Raker 2011 dan Buku Panduan
*********************** Daftar Isi
1. Kata Pengantar
2. Bahan Raker 2011
a. Latar Belakang
b. Definisi
c. Tujuan
d. Kegiatan
e. Partisipasi dan Peran Peserta
f. Susunan Acara
g. Kelompok-kelompok dalam raker dan Panduan Diskusi
3. Liturgi dan Renungan
4. Materi Kepemimpinan sebagai Pelayanan.
5. Penutup
6. Akta SMT 2011
************************ Kata Pengantar
Mengapa perlu Raker segala? Mengapa tidak retreat Majelis saja! Memangnya gereja lembaga apa kok pakai raker segala. Khan lebih cocok kalau pakai istilah retreat! Itulah pertanyaan yang pertama kali muncul ketika panitia SMT mulai mengerjakan tugas-tugas awal terkait dengan pelaksanaan Raker ini. Memang GKJ Ambarawa sedang berusaha menyesuaikan dengan tuntutan jaman serta berusaha untuk melakukan pelayanan dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Sebagai sebuah gereja yang sedang masih akan berkembang terus berusaha tampil baik memang harus selalu mencoba berbagai hal yang baru terkait dengan management pelayanan terkini.
Karena bagaimanapun juga gereja harus menjawab tantangan jaman. Sebab jika tidak akan terlindas oleh kemajuan jaman. Bila dalam lembaga-lembaga yang lain dikenal istilah raker memang semata karena mereka memerlukan untuk keberlangsungan lembaga tersebut. Gereja sebaiknya tidak perlu merasa risi serta asing terhadap istilah Raker sebab maksud raker yang kita adakan semata-mata demi efektifitas dan efesiensi pelayanan. Sehingga koordinasi antar para pelayan di GKJ Ambarawa dapat terwujud secara nyata dan menghasilkan karya-karya yang efektif. Demikian pula agar Majelis serta Badan Pembantu majelis tidak lagi harus dipusingkan oleh hal-hal yang merupakan dampak sebab tidak adanya koordinasi dan komunikasi.
Semoga raker kita saat ini semata-mata tidak hanya menghasilkan keakraban di antara para pelayan GKJ Ambarawa namun lebih dari pada itu menghasilkan saling pengertian di antara para pelayan dan pada akhirnya bersama-sama menghasilkan pelayan yang terbaik bagi jemaat dan Tuhan Yesus.
Selamat melakukan Rapat kerja.
*******************************
RAPAT KERJA (RAKER) – GKJ AMBARAWA
TAHUN 2011
Latar Belakang:
Selama ini seluruh kegiatan yang dikerjakan oleh GKJ Ambarawa dengan seluruh Badan Pembantu Majelis diupayakan untuk dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa harus ada hambatan atau tantangan yang berarti. Upaya-upaya koordinasi yang dilakukan Majelis sebagai Penanggungjawab seluruh Kegiatan GKJ Ambarawa telah dilakukan. Baik lewat Rapat-rapat Koordinasi (Rakoord) maupun lewat laporan tiap-tiap Pemerhati Komisi dalam Pleno Majelis setiap bulannya. Namun upaya koordinasi dan upaya untuk mensikronkan jadual kegiatan tetap saja terhambat. Hal itu semata bukan karena kurangnya informasi yang disampaikan oleh Majelis Pemerhati dalam setiap Pleno Majelis namun juga bisa disebabkan olehnya kurangnya pemahaman bersama terhadap apa yang telah direncanakan oleh Majelis maupun oleh seluruh Badan Pembantu Majelis GKJ. Akibatnya ada beberapa kegiatan yang tumpang tindih dan kelihatannya kurang terkoordinasi dengan baik.
Itu semua menjadikan Majelis GKJ Ambarawa memandang perlu untuk dilakukan adanya momentum baru yang disebut Raker atau Workshop setelah diadakannya Sidang Majelis Terbuka. Sebab dalam momentum SMT yang seringkali menjadi fokus bukan rencana detil dari setiap Badan Pembantu Majelis, akan tetapi pertanyaan, usul dari Badan Pembantu maupun Warga Jemaat.
Definisi Raker:
Raker singkatan dari Rapat Kerja. Rapat artinya adalah suatu upaya penyatuan pendapat serta penyelesaian terhadap segala sesuatu masalah atau persoalan. Kerja artinya adalah suatu tindakan kongkrit dari sebuah perencanaan yang sebelumnya telah dilakukan. Sehingga Definisi yang kita pakai dengan istilah Raker adalah Suatu Upaya untuk menyatukan suatu pandangan serta tindakan terhadap segala sesuatu yang telah direncanakan. Dalam hal ini kita akan menyatukan suatu pandangan/persepsi serta suatu tindakan bersama terhadap apa-apa yang telah direncanakan baik oleh Majelis maupun oleh Badan Pembantu Majelis.
Tujuan Raker:
Karena Raker adalah suatu upaya menyatukan suatu pandangan/persepsi dan tindakan serta tindakan terhadap sesuatu (rencana), maka tujuan raker adalah untuk terjadinya upaya koordinasi yang lebih baik. Adanya koordinasi dalam segi Kegiatan, Waktu serta Sumber Daya yang ada. Sehingga setelah Raker ini diharapkan seluruh kegiatan yang berlangsung di GKJ Ambarawa dapat dipahami serta didukung dengan baik oleh segenap warga jemaat.
Kegiatan Raker:
Kegiatan Raker 2011 akan kita kerjakan dengan Jadual sebagai berikut:
1.Pemahaman Tema/Arah kebijakan Program GKJ Ambarawa tahun 2011.
Kita akan menggumuli tema ini untuk dijadikan sebagai detak nadi dari seluruh kegiatan yang dikerjakan di GKJ Ambarawa. Tema diharapkan menjadi nafas serta panduan dalam mencapai suatu tujuan dari seluruh kegiatan. Pemahaman akan tema kita lakukan dalam suatu waktu khusus dalam satu session serta didukung lewat Bacaan-bacaan renungan yang dilakukan selama Raker.
2.Pemahaman Program Majelis dan Badan Pembantu Majelis.
Kita akan menjernihkan pemahaman secara bersama tentang apa-apa yang menjadi Kebijakan Majelis dalam Bidang Kegiatan serta dalam Bidang Keuangan. Untuk Bidang Kegiatan mengacu pada Tabel Kegiatan yang disisipkan dalam buku SMT serta Akta SMT 2010 dan Akta SMT 2011. Untuk Bidang Keuangan akan mencermati APBG 2011 serta kebijakan Keuangan yang akan diambil oleh Majelis. APBG juga bisa dilihat dalam Buku SMT.
Hal yang sama akan kita kerjakan untuk Program Badan pembantu Majelis (seluruh Kelompok serta Komisi dan Tim). Kita akan bersama memahami seluruh kegiatan berdasar perspektif masing-masing Badan Pembantu Majelis. Jadi tidak akan lagi terjadi koreksi atau perbaikan terhadap apa yang sudah direncanakan oleh Badan Pembantu Majelis.
3.Pemetaan Waktu, Daya dan Dana.
Jika kita sudah memahami bersama seluruh program maka langkah selanjutnya kita akan melakukan pemetaan bersama. Pemetaan dari segi Waktu pelaksanaan, Sumber Daya Manusia (SDM) yang melakukan serta yang akan terlibat dalam suatu kegiatan, serta Dana yang diperlukan dalam suatu kegiatan. Harapan kita setelah terjadi pemetaan, hasil pemetaan itu menjadi acuan bersama serta kesepakatan bersama untuk dilakukan.
Partisipasi dan Peran Peserta Raker:
1. Anggota Majelis:
· Berperan dan berpartisipasi untuk menjelaskan Tema/Arah Kebijakan Program 2011.
· Berperan dan berpartisipasi untuk menjelaskan Kegiatan tahun 2011 berdasar Akta 2010, Akta 2011 serta Tabel Kegiatan 2011.
· Berperan dan berpartisipasi untuk menjelaskan Kebijakan Keuangan 2011 berdasar APBG 2011.
2. Anggota Majelis Pemerhati Komisi/Tim:
· Bersama dengan Ketua Komisi/Unsur Komisi berperan dan berpartisipasi untuk menjelaskan Kegiatan serta Keuangan Komisi/Tim tahun 2011.
3. Anggota Majelis Pamong Kelompok:
· Bersama dengan Ketua Kelompok berperan dan berpartisipasi untuk menjelaskan Kegiatan serta Keuangan Kelompok tahun 2011.
4. Anggota Majelis Panitia Raker:
· Terlibat aktif untuk menfasilitasi seluruh kegiatan raker.
· Penanggungjawab pelaksanaan pemetaan.
· Melaporkan hasil Raker dalam Pleno Maret.
ACARA RAKER :
No | Waktu | Kegiatan | Penangungjawab |
1 | 14.00-15.00 WIB | Pemberangkatan ke Villa Bandungan | Seksi Transportasi |
2 | 15.00-15.30 WIB | Persiapan dan Penjelasan Kegiatan | Seksi Acara |
3 | 15.30-16.00 WIB | Ibadah Pembukaan | Bp. E.Adi Gunawan |
4 | 16.00-17.30 WIB | Kepemimpinan adalah Pelayanan | Bp. Pdt . Setyo Utomo |
5 | 17.30-18.30 WIB | Mandi dan makan malam | Seksi Konsumsi |
6 | 18.30-19.30 WIB | Diskusi Kelompok (dalam kelompok: MPH, Kategorial, Fungsional, Wilayah) | Pemandu MPH: Bp. Suyito Pemandu Kategorial: Bp. Tri Kurnia. Pemandu Fungsional: Bp. Dewanto Teguh P Pemandu Wilayah: Bp. BW. Heru Santoso |
7 | 19.30-20.30 WIB | Pemaparan Kelompok (MPH, Kategorial, Fungsional, Wilayah) | Masing2 kelompok MPH, Kategorial, Fungsional, Wilayah |
8 | 20.30-22.00 WIB | Pemetaan I (dalam kelompok: Waktu, Daya, Dana) | (Pemandu Pemetaan: Waktu: Bp.E.Adi Gunawan, Daya: Bp. Suyito, Dana: Ibu.Sri Lestari) |
9 | 22.00-22.10 WIB | Refleksi Malam | Ibu Sri Lestari MC |
10 | 22.10-06.00 WIB | Tidur | |
11 | 06.00-07.00 WIB | Mandi dan Makan Pagi | Seksi Konsumsi |
12 | 07.00-07.15 WIB | Refleksi Pagi | Bp.Ponco Setyoyuni |
13 | 07.15-08.30 WIB | Pemetaan II (dalam kelompok: Waktu, Daya, Dana) | Masing2 kelompok |
14 | 08.30-10.30 | Paparan hasil Kelompok pemetaan | Bp.Setyo Utomo |
15 | 10.30-11.00 | Snack | Seksi Konsumsi |
16 | 11.00-11.30 WIB | Kesimpulan akhir hasil Paparan | Ibu Sri Lestari MC/Bp.Suyito/ Bp.E.Adi Gunawan |
17 | 11.30-12.00 WIB | Ibadah Penutup | Bp.Tri Kurnia Kristyawan |
18 | 12.00-12.30 WIB | Makan Siang | Seksi Konsumsi |
19 | 12.30-13.00 WIB | Turun Ambarawa | Seksi Transportasi |
Tugas dan Kegiatan tiap-tiap kelompok diskusi:
Dalam Raker 2011 ada 2 jenis Kelompok diskusi yaitu Kelompok Awal Pemetaan dan Kelompok Pemetaan. Masing-masing kelompok dipandu oleh salah satu anggota majelis.
1. Kelompok berdasar MPH, Kategorial dan Fungsional serta Wilayah.
1.1.Terdiri atas:
a. Kelompok MPH dipandu Bp.Suyito
b. Kelompok Kategorial (Anak-Adiyuswa) dipandu Bp.Tri Kurnia K
c. Kelompok Fungsional (Pralenan-Tim-tim) dipandu Bp.Dewanto Teguh Prakosa
d.Kelompok Wilayah (Kel 1- Banyubiru) dipandu Bp.BW Heru Santoso
1.2.Panduan Diskusi Kelompok MPH/Kategorial/Fungsional/Wilayah:
Dalam Kelompok diperjelas segala sesuatu mengenai Waktu pelaksanaan Kegiatan, Daya/Person yang aktif serta yang terlibat, serta Dana yang diperlukan (juga bagaimana dana akan didapat).
2.Kelompok Pemetaan
2.1.Terdiri atas:
a. Kelompok Waktu (Bp.E.Adi Gunawan)
b. Kelompok Daya (Bp Suyito)
c. Kelompok Dana (Ibu Sri Lestari MC)
2.2.Panduan kelompok Pemetaan:
a. Kelompok Waktu (Schedul Time):
Membuat tabel waktu kegiatan (mingguan) selama satu (1) tahun. Memasukkan kegiatan-kegiatan Majelis, Komisi, Kelompok dalam tabel.
b. Kelompok Daya (Man Power):
Menentukan personil dalam kepanitiaan-kepanitiaan yang diperlukan GKJ Ambarawa selama 1 Tahun.
c. Kelompok Dana:
· Mendistribusi waktu penggalian dana bagi suatu kegiatan.
· Menentukan skala prioritas penggalian dana yang dimungkinkan bagi kegiatan GKJ Ambarawa
IBADAH PEMBUKAAN
Persiapan
KJ.046 BESARKAN NAMA TUHAN
1. Besarkan nama Tuhan, Haleluya;
Kasihnya tak berkurang, Haleluya!
Sekali pun keluhan Menimpa umat-Nya,
Berkat-Nya di temukan, Haleluya!
2. Dib’ri-Nya hidup baru, Gelap menjadi t’rang;
Sabda-Nya besertamu Di ngarai yang kelam.
Hai kamu yang selalu Pada-Nya berpegang,
Tak usah ragu-ragu: Tuntunan-Nya tent’ram!
Salam
P : Mari ibadah Pembukaan Raker ini kita khususkan dengan pengakuan demikian:
“Sesungguhnya pertolongan kita ada di dalam nama Allah Pencipta langit dan bumi!”.
S : Ya, kiranya Ia senantiasa menolong dan menuntun kita.
P : Ajarlah kami Tuhan untuk menghitung hari supaya kami beroleh hati yang bijaksana.
S : Hati kami siap, ya Allah, hati kami siap!
P : Salam damai sejahtera dari Allah Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus, menyertai kita
sekalian. Amin.
Doa
Pelayanan Firman
Efesus 4:1-6
Kesatuan Roh Dalam Ikatan Damai Sejahtera
Dalam ajaran GKJ persekutuan dinyatakan bukan lagi sebagai suatu tugas gereja melainkan sebagai suatu kemestian yang tidak terhindarkan ketika gereja mewujudkan diri sebagai kehidupan bersama relegius. Karena itu persekutuan menjadi hakekat gereja sehingga tanpa persekutuan gereja kehilangan hakekatnya sebagai gereja. Dalam raker ini kita perlu bertanya: apakah gereja kita dalam kenyataannya sudah menampilkan persekutuan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan?
Dalam bacaan kita Paulus mengingatkan jemaat efesus agar mereka mampu menampakkan persekutuan yang menjadi hakekatnya sebagai tubuh Kristus. Jemaat dipanggil untuk hidup berpadanan dengan panggilannya. Berpadanan artinya hidupnya harus sesuai dengan hakekatnya sebagai tubuh Kristus dan itu dijelaskan sebagai berikut:
1.Hidup dalam kesatuan Roh (ayat 3)
Gereja harus menyadari hidupnya telah dipersatukan dalam satu ikatan oleh Roh. Roh yang telah berkarya menyatukan. Roh pula yang akan memampukan orang beriman untuk menjaga dan memelihara kesatuan tersebut. Peran Roh Kudus harus selalu disadari dan diberi tempat dalam jemaat sehingga jemaat mampu menampakkan diri sebagai tubuh Kristus.
2.Kesatuan Roh diwarnai oleh ikatan damai sejahtera.
Ikatan satu Roh harus dipraktekkan dalam suasana dan semangat damai sejahtera. Ikatan tersebut tidak dalam ikatan untuk saling memanfaatkan atau saling menindas tetapi dalam suasana yang saling peduli, saling menghargai dan juga saling terbuka untuk saling membangun dengan sikap rendah hati, lemah lembut, sabar dan kasih (ayat 2). Kesatuan Roh tersebut juga diwarnai adanya kesatuan pengharapan (ayat 4). Semua anggota sama-sama hidupnya dilandaskan pada pengharapan yang telah dianugerahkan oleh Allah.
KPK BMGJ 310. GREJA PRASASAT BAITA
1. Greja prasasat baita neng tengah samodra
Kristus kang dadya panutan enering lampahnya
nadyan tan sepi bebaya ombak Ian prahara
mesthi tulus kang sinedya gisiking sampurna
angger tansah tan suwala mring sagung pangrehnya
temah sembada widada kalis sing rubeda
Reff :
Ayo di sedya tulung tinulung tunggal sedya karya aneng Sang Pamarta
ngantos salaminya.
2. Greja prasasat baita neng tengah samodra,
Kristus kang dadya panutan enering lampahnya,
manuta pandoming lampah nggih sabdaning Allah,
nyingkirana watu karang sengseming kadonyan,
mrih tan nemahi cilaka kerem ing samodra,
temahan tan bisa dadi seksinipun Gusti,
Reff :
Doa Bapa Kami
Berkat
P : TUHAN memberkati kita dan melindungi kita; TUHAN menyinari kita dengan wajah-Nya dan memberi kita kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepada kita dan memberi kita damai sejahtera.
S: Amin
LITURGI REFLEKSI MALAM
Persiapan
KJ Kj.395 Betapa indah harinya
1. Betapa indah harinya Saat kupilih Penebus.
Alangkah suka citanya, ‘ku memb’rita-kannya terus.
Refr:
Indahlah harinya Yesus membasuh dosaku.
‘ku diajari Penebus Berjaga dan berdoa t’rus.
Indahlah harinya Yesus membasuh dosaku.
2. Betapa indah janjinya Yang t’lah mengikat hatiku;
Kub’ri kasihku padanya Serta menyanyi bersyukur! Refr:
Doa
Renungan
Efesus 4:15-16
Menuju kesempurnaan panggilan pelayanan
Menyatakan kebenaran dalam kasih (ayat 15)
Ayat ini memuat nasehat Paulus kepada jemaat Efesus yang sedemikian kaya dengan karunia dari Tuhan yesus Kristus. Tuhan Yesus telah memanggil orang percaya untuk menjadi pelayan-pelayan-Nya sebagai rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita Injil maupun gembala-gembala.
Nampaknya selain mereka ada pula orang-orang yang mengaku sebagai pelayan-pelayan Tuhan, namun menurut Paulus ajaran yang disampaikan adalah pengajaran yang menyesatkan. Sebab pengajaran itu berasal dari hikmat manusia, dengan maksud tersembunyi yang penuh dengan kelicikan. Realitas ini menurut Paulus harus dihadapi dengan dewasa. Wujud dari kedewasaan adalah jemaat teguh terhadap pengajaran dan kebenaran yang selama ini telah mereka terima dari pelayan-pelayan Kristus. Mereka tidak boleh diam atau bahkan seperti anak kecil yang mudah terkena “iming-iming”. Sebagai jemaat dewasamereka harus memapu menyatakan kebenaran dengan keyakinan imannya. Yang menarik adalah bagaimana kebenaran yang disampaikan haruslah dengan kasih. Artinya tetap menjunjung sikap hormat menghormati dan saling menghargai. Penggunaan istilah “anak kecil” dan “orang dewasa”menunjukkan suatu harapan agar jemaat bersikap kritis terhadap berbagai hal sehingga jemaat akan mampu bertumbuh dengan lebih baik dalam hal pemahaman menuju peningkatan kualitas iman. Demikian juga dalam hal penyampaian pendapat seharusnya disampaikan dengan penuh kasih.
Keteguhan memegang kebenaran harus tetap dalam roh/jiwa cinta kasih yang membangun. Sehingga hasilnya bukan luka, permusuhan, omong kosong, atau asl debat/apalagi asal beda pendapat, namun masing-masing menjadi tumbuh dalam segala hal, baik dalam hal pengetahuan, kesabaran dan kedewasaan, yang mengarah kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi Kepala.
Tersusun rapi dan saling terhubung (ayat 16)
Ayat ini menggambarkan adanya suatu system kerja bagi karya pelayanan. Gambaran tubuh dengan banyak organ yang terkait/terhubung satu dengan yang lainnya. Tuhan Yesus menjadi Kepala, jemaat menjadi anggota tubuh. Kepala memang satu, namun anggota yang lain begitu banyak dan kompleks. Bagian yang satu terhubung dengan bagian yang lain dengan sangat erat, bahkan yang satu bisa berpengaruh terhadap bagian yang lain, tangan berpengaruh pada otak, pada jantung dll.
Demikian juga dengan jemaat Efesus yang kaya dalam hal karunia, tidak berjalan sendiri-sendiri atau menjegal yang satu dengan yang lain, sebaliknya Tuhan Allah mengharapkan jemaat hidup dalam kebersamaan yang sejati. Salah satu wujud kebersamaan itu adalah kesediaan untuk menata diri melakukan komunikasi dan koordinasi yang baik, agar semuanya menjadi susunan/system yang rapi. Koordinasi yang rapi akan menjadikan jemaat mampu mengembangkan talenta yang dimiliki, sebab akan mendapatkan kekuatan yang senantiasa diperbaharui. Kekuatan itu memampukan jemaat mengembangkan pelayannya. Jika tiap-tiap bagian bekerja secara maksimal sesuai dengan tugas panggilannyamaka seluruh bagian yang terkait akan juga mampu bertumbuh secara maksimal sesuai dengan kehendak Tuhan.
KJ 422 Yesus berpesan
Yesus berpesan
1. Yesus berpesan: dalam malam g’lap kamu harus
Jadi lilin gemerlap; anak masing-masing
Di sekitarnya, dalam dunia ini bersinarlah.
2. Yesus berpesan: bersinarlah t’rang; lilinmu
Kulihat malam dan siang. Anak masing-masing
Disekitarnya, untuk hormat Tuhan bersinarlah!
Doa
LITURGI REFLEKSI PAGI
Persiapan
KJ.400 - Kudaki Jalan Mulia
1. Kudaki jalan mulia; tetap doaku inilah:
“ke tempat tinggi dan teguh, Tuhan, Mantapkan langkahku!”
Refr:
Ya Tuhan, angkat diriku lebih dekat Kepadamu;
di tempat tinggi dan teguh, Tuhan, mantapkan langkahku!
2. Ku tidak mau menetap di dalam bimbang dan Gelap;
rinduanku, tujuanku: Tempat yang tinggi dan teguh. Refr:
Doa
Renungan
Bacaan: Yohanes 21:18
Kedewasaan Rohani: Dipimpin orang lain?
Definisi kedewasaan sudah banyak diberikan oleh berbagai ahli dalam berbagai bidang. Rumusan formal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (mis: coblosan pemilu) mengatakan bahwa orang dapat dikatakan dewasa makala berusia 17 tahun atau sudah menikah. Dalam UU Perkawinan juga mensyaratkan bahwa seorang laki-laki dikatakan dewasa bila mencapai usia 17, sementara wanita 16 tahun. Apabila kurang dari itu harus ada ijin dari orang tua. Ada banyak lagi definisi yang ada di sekitar kata dewasa.
Lantas bagaimana konsep kita tentang kedewasaan?
Kedewasaan sering dipahami sebagai suatu keadaan serta kemampuan untuk memimpin dan membawa orang lain ke tempat yang kita kehendaki. Sebab kedewasaan sering dikaitkan dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan. Seringkali dihubungkan dengan kepemimpinan. (leadership), kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Hal ini mengandaikan bahwa orang lain harus dipimpin karena belum dewasa.
Itu berarti kedewasaan berarti kemampuan membawa orang lain untuk berpikir serta bertindak seperti kita “para orang yang sudah dewasa?” Tanpa sadar kita menjadikan orang lain menjadi obyek yang harus kita arah-arahkan, karena kita punya asumsi bahwa mereka tidak mampu membuat pilihan yang tepat untuk diri mereka sendiri. Belum dapat melakukan hal yang benar, bila seorang diri. Kita jadikan mereka sebagai obyek dan bukan subyek. Kita pemimpin dan mereka adalah yang dipimpin.
Apakah gambaran seperti itu kita dapati dalam bacaan kita? Gambaran sikap yang dewasa digambarkan …dibaca sekali lagi!!!!
Kedewasaan adalah kemampuan serta kesediaan diri untuk terus menerus dipimpin dan diarahkan oleh orang lain. Orang dewasa adalah mereka yang bersedia mengulurkan tangan untuk dipimpin dan diarahkan oleh orang lain, bahkan menuju pada suatu tempat yang tidak kita kehendaki.
Sementara itu sikap yang tidak dewasa adalah sikap yang “takut” diarahkan dan dipimpin oleh orang lain. Takut bila berhadapan dengan pola piker dan cara tindak serta budaya orang lain yang tidak sesuai dengan gagasan yang kita miliki. Ini berarti sangat bertolak belakang dengan pandangan umum kita bahwa orang dewasa justru adalah yang mampu mengurus orang lain, bukan malahan diurus oleh orang lain.
Tanya: mengapa kita sulit mencapai kedewasaan seperti yang disampaikan Tuhan Yesus?
Manusia cenderung konservatif, patok bangkrong. Mengingkari kemampuan diri untuk terus menerus berubah pikiran, ke arah yang lebih baik.
Karena konservatif, maka cenderung memutlakkan kebenaran dan pendapat serta pengalamannya sendiri sebagai suatu kebenaran, pengalaman serta pengetahuan yang mutlak benar.
Orang yang dewasa justru sadar bahwa kebenaran yang dimiliki tidaklah mutlak. Dia tetap memiliki fungsi kritis bagi diri sendiri. Kritis pada pengalaman dan kebenarannya sendiri. Orang dewasa adalah orang yang mau belajar dari orang lain, terus menerus belajar dan tidak berhenti untuk belajar. Jikalau ternyata pendapat orang lain ternyata lebih bijaksana, mengapa tidak kita anut?
Kemampuan untuk berganti pendirian disini ditujukan pada Petrus. Kita tahu siapa petrus. Orang yang selama ini mencolok. Meguguk makota waton. Berpendapat bahwa pendiriaannya lah yang paling benar.
Sikap yang demikian harus dimiliki oleh petrus karena ia harus menjadi gembala. Selama ini Petrus hanya peduli pada diri sendiri, pendapat sendiri, tidak pada orang lain atau pendapat orang lain. Simon selama ini telah menjadi anak-anak yang hanya menuruti keinginannya sendiri. Itulah sebabnya ia jatuh menyangkal 3 kali.
Itu karena Simon belum memiliki kasih yang dewasa. Lihat pertanyaan untuk Simon sampai 3 kali…semua pada kata kasih. Kata kasih yang pertama dan kedua..itu artinya agape,, kasih ilahi tanpa pamrih. Kasih yang demi orang lain.
Lalu apa hubungan kasih agape dengan kedewasaan?
Kasih agape berfokus pada orang lain. Berani merendahkan diri.
Apakah lalu harus waton nurut, tidak!!!! Mengasihi itu bertujuan untuk keselamatan orang lain. Sejauh untuk keselamatan orang lain, kita juga harus kritis pada orang lain. Tentunya harus dengan bijaksana. Eman papan.
Kedewasaan dapat kita simpulkan dalam dua gerak:
Gerak ke dalam..mengulurkan tangan
Mengajak dan mengarahkan orang agar diselamatkan.
Itulah kedewasaan!
Pujian
KJ..408 - Di jalanku ‘ku diiring
1. Di jalanku ‘ku diiring oleh Yesus, Tuhanku.
Apakah yang kurang lagi, jika dia panduku?
Diberi damai sorgawi, asal imanku teguh.
Suka duka di pakainya untuk kebaikanku;
Suka duka di pakainya untuk kebaikanmu.
2. Di jalanku yang berliku dihiburnya hatiku;
Bila tiba pencobaan, dikuatkan imanku.
Jika aku kehausan dan langkahku tak tetap,
Dari cadas di depanku datang air yang sedap;
Dari cadas di depanku datang air yang sedap.
Doa
IBADAH PENUTUP
Persiapan
KJ 415 - Gembala baik bersuling nan merdu
1. Gembala baik bersuling nan merdu membimbing
Aku pada air tenang, dan membaringkan aku
Berteduh di padang rumput hijau berkenan
Refr:
O, gembalaku itu Tuhanku, membuat aku
Tent’ram hening. Mengalir dalam sungai
Kasihku kuasa damai cerlang bening.
2. Kepada domba haus dan lesu, gembala baik
Memb’rikan air segar; ke dalam hati haus dan
Sendu dib’rinya air hidup yang benar. Refr:
Doa
Renungan
Matius 6:5-15
BERDOA
Kata banyak orang Kristen Doa adalah nafas hidup orang percaya. Mengapa orang Kristen menempatkan doa seolah seperti “nafas”? Menempatkan doa sebagai suatu kegiatan rohani yang begitu mahapenting bak “sebuah nafas” yang menentukan sebuah organisme dikatakan hidup. Dan mengapa kita sebagai orang percaya perlu mendisiplinkan diri untuk berdoa secara teratur?
Pada hakikatnya doa adalah suatu cara orang beragama untuk mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah. Sebagai suatu bentuk ‘Cara” memang doa sama dengan cara-cara yang lain. Akan tetapi doa memiliki tujuan yang khas yaitu untuk menyatakan sembah kepada Allah dengan mengakui kemahakuasaan serta kemuliaan nama-Nya, menghayati penyertaan Allah di dalam kehidupan, menyatakan syukur atas segala yang telah kita terima dan kita alami di dalam kehidupan yang disertai oleh Allah, dan memohon pertolongan Allah untuk campur tangan di dalam kehidupan kita.
Mengingat pernyataan di atas perlu kiranya kita belajar tentang doa Kristen khususnya yang telah diajarkan sendiri oleh Tuhan Yesus melalui kesaksian Injil Matius 6:5-15. Harapan yang terkandung melalui uraian ini penulis dapat mengkaji ulang akan doa-doa dan kebiasaan doa yang telah penulis lakukan.
Di dalam ayat 5 Tuhan mengajarkan bagaimana kita mesti berdoa. Kita tidak perlu mengucapkan doa kita dengan suara yang keras dan beruapaya menunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang berdoa, karena jika kita demikian maka ibaratnya kita seperti orang yang munafik. Bagaimana Tuha Yesus dapat mengatakan yang demikian? Tuhan Yesus melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh orang-orang farisi dan Ahli Taurat pada jaman-Nya. Mereka melakukan doa-doa dengan suara yang keras dengan harapan dilihat dan diketahui oleh banyak orang. Tentunya dengan maksud agar mereka bisa mendapat lebel sebagai orang yang saleh dan rajin berdoa. Motivasi yang salah dalam berdoa menjadi perhatian Tuhan Yesus karena hakikat doa adalah ditujuakan kepada Allah dan bukan ditujukan kepada sesame manusia untuk dilihat.
Lalu bagaimana kita harus berdoa? Dalam ayat 6 Tuhan memerintahkan kepada kita, apabila kita berdoa, kita hendaklah masuk dalam sebuah kamar, menutup pintu dan berdoa kepada Bapa yang ada di tempat tersembunyi. Dengan begitu Bapa kita yang di Surga akan menjawab doa-doa kita. Cara seperti ini diajarkan agar para murid Tuhan Yesus termasuk kita agar terhindar dari bahaya adanya motifasi yang keliru dalam berdoa.
Doa bukanlah serentetan kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut kita, untuk itu Tuhan mengajarkan pada kita untuk tidak bertele-tele dalam berdoa. Bukan indahnya dan banyaknya kata-kata yang membuat doa kita terkabul. Bapa kita di Surga tahu semua apa yang kita butuhkan sebelum kita meminta kepada-Nya (ayat 7-8).
Ajaran Tuhan Yesus tentang hal ini juga masih berkaitan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang Farisi pada jaman-Nya. Harapan yang terkandung dalam doa-doa orang Farisi adalah selain agar mereka dikatakan sebagai orang yang saleh dan rajin berdoa, mereka ternyata ahli pula dalam menyusun dan merangkai kata dalam doa-doa mereka. Lalu membuat doa mereka tak ubahnya seperti “pentas ketrampilan dan kemahiran’. Tuhan Yesus menegur keras kebiasaan ini karena kebiasaan ini jelas-jelas menggeser hakikat doa yang ditujukan kepada Allah yang mahatahu akan segala isi hati serta kebutuhan manusia.
Selain itu pengucapan kata-kata yang bertele-tele merubah hakikat doa menjadi sebuah mantera. Doa yang diulang-ulang dilakukan mengandaikan Tuhan yang tidak dapat mendengarkan. Doa yang diulang-ulang juga seolah dipahami sebagai sarana untuk memaksa agar isi doa dapat dikabulkan. Jelas ada suatu anggapan yang salah terhadap siapa Allah yang dimana menjadi sasaran dari doa.
Oleh karena itu Tuhan mengajarkan pada kita contoh doa yang cocok dengan segala syarat, yang telah diletakkan-Nya sebagai dasar bagi doa yang benar, yaitu Doa Bapa kami (ayat 9-13).
Dalam Doa Bapa kami ini Tuhan Yesus memberikan contoh mengenai isi utama dari doa:
- Bapa kami
Menyapa Allah sebagai Bapa berarti memandang Dia dalam iman, sebagai yang dekat dengan kita dalam kasih dan anugerah-Nya. Di sini terkandung suatu keyakinan akan siapa Allah kita, yaitu Dia yang adalah sebagai Bapa.
Penggunaan kata “kami” ini juga hendak menunjukkan bahwa ada kebersamaan pemahaman antara kita dengan segenap orang percaya. Allah bukanlah “milik” perorangan, tapi Ia adalah Allah yang untuk semua yang percaya. Dengan demikian terkandung suapa pengertian bahwa Ia bersedia dekat dengan kita segenap orang yang percaya kepada-nya.
- Yang di surga
Berarti kita mengungkapkan penghormatan kudus bagi-Nya yang adalah pemerintah yang mahakuasa atas langit dan bumi.
- Dikuduskan nama-Mu
Permohonan agar Allah memampukan kita dan semua manusia untuk mengakui dan memuliakan Dia.
- Datanglah Kerajaan-Mu
Permohonan agar Allah membiarkan pemerintahan dan kedaulatan ilahi-Nya terus menerus dan dengan senantiasa dengan penuh kemuliaan memperoleh tempat yang tepat.
- Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di Surga
Setiap orang percaya wajib berdoa agar kehendak Allah dilaksanakan dengan cara yang sama oleh semua orang di bumi.
- Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Memohon agar Allah sebagai Bapa surgawi memberikan atas apa yang menjadi tuntutan kebutuhan jasmani kita. Istilah makanan di sini mencakup segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup di dunia ini.
- Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Permohonan pengampunan sekaligus pengakuan karena barang siapa mohon pengampunan maka pada saat itu ia mengakui juga dalam keadaan berdoa.
- Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan
Memohon kepada-Nya agar tidak membiarkan kita dibawa dalam keadaan-keadaan yang mengandung pencobaan yang berat menuju dosa.
- Karena Engkaulah yang punya Kerajaan, dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Sebuah kata akhir yang berupa pujian.
Supaya dapat sungguh-sungguh berdoa kepada Allah, memohon pengampunan dosa serta tanpa jatuh dalam kemunafikan kita harus bebas dari setiap kebencian dan keinginan membalas dendam. Hanya apabila Allah telah bersungguh-sungguh mengampuni orang yang bersalah kepada kita, barulah kita dapat memanjatkan doa yang benar bagi pengampunan dosa kita. Tuntutan bahwa kita harus bebas dari ketidaksungguhan dan kemunafikan tatkala kita berdoa memohon pengampunan dosa kita diperhatikan sungguh-sungguh oleh tuhan Yesus (ayat 14-15).
KJ.412 - Tuntun aku, Tuhan Allah
1. Tuntun aku, Tuhan Allah, lewat gurun dunia.
Kau perkasa dan setia; bimbing aku yang lemah.
Roti sorga, roti sorga, puaskanlah jiwaku,
Puaskanlah jiwaku.
2. Buka sumber air hidup, penyembuhan jiwaku,
Dan berjalanlah di muka dengan tiang awanmu.
Jurus’lamat, Jurus’lamat, Kau perisai hidupku,
Kau perisai hidupku.
Pengutusan dan Berkat
P : “Carilah Tuhan di saat saudara hidup, di saat saudara belajar, di saat saudara
bekerja, saat saudara melayani, bahkan saat saudara beristirahat. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Ia dijumpai oleh setiap hati yang mau mendengar dan menerima-Nya.
Kini mari kita terima berkat Tuhan:” Kasih karunia dari Allah Bapa dan Tuhan kita Yesus Kristus, oleh pertolongan Roh Kudus, memampukan kita menemukan arti dan tujuan hidup, dan memampukan kita hidup dalam jalan-Nya yang mulia.”
S : Amin
Bahan Raker
Kepemimpinan sebagai Pelayanan terhadap Karisma-Karisma
Tidak mudah membuat catatan teologis praktis mengenai kepemimpinan. Dengan kepemimpinan kita maksudkan terutama lembaga-lembaga jabatan seperti dewan gereja. Banyak butir yang dikemukakan disini berlaku pula untuk posisi-posisi pimpinan yang lain seperti pemimpin pembicaraan dalam lingkungan, kelompok kerja dan lebih umum juga untuk relasi-relasi antara anggota jemaat. Maka berlaku juga bagi apa yang dikatakan mengenai ciri khas kepemimpinan.
Sebabnya mengapa sulit untuk menulis mengenai kepemimpinan berdasarkan teologi praktis tidak hanya karena ada banyak perbedaan pendapat dan ketidakjelasan, melainkan juga karena secara relative dalam teologi tidak ada terlalu banyak perhatian terhadap pertanyaan kita. Dalam teologi yang berhubungan dengan jabatan lebih dibicarakan pertanyaan mengenai asalnya (dari atas atau dari bawah), wibawanya dan dasar kewibawaannya, dari pada mengenai pertanyaan bagaimana dalam jemaat kepemimpinan dapat diwujudkan sedemikian rupa sehingga orang dapat berpartisipasi dengan senang hati dan secara efektif. Padahal itu sangat penting bagi praktek pembangunan jemaat. Distingsi(jarak) antara pendekatan normative dan empiris antara perhatian untuk hakikat (misalnya hakikat jabatan) di satu pihak dan untuk proses dan struktur di lain pihak, mengandung resiko bahwa teologi jabatan dan praktis jabatan makin jauh satu dari yang lain. Akibatnya ialah kerugian bagi kedua-duanya. Perhatian yang minim dari teologi untuk pertanyaan kita memaksa kita untuk membatasi diri pada pertanyaan : sejauh manakah unsur-unsur yang kita terangkan sebagai efektif dapat diterima dari sudut teologi.
Ciri-ciri Jabatan
Disini bukan tempatnya untuk memberikan rangkuman historis mengenai teologi jabatan. Kiranya relevan mencatat bahwa dalam jemaat-jemaat kristiani pertama hampir tidak ditemukan bahwa kepemimpinan dalam arti satu person atau badan diserahi tugas untuk menjalankan kepemimpinan (bdk. Surat-surat Paulus) atau hanya dalam arti terbatas (bdk, surat-surat Petrus) (lihat Barret 1988, 31, 40).
Akan tetapi tentu saja dalam Surat2 Petrus maupun Paulus ada nada “diberi pimpinan”; diberikan impuls-impuls (rangsangan) kearah tertentu, ada keprihatinan terhadap kesatuan jemaat, perhatian terhadap mereka yang mengalami kesusahan, dicari dan ditemukan sarana untuk memungkinkan berfungsinya jemaat (uang, rumah orang yang berada, dalam mana jemaat kecil dapat berkumpul). Pendeknya kepemimpinan sebagai fungsi betul-betul ada tetapi tersebar atas anggota-anggota jemaat, dalam prinsipnya atas semua. Demikianlah Barret dapat mengatakan bahwa dalam surat-surat Paulus semua anggota menjalankan jabatan.
Tidak ada tindakan yang dikecualikan, pun tidak tindakan yang dewasa ini dikhususkan untuk pejabat-pejabat seperti menjalankan disiplin – nasihatilah seorang akan yang lain (1 Tes 5 : 11) – dan mendahului dalam ibadat. Demikianlah Paulus tidak menggambarkan ibadat jemaat sebagai buah dari tata liturgis tertentu, akan tetapi sebagai hasil dari sumbangan-sumbangan seluruh jemaat, kalau jemaat berkumpul semua anggota membawa sesuatu; yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau perwahyuan, atau lidah atau tafsiran (1 Kor 14 : 26).
Semua berpartisipasi dan semua mampu berpartisipasi – mereka malah dianggap mampu oleh orang dewasa dengan wibawa yang besar seperti Paulus – oleh karena mereka telah menerima karisma-karisma dari Roh, pemberian rahmat. Yang membuat kemampuan manusia itu menjadi karisma ialah bahwa pemberian itu oleh mereka yang menerimanya dimanfaatkan untuk melayani orang lain dan pembangunan jemaat. Inilah tolok ukur untuk melihat apakah ada usaha manusiawi saja, yang dipakai demi keuntungannya sendiri (memperoleh kuasa, hormat, kekayaan) atau ada karisma. Ciri khas karisma ialah pelayanan. Cara memimpin seperti diatas, dimana pada prinsipnya kepemimpinan tersebar atas semua anggota, dimungkinkan antara lain oleh karena jemaat-jemaat perdana merupakan kelompok yang relative kecil (jemaat rumah).
Jemaat-jemaat itu memang lebih mudah daripada kelompok besar, dapat berjalan tanpa fungsionaris dan dewan yang khusus diangkat untuk memimpin–walaupun kadang-kadang kelompok kecil pun kurang berfungsi karena tidak ada orang yang diangkat secara khusus. Bagaimanapun juga, kalau kelompok bertambah besar maka munculnya fungsionaris serta lembaga spesifik tidak dapat dihindarkan. Lama kelamaan mereka muncul. Maka terjadi situasi baru. Tetapi, situasi baru tidak merupakan perpecahan dengan situasi awal, karena bagi peran-peran serta posisi-posisi formal yang baru tetap berlaku ciri-ciri yang lama. Artinya bahwa kemampuan untuk memimpin dilihat sebagai karisma, diterima dari Roh yang sama yang mencurahkan karisma-karisma lain juga. Artinya bahwa legitimasi rohani bagi pejabat dan orang beriman pada prinsipnya sama. Maka Haring dapat menyebut jabatan sebagai karisma diantara karisma-karisma (1979,84). Yang satu mendapat karisma ini, yang lain karisma lain ; semua karisma perlu dan tidak ada satupun yang tidak dibutuhkan. Hal itu diperjelas dengan symbol tubuh, dalam mana anggota tubuh yang lain : saya tidak membutuhkan kamu (1 Kor 12:31). Maka mata tidak dapat berkata kepada tangan ; aku tidak membutuhkan engkau, dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki ; aku tidak membutuhkan engkau.
Karisma yang satu tidak lebih penting daripada yang lain; tidak ada hierarki dalam karisma-karisma. Andaikata ada kierarki, maka hierarki itu berbeda sekali dengan hierarki yang lazim diterima dalam masyarakat. Hal itu diperlihatkan Paulus lewat symbol tubuh juga (1 Kor 12:22). Selanjutnya fakta bahwa memimpin dilihat sebagai karisma berarti bahwa hakikat memimpin ialah melayani dan bukan memerintah. Hal itu mengimplisitkan penolakan berpikir secara hierarkis yang satu diatas atau dibawah yang lain, pemimpin dan penganut, imam dan awam, tuan dan hamba. Penolakan ini menggemakan kata Yesus kepada murid-murid-Nya. “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu rabimu dan kamu semua saudara” (Mat 23:8).
Ciri jabatan ialah pelayanan. Itulah perannya. Oleh karena selalu ada bahwa kepemimpinan berkembang kearah pemerintahan – termasuk mengejar kuasa, kehormatan dan gengsi-maka dipakai istilah yang sama sekali tidak ada asosiasi dengannya yaitu diakonia. Pejabat adalah pelayan menurut teladan Yesus Kristus, yang tidak datang untuk dilayani melainkan untuk melayani. Simbol-simbol yang cocok untuk peran itu ialah baskom dan handuk, alat untuk membasuh kaki. Maka tempat utama dimana memimpin harus dilihat sebagai melayani, dan tempat utama dimana harus terjadi hal de-emphasizing status (tidak lagi mementingkan status), ialah jemaat.
Ciri jabatan ialah pelayanan, sama dengan karisma-karisma yang lain. Yang spesifik bagi pelayanan jabatan ialah bahwa jabatan merupakan pelayanan terhadap karisma-karisma. Dalam symbol jemaat sebagai tubuh, menurut Versteeg, Paulus menyamakan jabatan dengan urat-urat. Dalam pandangan kuno, urat berfungsi dua : (1). Menjaga supaya tubuh tetap bersatu dan (2). Berfungsi sebagai saluran untuk makanan. Secara analog, menurut Versteeg, jabatan berfungsi dua : (1). Mencocokkan karisma-karisma satu sama lain-pencocokan itu perlu, karena karisma-karisma tidak bekerja sama dengan sendirinya-dan (2). Membanu karisma untuk menjalankan pelayanannya, menolong serta memberi inspirasi dan memampukan karisma agar dapat melayani. Maka akibat pelayanan kepemimpinan karisma-karisma tidak disisihkan melainkan diikutsertakan. Artinya secara konkret; bahwa dewan gereja tidak mengulang pekerjaan komisi anak yang mempersiapkan anak-anak untuk perjamuan; bahwa dewan itu tidak perlu memperbaiki pekerjaan panitia liturgy dll. Tugas dewan sesungguhnya ialah melayani kelompok lain itu :
- Dengan uang, ruang, informasi, membesarkan hati, member semangat, bertanya ;
- Membuat ruang bagi mereka di jemaat, menghubungkan mereka dengan pelayanan lain dalam paroki, sehingga dengan karisma mereka dapat melayani pembangunan jemaat.
Dengan demikian, jemaat menjadi kesatuan yang harmonis, dipelihara oleh pelayanan dari semua lapisan. Pencirian peran jabatan sebagai pelayan terhadap karisma-karisma, menjelaskan kedudukan jabatan; tidak diatas melainkan dibawah. De fakto, pemimpin tunduk kepada mereka yang sebetulnya dapat dikuasainya (Barett, 1988,40). Dengan demikian, gambarannya sudah lengkap; peran, symbol status dan kedudukan, berada dalam keselarasan.
Namun, jelas bahwa kenyataan tidak sedemikian. Paling sedikit tidak selalu. Bahwa masih ada problem yang besar, jelas pula. Disini kita membatasi diri pada konklusi bahwa melihat kepemimpinan sebagai pelayanan, merupakan data yang sungguh-sungguh teologis.
Demi identitas jemaat
Maka ciri jabatan ialah pelayanan. Pelayanan itu terarah kemana? Atau dengan kata lain; apa fungsi-fungsi jabatan ? Rupanya dalam Gereja dan teologi terdapat communis opinion (mufakat) bahwa fungsi sentral jabatan ialah memelihara Gereja, jemaat, sesuai dengan dasar yang diletakkan oleh para rasul. Hal itu disetujui bersama. Akan tetapi, mengenai sifat relasi antara jabatan dan apostolitas ada perbedaan pendapat. Secara global dapat dibedakan dua jurusan : yang kristologis dan yang pneumatologis. Jurusan kristologis tampil dalam pandangan Roma Katolik tentang suksesi apostolis, yang dilihat sebagai garis langsung yang tampak lewat-lewat person-person dari dan kepada Yesus Kristus, jurusan pneumatologis terutama hidup dalam Gereja-Gereja reformasi, yang menekankan bahwa Roh secara langsung berkarya dalam dan lewat jemaat. Bagaimanapun juga, fungsi jabatan yang sebenarnya ialah memelihara jemaat sehingga dekat pada dasar yang diletakkan oleh para rasul. Artinya juga bahwa jabatan berulang-ulang harus mengingatkan jemaat akan siapakah mereka dan apa perutusan mereka.
Firet merumuskan penugasan sentral bagi jabatan sebagai keprihatinan terhadap pertanyaan : Apakah kita jemaat Tuhan, apakah kita sedang menjalankan urusan-urusan Tuhan, apakah kita Gereja ? (1980,135). Kiranya pertanyaan-pertanyaan itu boleh dimengerti sebagai berikut: pertanyaan pertama menekankan sabda-sabda Tuhan, pertanyaan kedua menekankan urusan atau perkara Tuhan; pertanyaan ketiga menyatakan bahwa pertanyaan pertama dan kedua tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa fungsi sentral jabatan ialah memelihara jemaat supaya dekat pada identitasnya, karena pokok identitas jemaat ialah dua pertanyaan yang terjalin erat ; siapakah kita ? dan apa perutusan kita? Atau dengan rumusan yang lebih menekankan isi : apakah jemaat merupakan persekutuan dalam mana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain sungguh-sungguh diwujudkan bersama? dan apakah jemaat menyadari penugasannya bagi dunia ?.
Jikalau keprihatinan terhadap pertanyaan tadi fungsi jabatan yang sesungguhnya, maka keprihatinan itu harus tampil dalam pekerjaan para pejabat dan juga dalam agenda dewan gereja. Tentu saja kedua pertanyaan identitas itu perlu dikonkritkan. Pokoknya disini ialah menggarisbawahi bahwa jemaat terus menerus dihadapkan pada pertanyaan bagaimana mereka dalam situasi ingin mewujudkan diri sebagai jemaat Yesus Kristus. Jemaat dapat dihadapkan dengan pertanyaan itu pada macam-macam kesempatan : pada kunjungan rumah, dalam kelompok kecil, dalam pertemuan yang terarah kepada jemaat keseluruhan (konsultasi-konsultasi jemaat). Pejabat tidak usah secara primer membawa jawaban atau pertanyaan itu. Melihat kepemimpinan sebagai pelayanan berarti menghadapkan anggota jemaat dan kelompok pada pertanyaan itu dan menolong mereka untuk membicarakannya dengan cara yang subur.
Pejabat sendiri juga harus merefleksikan pertanyaan itu baik sebagai person maupun sebagai dewan. Apakah saya sendiri, apakah kita sendiri menghayati keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain (koinonia). Apakah kita sadar akan penugasan kita ? Refleksi ini mutlak perlu bagi kepemimpinan. Karena hanya dengan begitu kepemimpinan dapat menyinarkan pentingnya perkara Tuhan (bdk, Firet 1989 dan Derksen 1989).
Kedua pertanyaan ini pada hemat saya, merupakan pengolahan teologis dari kedua fungsi kepemimpinan yang tadi dicirikan sebagai keprihatinan terhadap usaha dan keprihatinan terhadap relasi. Bagi jabatan penting kalau keprihatinan bagi komunitas (dalam mana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain dihayati) dan keprihatinan bagi urusan-urusan Tuhan tidak ditangani yang satu sesudah yang lain atau yang satu disamping yang lain, melainkan secara integral. Mencopot kedua fungsi yang satu dan yang lain tidak hanya berarti bahwa salah satu dari kedua fungsi kurang diperhatikan, melainkan juga bahwa fungsi yang sebetulnya diperhatikan, kehilangan kualitasnya. Kita tidak dapat memperbaiki usaha tanpa memperhatikan umat. Sebaliknya persekutuan tidak dapat diperbaiki kalau kita-walaupun sebentar-melupakan usaha.
Tambahan pula, mengabaikan salah satu dari kedua fungsi menyebabkan berkurangnya vitalitas jemaat. Memperhatikan usaha tanpa memperhitungkan relasi, mudah menghasilkan proses konflik yang destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha, menghasilkan kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan. Kedua fungsi dibutuhkan dan kedua-duanya perlu ditangani serentak. Perlu dikerjakan serentak, tidak hanya mengingat efeknya, melainkan juga karena itulah sifat hakiki pastoral. Hal itu penting karena, memimpin dalam Gereja (termasuk memimpin dalam arti memerintah) merupakan kegiatan pastoral. Terlalu simplitis mengatakan ; Yesus tidak menugaskan Petrus untuk memimpin Gereja tetapi menugaskannya sampai tiga kali untuk menggembalakan domba-Nya (Yoh 21 : 15-17).
Secara biblis teologis mudah dapat diperhatikan dalam metator gembala, memimpin dalam arti memerintah dan memberikan perhatian penuh hati-hati dan cinta, bertemu dan dicairkan menjadi kesatuan. Contoh yang mengesankan ditemukan di Ezekiel 34. Gembala-gembala Israel yang disapa disitu adalah pemimpin jemaat. Kritik nabiah diarahkan kepada kegiatan mereka sebagai pemimpin jemaat. Disitu mereka kurang baik. Apakah akibat kelalaian mereka terjadi kekacauan administratif ? Bukan. Mungkin administrasi (government) mereka lancar. Kritiknya ialah : Domba-domba tidak kamu kuatkan; yang sakit tidak kamu obati; yang luka tidak kamu balut; yang tersesat tidak kamu bawa pulang yang hilang tidak kamu cari (Yeh 34 : 3-4).
Memimpin, baik pada tingkatan atas sampai dengan sinode, maupun pada tingkatan jemaat local, pada hakikatnya adalah pastoral inti. Rupa-rupanya organ-organ kepemimpinan tidak selalu menyadarinya. Kalau diambil keputusan radikal, khususnya keputusan yang sulit dapat diterima oleh anggota Gereja, maka biasanya tanggung jawab pastoral main peran. Terjadi bahwa sinode mengambil keputusan dalam perkara tertentu dan selanjutnya menganjurkan supaya penggembalaan khusus diberikan kepada mereka yang merasa terluka oleh keputusan itu. Seakan pastoral seumpama puskesmas keliling yang mengikuti tindakan kepemimpinan. Mereka yang terluka oleh kepemimpinan akan disembuhkan oleh pastoral. Karena orang yang terluka tidak boleh ditinggalkan. Hal itu tidak salah. Namun lebih baik kalau pastoral care dari permulaan ikut menentukan dalam musyawarah dan keputusan. Akhirnya memimpin dalam gereja bukanlah: berusaha supaya organisasi bekerja efektif atau supaya perkara-perkara diatur secara rasional dan jernih, dan supaya keputusan-keputusan tegas, dsb. Akhirnya pastoral ialah menolong orang menemukan jalan kepada ruang dimana mereka dapat bernafas dan menjadi aktif, dimana mereka dikoreksi, diberi hati dan digairahkan.
Maka perhatian untuk usaha dan perhatian untuk relasi tidak bertentangan seperti kadang-kadang disugestikan-dengan tidak tepat-dalam diskusi mengenai “pastorat dan kenabian”. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena dalam Gereja memimpin adalah kegiatan pastoral. Artinya bahwa integrasi kedua fungsi tidak hanya efektif dari sudut empiris, melainkan juga normatif dari sudut teologis.
Gaya Pastoral
Dapat diringkaskan bahwa pelayanan jabatan mempuyai fungsi untuk menolong jemaat agar hidup sesuai dengan identitasnya. Bagaimana jabatan dapat memenuhi pelayanan itu dan sarana manakah dapat dimanfaatkannya adalah pertanyaan mengenai gaya kepemimpinan. Pertanyaan ini tidak dapat dilihat lepas dari yang mendahului sampai sekarang, karena gaya harus selaras dengan ciri kepemimpinan sebagai pelayanan. Secara negative hal itu berarti bahwa pimpinan tidak boleh memaksakan perilaku tertentu pada anggota, misalnya dengan bereferensi kepada kedudukannya. Jabatan tidak boleh memaksakan dengan bereferensi kepada kedudukannya. Kalau referensi semacam itu terjadi maka jabatan kehilangan sifat pelayanannya. Lalu dapat terjadi dua ekstrim; atau jabatan akan berdominasi (hal itu jelek) atau jabatan akan bertingkah sebagai wali (hal itu kurang baik juga karena jemaat dianggap kurang dewasa).
Dalam kedua kasus, sifat karismatis jemaat disangkal. Cukup sering hal itu terjadi dibawah topeng pelayanan. Maka Petrus berkata kepada penatua-penatua untuk menggembalakan kawanan domba tidak seolah-olah mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu (1 Petr 5:3). Secara positif dapat dikatakan bahwa jabatan harus memenuhi pelayanannya sedemikian rupa sehingga diakui keberadaan anggota sebagai subjek. Mengapa? karena memimpin merupakan kegiatan pastoral. Intensi pastoral dapat digambarkan sebagai pelayanan kepada berfungsinya manusia secara independen rohani. Artinya berfungsi sebagai subyek. Pastoral ingin menolong orang agar orang sampai pengertian dan pengubahan. Justru oleh karena pastoral bertolak pada manusia sebagai subyek maka pelayanan terhadap proses pengubah itu tidak berarti menanam nilai dan meneruskan norma, melainkan pertama-tama mendampingi orang pada perjalanan menuju pengembangan kesadaran serta hati nurani mereka.
Pendekatan serupa kita temukan pada Haarsma. Tujuan kepemimpinan pastoral ialah kematangan kristiani yang meliputi rasa tanggung jawab terhadap yang lain dan terhadap komunitas manusia. Untuk itu perlu pastoral yang didalamnya kebebasan dan kemampuan awam diakui dan pastor tidak mengambil oper tanggungjawab, melainkan menyadarkan mereka akan tanggungjawab itu. Fungsi pastor ialah menolong mereka untuk memikul tanggungjawab itu, tidak paling sedikit dalam hidup bermasyarakat.
Kepemimpinan hendaknya dilangsungkan sedemikian rupa, sehingga keberadaan manusia sebagai subjek diakui dan didukung. Hal ini diperjelas juga oleh Firet dengan mengingatkan bahwa manusia adalah subyek di hadapan Allah, bahwa Allah mau bergaul dengan manusia sebagai subjek dan bahwa menurut contoh itu kita harus membentuk relasi-relasi antara kepemimpinan dan anggota. Dalam rangka itu Firet berbicara tentang Musa. Tuhan berbicara kepadanya dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Firet tidak mau melupakan bahwa Musa mengambil tempat yang unik, namun demikian cara bergaul ini tidak kehilangan validitas sebagai model. Komunikasi dengan berhadapan muka dalam kemah pertemuan, mengeksplisitkan daya manakah hidup dalam relasi Perjanjian dan menggambarkan prototype dari pelayanan gerejawi.
Percakapan tidak merupakan satu-satunya wujud pelayanan gerejawi, namun setiap perwujudan jabatan gerejawi perlu mengambil model dari patokan percakapan. Dengan demikian keberadaan manusia sebagai subjek digarisbawahi lagi; karena salah satu cirri sentral percakapan ialah intersubjektivitasnya. Paham intersubjektivitas berarti bahwa setiap partner dalam proses percakapan menjadi person yang berdiri sendiri yang mampu berpartisipasi aktif dan berfungsi secara otonom. Dari gagasan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya otoriter tidak dapat dipakai sebagai sarana kepemimpinan bagi jabatan, karena mau tidak mau gaya itu memaksa orang tertentu dengan apel atas kewibawaan jabatan serta menuntut ketaatan. Paksaan itu berlawanan dengan manusia sebagai subjek. Maka jabatan membutuhkan gaya kooperatif karena didalamnya keberadaan manusia sebagai subjek dihormati. Dengan demikian, jabatan dapat memimpin lewat rundingan bersama dan menantang tanggungjawab orang.
Maka ada tiga unsur penting bagi jabatan : (1). Sifat (2). Cara menghubungkan fungsi-fungsi kepemimpinan, dan (3) Gaya.
Sifatnya adalah pelayanan. Sifat itu membawa kemungkinan untuk mengintegrasikan perhatian terhadap jemaat dengan perhatian untuk organisasi/usaha. Hal itu hampir tidak mungkin tanpa kooperatif.Unsur bersama antara ketiga unsur tadi adalah pengakuan keberadaan anggota jemaat biasa sebagai subyek. Inilah titik pandangan yang menentukan. Maka sebaiknya, kita berbicara tentang satu factor yang berdimensi tiga.
Tentu saja relasi jabatan dengan jemaat terpengaruh oleh aneka perubahan masyarakat, yang berakibat untuk gereja juga: berkurangnya kewibawaan pada umumnya, hasrat untuk berbicara, yang didukung oleh bertambahnya pendidikan.
Dari sudut teologis biblis, relasi antara jabatan khusus dan jabatan semua orang berimantidak didominasi oleh pandangan rendah terhadap jabatan khusus, melainkan oleh penghargaan terhadap anggota biasa, yang dipandang sebagai imamat rajawi dan oleh karena itu sebagai subyek menerima pemberian-pemberian rahmat. Atas dasar karisma-karisma itu, mereka melayani pembangunan jemaat.
Pada akhir uraiannya tentang kepemimpinan Kilmann member sejumlah pedoman tentang bergaul dengan orang dalam organisasi. Pedoman pertama berbunyi: Perlakukanlah manusia sebagai sesame. Gagasan imamat orang beriman menjangkau lebih jauh: kamu adalah sama.
Menyatakan kesamaan saja itu tidak cukup.ada alas an yang cukup berat untuk bertanya apakah Gereja-dalam abad apapun juga- sungguh-sungguh memandang Perjanjian Baru secara serius? Atau paling sedikit cukup serius?, sehingga kita percaya bahwa setiap anggota jemaat dalam arti tertentu menjadi pembawa jabatan? Atau sekurang-kurangnya seorang imam, sehingga yang satu menganggap yang lain lebih unggul daripada dirinya sendiri? Dan saling member hati untuk menemukan pelayanannya masing-masing serta mengikuti panggilannya sendiri demi kebaikan semua.
Akan tetapi sekalipun kita memandang serius Perjanjian Baru, namun tetap sulit menjalankan jabatan sebagai pelayanan karena ada banyak kendala. Kadang-kadang ada penilaian negatip tentang jemaat biasa yang berakar dalam pada pimpinan. Penilaian itu tampak lewat berbicara sombong tentang orang biasa dan member kesan seakan-akan kuasa lebih aman bila dikonsentrasikan saja. Kendala lain ialah peilaian rendah mengenai dirinya sendiri (saya seorang beriman biasa-biasa saja,,,). Juga ada harapan-harapan dari jemaat tentang pimpinan yang memperlihatkan gambaran otoriter. Bahasa yang kita pakai dapat menjadi kendala juga: kalau misalnya seorang pastor mengatakan “jemaatku”. Ia membalik kenyataan , karena jemaat bukanlah miliknya . selain itu susunan banyak gedung gereja (misalnya tempat para penatua disebelah kanan mimbar dan dinaikkan sedikit; apakah itu tempat yang cocok untuk tempat seorang pelayan?) juga menjadi kendala; tradisi(dalam mana jabatan sering dicampurkan dengan supervisi dan disipilin); cara seorang pendeta diteguhkan (kurang merupakan contoh dari de-emphasizing status) dan tidak menggairahkan gagasan mengenai imamat/umum.; rutin berapat (kelompok kerja diundang dalam rapat dewan, di mana kerja mereka masuk dalam agenda dewan itu, yang member kesan seakan-akan mereka dikontrol dan tidak diberi support).
Situasi-situasi seperti ini terus-menerus member kesan yang keliru kepada pejabat dan anggota jemaat. Dapat terjadi bahwa dalam ajaran, kita spontan bicara tentang kepemimpinan sebagai pelayanan, sedangkan pembicaraan itu hampir tidak ada hubungan dengan praktek.
Memang tidak mudah mewujudkan kepemimpinan sebagai pelayanan. Tidak mudah untuk begitu saja meninggalkan situasi yang sudah tertanam begitu lama. Perkembangan bertahap merupakan jalan satu-satunya. Jalan itu tidak mulai kalau pemimpin mengambil keputusan mencoba sesuatu yang lain, akan tetapi kalau keputusan menempuh jalan yang lain adalah jalan rundingan bersama. Keputusan semacam itu mejadi langkah pertama pada jalan baru. Langkah itu penting sekali terutama kalau prosesnya mulai pada top; dari situ gaya baru itu dapat meresapi seluruh organisasi. Dalam situasi gerejawi, hal itu berarti bahwa cara pendeta dam anggota moderamen yang lain saling bergaul, dapat berpengaruh terhadap pergaulan dewan gereja dengan kelompok-kelompok kerja dst. Dengan demikian, kepemimpinan semakin dapat dipraktekkan sebagai pelayanan. Itu berpengaruh besar terhadap vitalitas jemaat.
Jelas pula bahwa cara memimpin yang baru mengandaikan perhatian terhadap aspek-aspek jemaat yang lain juga serti iklim, struktur, tujuan dan identitas. Karena semua aspek merupakan satu system.
PENUTUP
Dengan telah terselenggaranya rapat kerja ini, diharapkan seluruh rencana program ataupun segala pembahasan hingga mencapai keputusan final, dapat dilaksanakan sesuai rencana. Bagaimanapun juga semua ini akan dapat terlaksana dan berjalan dengan baik, pastilah membutuhkan tekad dan konsekuensi atas kinerja kita semua. Kami merasa yakin, warga GKJ Ambarawa pasti dan selalu memberikan dukungan akan apa yang telah kita bahas.
Tuhan memberkati………………………
TUHAN MEMBERKATI…………………………….
Selamat ber-Rapat Kerja...!!
Villa Gardenia, Bandungan : 4 – 5 Maret 2011