Ilahi dan manusiawi: sifat Gereja
Gereja Illahi Manusiawi
Pertama-tama kalau boleh saya pertegas dulu judul tulisan yang diberikan oleh panitia pembinaan. Dalam rabaan saya judul tersebut kalau saya sederhanakan berarti: Gereja, bersifat Illahi dan manusiawi. Jika benar rabaan saya ini maka sebenarnya kita sedang mengunyah persoalan ontologis/ hakekat gereja. Yaitu yang terwujud dengan mengisi paper ini dengan deretan sifat yang dimiliki oleh gereja, baik sifat illahinya maupun sifat manusiawinya. Namun saya juga meraba lebih lanjut, apa gunanya mengetahui sifat illahi dan manusiawi dari gereja. Dalam rabaan yang terakhir ini sudah selayaknya kita juga akan membicarakan bagaimana men-setting perilaku atas sifat-sifat gereja yang illahi dan manusiawi tersebut. Hal ini perlu kita kerjakan supaya kita tidak “salah” sikap dalam hidup bersama yang dinamakan gereja.
Siapakah manusia?
Siapakah manusia? Dan apakah artinya menjadi manusia? Ini pertanyaan yang pernah dilontarkan dalam PL. Kedua pernyaan tersebut sangat istimewa karena Tuhan begitu peduli pada manusia (Baca Ayub 7:17; 25:4-6; Mazmur 8:3-4).
Ada tiga alasan penting atas pertanyaan di atas. Yang pertama pertanyaan tersebut pada akhirnya akan menghantar kita pada pertanyaan “siapakah aku?” dan pada gilirannya juga menghantar pada pertanyaan yang lain: “apakah aku bermakna? Yang kedua secara professional apapun pekerjaan kita, yang semuanya adalah untuk melayani manusia, pada akhirnya juga menuntut pengertian :”siapakah yang aku layani?” dan pertanyaan ini sangat mempengaruhi bagaimana kita bersikap atas “mereka”. Yang ketiga, secara politis jawaban atas pertanyaan siapa manusia akan sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan diambil berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki tentang manusia.
Dengan demikian ini adalah pertanyaan yang bersifat ideologis, lebih anthropologis. Kritik Kristen atas jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan kepada mereka yang begitu memandang positip maupun yang memandang pesimis terhadap manusia. Manusia sekuler secara umum memandang manusia secara positip. Meskipun mereka percaya bahwa manusia adalah homo sapien yang telah berhasil melewati proses evolutif yang panjang namun mereka juga sadar bahwa ada banyak keterbatasan dalam potensi hidup manusia. Sementara itu orang-orang eksistensialis begitu pesimis terhadap manusia. Karena mereka mengatakan tidak ada Tuhan, tidak ada nilai pada manusia baik secara standar maupun secara ideal. Sehingga pada dasarnya (menurut mereka) hidup manusia itu absurd (tanpa nilai), tanpa arti dan tanpa harapan.
Banyak diskusi yang dilakukan(dan dalam waktu yang cukup lama) mengenai definisi dari kata serupa dan segambar dengan Allah. Ada yang mengatakan bahwa manusia itu adalah political animal (aristoteles), a laughing animal (Thomas Willis), a tool-making animal (Benyamin Franklin), a religious animal(Edmund Burke), dll. Nilai terdalam dari manusia kita dapati dalam bacaan Kejadian pasal 1 tentang peristiwa penciptaan. Terkhusus dalam Kejadian 1:26-28). Siapakah manusia dan bagaimanakah keadaan manusia secara garis besar pengertiannya dapat kita peroleh dari ajaran kita (PPAG). Penjelasan PPAG ada dalam BAB TIGA tentang PENYELAMATAN ALLAH. Di dalam Bab Tiga disebutkan bahwa manusia itu termasuk dalam ciptaan yang sejak diciptakan ada dalam keadaan sungguh amat baik. Secara khusus posisi manusia dikatakan sebagai satu-satunya ciptaan yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Dan sejak kejatuhan manusia yang mengakibatkan manusia kehilangan hubungan yang benar dengan Allah, maka Allah menyelamatkan manusia.
Dari penjelasan tentang manusia di atas, kita sebenarnya melihat bahwa manusia sejak diciptakan sudah berwatak ganda. Ia mahkluk sama seperti ciptaan yang lain namun ia diciptakan secara istimewa karena ia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Tafsir yang tepat tentang arti “segambar dan serupa dengan Allah” adalah bahwa sejak diciptakan manusia memiliki hubungan yang khas dan unik dengan Tuhan. Hubungan yang khas dan unik itu sampai-sampai mempengaruhi eksistensi atau keberadaan manusia. Artinya keberadaan manusia adalah keberadaan yang di dalam Allah dan bersama-sama Allah. Yaitu sebagai rowang eksistensi Allah yang memiliki kesadaran rasional, kemampuan untuk membuat pilihan moral, kemampuan kreatif artistic, selalu haus akan Tuhan). Dan karena kekhasan manusia yang seperti inilah maka Allah merancang dan menjalankan keselamatan.
Kegandaan watak manusia juga kita dapati dalam manusia yang ada di dalam gereja/persekutuan orang percaya. Yaitu sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa namun sekaligus telah menerima kasih karunia berupa penyelamatan dalam Kristus. Jadi ada dua kegandaan pada diri manusia Kristen. Kegandaan yang pertama yaitu sebagai mahkluk ciptaan yang bermartabat serupa dan segambar dengan Allah. Kegandaan yang kedua yaitu sebagai yang jatuh dosa namun sekaligus telah diselamatkan.
Siapakah Gereja?
Penjelasan tentang manusia di atas akan lebih mempermudah kita untuk melihat gereja. Dalam Mukadimah Tata Gereja, definisi gereja dijabarkan sebagai berikut:”Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Kehidupan bersama itu dibentuk oleh orang-orang yang atas pertolongan Roh Kudus menerima dengan percaya terhadap penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Pengertian demikian menunjukkan bahwa Gereja memiliki segi ilahi dan segi manusiawi. Segi ilahi Gereja adalah sebagai buah penyelamatan Allah, maka Pemilik dan Penguasa Gereja adalah Allah. Segi manusiawi Gereja adalah sebagai kehidupan bersama religius, yang oleh pertolongan Roh Kudus diciptakan dan diselenggarakan secara lembagawi oleh manusia.”
Definisi yang diberikan oleh Mukadimah Tata Gereja lebih condong pada definisi dari segi pengelolaan organisasi gereja. Dan memang tepat definisi tersebut ada dalam Mukadimah Tata Gereja. Dan mungkin maksud dari panitia supaya saya mengupas Sisi Illahi dan manusiawi Gereja menurut PPAG/Tager, baik jika sekarang saya mulai pijakan tulisan berdasar definisi diatas.
…Gereja adalah suatu kehidupan bersama religious…
Kalimat ini menyatakan bahwa gereja adalah suatu bentuk kehidupan bersama. Kehidupan bersama manusia (sebagaimana definisi manusia yang telah dipaparkan secara sederhana di atas). Dalam kenyataannya manusia memang memiliki banyak kehidupan bersama. Ada kehidupan bersama dalam rumah tangga (yang diikat berdasarkan kontrak perjanjian untuk saling menolong dan memperlengkapi), ada bentuk kehidupan bersama yang lain. Setiap bentuk kehidupan bersama tersebut memiliki kekhasan dan karakternya masing-masing. Untuk gereja dikatakan sebagai suatu bentuk kehidupan bersama relegius. Artinya yang berwatak keagamaan.
Karena gereja berwatak keagamaan maka kehidupan gereja juga disusun sama seperti agama-agama yang lain yang memiliki 4 sub system hidup beragama: 1.Tatanan pengakuan, disebut juga tatanan ajaran atau dogma, 2.Tatanan ibadat, 3.Tatanan hukum, 4.Tatanan keumatan, yang di dalam bahasa gereja disebut persekutuan.
Keempat sub system tersebut mencirikan gereja sebagai suatu bentuk kehidupan bersama relegius. Itu berarti tiap gereja harus senantiasa memperhatikan keempat subsitem diatas. Demikian pula manusia yang hidup dalam gereja wajib sifatnya untuk memperhatikan keempat subsistem tersebut. Jika tidak maka gereja akan kehilangan kekhasannya sebagai hidup bersama relegius.
…yang berpusat pada penyelamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus….
Di Indonesia kita mengenal ada 6 agama yang diakui dan ada juga aliran2 kebatinan. Mareka juga merupakan kehidupan bersama relegius. Untuk membedakan gereja dengan yang bukan gereja maka selanjutnya dikatakan bahwa kehidupan bersama tersebut berpusat pada penyelamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Apa maksudnya? Artinya kehidupan bersama tersebut adalah kehidupan bersama dalam kerangka penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Yaitu kehidupan bersama yang muncul (awal) dan dijalani (tengah) maupun demi tujuan (akhir) pada peristiwa penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Sehingga kehidupan gereja tidak bisa tidak, sebagai suatu keharusan harus berpusat pada Yesus. Kehidupan bersama tersebut ada, berada dan bertujuan untuk Yesus Kristus.
Pernyataan ini tidak hanya membawa pengertian akan definisi gereja secara umum bahwa setiap bentuk kehidupan bersama yang berpusat pada Kristus (seperti yang dijalani oleh gereja2 yang lain) adalah merupakan sebuah Gereja, namun pernyataan di atas sekaligus sebagai batu uji apakah suatu kehidupan bersama yang menamakan dirinya gereja, sesungguhnya benar2 gereja atau tidak. Sebab dalam prakteknya pusat hidup gereja itu bisa bergeser.
…Kehidupan bersama itu dibentuk oleh orang-orang yang atas pertolongan Roh Kudus…
Secara manusiawi gereja dibentuk oleh manusia. Atas inisiatif manusia. Manusia yang sama2 kristen berhimpun lalu menjadi gereja. Memang benar! Itu sebabnya dalam gereja selalu ada tokoh2 pendiri, para inisiator yang pertama. Namun hal itu tidak serta merta “sesuatu yang terjadi di dalam hidup” para inisiator. Yaitu karya Roh Kudus. Roh Kudus yang telah menolong para inisiator tersebut untuk bergerak dan bertindak sehingga terhimpunlah himpunan orang percaya yang disebut gereja.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa tidak hanya dalam pembentukan, dalam perjalanan hidup gereja yang sudah dibentuk tersebut, Roh Kudus tetap diyakini sebagai yang senantiasa bekerja dalam hidup gereja. Itu berarti hidup gereja sebenarnya akan benar2 berjalan dengan sempurna manakala selalu berusaha mencari tuntunan dan pertolongan Roh Kudus. Ini terwujud dalam spiritualitas gereja. Tantangan gereja jaman sekarang adalah soal keringnya spiritualitas karena begitu menekankan aspek rasional manusia dengan mengabaikan arti dan peran Roh Kudus.
…menerima dengan percaya terhadap penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus…
Tujuan dari hidup bersama relegius Gereja adalah menerima penyelamatan Allah. Itu berarti gereja memang harus senantiasa bergerak untuk menuju pada kesempurnaan menerima penyelamatan. Hal ini menyarankan akan tugas pemeliharaan dan kesaksian yang terus menerus yang harus dilakukan dalam hidup bersama tersebut. Yaitu menghantar orang untuk percaya dan menerima Penyelamatan Allah.
Jadi hidup bersama tersebut dijalani semata-mata untuk semakin banyak orang menerima dan percaya pada penyelamatan Allah. Bukan untuk melayani yang lain.
..Pemilik, Penguasa dan aspek lembagawi…
Pada akhirnya berujung pada pertanyaan kuasa. Siapa yang paling berkuasa dalam gereja? Mungkin kita akan mudah mengatakan: Tuhan. Namun jawaban kita selalu tidak berhimpit mirip dengan apa yang biasa terjadi dalam kehidupan gereja. Hal ini karena hidup gereja dijalani sebagai sebuah lembaga. Kecenderungan sebuah lembaga, apapun lembaga tersebut, bila sudah melembaga dalam arti formal cenderung kehilangan vitalitasnya.
Vitalitas yang ada dalam gereja yaitu adanya keyakinan yang tak kunjung henti bahwa penguasa yang sejati serta pemilik yang sejati dari gereja adalah Allah sendiri. Ini menjadi tantangan dan cobaan besar secara ajeg yang akan dihadapi oleh gereja, yaitu untuk tetap setia pada pengakuan bahwa Allah satu-satunya pemilik dan penguasa gereja.
Indikator kita tetap setia, bisa kita lihat dengan melihat setiap aktifitas dan keputusan serta kebijakan yang diambil gereja (sebagai lembaga yang dikomandani Majelis), ada dalam 3 tolok ukur berjenjang. Alkitab, PPAG, Tager dan Talak.
Sebagai yang bersifat lembagawi gereja juga membutuhkan alat-alat yang diperlukan oleh lembaga pada umumnya. Membutuhkan suatu struktur organisasi yang jelas. Membutuhkan kepemimpinan organisasi, perlu adanya budaya organisasi dll. Namun sekali lagi itu semua hanya merupakan tool (alat) dan bukan tujuan.
Penutup yang sebenarnya bukan menutup
Pembicaraan tentang apa itu gereja menurut saya tidak akan pernah punya ujung. Ujung dari pembicaraan akan terjadi bila kita semua sudah benar-benar menerima penyempurnaan keselamatan. Demikian juga pertemuan serta percakapan kita saat ini, ini baru awal. Dan selanjutnya bapak dan ibu akan menjalani dalam hidup GKJ Tuntang Barat. Satu pesan terakhir khusus untuk Bapak dan ibu: Gereja itu suci kudus. Jadi berhati-hatilah dalam menjalankan tugas mulia sebagai majelis gereja.
Ambarawa, advent kedua tahun A (7 Desember 2010)
Makalah disampaikan dalam kegiatan pembinaan Calon Majelis GKJ Tuntang Barat