yang dihormati yang diawali dengan huruf hidup, yaitu : A, I, U, E, O
4.    Aksara Rekan / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀. Untuk penulisan huruf-huruf yang berasal dari serapan bahasa asing, yaitu : kh, f, dz, gh, z
5.    Aksara Murda / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ. Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama orang yang dihormati, yaitu : Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Nya, Ga, Ba
6.    Aksara Wilangan / ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦮꦶꦭꦔꦤ꧀. Untuk penulisan bilangan dalam bahasa Jawa, yaitu angka 1 s/d 10 dalam aksara Jawa.
7.    Tanda Baca (Sandangan / ꦱꦤ꧀ꦢꦔꦤ꧀). Merupakan tanda baca yang biasa digunakan, huruf hidup serta huruf mati yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari, yaitu tanda : koma, titik, awal kamimat, dll. huruf : i, o, u, e. huruf mati : _r, _ng, _ra, _re, dll

Tembung
Tembung dalam bahasa Indonesia artinya kata. Silah silahing tembung atau jenis kata (Gramar) dalam Bahasa Jawa ada 10 macam:
1.    Tembung aran / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦲꦫꦤ꧀ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁ (kata benda). contoh: meja, kursi.
2.    Tembung Kriya / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦿꦶꦪ (kata kerja) Contoh: turu, adus.
3.    Tembung ganti / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦒꦤ꧀ꦠꦶ ( kata ganti). Contoh: aku, kowe, bapak.
4.    Tembung Wilangan / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦮꦶꦭꦔꦤ꧀ (kata bilangan). Contoh: enem, telu, papat.
5.    Tembung Kaanan / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦴꦤꦤ꧀ (kata sifat). Contoh: ayu, kuru, seneng.
6.    Tembung Katrangan / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦠꦿꦔꦤ꧀ (kata keterangan). Contoh: ngisor, lor, tengah.
7.    Tembung Pangguwuh / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦥꦁꦒꦸꦮꦸꦃ (kata seru). Contoh: wah, aduh, ah, eh.
8.    Tembung Sandhangan / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ (kata sandang). Contoh: Sang, Hyang, Raden.
9.    Tembung Panyambung / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦥꦚꦩ꧀ꦧꦸꦁ (kata sambung). Contoh: lan, mulane, sarta.
10.  Tembung Pangarep / ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦸꦁꦥꦔꦫꦺꦥ꧀ (kata Depan). Contoh: saka, ing, sing.


Ater ater Seselan Panambang
Ater ater (Awalan),Seselan (Sisipan),Panambang (Akhiran).
Ater ater

Ater ater Hanuswara
·        m [m+bathik=mbathik]
·        n [n+tulis=nulis]
·        ng [ng+kethok=ngethok]
·        ny [ny+cuwil=nyuwil]

Ater ater Tripurasa
·        dak [dak+pangan=dakpangak]ko [ko+jupuk=kojupuk]
·        di [di+goreng=digoreng]

Ater ater liya
·        a [a+lungguh=alungguh]
·        ma [ma+lumpat=malumpat]
·        ka [ka+gawa=kagawa]
·        ke [ke+sandhung=kesandhung]
·        sa [sa+gegem=sagegem]
·        pa [pa+lilah=palilah]
·        pi [pi+tutur=pitutur]
·        pra [pra+tandha=pratandha]
·        tar [tar+buka=tarbuka]
·        kuma [kuma+wani=kumawani]
·        kami [kami+tuwa=kamituwa]
·        kapi [kapi+temen=kapitemen]

Seselan
·        um [..um..+guyu=gumuyu]
·        in [..in..+carita=cinarita]
·        el [..el..+siwer=seliwer]
·        er [..er..+canthel=cranthel]

Panambang
·        i [kandh+i=kandhani]
·        ake [jupuk+ake=jupukake]
·        ne [teka+ne=tekane]
·        e [omah+e=omahe]
·        ane [jaluk+ane=jalukane]
·        ke [kethok+ke=kethokke]
·        a [dudut+a=duduta]
·        na [gawa+na=gawakna]
·        ana [weneh+ana=wenehana]
·        en [lepeh+en=lepehen]
·        ku [buku+ku=bukuku]
·        mu [klambi+mu=klambimu]
·        e [omah+e=omahe]
Homonim
Homonim yaiku tembung-tembung kata sama ucapannya sama penulisannya tapi beda arti karena asal kata beda. Contoh:
·        Kula rade pandung panjenengan punika sinten? (pangling)
·        Rehning punika kathah pandung, mila kedah ngantos-atos. (maling)
·        Mengko yen ibu duka kepriye, mbak? (nesu)
·        Bocah ditakoni kok mung duka bae, sebel aku! (embuh)

Antonim
Antonim / Tembung kosok balen yaiku tembung kata yang memiliki arti berkebalikan dengan yang lain. Kata kata antonim antara lain: padhang-peteng, bungah-susah, gedhe-cilik, beja-cilaka, kasar-alus, lan sapiturute. Contoh:
·        Bab sugih mlarat iku sejatine jatahe dhewe-dhewe.
·        Kali ing Kalimantan kuwi tiga rendheng banyune ajeg gedhe.

Sinonim
Sinonim (nunggal misah) yaiku rong tembung dua kata atau lebih yang bentuk penulisannya beda, arti sama atau hampir sama, arti yang sama persis itu jarang. Contoh:
·        Bocah kuwi senenge randha kemul.
·        Bocah kuwi senenge tempe goreng diwenehi glepung.
·        Tawangmangu iku hawane pancen adhem banget.
·        Tawangmangu iku hawane pancen atis banget.

Homograf
Homograf yaiku tembung-tembung kata yang penulisannya beda artinya beda. Contoh:
·        Tiyang punika asring ngagem busana cemeng. cemeng = ireng
·        Aku yen sowan budhe arep nyuwun cemeng loro. cemeng = anak kucing
·        Yen duwe meri kudu dikandhangake. meri = anak bebek
·        Kowe ora perlu meri karo adhimu. meri = ewa, iri

Jejer(J)/ ꦗꦺꦗꦺꦂ Wasesa(W)/ ꦮꦱꦺꦱ Lisan(L)/ ꦭꦶꦱꦤ꧀
Dalam bahasa indonesia kita mengenal adanya struktur atau susun kalimat, seperti subjek, predikat dan objek. Dalam bahasa jawa pun juga memiliki hal yang sama akan tetatpi bernama lain,
·        Jejer / ꦗꦺꦗꦺꦂ = subjek
·        Wasesa / ꦮꦱꦺꦱ = predikat
·        Lisan / ꦭꦶꦱꦤ꧀ = objek
seperti halnya dalam bahasa indonesia, jejer dikenai pekerjaan dengan pola sama seperti bahasa Indonesia tidak seperti english yang dibolak balik.
Contoh kalimatnya: - aku mangan (aku makan) aku = jejer mangan = wasesa
- aku mangan sego (aku makan nasi) aku = jejer mangan = wasesa sego = objek
Untuk bagian kalimat seperti keteran (katrangan) sama saja seperti bahasa Indonesia.

Ukara
Silah silahing ukara (Jenis-jenis Kalimat dlm Bhs. Jawa)
1.    Ukara Kandha / ꦈꦏꦫꦏꦤ꧀ꦝ (Kalimat Langsung). Tuladha : Ibu ngendika 'Kowe kudu sekolah'
2.    Ukara Crita / ꦈꦏꦫꦕꦿꦶꦠ (Kalimat Cerita). Tuladha : Ngendikane Ibu yen sregep sekolah mesthi pinter.
3.    Ukara Tanduk / ꦈꦏꦫꦠꦤ꧀ꦢꦸꦏ꧀ (Kalimat Aktif). Tuladha : Bapak tindak kantor
4.    Ukara Tanggap / ꦈꦏꦫꦠꦁꦒꦥ꧀ (Kalimat Pasif). Tuladha : Sepedane dicet abang
5.    Ukara Pakon / ꦈꦏꦫꦥꦏꦺꦴꦤ꧀ (Kalimat Perintah). Tuladha : Jupukna sepedaku neng omahe Paklik
6.    Ukara Panjaluk / ꦈꦏꦫꦥꦚ꧀ꦗꦭꦸꦏ꧀ (kalimat Permohonan). Tuladha : Tulung njupukna buku kuwi

Peribahasa Jawa
Peribahasa Jawa merupakan suatu bentuk kearifan lokal budaya Jawa yang filosofis. Di dalam peribahasa, terdapat makna mendalam dari sebuah kalimat atau frasa, tidak sekadar dapat dipahami secara harfiah.
Contoh Paribasan (peribahasa) dan pepatah Jawa
·        nyolong pethek = nggak cocok dgn apa ygdi harapkan.
·        kepara kepere = tdk adil (berbagi).
·        criwis cawis= banyak bicara tp cekatan dlm bekerja.
·        keplok ora tombok = merasakan kesenangan tanpa keluar biaya.
·        yitna yuwana,lena kena = yg hati2 akanselamat,yg ceroboh akan celaka.
·        busuk ketekuk,pinter keblinger = yg pintar dan yg bodoh sama2 celaka.
·        jalukan ora wewehan = mau minta tp tak mau memberi.
·        welas tanpa alis= karena saking dermawannya jd sengsara sendiri (derma yg berlebihan tanpa mengukur kemampuan sendiri).
·        kerot tanpa untu = kemauan banyak tapi tdk punya kekuatan.
·        anakpolah bapa kepradah = orang tua yg slalu menuruti keinginan sang anak.
·        Nabok nyilih tangan = menyuruh orang untuk mencelakai orang laen.
·        suduk gunting tatu loro =mendapat kesedihan rangkap.
·        ora ganja ora unus = orangnya jelek,kelakuannya jg jelek.
·        nututi layangan pedhot =berusaha mengembalikan situasi yg sudah semrawut.
·        idu di dilatmaneh = mengingkari janji sendiri.
·        ngubak ubak banyu bening = membuat keonaran di tmpt yg damai.
·        mban cindhe,mban siladan = pilih kasih (nggak adil).
·        dudu berase di tempurake = memberi komentar tp di luar permasalan yg sedang di bahas.
·        adol lenga kari busike = yg membagi justru gak kebagian jatah.
·        ora mambu enthong irus= tidak kelihatan kalau bersaudara.

Purwakanthi (syair - pantun - kata bersajak)
Purwakanthi merupakan alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam sastra Jawa dan Sunda. Terdapat dua macam purwakanthi yaitu purwakanthi swara dan purwakanthi sastra. Purwakanthi swara adalah persamaan bunyi, sementara purwakanthi sastra adalah persamaan huruf.
Pitutur dan ungkapan-ungkapan Jawa umumnya disampaikan secara ringkas, dengan padanan kata bersanjak yang pas sehingga terkesan indah sekaligus mudah diingat.

Purwakanthi guru swara
·        Ana awan, ana pangan
·        Ngalah nanging oleh
·        Sing salah kudu seleh
·        Becik ketitik ala ketara
·        Sing weweh bakal pikoleh
·        Adigang adigung adiguna
·        Inggih-inggih ora kepanggih
·        Ciri wanci lelai ginawa mati
·        Desa mawa cara negara mawa tata
·        Witing tresna jalaran seka kulina
·        Giri lungsi, jalma tan kena ingina
·        Yen menang, aja njur sewenang wenang
·        Ana bungah, ana susah iku wis lumrah
·        Sing gelem ngalah, bakal luhur wekasane
·        Yen krasa enak, aja njur lali anak, lali bojo, lali kanca

Purwakanthi guru sastra
·        Tata titi titig tatag, tanggung tertib
·        Aja dhemen memada, dhateng saphadhaning dumadi
·        Taberi nastiti lan ngati-ati, mesthi bakal dadi
·        Wong jejodohan kudu ngelingi : babat,bibit,bobot,bebet
·        Ruruh,rereh,ririh ing wewarihipun, mrih reseping para muyarsi
·        Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karya, tut wuri handayani
·        Tarti tata-tata, ate metu turut ratan, diutus tuku tahu tempe dhuwite kertas telung atus
·        Tindak tanduk lan tutur kang kalantur, tamtu katula-tula katali, bakal kacatur,katutuh, kapatuh, pan dadi awon
·        Sluman slumun slamet, salamun nyemplung kali plung, slulup slelep-slelep oleh slepi isi klobot, Njumbul bul klambine teles bles
·        Kala kula kelas kalih, kula kilak kalo kalih kuli-kuli kula, kalo kula kéli, kali kilén kula, kalo kula kampul-kampul, kula kelap kelip kala-kala keling-keling

Tingkat tutur bahasa Jawa
Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa basa Jawa memiliki tingkat tutur yang cukup canggih dan rapi. Yang dimaksud dengan tingkat tutur atau undha usuk atau speech level adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar), atau tingkat Ngoko (N), Madyo (M) dan Krama (K).
Tingkat tutur atau ragam halus yaitu Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan sopan santun. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya dan tingkat tutur karma.
Poedjasoedarma berpendapat bahawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).

Bentuk tingkat tutur bahasa Jawa
Menurut bentuknya, secara garis besar tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi 5 tingkatan,
1.    basa ngoko,
2.    basa madya,
3.    basa krama,
4.    basa kedaton atau bagongan, dan
5.    basa kasar.
Kelima tingkat tutur tersebut secara rinci semuanya dibagi menjadi 13 tingkat, yaitu:
1.    ngoko lugu,
2.    ngoko andhap antya basa,
3.    ngoko andhap basa antya,
4.    madyo ngoko,
5.    madyatara,
6.    madyakrama,
7.    mudokrama,
8.    kramantara,
9.    wredakrama,
10.  krama inggil
11.  krama deso,
12.  basa kedaton atau bagongan, dan
13.  basa kasar.

Makna tingkat tutur
Sebetulnya bila diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 3 tataran,
1.    Krama (halus),
2.    Madya (biasa),
3.    Ngoko (pergaulan), atau basa kasar.

Register (undhak-undhuk basa)
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
·        Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
1.    Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2.    Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3.    Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
4.    Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
5.    Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
6.    Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
7.    Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8.    Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko (kasar) dan sejenismadya (biasa).

Ngoko
Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Tingkat tutur ngoko yaitu ungah ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).

Krama
Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya sangat baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga bentuk varian, yaitu krama lugu, karma andhap dan krama alus (Sasangka 2004:104).
      Madya
Madya adalah salah satu tingkatan bahasa Jawa yang paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Tingkatan ini merupakan bahasa campuran antara ngoko dan krama, bahkan kadang dipengaruhi dengan bahasa Indonesia. Bahasa madya ini mudah dipahami dan dimengerti.
Variasi
Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal serta register dalam bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013