Empat Kecerdasan Seorang Pemimpin


Empat Kecerdasan Seorang Pemimpin

Oleh: Oberlin Silalahi

SEJUMLAH kriteria dapat digunakan oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya dalam pemilihan kepala daerah. Kriteria tersebut adalah kapasitas intelektual (intellectual capacity), kepercayaan diri (selfsignificance), daya tahan (vitality), pelatihan (training), pengalaman (experience) dan reputasi (reputation) (Titus, 1986).
Keenam kriteria itu menentukan persepsi seseorang terhadap masalah sosial yang dihadapi, kemampuan untuk merumuskan secara jelas pemikiran yang bersifat abstrak, dan stabilitas emosionalnya. Kapasitas intelektual menunjukkan kepada daya analisis yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi akan membuat seseorang semakin percaya dan yakin pada dirinya, sehingga semakin perasa bahwa dirinya penting.
Meskipun mempengaruhi, ketajaman analisis tidak sepenuhnya ditentukan oleh banyaknya pendidikan formal yang ditempuh, atau bukan oleh sederetan gelar yang dimiliki. Ketajaman ini bisa didapat melalui serangkaian pelatihan, kemauan seseorang untuk terlibat dalam kehidupan sosial, bersedia bertukar pikiran dengan terbuka sekali pun dengan yang berbeda pendapat. Di sini kriteria kestabilan emosi dan vitalitas seseorang pemimpin sangat menentukan.
Sedangkan sebagai kriteria khusus menurut Segiovanni dan Corbally (1986), bahwa yang perlu diperhatikan dalam memilih pemimpin ada tiga kriteria yaitu popularitas, akseptabilitas dan kapabilitas. Popularitas menunjuk kepada hal dikenal atau tidaknya seseorang calon oleh masyarakat. Popularitas ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik yang rasional maupun tidak masuk akal.
Akseptabilitas menunjukkan pada penerimaan masyarakat terhadap seorang calon. Penerimaan ini akan timbul apabila rakyat merasa bahwa calon adalah orang yang benar-benar dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka. Kapabilitas menunjukkan kepada kemampuan intelektual seorang calon. Kemampuan untuk menyerap aspirasi rakyat, merumuskan aspirasi ke dalam bentuk pernyataan atau kebijakan yang jelas, dan menyampaikan kepada rakyat dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Tentu saja di luar kriteria pemimpin yang disebutkan di atas masih ada sejumlah kriteria lain dalam perspektif psikologi dan keagamaan. Menurut Dadang Hawari (2003), pemimpin haruslah berkualitas dan memenuhi kriteria kecerdasan intelektual (IQ/Intelligent Quotient), kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotient), kecerdasan kreativitas (CQ/Creativity Quotient) dan kecerdasan spiritual (SQ/Spritual Quotient). Keempatnya haruslah merupakan kesatuan dan terintegrasi pada diri seseorang pemimpin.
Walaupun begitu, kini ada kecenderungan untuk menempatkan kriteria EQ tinggi di dalam memilih seorang pejabat/pemimpin, terutama ketika kita melihat kekisruhan dalam sidang DPR , sidang DPR dengan Kejaksaan Agung, kekisruhan dalam Munas/Muktamar Partai Politik. Karena tidak semua mereka yang memiliki jabatan dan titel kesarjanaan tinggi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki EQ tinggi, karena mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi. Pejabat/pemimpin yang EQ nya rendah, biasanya dicirikan, pertama, jika bicara cenderung menyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok bergeser oleh pertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkan bertambah.
Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak buah untuk meraih prestasi karena tidak mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Menurut riset panjang yang dilakukannya, Daniel Goleman menyimpulkan, kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurutnya, banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman sekelasnya yang prestasi akademisnya pas-pasan.
EQ yang tinggi akan membantu seseorang dalam membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial.
Yang tidak kalah penting dalam memilih pemimpin adalah faktor kecerdasan spiritual (SQ). SQ ini berkaitan dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, maka SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, tanpa disertai kedalaman spiritual (SQ), maka kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemen di Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karier seseorang. Yang fenomenal, Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahal selama ini dia sudah menjadi ikon dari teori nanajemen kelas dunia The Seven Habits.
Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas dan emosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah.
Di Indonesia, krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saat bangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor dan miskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akan mengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku "Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia" yang sedang dibicarakan banyak orang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya dan melahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam? Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan Israel.
Dalam kaitannya dengan Pilkadal, dalam UU No 32 Th 2004 disebutkan syarat pertama calon kepala daerah adalah ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Syarat yang tercantum pada Pasal 58 ini erat kaitannya dengan keharusan bersih diri dari perbuatan korupsi.
Persyaratan ketakwaan yang menuntut bersih korupsi ini harus dipertamakan dari awal pencalonan bupati dan wakil bupati. Ini artinya, faktor IQ dan EQ harus menjadi pertimbangan pertama bagi rakyat dalam memilih seorang cabup dan cawabup. (11)
- Oberlin Silalahi, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Proklamasi Yogyakarta.

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013