Bahan Pemahaman Alkitab Gereja Kristen Jawa Ambarawa Tanggal 10/12 Nopember 2009.
Bahan Pemahaman Alkitab
Gereja Kristen Jawa Ambarawa
Tanggal 10/12 Nopember 2009.
MEMBERI DENGAN HATI
I Raja 17:8-16; Mzm. 127; Ibr. 9:24-28; Mark. 12:38-44
I Raja 17:8-16; Mzm. 127; Ibr. 9:24-28; Mark. 12:38-44
Pengantar
Makna memberi dengan hati hampir sering diucapkan oleh setiap orang yang merasa dirinya beradab dan beragama. Sehingga pembahasan hal “memberi dengan hati” bukanlah khas suatu agama tertentu atau suatu peradaban tertentu. Makna “memberi dengan hati” merupakan filosofi yang telah dipahami oleh umat manusia sepanjang sejarahnya, tetapi juga sekaligus yang sering diabaikan dalam sejarah hidup manusia. Sebagian dari sejarah hidup umat manusia mengisahkan para tokoh yang rela untuk memberikan apa yang dimiliki termasuk pula orang-orang yang mau mengurbankan hidupnya. Heroisme mereka ditandai oleh karakter kepahlawanan yang mau berkurban bagi sesamanya. Tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari ternyata lebih banyak umat manusia yang selalu berjuang untuk kepentingannya sendiri bahkan pula mereka tega untuk merebut hak milik orang lain dengan cara yang keji. Sejarah hidup manusia ditandai oleh umat yang memiliki spiritualitas kemurahan hati dengan selalu memberikan segala yang dimilikinya dengan hati yang tulus; sekaligus ditandai oleh umat yang berjiwa kikir dan kejam untuk selalu merebut segala hal yang dimiliki oleh sesamanya.
Motif Dan Teologi
Di Mark. 12:41 menyaksikan bagaimana banyak orang kaya memberikan persembahan dalam jumlah yang besar. Dalam hal ini penilaian Injil Markus terhadap beberapa orang kaya yang memberikan persembahan didasarkan pada penilaian Tuhan Yesus. Yang mana Tuhan Yesus menilai bahwa beberapa orang kaya tersebut memberikan persembahannya dengan motif dan teologi yang tidak benar. Dengan kemaha-tahuanNya, Kristus membaca isi hati umat. Dengan demikian ayat firman Tuhan di Mark. 12:41 tidak boleh dipakai oleh jemaat untuk menilai persembahan yang dilakukan orang kaya saat mereka beribadah. Kita tidak boleh menyamakan begitu saja persembahan orang kaya yang dikisahkan oleh Injil Markus dengan orang kaya yang kita jumpai saat mereka memberi persembahan. Sebab tujuan kesaksian Injil Markus tersebut adalah mengingatkan umat Allah sepanjang zaman agar mereka menyadari dengan sikap waspada bagaimanakah motif dan teologi mereka saat memberikan persembahan kepada Allah. Apakah motif dan teologi mereka lahir dari hati yang murni saat mereka memberikan persembahan, ataukah motif dan teologi mereka bertujuan untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan upaya untuk mempengaruhi Allah. Itu sebabnya Injil Markus sengaja mengontraskan persembahan orang kaya yang memberikan uang dalam jumlah yang besar dengan persembahan seorang janda yang hanya memberi dalam jumlah yang sangat kecil. Terhadap persembahan janda tersebut, Tuhan Yesus memberikan penilaian yang mengejutkan, yaitu: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan” (Mark. 12:43). Dasar teologi Tuhan Yesus adalah: “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya” (Mark. 12:44). Dari sudut nilai ekonomis persembahan janda tersebut sangat tidak berarti dibandingkan dengan persembahan dari para orang kaya. Tetapi dari sudut penilaian Allah, persembahan janda tersebut lebih besar dan bernilai sebab dia tulus memberikan dari seluruh nafkah atau harta yang dimiliknya. Sebaliknya persembahan uang orang kaya yang begitu banyak tidak selalu mencerminkan persembahan hatinya. Seberapa besar ungkapan syukur para orang kaya dalam mempermuliakan dan mengasihi Allah? Sering dalam praktek kehidupan jumlah persembahan para orang kaya yang sangat besar itu ternyata masih sangat kecil dengan jumlah investasi yang disimpan dan digunakan untuk memuaskan berbagai kepentingan pribadi. Seharusnya motif dan teologi persembahan kita mencerminkan persembahan hidup kita yang total dan menyeluruh. Rasul Paulus berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rom. 12:1).
Pengorbanan Kristus Sebagai Model
Surat Ibrani menyaksikan bagaimana kematian Kristus bukan sekedar mampu membawa Dia ke tempat kudus Allah, tetapi Dia menghadap hadirat Allah guna untuk membela kepentingan kita. Ibr. 9:24 berkata: “Sebab Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri untuk menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita”. Peristiwa kematian Kristus bukan sekedar suatu kematian martir dari seorang yang hidup benar dan kudus di hadapan Allah. Tetapi lebih dari pada itu kematian Kristus berfungsi sebagai karya pendamaian Allah dengan manusia, sehingga Dia berperan sebagai Imam Besar yang membawa korban darahNya sendiri di hadapan Allah. Karena itu selaku Imam Besar yang agung, Kristus tidak membawa darah korban dari hewan sesuai ketentuan hukum Taurat ke hadirat Allah. Darah hewan yang tidak bercela tidaklah mungkin dapat menghapus dan membenarkan dosa umat manusia. Hewan yang dikorbankan menurut hukum Taurat hanyalah lambang dari karya pengorbanan Kristus yang mendamaikan. Itu sebabnya Kristus membawa darah korban darahNya yang sempurna sehingga Dia dapat menebus dan menyucikan setiap dosa dan kesalahan kita. Kematian Kristus di atas kayu salib mampu mendamaikan dan membenarkan manusia, karena kematianNya merupakan wujud dari persembahan hidupNya selaku Anak Allah. Dengan demikian makna persembahan kita seharusnya merupakan ungkapan syukur atas karya pengorbanan Kristus yang telah terjadi. Persembahan atau pemberian dalam kehidupan kita sama sekali bukan bertujuan agar kita memperoleh keselamatan dan pembenaran dari Allah. Singkatnya persembahan atau pemberian yang kita lakukan bukanlah untuk memperoleh pahala keselamatan. Sebab realitas keselamatan tidaklah dapat diupayakan dengan jerih-payah, persembahan dan pengorbanan manusia. Realitas keselamatan dari Allah merupakan wujud dari anugerah Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam pengorbanan Kristus. Ini berarti persembahan atau pemberian yang kita lakukan seharusnya meluap dari kemurahan dan kasih Allah yang berpusat kepada penebusan Kristus di atas kayu salib. Motif dan teologi persembahan kita adalah keselamatan Allah di dalam Kristus.
Pertanyaan untuk diskusi:
1.Apakah arti persembahan?
2.Apakah perembahan berifat wajib ataukah sukarela?
3.Apakah syarat-syarat persembahan yang baik?
4.Menurut saudara pesan apa yang kita dapat dari kisah Nabi Elia dan janda Sarfat?