Iman Kristen dan Sekularisme
Iman Kristen dan Sekularisme
(Mencoba Mewujudnyatakan Hukum Kasih sebagai pijakan menghadapi Kehidupan)
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu…”
Sketsa
Membaca bunyi nats Alkitab di atas membuat kita akan memiliki banyak sikap. Biasa,cuek alias takpeduli,asal saja,mencoba menggali makna yang lebih dalam..Kita mesti jujur menerima kenyataan ini,bahwa setiap kita sudah sering bahkan terlalu sering malahan mempercakapkan nats di atas. Minimal sebagai orang GKJ,minimal seminggu sekali kita mendengarkannya. Namun demikian sering kali kita hanya sekedar membaca,mendengar,menerima saja. Jarang sekali di atara kita mencoba untuk menggali makna terdalam dari pesan Alkitab di atas. Akibatnya, nats Alkitab di atas meskipun selalu terbaca dalam tiap ibadah gereja kita pemaknaannya dangkal. Kedangkalan memaknai itu akhirnya juga berimbas pada arena kehidupan. Kehidupan gereja. Seringkali orang Kristen hanya mau mengambil satu item saja demi di dalam melaksanakan hidup berimannya. Item itu adalah rasa,fsikis. Artinya selama ini, manusia(Orang Kristen) maunya hanya mengasihi Allah sebatas rasa saja. Lain tidak. Padahal sebenarnya,Yesus,melalui ajaranya itu ingin manusia mampu menghadapi realitas hidup dengan terang kehendak Allah. Mengapa saya katakana demikian, karena dalam kalimat penutup nats di atas disebutkan..”pada kedua hukum itulah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para Nabi..”. sehingga dalam tulisan sederhana saya ini hendak mengantar kita untuk berdiskusi berkenaan dengan kehidupan ini dengan menggunakan terang Firman Tuhan di atas. Maksut saya adalah,mari kita bersama belajar melihat realitas kehidupan yang senantiasa multi segalanya ini (Asal,makna,pemaknaan,tujuan) dengan teleskop Hukum Kasih ini. Sehingga pada akhirnya ketika kita membaca nats HK dalam segala keadaan (Juga Firman Tuhan) selalu mencoba mendialogkanya dengan segala pergumulan kita. Pemahan Alkitab kali ini akan menggumuli sikap gereja (iman Kristen) terhadap sekularisme. Jadi nats diatas akan kita pakai sebagai pisau analisis demi mampu melihat,memilah dan memilih mana,dimana,apa, mengapa segala yang ada itu bisa bermana relegius atau rohani dan bermakna duniawi atau sekuler.
Sebuah Catatan
Di dunia ini tidak ada sesuatupun hal,peristiwa,masalah yang pada dirinya sendiri bermakna dan bernama. Semua menjadi berarti atau bermakna serta bernama, ketika ada yang memaknainya. Bahkan YANG ILLAHI atau REALITAS TAKTERBATAS itupun menjadi bermakna dan bernama ketika ada yang memaknai dan menamai-NYA. Dengan demikian mengacu pada penciptaan dunia di mana manusia ada di dalamnya, yang bisa member makna adalah manusia itu sendiri. Semua terjadi karena-dalam iman Kristen- hanya manusialah ciptaan yang memiliki akal budi. Hanya manusialah yang memiliki logika. Hanya manusialah yang memiliki nalar untuk berpikir. Manusialah yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu sesuai dengan standar ukuran kebutuhan dan keberkaitan dengan dirinya. Dengan demikian, sebenarnya semua hal,peristiwa,kejadian yang berlansung dalam panggung kehidupan dunia ini berarti ketika manusia mengartikannya. Menjadi memiliki nama ketika manusia memberinya makna Manusia memberi makna atau memaknainya. Dalam ranah makna inilah manusia-minimal- menjadikannya dua. Wilayah rohani dan area duniawi. Sangat jelas dikotomi ini. Sesuatu bisa bermana sacral atau suci dan agamawi dimaknai oleh seseorang atau sekelompok orang,namun oleh orang lain maupun komunitas lain sesuatu itu tidak bermakna rohani atau sacral samasekali.
Dari dasar berpikir ini saya akan mengajak saudara semua untuk sekedar bertamasya ke sebuah tempat di mana kita dituntut untuk menyadari sesuatu. Menyadari sesuatu yang mungkin selama ini sudah (Atau bahkan sering) kita lakukan namun tanpa sebuah pengertian yang jelas. Saya hendak menguraikan-meskipun sangat singkat dan sederhana sesuatu keadaan,peristiwa,kejadian yang bisa memiliki multi makna.
Peristiwa BABTIS
Bagi jemaat Kristen atau warga gereja,Babtis adalah sebuah peristiwa sacral,khusus,kudus,suci yang menjadikan manusia berarti di hadapan Allah. Bermakna dihadapan Yang Illahi. Karena pemahaman yang demikian itu maka demi menyiapkan,menyambut dan menerima peristiwa itu jemaat Kristen mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak dilakukan dengan sembarangan (Meskipun banyak yang melakukanya dengan sembrono). Kenapa demikian,jemaat Kristen MEMAKNAI babtis sebagai peristiwa Illahi,di mana Allah berkenan memakai peristiwa itu sebagai tanda disakralnya mereka dari sebuah keadaan yang tidak sacral. Dikuduskan dari keadaan yang tidak kudus. Disucikan dari keadaan tidak suci. Ini pemaknaan dari jemaat Kristen. Namun demikian apakah orang atau komunitas orang yang bukan Kristen akan member makna yang sama?Akan memperlakukan yang sama dengan yang dilakukan oleh orang Kristen? Mungkin atau malah pasti TIDAK, mengapa?Karena bagi mereka itu hanya sebuah perisstiwa biasa,peristiwa lumrah yang sangat manusiawi. Coba kita tanyakan perihal sakramen Babtis kepada mereka yang bukan Kristen,mesti jawabanya :Saya tidak tahu,tidak paham. Yang saya tahu adalah adanya ritual pemercikan air oleh pendeta kepada orang-orang yang berpakaian bagus-bagus dan rapi-rapi. Ini yang mereka lihat,pahami dan maknai. Selain itu,saya yakin,tidak akan lebih. Dan sebenarnya memang demikianlah alur sejarahnya. Babtis adalah sebuah ritus kuna Yahudi yang awalnya tidak bermana religious. Tidak ada yang imaniah,yang rohani. Menjadi bermakna rohani manakala komunitas Kristen/gereja mula-mula memaknainya rohani. Jadi jelas dari uraian di atas, segala sesuatu akan bermakna menurut yang memaknainya itu. Atau memang bisa jadi.sesuatu akan bermakna ketika sebuah consensus memberinya makna baru dari makna asalinya.
Akal,pengetahuan,iman dan Mengasihi Tuhan
Di atas telah saya singgung bahwa manusia adalah ciptaan yang paling berakal. Akal itu adalah bagian istimewa dari manusia. Dengan akal manusia bisa mempertahankan serta malah mengembangkan hidup. Dengan akal manusia bisa menjangkai sesuatu yang sukar dimengerti. Dengan akal pulalah manusia bisa memberi segala macam makna terhadap segala yang ada dan terjadi. Semua adalah baik sepanjang tetap berpijak kepada sikap tunduk dan taat serta mengakui serta mengimani adanya Tuhan Allah. Namun demikian, seperti uraian Pak Tarno dan juga pemaparan PPA GKJ, karena kemampuan akal manusia yang semakin tinggi itu juga bisa menjadikan manusia menyangsikan keberadaan dan kemahakuasaan Allah. Dengan semakin maju kemampuan berpikir manusia yang bisa menciptakan (lebih tepatnya mengubah) segala sumberdaya alam menjadi alat bantu kehidupannya,bisa jadi pemaknaan dan pengertian akan Tuhan semakin terdesak.
Ada sebuah contoh di dalam Alkitab yang bisa kita ambil dalam permenungan dan diskusi kita sekarang ini. Pada jaman NUH, orang melihat adanya pelangi dan akan terkagum-kagum,terheran-heran akan peristiwa alami itu. Nuh dan komunitasnya waktu itu melihat,merasa dan menghayati untuk kemudian memaknai peristiwa pelangi sebagai peristiwa Illahi. Peristiwa ajaib buah tangan Allah. Dan lebih dalam lagi,peristiwa pelangi adalah sebuah “Pakta Perjanjian” antara Allah dan Manusia. Perjanjian dari pihak Allah untuk tidak menghukum bumi dengan hujan,air bah dan banjir lagi. Itulah pemaknaan Nuh dan rekan hidupnya waktu itu. Namun demikian,apakah kita yang hidup sekarang, jauh dari jaman,bahasa, budaya,Negara dengan Nuh akan memperlakukan yang sama seperti yang Nuh imani?Mungkin akan menjadi bahan tertawaan orang. Karena apa?Sekarang anak esde saja tahu bahwa pelangi terjadi hasil dari pembiasan sinar matahari oleh air. Air yang terkena sorot Sang Mentari itu berfungsi seperti prisma yang memecah dan mengurai cahaya itu. Sekarang manusai sudah bisa menalar peristiwa pelangi. Jadi apakah Nuh salah, dan berdosakah Nuh memaknai yang seperti di atas?TIDAK
Nuh memaknai Pelangi itu sebagai tanda perjanjian Allah untuk MENGAKHIRI air bah ada benarnya. Bukankah pelangi akan selalu muncul sehabis hujan?dengan demikian salahkah Nuh memberi makna bahwa hadirnya pelangi waktu itu juga sebagai isyarat telah usainya hujan badai itu?. Nuh memaknai sebuah peristiwa biasa/lumrah/secular dalam bingkai keimanan dalam relasinya dengan Allah. Nuh melihat sebuah peristiwa bukan sekedar dari satu sudut pandang akal/nalar atau logika saja. Namun Nuh melihat sebuah peristiwa alam “Biasa” dalam terang relasinya (Baca) imannya kepada Allah. Nuh –meskipun formulasi hukum kasih dan Taurat belum muncul- sudah menghayati segala sesuatu dengan tiga ukuran. Melhat sesuatu dengan nalar,rasa atau hidup dan juga seluruh kemampuan. Nuh mampu memotret sebuah peristiwa tidak Cuma dengan satu kamera kehidupan,yaitu akal. Namun Nuh juga menggunakan rasa dan seluruh kemampuannya untuk menghayati dan memaknai sebuah peristiwa.
Refleksi
Sekarang,dengan akal dan kemajuan teknologi, kita bisa mencari makna atau untaian logika dari banyak peristiwa.meskipun tidak semua peristiwa dapat terjangkau oleh akal manusia yang sangat terbatas ini. Ya,dengan akal kita bisa menggapai banyak hal. Dalam keadaan seperti ini,bahayanya adalah manusia semakin tidak mampu melihat lebih ke dalam. Tidak mampu melihat TUhan. Ketika hampir semua peristiwa di dunia ini bisa dijangkau oleh nalar manusai,posisi Tuhan dalam bahaya. Sering iptek membunuh Tuhan. Namun benarkah demikian?Kalau kita menggunakan tiga poin dalam nats Hukum Kasih di atas,itu tidak akan terjadi. Manusia mesti sadar bahwa dirinya terbatas,meskipun kemampuan berpikir manusia berkembang. Dengan kesadaran akan keterbatasan inilah maka manusia mesti juga mengerti ada banyak hal yang tak terjangkau oleh nalarnya. Lalu kemudian ketika nalar tidak bisa menjangkau,apa yang bisa diperbuat manusia?Nah.. disinilah rasa akan memainkan perannya untuk menuntun pada sebuah kesadaran agamawi yang namanya IMAN. Iman akan selalu berjalan bersama dengan akal dan rasa.