Perayaan natal 2016
Lukas 2:1-3, 8-15
Mari kita sebar anugerah Allah
Natal merupakan wujud anugerah Allah kepada umat manusia.
Peristiwa Natal merupakan wujud Sang Firman Allah yg mencipta menjadi manusia dalam diri Kristus. Sbg wujud rahmat Allah bagi umat manusia sehingga natal memanggil kita untuk menyebarkan damai dan sejahtera natal kepada seluruh bangsa. Namun bukankah anugerah Allah pada hakikatnya melampaui bumi dan seluruh alam semesta? Apabila anugerah Allah melampaui seluruh ciptaan dan semesta, kita tidak perlu terpanggil untuk menyebarkan anugerah Allah kepada dunia ini. Sebab seluruh ciptaan, bumi dan semesta dipenuhi oleh anugerah Allah.
Sdh menjadi watak sosial manusia untuk berbagi. Jadi walau Allah dan anugerah-Nya mengatasi segala langit, bumi dan seisinya, tetapi melalui kesaksian Alkitab kita mengetahui bahwa dunia dan semesta ini telah jatuh ke dalam dosa. Seluruh ciptaan dan semesta serta seisinya berada di bawah kuasa dosa. Di tengah-tengah realitas keberdosaan manusia, Allah menganugerahkan rahmat-Nya di dalam inkarnasi Yesus. Yesus yang adalah Sang Firman Allah menjadi manusia. Karena itu kita dipanggil untuk menyebarkan anugerah keselamatan Allah di dalam Kristus yakni damai dan sejahtera kepada dunia di sekitar kita. Melalui peristiwa Natal yaitu kelahiran Kristus kita dipanggil untuk memberitakan anugerah keselamatan Allah kepada setiap orang, suku, bangsa dan dunia ini.
Tugas panggilan tersebut pada masa kini diperhadapkan dengan tantangan zaman yaitu sikap relativisme yang dipengaruhi oleh pola berpikir post-modernisme, relativisme terkait dengsn gencarnya arus informasi yg terus berkembang dan berubah. Sehingga mereka berpendapat bahwa tidak ada yg mutlak didunia ini. Semua berubah, semua serba relatip. dan yg kedua adalah sikap absolutisme yang memutlakkan ajaran/doktrin agamanya.
Sikap relativisme menimbulkan sikap agnostisme/tanpa pengetahuan dan ateisme/tanpa Tuhan,
sedangkan
sikap absolutisme menimbulkan fanatisme dan radikalisme atau konservatisme.
Kita berada di antara dua kubu yang sama-sama ekstrem, yaitu sikap relativisme yang merelatifkan terhadap semua aspek kebenaran agama, dan absolutisme yang memutlakkan ajaran agamanya dengan menistakan agama dan kepercayaan orang lain. Karena itu tugas panggilan untuk menyebarkan anugerah Allah di dalam Kristus harus mampu keluar dari belenggu relativisme dan absolutisme/fanatisme.
Jika demikian bagaimana caranya kita dapat keluar dari belenggu relativisme dan absolutisme tersebut?
Kita harus mampu keluar dari belenggu ekstremitas sikap relativisme dan absolutisme dengan merenungkan kembali kekayaan identitas diri kita dalam perspektif iman Kristen, yaitu khususnya pada penyataan Allah di dalam Kristus seraya bersedia dibebaskan oleh Kristus dengan kuasa penebusan-Nya.
Pertama, dalam terang penebusan Kristus, kita memahami secara teologis konteks sejarah yang membentuk kisah kelahiran Kristus.
Kedua, membuka diri terhadap karya Roh Kudus untuk dibarui sehingga kehadiran kita membawa perdamaian dan kesejaheraan kepada setiap orang di manapun kita berada.
Umat percaya kepada Kristus harus mampu membebaskan diri dari sikap relativisme dan absolutisme dengan membentuk jati-diri yang inklusif.
Makna sikap inklusif adalah setiap umat mampu mengenal dan memiliki jati-diri dan imannya yang otentik seraya mampu membuka ruang untuk berbagi kepada sesama yang berbeda.
Sikap inklusif tidak merelatifkan dan mengabsolutkan keyakinan akan suatu kebenaran.
Sebaliknya sikap inklusif berakar pada kebenaran yang dinyatakan oleh Allah seraya dengan rendah-hati membuka diri untuk diperkarya dan diterangi oleh kebenaran yang membebaskan sebagaimana dilakukan dalam karya penebusan Kristus sehingga bersedia berbagi ruang dengan sesama yang berbeda.
Lukas dalam Lukas 2:1 dengan kesaksian, yaitu: “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.”
Berita kelahiran Yesus ditempatkan oleh Injil Lukas dalam masa pemerintahan kaisar Agustus dengan catatan pendaftaran sensus “semua orang di seluruh dunia.” Kata “semua orang di seluruh dunia” berasal dari pasan ten oikoumenen.
Berbeda dengan peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis ditempatkan dalam konteks pemeritahan raja Herodes Agung. Lukas 1:5 menyatakan: “Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.”
Penulis Injil Lukas dengan sengaja membedakan konteks kelahiran Yesus dengan kelahiran Yohanes Pembaptis. Kelahiran Yohanes Pembaptis ditempatkan dalam konteks pemerintahan Herodes Agung sebagai raja wilayah di Yudea. Sedangkan kelahiran Yesus ditempatkan dalam konteks pemerintahan kaisar Agustus sebagai penguasa dunia pada waktu itu.
Sebab kekuasaan kerajaan Romawi pada zaman kaisar Agustus meliputi: Italia, Dalmatia, Makedonia, Gallia, Hispania, Afrika, Asia, Syria, dan Palestina.
Karena itu raja Herodes Agung adalah raja taklukkan yang dipercaya oleh kaisar Agustus untuk memerintah di wilayah Yudea.
Dengan demikian melalui kesaksian Lukas 2:1 penulis Injil Lukas hendak menegaskan bahwa kelahiran Yesus memiliki pengaruh yang sifatnya universal/mendunia dibandingkan dengan kelahiran Yohanes Pembaptis yang memiliki pengaruh yang sifatnya lokal/periodik.
Menurut catatan sejarah, pemerintah kaisar Agustus adalah pemerintahan yang mampu membawa kerajaan Romawi mencapai zaman keemasan. Kaisar Agustus adalah kaisar yang mampu membawa kerajaan Romawi mengalami masa damai. Karena itu dalam pemerintahannya, kerajaan Romawi pada waktu itu mendapat sebutan sebagai “Pax Romana” yang artinya: Roma yang damai (the Roman peace). Rakyat dan dunia pada masa itu melihat kaisar Agustus sebagai seorang penguasa, sehingga dia disebut sebagai Kyrios. Selain itu karena kaisar Agustus memiliki pengaruh dan kharisma yang begitu besar, ia mendapat gelar sebagai Divi Fillus yang artinya “anak ilahi” (son of divine). Dengan demikian konteks kelahiran Yesus diperhadapkan dengan kehadiran seorang yang penguasa yang baik, penguasa yang mampu membawa damai, dan penguasa yang mendapat gelar sebagai “Kyrios” dan “Divi Fillus.”
Perisiwa kelahiran Yesus bukan diperhadapkan dengan kekuasaan seorang kaisar yang jahat dan kejam seperti kaisar Nero, Tiberius dan Domitianus. Jika demikian apa maknanya kelahiran Yesus terjadi dalam masa pemerintahan kaisar Agustus?
Lukas sebagai saksi sejarah hendak menyatakan bahwa semua kebesaran kaisar Agustus, kekuasaannya yang menjangkau wilayah yang begitu luas di bumi, kharisma dan suasana damai yang terjadi di seluruh wilayah kerajaannya tetap terbatas dan fana.
Dengan perkataan lain Lukas menyatakan bahwa Kyrios Yesus melampaui kyrios kaisar Agustus, jabatan Yesus sebagai Anak Allah melampaui gelar kaisar Agustus sebagai Divi Fillus, situasi damai yang dikaruniakan Allah dalam kelahiran Yesus melampaui situasi damai kerajaan Roma (Pax Romana).
Mengapa? Karena bagaimanapun kaisar Agustus yang baik dan dipuja sebagai Divi Fillus adalah seorang penjajah. Sebagai seorang penjajah, kaisar Agustus tidak terlepas dengan penggunaan kekerasan, militerisme, kekuasaan politis, dan berbagai tindakan duniawi. Bagaimanapun kaisar Agustus yang baik dan berjiwa agung tersebut telah melumuri tangannya dengan banyak darah.
Melalui kelahiran Yesus di Betlehem, Allah tidak memilih penggunaan kekerasan dan penumpahan darah untuk menaklukkan hati manusia. Di dalam diri Yesus yang adalah Sang Firman Allah, Allah menaklukkan hati manusia dengan damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia.
Di Yohanes 14:27 Tuhan Yesus berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” Injil Lukas mendasari kesaksian karya Allah yang mendatangkan damai-sejahtera melalui kesaksian para gembala.
Dalam hal ini para gembala adalah kelompok masyarakat yang lemah dan termarginalisasikan. Alat ukur yang dipakai Allah bukanlah alat ukur berdasarkan status, kekuasaan, kepandaian dan kemampuan ekonomis. Tetapi Allah memakai kehidupan orang-orang sederhana namun memiliki hati yang tulus.
Di Lukas 2:15 para gembala berkata satu kepada yang lain yaitu: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu di Lukas 2:20 menyatakan: “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.”
Para gembala dalam Injil Lukas 2 mengalami “pengalaman religius” yang mungkin sesuai dengan gambaran Rudolf Otto saat manusia mengalami perjumpaan dengan yang Ilahi, yaitu: mysterium tremendum et fascinans. Perjumpaan dengan Ilahi adalah suatu misteri yang melampaui seluruh definisi dan pemahaman akal-budi, yang mana pengalaman berjumpa dengan yang Ilahi tersebut menakutkan dan menggentarkan manusia, dan pada saat yang sama mempesona manusia dicengkeram oleh kasih Allah yang tak terperikan. Poengalaman itu yang memungkinkan para gembala menyebarkan berita tentang rahmat Allah. Bahkan menjadi rahmat itu sendiri, oleh karena ittu disebutkan Mati menyimpannya dalam hati dan merenungkannya.
Kesaksian ini menegaskan bahwa Kristus yang diberitakan oleh Alkitab adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Keselamatan dan damai-sejahtera yang dikaruniakan Kristus bukanlah berasal dari dunia tetapi berasal dari sorga. Karena itu setiap kita dipanggil untuk menyebarkan anugerah Allah di dalam Kristus kepada setiap bangsa di dunia ini. Wujud penyebaran anugerah Allah adalah hidup dalam kebenaran dan panggilan-Nya sesuai dengan profesi/tanggungjawab kita masing-masing.