Bahan PA GKJ Ambarawa Ambarawa, 22 Agustus 2017
Bahan PA GKJ Ambarawa
Ambarawa, 22 Agustus 2017
Bahan PA Bulan Kebangsaan 2017
SUNGGUH-SUNGGUH MERDEKA
Matius 8:1-13
Tujuan: Peserta PA memahami arti sebuah kemerdekaan
Pengantar
72
tahun sudah Indonesia merdeka. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memiliki arti
mendalam bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, konon 350 tahun Indonesia
dikuasai oleh penjajah. Dalam catatan sejarah mereka adalah Bangsa Portugis,
Spanyol, Belanda dan Jepang. Dalam mewujudnyatakan kemerdekaan ini, para
pejuang dan pahlawan bangsa mempertaruhkan jiwa dan raga mereka. Mereka bersatu
padu, berjuang demi Indonesia merdeka.
Kemerdekaan
adalah hak suatu negara yang berdaulat. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Dengan
kemerdekaan yang sudah berjalan 72 tahun ini, rakyat kini bisa
bekerja, sekolah, beribadah, berkarya dan melakukan apa pun dengan lega dan
bebas. Kemerdekaan menjadi modal bagi pembangunan bangsa ini. Pembangunan di
bidang infrastruktur, ekonomi, pendidikan, sosialbudaya, politik, teknologi,
dan di segala bidang.
Merefleksikan
72 tahun kemerdekaan Indonesia, kita perlu bertanya: ”Apakah
kita sungguh-sungguh merdeka?” Ataukah kita hanya
merasakan kemerdekaan
semu?
Sejatinya
kita belum merdeka secara substansial? Mengapa kita dikatakan belum merdeka
secara substansial? Salah satu contohnya di bidang ekonomi. Indonesia belumlah merdeka
secara substansial karena ladang-ladang kelapa sawit, pertambangan, dan sumber
daya alam lainnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing (seperti halnya tarik ulur
persoalan Freeport). Masyarakat Indonesia masih belum merasakan
pemerataan pembangunan, masih timpang antara pembangunan di Kawasan Barat
Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia (di era Jokowi
ini sedang diupayakan pemerataannya).
Pembahasan
Dalam
Matius 8:1-13, terdapat dua:
seorang kusta yang meminta pentahiran dan perwira Kapernaum yang memohon
kesembuhan untuk hambanya.
Ketika Yesus menuruni bukit, orang banyak berbondong-bondong
mengikuti-Nya. Kemungkinan
besar orang banyak itu kagum akan khotbah
Yesus sewaktu di atas bukit.
Dalam kerumunan orang banyak itu, seorang penderita kusta
tiba-tiba datang kepada Yesus dan menyembah-Nya. Dengan
spontan, tanpa sungkan, Si Kusta itu menerobos orang banyak. Dia
berseru dan memohon kepada Yesus, ”Tuan,
jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” (ay. 2).
Si
Kusta menyadari sepenuhnya keberadaan dirinya, seperti pemahaman orang Yahudi
pada umumnya tentang penyakit kusta. Mereka beranggapan
bahwa kusta merupakan penyakit karena dosa. Dia memohon kepada Yesus
untuk menahirkannya—membebaskan penyakit kusta itu dan
membebaskan dosa-dosanya.
Yesus
pun menjawab, ”Aku
mau, jadilah engkau tahir” (ay. 3); maka
sembuhlah dan terbebaslah Si Kusta
dari dosa-dosanya. Sebagai tanda bahwa
dia telah terbebas dari kusta dan dosa-dosanya seperti adat kebiasaan orang
Yahudi yang telah sembuh dari kusta, Yesus menyuruh dia pergi
kepada imam serta memberikan persembahan penahiran,
seperti yang diperintahkan Musa (bdk. Im. 14:30-32).
Si Kusta itu sungguh-sungguh bebas.
Ketika
Yesus tiba di Kapernaum, ada seorang perwira tentara Romawi yang
menjumpai-Nya. Ia memohon kepada Yesus kesembuhan
hambanya dari penyakit lumpuh. Seperti kebiasaan orang
Yahudi, orang yang memiliki cacat pada tubuhnya dianggap berdosa
di hadapan Allah. Yesus mengiyakan permohonan perwira itu (ay. 7),
dan hendak pergi ke rumah Sang Perwira
untuk menyembuhkan hambanya itu.
Namun, Sang
Perwira merasa tidak layak untuk menerima
Yesus. Ia menyadari ketidaklayakan hambanya dan
dirinya (ay. 8), dan memohon
Yesus untuk mengucapkan sepatah kata saja. Sang Perwira
mengambarkan Yesus sebagai tuannya, ia membandingkan dengan hierarki
keprajuritannya (ay. 9). Apa yang diperbuat perwira itu
membuat Yesus heran (ay. 10). Sang Perwira
itu memiliki keyakinan besar bahwa hambanya dapat disembuhkan dari sakit
lumpuhnya dan dibebaskan dari dosanya hanya karena
ucapan Yesus.
Yesus
pun kemudian berkata, sekaligus
maklumat, kepada
Sang perwira; ”Jadilah kepadamu seperti yang engkau
percaya.” Seketika itu juga sembuhlah hamba
Sang Perwira dan
terbebas dari dosa-dosanya.
Melalui
kisah kedua tokoh tadi, kita dapat melihat bahwa
kebebasan mereka dari penyakit dan kutuk dosa (menurut kepercayaan orang
Yahudi) terjadi hanya karena karunia atau seizin Tuhan atas kesungguhan
upaya mereka.
Begitu
pula dengan kebebasan bangsa Indonesia dari
belenggu penjajah. Semuanya itu hanya karena kasih
karunia Tuhan melalui perjuangan dan pengorbanan para pejuang dan pahlawan
kita. Melalui refleksi 72 tahun kemerdekaan Indonesia ini, kita perlu terus
memohon kepada Allah untuk dapat merasakan kemerdekaan yang sejati. Ya, sungguh-sungguh
merdeka.
Refleksi
·
Apakah arti kemerdekaan menurut saudara?
·
Apakah bangsa kita ini sudah
sungguh-sungguh merdeka?
·
Bagaimanakah kita mengupayakan
kemerdekaan yang ”sungguh-sungguh merdeka” di zaman sekarang ini?