PJA

Pembangunan Jemaat Apresiatif PJA “Tujuan Pembangunan Jemaat adalah berubah Rohnya jemaat, menyelamatkannya dari apati dan putus asa, memberikannya iman dalam misinya dan memberikan kepercayaan dalam masa depannya” – Hendrik Kraemer Pembangunan Jemaat Apresiatif: gereja dan dunia dalam sudut pandang yang lain! Di semua jemaat ada kerinduan untuk pembaruan. Untuk mencapai itu kita harus tidak melihat kembali gereja dengan rasa nostalgia atau romantisme, karena itu hanya menyebabkan stagnasi. Kita perlu Pembaruan yang fokus pada masa depan. Bagaimana caranya? Kita akan belajar PJA. Pembangunan Jemaat Apresiatif memberikan masukan untuk Filosofi (dasar Alkitabiah) jemaat, Jalan jemaat dan Model jemaat. Dengan Filosofi orang akan membentuk Jalan, dan berikutnya Jalan akan membentuk Model, tetapi kemudian pengalaman berjemaat mempengaruhi Filosofinya lagi. Itu model berputar. Filosofi - Jalan - Model. Model PJA Filosofi Jalan Ada hubungan antara satu sama lain punya dua arah. PJA itu berdasarkan pengalaman, bukan berdasar pada masalah atau pemandangan yang tidak dapat diwujudkan. Dalam pendekatan PJA pemimpin gereja tidak memiliki peran nabi, tetapi memiliki peran bidan. Seorang nabi membawa hal yang indah dan bagus dari luar ke dalam. Seorang bidan menolong jemaat untuk mengeluarkan kehidupan baru yang sembunyi di dalamnya dan menariknya dengan sikap rendah hati. (Mewujudkan potensi menjadi nyata). Pendekatan baru ini akan memberikan semangat baru di tengah-tengah suasana gereja yang tenggelam (suam-suam) yang menguasai banyak jemaat sekarang ini. Latar belakang dan sumber PJA: 1) ilmu Oikodomik: Salah satu cabang teologi praktis dan berkaitan dengan kemunculan, pembentukan dan perubahan komunitas dan gereja Kristen dalam beragam bentuknya, dalam budaya yang berbeda dan sejak berdirinya gereja setelah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oikodomik seharusnya fokus pada pembaruan (prinsip reformasi gereja “semper reformanda”). Dan untuk mengejar pembaruan harus punya perspektif karena Tuhan sendiri yang membangun jemaat-Nya (Mazmur 127). Hal ini akan memberikan kepercayaan kepada semua yang membangun secara bersama-sama oleh Roh Kudus. Tidak hanya pembangunan oleh orang tertentu. Gambaran yang tepat dipakai untuk menggambarkan proses ini adalah “sebuah perjalanan bersama-sama, hidup bersama relegius, kumpulan peziarah”. Bukan “perjalanan dengan tourguide”. Oikodomik terkait pada pertanyaan yang diperhadapkan pada keadaan/kenyataan. Proses ini dimulai dengan pertanyaan dasar positif “bagaimana bisa menjadi lebih baik?”, bagaimana bekerja maksimal dan menghasilkan terbaik? bukan “mengapa keadaan kurang ideal, mengapa sedikit yang berpartisipasi di gereja?”. Oikodomik mencari kekuatan (kesempatan dan peluang) yang menghidupkan dan berdasarkan pengetahuan itu berusaha menciptakan jalan yang dapat dilampaui (metode) dan mencari bentuk atau model jemaat yang vital (model). 2) Appreciative Inquiry: Sumber kedua berasal dari Teori Pengembangan Organisasi. Khususnya aliran Appreciative Inquiry (AI): AI mencari hal yang dapat diapresiasi. AI menggunakan nilai-nilau yang sama di jemaat, seperti: -Nilai kepercayaan adanya realitas yang lain, -Nilai menghargai manusia, -Nilai kepemimpinan sebagai pelayanan, -Nilai makna cerita pengalaman. Teori Oikodomik dan teori Pengembangan Organisasi (AI) memiliki tujuan yang sama yaitu adanya pembaruan. Mereka menuju kepada hal yang sama yaitu kekuatan, mereka membangun jalan yang dapat dilampaui (metode) dan adanya jemaat yang vital (model). 3) Filosofi Positif: Aliran filosofi sekarang ini memberontak terhadap sinisme (gerutuan, keluhan). Ada kecenderung di budaya ini untuk fokus pada yang negatif, pada masalah, dll. Aliran filosofi positif ini mengatakan: jangan menyerah kepada sinisme, tetapi fokuslah pada yang baik. Jangan fokus pada masalah, tetapi pada niat dan ambisi baik. Justru dengan fokus pada yang positif kita benar-benar mengerjakan masalah kita dengan efektif. Jadi cobalah melihat dunia dan jemaat dari sudut pandangan yang lain! Bukan seperti cara pandang kebanyakan orang (dunia). Sebelumnya kita perlu bertanya satu pertanyaan penting: “Apakah gereja sesuatu hal yang penting?” (does the church matter?) sudah pasti Jawabannya: Ya! Tetapi banyak orang juga tidak setuju. Mereka berkata bahwa spiritualitaslah yang penting, tetapi gereja tidak. Mereka menikmati anggurnya tanpa botol. Isi dan wadah harus ditempatkan seimbang. Sebab kalau pengalaman dengan Allah hanya diringkaskan dan dirumuskan dalam pengajaran/dogma saja maka pengalaman rohani akan membeku, tetapi kalau pengalaman rohani tidak mendapat bentuk maka pengalaman rohani itu akan cepat menguap. “Kalau kita bertanya tentang peluang, kita menciptakan dunia penuh dengan peluang. Kalau kita bertanya tentang masalah, kita menciptakan dunia penuh dengan masalah” – Dian-Marie Hoskin NILAI-NILAI (FILOSOFI) ATAU DASAR PJA Inti filosofi PJA: 1) Melihat dengan cara berbeda 2a) Semua orang berarti, bermakna, berharga 2b) Percakapan/dialog sebagai kendaraan 3) Cerita pengalaman 4) Rendah hati 5) Kepemimpinan sebagai pelayanan 6) Inti sebagai tolok ukur 7) Kepercayaan PJA adalah cara yang baru untuk pembangunan jemaat. Pembaruan jemaat adalah kerinduannya. Intinya filosofi PJA bisa dibaca di tabel di atas. Oleh karena itu dalam PJA: 1. Ada realitas yang berbeda dan positif Situasi gereja memang menyedihkan. Kata “masa pembuangan” sering dipakai untuk menjelaskan masa sekarang. Ini berarti gereja yang aman dan nyaman seperti dulu tidak ada lagi. Banyak orang sedih tentang situasi ini. Bagaimana kita masih bisa bernyanyi di tanah yang asing, dalam pembuangan? Ya, tetapi ini belum kata terakhir. Juga ada realitas yang lain. Di setiap jemaat ada sesuatu yang berharga. Seperti Paulus menulis di Fil. 4:8 “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci , semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”, 1 Tes. 1:2-5 “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami. Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita. Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu. Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh. Memang kamu tahu, bagaimana kami bekerja di antara kamu oleh karena kamu.” Memang kita tidak bisa menyangkal adanya masalah, tetapi jangan menjadi putus asa. Paulus di surat kepada Tesalonika tidak mulai dengan kekuatiran tentang pengejaran dan penganiayaan, tetapi dengan berfokus pada kabar baiknya tentang jemaat Tesalonika. Itu membentuk semua pengamatannya. Yang kita hadapi sebagai realitas itu bukan realitasnya, tetapi gambar dari realitasnya. Mari kita melihat gerejanya dari sudut pandang yang berbeda. 2. Perlu percakapan/dialog dari semua yang menjadi stake holder (semua pihak) adalah cara untuk pembaruan. Bukan melibatkan ahli atau menuliskan sesuatu, tetapi percakapan/dialog adalah cara untuk pembaruan. Percakapan dari semua, dengan semua…untuk semua orang! Prinsip Pastoral Transformatif. Kita perlu membuat ruang untuk orang di "pinggiran" (anak, pemuda, tawanan, orang cacat). Itu bukan soal kerelaan, tetapi soal penghargaan. Mereka bermartabat. Dengan bahasa organisasi: semua ‘stakeholder’ harus dilibatkan. Jika perlu melibatkan tidak hanya orang gereja, namun juga ‘jumlah besarnya/berbondong-bondong’ (masyarakat dan tetangga) perlu dilibatkan. 3. Perlu Ruang untuk cerita pengalaman yang positif. Fokus pada percakapan/dialog berarti perlu ruang untuk cerita pengalaman. Tujuannya adalah: mendapat pengetahuan. Bukan pengetahuan yang rasional (knowledge about), tetapi pengetahuan pengalaman (acqaintance with). Pengetahuan kedua ini sentral di Alkitab. Dalam PJA pertanyaannya bukan dibahasa seperti “apakah Tuhan ada atau tidak?” Tetapi: “apakah saudara pernah merindukan kehangatan kasih Allah? Kapan? Bagaimana terjadinya?” Berbagi pengalaman iman sangat penting. Pengalaman seperti itu membentuk jemaatnya. Cerita yang positif adalah Injil, kabar baik itu sendiri. Berbagi pengalaman tidak mudah. Terkadang orang malu. Itulah sebabnya mengapa ‘jalannya’ dan ‘metodenya’ harus dibentuk sedemikian rupa supaya ada ruang untuk bercerita, bila perlu ada upaya dipancing. Cerita sangat hakiki: gereja hidup dari cerita (Paskah misalnya). Tidak hanya perlu untuk ditulis, tetapi diceritakan. Lihat Ulangan 6. 4. Seorang individu dan komunitas kedua-duanya penting Di PJA seorang individu dan komunitas satu sama lain kedua-duanya penting. Seperti di Alkitab. Orang sebagai individu berharga, tetapi juga: kita saling membutuhkan. Semua orang dapat ruang, tetapi dalam kerendahan hati. Sama seperti tiap anggota dalam Satu Tubuh. 5. Pasangan yang ideal: orang sebagai peserta dan pemimpin sebagai pelayan. Kita harus menghormati semua orang. Semua orang unik dan punya talenta masing-masing. Di Alkitab dijelaskan dengan bagian atau anggota tubuh: mereka saling membutuhkan dan semua bagian berharga. Justru dengan menyadari ini membuat orang tidak menjadi penerima saja, tetapi menjadi peserta (aktif dan terlibat). ‘Ayo turun dari tribune dan ikut berperan’. Semua orang harus ikut berperan dan bermain. Yang penting dalam hal ini adalah bahwa pemimpin melayani dan memberikan ruang untuk warga jemaat untuk mengembangkan talenta mereka. Itulah pelayanan pendeta, penatua, diaken. Contoh: ada malam kebersamaan warga jemaat, sudah disiapkan oleh panitia. Ibu Rusti adalah ketuanya. Mereka juga makan malam bersama, tetapi bu Rusti tidak berani untuk membukanya dengan doa. Dia minta tolong pendetanya dan dia dengan senang hati mau berdoa. Praktek tradisional diteruskan begini: pendeta adalah peran utama dan warga jemaat penerimanya. Mengapa pendeta tidak bertanya: “tetapi ibu Rus bisa melakukannya toh?” Kalau dia tetap tidak berani, mungkin ada anggota yang lain dari panitia yang bisa berdoa. Seandainya di antara anggota yang lain juga tidak ada yang berani, ibu Rusti membuka doa makan dengan memberikan ruang untuk berdoa masing-masing. Peran pendeta tidak berhenti di sini. Dia bisa membahas soal ini di rapat majelis yang berikutnya dan mengadakan pembinaan berdoa. Kalau seperti ini peran utamanya bukan lagi pada pendeta, tetapi perlu peran pembina. Dia menjadi ‘mystagog’: memperkenalkan seseorang dalam misterinya. Kalau kita melihat warga jemaat menjadi penerima saja, secara langsung pendeta, penatua, diaken berperan sebagai peran utama. Kalau kita melihat warga jemaat sebagai peserta, secara otomatis pendeta menjadi berperan sebagai sutradara atau pembina. Dengan pasangan yang seperti ini jemaat akan tumbuh dan berkembang. 6. Tolok ukur: Inti dari menjadi jemaat Dalam PJA cerita pengalaman adalah batu bangunan dalam pembaruan. Tetapi kita tidak berhenti di situ. Cerita ini perlu diperiksa dengan kritis. Itu sebabnya mengapa kita memperlukan tolok ukur. Dalam AI tolok ukurannya adalah 3 kali P, yaitu people, profit, planet. People: manusia diperhatikan. Profit: mengejar keuntungan. Planet: tanggung jawab untuk masyarakat/bumi. Cerita pengalaman diukur dengan 3P ini: apakah ini memberikan ide baru atau tidak? Intinya menjadikan jemaat harus memiliki 3 dimensi (MKD): 1) Intimitas dengan Tuhan (mistik): berdoa, membaca Firman, puasa, meditasi 2) Kebersamaan (koinonia): saling melayani dan menyemangati supaya tetap berada di jalan 3) Pelayanan (diakonia): meneruskan kabar baiknya dan mengeluarkan setan (setan seperti kemiskinan, keputusasaan, diskriminasi, dll.) 3 dimensi ini inti atau DNA menjadi jemaat. Namun inti perlu dipisahkan dari bidang kerja masing-masing (liturgi, pastoral, katekisasi, dll). Semua bidang kerja itu adalah alat hantar/rambat menuju 3 dimensi intinya (DNA). Dan di mana tiga hal ini hadir kita akan ketemu sebagai “gereja”. Tabel dibawah bisa dipakai untuk melihat apakah di jemaat kita setiap bidang kerja menuju 3 dimensinya atau belum. Misalnya dengan: ++, +, +-, -, - - Mistik Koinonia Diakonia Liturgi Perjamuan kudus Pastoral Aksi Diakonia Pengabaran Injil Katekisasi Kepemimpian Komisi Ini berarti kalau 3 dimensi hadir saat Pelayanan Penjara misalnya, di situ gereja hadir. Bisa jadi yayasan atau kelompok tertentu menjadi gereja, kalau mistik, koinonia dan diakonia hadir. Di manapun 3 dimensi ini hadir gereja menjadi lengkap. Tetapi bukan gereja sempurna dan selengkapnya. Mereka tetap membutuhkan gereja yang lain. Pembelahan dan pemisahan inti tidak boleh terjadi: semua dimensi harus ada atau tidak sama sekali. Seringkali para teolog melihat Mistik dan Koinonia saja sebagai hati/inti gereja. Sebenarnya tergantung orang memakai definisi apa untuk menjelaskan ‘identitas’. Definisi menurut teologi praktis: identitas adalah jawaban atas dua pertanyaan, yaitu: siapakah kita dan apa misi kita? Sangkan Paran dumadi. Dalam apa yang kita lakukan, kelihatan seperti apa/siapa kita. Kalau tidak jelas siapakah kita, misi juga bisa kemana-mana tanpa arah. Selain 3 dimensi ini dipisahkan, ada juga yang menentukan dimensi tertentu saja untuk bidang kerja tertentu. Misalnya ada yg berkata: kita bertemu dengan Tuhan di liturgi saja. Namun ada yang mengatakan juga bahwa kita juga menemukan Tuhan dalam diri orang miskin. Kalau 3 dimensi ini dipisahkan, mereka akan berubah. Diakonia menjadi filantropi (tindakan belas kasih manusia karena moral). Koinonia menjadi persahabatan yang tertutup dan Mistik menjadi spiritualiteit ‘feel good’. Jadi semua bagian dari jemaat perlu dilibatkan pada misinya. Tidak ada pembangunan intern atau extern. Ringkasan sementara: PJA membutuhkan tolok ukur. Terus apakah dalam cerita/impian kita tiga dimensi ini akan terlihat jelas? Apakah cerita-cerita pengalaman kita menambah makna kalau melihatnya dari intinya? 7. Kepercayaan sebagai nada dasar. Kepercayaan beda dengan pengharapan. Pengharapan diatur oleh berita tentang statistik (tahun yl sekian persen meninggalkan gereja, tahun ini hanya sekian persen, kita maju!) dan cerita sukses (lihatlah, bisa kan?) Kepercayaan itu berbeda. Kepercayaan adalah “Positive way of being” (jalan positif untuk mengada). Dengan positif berada di dunia ini dan dalam menghadapi orang lain. Kepercayaan kepada Tuhan dan sesama sangat penting dalam PJA. Tuhan memberikan kita kepercayaan (jabatan semua orang yang percaya, imamat am orang percaya), dengan mengikuti-Nya kita perlu saling percaya dan mempercayakan apa yang kita alami dan kita rasakan. Gereja tidak tergantung semata pada kita. Mari kita santai: “Tuhan, inilah gereja-Mu. Saya tidur dulu” (Mazmur 127). Kepercayaan tidak hanya pemberian, tetapi juga panggilan/tugas (kalau dilihat di Mat. 14:22-33 saat Petrus tenggelam, Tuhan mengatakan ‘Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?’ Ternyata ada cara yang berbeda). Terakhir, PJA memiliki 7 dasar. Yang pertama dan yang terakhir paling menentukan. Kalau kita percaya kepada Tuhan, kita melihat dengan mata yang lain dan gambar dari realitas akan berubah. Kepercayaan sebenarnya adalah nada dasar yang memungkinkan semua nilai yang lain. “Saat organisasi dan budaya kritis cenderung untuk fokus pada kekurangan manusiawi dan pada aspek negatif, pembaruan yang efektif sebenarnya berfokus pada kekuatan kita” – David L. Cooperrider Jalan kepercayaan Filosofi PJA bagus sekali, tetapi bagaimana dengan prakteknya? Apakah ada jalan yang bisa dilampaui? Ya, jalan PJA adalah jalan kepercayaan. Dan menariknya: dampak dari menjalani jalan ini tidak baru kelihatan setelah beberapa bulan atau minggu, tetapi langsung dari awalnya. Dengan saling mempercayakan cerita pengalaman rohani. Itu memberikan harapan di jemaat. Supaya jalan kepercayaan ini menjadi jelas, mungkin perlu dibahas jalan yang lama dulu. Dalam jalan problemsolving ada 5 langkah: 1) Sadar ada masalah (mengalami sakit) 2) Apa penyebabnya? (diagnosis) 3) Ada solusi apa saja? (terapi) 4) Mari kita memakainya (makan obat) 5) Setelah beberapa waktu kembali untuk melihat apakah tertolong (evaluasi) Tujuan dari jalan ini adalah: rasa sakit harus hilang, kita harus kembali ke situasi awalnya. Di gereja jalan ini sering dijalani. Dan mungkin dalam situasi tertentu jalan ini diperlukan. Seringkali di jalan ini pemimpin bersama dengan para ahli membuat keputusannya. Seperti perjalanan/tour yang terorganisir oleh tourguides. Warga jemaat tinggal mengikuti tourguidenya. Dalam jalan ini pemimpinnya menghubungi warga jemaatnya, tetapi biasanya sudah di stadium terakhir, dan keputusannya sebenarnya sudah dibuat. Tujuannya adalah untuk mendapat dukungan untuk perencanaannya, tidak untuk memusyawarahkan dengan pasien secara serius. Namun ada jalan yang lain. Jalan kepercayaan: Perbedaan yang terbesar dengan jalan problemsolving menjadi bukan masalah, tetapi adanya kerinduan yang diutamakan. Bukan rasa sakitnya, tetapi cita-citanya. Ini akan membentuk perumusan temanya. Tema akan dirumuskan dengan positif. Bukan misalnya: ‘posisi marginal gereja’, tetapi ‘gereja sebagai terang untuk masyarakat sekitarnya’. Bukan ‘kehadiran di gereja turun’, tetapi perlunya ‘ibadah gereja yang inspiratif’. Ada 6 langkah Jalan Kepercayaan: 1) Mempersiapkan 2) Mengumpulkan cerita pengalaman 3) Memperdalam (mencari “faktor berbunga” penyemangat) 4) Menggambarkan (impian kita) 5) Mendesign (membuat persyaratan) 6) Menghubungkan (kita saling berjanji) Semua orang bisa dilibatkan dalam jalan ini: orang di dalam dan di luar jemaat. Digambarkan dengan metafor “perjalanan bersama-sama”. Tujuannya adalah pembaruan. Ada 2 peneliti di Belanda yang mau memperbaiki kualitas khotbah dengan memakai jalan problemsolving. Namun kalau memakai jalan kepercayaan fokusnya kepada pertanyaan: apa yang berharga dalam khotbah atau dalam ibadah (karena ibadah lebih dari khotbah saja). 1. PROBLEM SOLVING (menyelesaikan masalah) 2. APPRECIATIVE INQUIRY (mencari hal yang diaprisiasi) KATA KUNCI Belum Kekurangan Dahulu Sudah Kekuatan, hal yang berharga Sekarang TUJUAN Menghilangkan rasa sakit Memperbaiki situasi sekarang dengan mengingatkan dahulu Melihat peluang Memperbaharui situasi sekarang untuk masa depan Penjelasan Langkah demi langkah LANGKAH 1: MEMPERSIAPKAN Pertama-tama persyaratan harus diciptakan. Kalau memilih perjalanan bersama-sama itu berarti pemimpin harus mempercayai jemaat, melibatkan semua orang dan menyerahkan kekuasaan. Memilih perjalanan bersama-sama itu berarti kita tidak tahu akan sampai di mana. Sambil jalan akan menjadi jelas. Mungkin akan baik untuk ujicoba jalan ini dalam 1 projek dulu. Kemudian jemaat perlu membentuk tim pendamping dengan memikirkan formasi anggota. Misalnya: mereka perlu merindukan pembaruan, orang dari gereja dan ‘masyarakat’, punya spiritnya AI, punya waktu, punya pendukung-pendukung. Tugas tim ini adalah: - Mendampingi prosesnya dan menginformasikan tentang prosesnya. - Memonitoring karakter prosesnya. - Memilih tema yang relevan dan dirumuskan dengan positif (untuk menemukan tema yang mana mendesak bisa memakai angket dengan menjawab bagaimana keadaan sekarang dan bagaimana mereka merindukannya. Tema yang mendesak adalah yang jaraknya paling jauh antara kenyataan dan kerinduan. Selain memakai angket, tim bisa melibatkan fasilitator extern). - Membentuk pertanyaan yang memancing orang mau berbagi pengalaman positif mereka terkait dengan temanya. LANGKAH 2: MENGUMPULKAN CERITA PENGALAMAN POSITIF Untuk memancing pengalaman yang positif perlu ada pertanyaan yang memancing, misalnya: Kapan anda mengalami koinonia? Kapan anda mengatakan: seperti ini jemaat yang berdiakonia? Kapan anda mengalami majelis adalah sebuah tim? Terus semua orang (stakeholder) perlu diajak untuk berbagi pengalamannya. Lalu ada beberapa bentuk berbagi: dialog antar dua orang dan percakapan kelompok. Pentingnya dalam langkah ini adalah tidak fokus pada diskusi, tetapi pada dialog. Itu berarti bertanya, bertanya, bertanya! Dan lebih konkrit lebih baik. Sebuah dialog membutuhkan 4 kualitas (W. Isaacs): a- Mendengar (apa yang saya alami tanpa ambil konklusi) b- Menghormati (saya bisa belajar apa) c- Mengundurkan sudut pandang sendiri (apa yg bisa membuat saya melihatnya seperti itu) d- Berbicara (apa yang harus dikatakan oleh saya, orang lain, seluruhnya) Terus cerita yang paling khas harus dibagikan dengan semua orang dan dikelompokkan untuk melihat apakah ada tema / benang merah di dalamnya. Bisa jadi ada pengalaman negatif yang muncul. Yg penting harus ada ruang untuk berbagi itu dulu. Di satu jemaat ada pertanyaan berikutnya muncul: ‘kapan anda mengalami koinonia, dan kapan anda kehilangannya?’ Justru bertanya soal positif dan negatif sangat menolong jemaat ini untuk menemukan arti dan pengalaman koinonia. Harus ada ruang untuk berbagi pengalaman negatif, tetapi jangan berhenti di situ. Dan kita harus menyadari bahwa di belakang setiap masalah ada kerinduan. LANGKAH 3: MEMPERDALAM, BERSAMA-SAMA MENCARI FAKTOR YANG MEMBUAT BERBUNGA/SEMANGAT (‘LIVE GIVING FORCES’) Share pengalaman bisa membuat kita kembali ke jalan problemsolving (mengapa sekarang tidak begitu lagi?) Untuk memperdalam ceritanya kita harus bertanya mengapa, mengapa, mengapa terus. Sampai orang mengatakan: ‘ya, ini maskud saya’. Itulah faktor yang membuat situasi berbunga/semangat hidup tumbuh (dream). Pemimpin Tujuan/Tema Kontekst Identitas Masyarakat Struktur Suasana LANGKAH 4: MENGGAMBARKAN. BERSAMA-SAMA MENGGAMBARKAN APA YANG MUNGKIN DALAM IMPIAN KITA Impian itu berbeda dengan utopi. Impian adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, pengalaman dari masa lalu menggambarkan masa depan. Untuk menggambarkan impian (dream) kita harus memakai faktor dari langkah sebelumnya. Apa yang terjadi kalau faktor itu dapat ruang atau diperkuat? Jadi yang terbaik dari masa lalu dibawa dalam perjalanan bersama-sama. Impiannya perlu dilihat dari 3 sundut pandang: 1) Apakah impian kita menawarkan apa yang dibutuhkan masyarakat? 2) Apakah impian kita merefleksikan hakikat jemaat (tolok ukurnya berupa 3 dimensi)? 3) Apakah impian kita dapat diwujudkan? Jadi impian dihubungkan dengan: sejarah pribadi (kekuatan yang positif, peluang), kebutuhan masyarakat dan inti DNA-nya jemaat. Dalam dunia organisasi ditanyakan: “What is the world calling us to become?” Atau dengan kata lain: “Based on these reflections, what is God calling us to be?” Sebaiknya untuk merumuskan impiannya sekonkrit mungkin. Bisa dalam bentuk puisi, lukisan, metafor, dll. Dan akan menjadi lebih konkrit lagi kalau kita melihat masa sekarang dari masa depannya. 5 tahun ke depan bagaimana impian kita diwujudkan? Apa yang berubah? Impian akan menjadi lebih konkrit kalau disimpulkan dalam pernyataan yang menantang/mengundang (provocative statements) dengan membuat kalimat yang pendek dan tegas. Kemudian kalimat begitu dirumuskan seakan-akan impiannya sudah diwujudkan. LANGKAH 5: MENDESIGN. BERSAMA-SAMA MEMUTUSKAN PERSYARATAN UNTUK MEWUJUDKAN IMPIANNYA Di langkah 5 fokusnya pada pengorganisasian. Kalua kita mau mewujudkan impian kita apa akibatnya untuk identitas, pemimpin, dll (sesuai faktor-faktor di gambar di atas). Misalnya pernyataan adalah ‘Semua orang dapat ruang untuk ikut dalam ibadah kita’. Apa akibatnya untuk peran pemimpin, peran peserta, persiapan ibadah, dll. Sebaiknya tidak hanya membuat pernyataan yang umum tetapi membentuk ‘provocative statements’. LANGKAH 6: MENGHUBUNGKAN. MEMBUAT PERJANJIAN…. DAN KERJA! Kita sekarang tahu impian kita apa dan apa yang dibutuhkan untuk mewujudkannya. Tetapi kita harus tetap realistis. Lebih baik untuk melakukan beberapa hal dengan baik, daripada banyak hal tapi setengah-tengah. Penting untuk melibatkan orang yang ‘passionnya’ di situ, tidak karena ‘posisinya’. Bagus kalau proses pembaruan ditutup dengan sebuah perjanjian:“Kita saling berjanji” atau diminta dalam acara jemaat “Orang yang setuju, tolong berdiri dan jalan ke sebelah kanan’. Tujuan adalah supaya individu dan komunitas dihargai. contoh-contoh. - soal penggantian pendeta: Anda menghargai kualitas yang mana dari pendeta yang purna dan bagaimana dia menolong anda untuk menerapkan kualitas ini dalam kehidupan anda sendiri, apa yang paling dihargai di jemaat anda?, pendeta yang baru harus tahu apa tentang jemaat anda?, sebutkan 3 kerinduan yang konkrit untuk masa depan jemaat anda?. - soal Gereja desa: Kapan anda bangga kepada kehadiran gereja anda di desa. - Komisi pengatasan duka cita (pralenan): Apa yang menjadi pengalaman ‘terbaik’ anda disekitar kematian orang lain, apa yang membuat itu menjadi pengalaman yang baik, apa bagian saya dalam proses itu. Jalan ini dapat dilampaui dengan segala macam tema. Dan kalau menjalani jalan kepercayaan ini jemaat akan mendapatkan keterlibatan, kesenangan dan semangat baru. Setelah langkah terakhir, peserta perjalanan masih berproses, karena itu teruskan berbagi cerita. Ini adalah ‘way of being’ (cara berada). Karena orang Kristen adalah “orang dari jalan-Nya” (seperti orang Kristen dulu disebutkan). Mereka adalah Umat dan Bangsa Allah dalam perjalanan. “Engkau memiliki masa depannya, “whatever will be, will be”. Kita tidak menyanyikan lagu ini kapan saja, tetapi khususnya pada saat kita tidak tahu lagi, tidak punya kata-kata lagi” – Rob Lijesen MODEL JEMAAT PENUH KEPERCAYAAN Jalan pembaruan adalah sebuah proses. Tetapi dalam uraian ini kita fokus pada ‘modelnya’. Model adalah proses dalam keadaan terhenti, seperti sebuah foto. Ada dua macam jemaat: jemaat penuh kepercayaan atau jemaat penuh ketakutan dan kekuatiran. Eugen Drewermann, teolog dari Eropa yang terkenal, mengatakan hanya ada dua tema yang penting dalam hidup ini: kepercayaan dan ketakutan. Atau dengan kata lain: cinta dan mati. Ada dua tipe perusahan: yang berdasarkan ketidakpercayaan dan fokus pada mengontrol dan yang berdasarkan kepercayaan dan fokus pada kemampuan bekerjasama. Menurut Reiner Strunk, Kepercayaan mempengaruhi perilaku kita. Kepercayaan mengurangi jarak. Seperti Yesus: Dia mengurangi jarak dengan: - Tuhan - Saudara dari komunitas sendiri - Orang asing Kepercayaan melibatkan tiga dimensi intinya: Mistik, Koinonia dan Diakonia. Sebelum fokus pada jemaat yg penuh kepercayaan, kita akan fokus lebih dulu pada jemaat yang penuh ketakutan. Jemaat yang penuh ketakutan Jemaat yang penuh ketakutan dan kekuatiran melihat diri mereka sebagai kelompok yang diancam. Mereka tidak punya misi, karena mereka sibuk dengan menangkis ancaman. Orang bisa merespon bermacam-macam terhadap realitas ini: - Melihat kembali ke masa lalu yang diidealkan. - Berhenti, meninggalkan gereja. - Suram, tetapi tetap setia terhadap “pasiennya” (yaitu gereja) - Melawan ancamannya! Tujuan jemaat adalah untuk bertahan. Itu menggantikan misinya. Jemaat ini bisanya fokus pada kuantitasnya (melakukan diakonia dengan tujuan menambah jiwa misalnya). Wajar karena gereja seperti ini harus “survive”. Dan itu mempengaruhi semua bagian dari jemaat. Kalau melihat beberapa faktor: Seringkali jemaat seperti ini memiliki pemimpin yang ingin warganya mengikuti saja tanpa bertanya pertanyaan yang susah. Metafor ‘gembala dengan domba’ cocok untuk gereja seperti ini. Relasi dengan masyarakat dilihat sebagai ancaman. Suasana seringkali suram dan negatif. ‘Kalau gereja membuat dirinya sendiri sebagai tujuan itu akan mengganggu masa depannya’ (Andre Droogers, profesor antropologi cultural). Jemaat penuh kepercayaan Jemaat ini dibentuk oleh: A) Tetap satu oleh kepercayaan: kepercayaan membuat kita merubah fokus kita. Dari masalah (survive) ke kerinduan atau alasan berada. Kepercayaan mempengaruhi semua faktor: misalnya pemimpin berani untuk mendelegasi. Gembala di belakang dombanya, tidak di depan. Struktur: meja bundar, bukan meja direksi. B) Semua faktor bersama-sama membentuk sebuah system. Seluruhnya perlu diperhatikan. C) Kerjakan satu proyek atau kelompok, jangan satu faktor. Tidak mungkin atapnya dalam sekali kerja jadi, tetapi genteng demi genteng. D) Kemah Suci/kemah pertemuan. Percakapan yang terbuka dan bertimbal balik dalam suasana kepercayaan. Ciri-ciri Jemaat penuh ketakutan dan kekuatiran Jemaat penuh kepercayaan Nada dasar Takut Rindu dulu Ingin stabil (seperti dahulu) Penuh kepercayaan Kerinduan / keinginan Ingin pembaharuan (eksperimen) Suasana Gambar dari orang Komunikasi Prosedur Penerima Terhambat Perjalanan dengan tourguide Peserta Terbuka Perjalanan bersama-sama Kepemimpinan Misi Karakter Gaya Survive (tumbuh) Memerintah Menginstruksikan (menugaskan) Identitas / hatinya (berbunga) Melayani Meyakinkan (perundingan bersama-sama) Struktur Birokrasi/piramide (di pusatnya meja direksi) Conciliair/datar (di pusatnya meja bundar) Tujuan Bertahan/survive (evaluasi: kuantitas) Memperbaruhi (kualitas) Identitas ??? Jelas Relasi dengan masyarakat Menangkis, membela diri, sikap bertahan (defensive) Terbuka, melayani Metafor untuk gereja Gembala dan kawan domba Tempat penginapan, gereja dengan meja bundar, Suasana umum Suram Meriah, penuh pengharapan Jemaat yang penuh kepercayaan, yaitu ‘jemaat yang ramah tamah’. Inilah ciri khasnya: A) Terbuka dan jelas. Jemaat ini menciptakan ruang untuk orang lain dan punya identitas yang jelas. Ada 4 macam jemaat: a. Terbuka dan identitas jelas: jemaat ramah tamah b. Terbuka dan identitas tidak jelas: jemaat terbuka c. Tertutup dan identitas jelas: jemaat eksklusif d. Tertutup dan identitas tidak jelas: jemaat komunitas Gambaran B) Kesadaran menjadi tamu adalah konstitutif (Aturan mainnya). Jemaat ini sadar mereka sendiri orang asing dalam perjalanan. Tamu dari Tuhan. Dan karena kita sadar tentang itu kita perlu menciptakan ruang untuk orang yang lain. Metafor untuk gereja: losemen, restoran pinggir jalan, tempat penginapan. C) “Permainan rebutan kursi”. Tamu dalam jemaat yang ramah tamah memilki beberapa arti: tamu terhadap Tuhan, terhadap satu sama lain, terhadap orang asing dan membuat ruang untuk mereka. Tuhan, tuan rumah dan tamu bermain “permainan rebutan kursi”. Tamu menjadi tuan, tuan menjadi tamu, Yesus menjadi orang asing. Dan juga di sini Mistik, Koinonia dan Diakonia hadir. D) Gereja yang ramah tamah. Sebuah citra dari jemaat penuh kepercayaan. Dalam jemaat ini ada timbal balik: saling menghormati, saling mendengarkan. Jemaat penuh dengan kepercayaan adalah model ideal untuk sekarang dan masa depan. Jemaat seperti itu fokus pada hal yang paling penting yaitu ‘alasan berada’. Penuh kepercayaan tidak berarti menutup mata untuk masalah. Tetapi tidak mau dikuasai dan dilumpuhkan oleh masalah. Bagaimana kita bisa mulai perjalanannya? Dengan percakapan bersama-sama, antara warga gereja dan masyarakat. Dan yang penting: jalan, mulai saja! “Mulai saja sebelum berpikir”. “Harapan adalah berusaha sesuatu karena itu baik, tidak karena ada kemungkinan akan berhasil. Harapan tidak sama dengan optimisme. Tidak sama dengan keyakinan akan berakhir dengan baik. Tetapi ada keyakinan akan berarti, bagaimanapun hasilnya” – Vaclav Havel GEREJA SEBAGAI JENDELA PEMANDANGAN UNTUK PANORAMA YANG BARU Pembanguan jemaat yang fokus pada pembaruan selalu mendapat 3 pertanyaan: nilai yang mana memimpin kita (filosofi), bagaimana caranya (jalan), kita membayangkan jemaat seperti apa (model). Dalam PJA ada hubungan antara 3 bagian. Adanya jarak antara teori dan praktek menjadi penyebab orang meninggalkan gereja (bukan karena individualisasi dan sekularisasi). Jemaat yang penuh dengan kepercayaan bukan menjadi cermin (yang mencerminkan apa yang ada di masyarakat), tetapi menjadi jendela yang memberikan pemandangan pada panorama yang baru. Berhadapan dengan masyarakat yang penuh kecurigaan… menjadi jemaat yang penuh kepercayaan. Berhadapan dengan masyarakat di mana ada jarak antara orang, kelompok…. Kita harus mengecilkan jarak, dimulai di jemaatnya sendiri. Berhadapan pertanyaan penuh kekuatiran ‘bagaimana kita survive?’… membuat pertanyaan yang membebaskan dan menyemangati ‘bagaimana kita bisa bermakna untuk orang lain?’ Gereja seperti itu akan sangat bermakna untuk dunia. Membangun gereja seperti itu akan bermakna, bagaimanapun hasilnya Ambarawa, Juli 2024.

Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013