Julianto Simanjuntak:Hilangnya Guru Sejati
Hilangnya Guru Sejati
Menurut Romo Mangun sistem Pendidikan
Orde Baru telah menghilangkan suasana belajar sebab sistem pengajaran dan
pendidikan negeri ini sama sekali tidak mendukung pemekaran anak. Sudah lebih tigapuluh tahun Indonesia tidak lagi
punya guru dalam arti yang sejati. Hal ini disebabkan pemerintah telah menyulap guru-guru kita
menjadi guru penatar, instruktur, komandan, birokrat dan dewa. Akibatnya
maka muridpun selama ini sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah “orang dewasa”
mini, prajurit mini, dan bawahan mini, kader mini yang kehilangan spontanitas
dan keceriaan alaminya akibat hubungan guru-anak yang serba komando. Suasana
dan sistem pendidikan sedemikian justru menciptakan suasana pendidikan atau pengajaran yang diwarnai kekerasan.
Menurut Henri Nouwen suasana kekerasan dalam pendidikan dan
pengajaran nampak dalam tiga ciri.
Pertama, suasana yang
membangkitkan persaingan. Cara para murid memandang kawan dan guru mereka, cara
mereka mengharapkan nilai dan gelar, dan sebagainya diwarnai oleh semangat
permusuhan. Misalnya, jika ada seorang yang mendapat nilai tinggi ia
merasa bangga bahwa kawan-kawannya mempunyai nilai rendah.
Kedua, pengajaran yang
berlangsung satu arah. Metode ini dilatarbelakangi asumsi bahwa guru lebih tahu
dari murid.
Ketiga, ciri yang
mengasingkan, karena mata para murid diarahkan keluar dari diri mereka
sendiri dan menjauh dari hubungannya yang langsung ke masa depan di mana
hal-hal yang sesungguhnya diperkirakan akan terjadi baginya. Sekolah hanya
dianggap untuk persiapan untuk hidup di masa depan mencari nafkah. pada suatu
hari sekolah ditinggalkan, buku-buku ditutup dan guru dilupakan. Tidak
mengherankan proses ini membuat murid jemu dan bosan bersekolah, sebab sistem ini
membuat baik guru dan murid tidak dapat mengungkapkan kepribadian mereka atau
membangun hubungan mereka satu sama lain dengan baik.
Oleh karena itu perlu pembaharuan visi dan paradigma pendidikan
di Indonesia. Sebab jika sistem pendidikan di tanah air ini tidak diperbaiki
(di reformasi) maka besar kemungkinan proses pendangkalan ilmu terus
terjadi di sekolah-sekolah kita. Salah satu indikasinya adalah munculnya gejala
di mana banyak orang sekolah bukan untuk membangun dan mempersiapkan diri
tetapi hanya untuk prestis seperti mendapat gelar saja. Lihat saja maraknya
jual beli gelar dewasa ini. Ironisnya dilakukan oleh institusi pendidikan
dengan cara idak mendidik. Tidak kuliah, cukup bayar dapat gelar. Mengerikan
sekali. Hal ini pula yang meningkatkan kebiasaan plagiat di kalangan mahasiswa
S1 hingga S3. Silahkan simak tulisan kami di:
Perbaikan atau reformasi pendidikan seharusnya
menuju sistem dan prosespendidikan yang membebaskan. Suasana di mana para murid menghirup suasana
iman/ harapan/ cinta kasih di dalam keseharian mereka di sekolah. Suasana atau
iklim kekeluargaan yang saling solider.
Menurut Nouwen proses pendidikan yang
membebaskan itu mempunyai tiga ciri. Pertama, evokatif yang berarti bahwa setiap murid dan guru berusaha membangkitkan
kemampuan yang dimiliki pihak lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi
yang lain. Kedua, model dua arah yang berarti bukan hanya murid saja
belajar dari guru tapi guru juga belajar dari sang murid. Ketiga,mengaktualisasikan yang berarti kalau belajar dalam arti tertentu adalah
persiapan untuk masa depan, namun masa depan itu harus nyata tanda-tandanya di
masa sekarang dan di sini, di mana aktualiasi itu nampak dalam kehidupan
sehari-hari. Misal, kita tidak mungkin bercita-cita menegakkan keadilan
dan kasih dalam masyarakat jika tidak dimulai sekarang saat masih di sekolah
Proses reformasi ini harus dimulai dari sistem edukasi dasar,
sebab menurut Mangun anak-anak SD sekarang inilah yang relatif bersih
dari polusi sistem pendidikan rejim Orde Baru yang memakai sistem
membodohkan dan yang menindas itu. Anak-anak itulah yang diharapkan dan
diperkirakan Romo Mangun menjadi generasi baru yang membawa Indonesia
Baru yang dimulai sekitar tahun 2045 (kalau bisa lebih awal).
Hal berikut yang penting dalam proses
reformasi bidang pendidikan adalah dengan mengembalikan otonomi pedagogis kepada sekolah dan guru. Sistem yang ada selama ini ada
dominasi kekuasaan atau pemerintah atas proses pendidikan. Hal ini
dikemukakan Buchori dalam sebuah simposium pendidikan. Selanjutnya ia berkata:
“Selama kebekuan ini tidak dicairkan, selama itu pula sekolah
serta guru-guru tidak akan dapat melaksanakan tugas mendidik secara benar.
Selama itu pula kita tidak dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan fundamental
yang terjadi di sekolah-sekolah”.
Supratiknya menegaskan di zaman Orba, otonomi
pedagogis sangat bergantung kemauan politik penguasa. Sebab birokrasi
pendidikan kita masih bergantung pada penguasa. Dominasi kekuasaan atas
pendidikan di Indonesia justru menimbulkan proses pandangkalan yang
luar biasa. Proses itu masih terus terjadi.
Untuk pembaharuan sistem pendidikan di
Republik ini Mangunwijaya menyodorkan empat paradigma baru yang dapat menjadi
modal bagi hari depan bangsa. Pertama, hati yang mampu mendengar
dan ikut merasakan penderitaan rakyat dan secara pribadi tak gentar menderita
pula. Kedua, berintelegensi tinggi, mampu menyerap segala yang baik dan bgijak
dari budaya dunia, mampu memanfaatkan faktor-faktor objektif dan subjektif,
regional maupun internasional. Ketiga, selalu mencari jalan damai tanpa
kekerasan. Keempat, memperhatikan waktu; menyadari bahwa perubahan dan
perbaikan besar-besaran memerlukan waktu bila mau mengakar mendalam. Sebab
tidak pernah ada perubahan total berjalan mendadak dan lewat jalan pintas.
Generasi muda mempunyai waktu sampai tahun-tahun simbolis 2008, 2028, 2045.
Dasar pertimbangan Mangun di atas adalah karena ia melihat telah terjadibrainwashing selama 30 tahun oleh Orde Baru, yang menciptakan
mental korup yang luar biasa dan telah mencemari semua sistem termasuk
pendidikan. Hanya dengan memperbaiki sistem pendidikanlah kita bisa membaharui Indonesia sehingga dapat bebas dari segala yang negatif sisa rezim Orba
yang didominasi oleh paham kapitalis/koncois/borjuis/ feodalis/
priyayi-mapan/koruptor-uang- rakyat/penghisap si kecil, dan sebagainya.
Menghapus sisa jejak sistem pendidikan orba masih butuh
perjuangan. Meski dana pendidikan di era SBY dinaikkan hingga 20 %
tetap saja pendidikan di negri kita masih jalan di tempat. Banyak orang
berduit berusaha dan lebih bangga menyekolahkan anaknya ke Malaysia atau
negri lainnya. Beberapa kali pemerintah ganti menteri tetap tidak banyak
perkembangan yang menggembirakan. Misal masih begitu banyak sekolah SD yang
rusak dan sama seali tidak dipakai. Murid belajar beratapkan langit. Lihat saja
ada pemilihan rektor bermasalah justru terjadi karena ada dugaan
intervensi menteri pendidikan dan sebagainya. Namun kita tidak boleh menyerah,
tidak berhenti berharap. Semoga pemerintah di era 2014 memberi angin segar bagi
pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang pro rakyat, pendidikan
yangmemerdekakan. Jangan lagi kita terkecoh memilih pemimpin, yang hanya
berkata peduli pendidikan tetapi justru mematikan.
Julianto Simanjuntak
Pelikan Foundation
Sumber:
1.
Hartoko, Dick (Ed.), Memanusiakan Manusia Muda : Tujuan
Pendidikan Humaniora. Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
2.
Henri Nouwen, Pelayanan Yang Kreatif.
(Yogjakarta: Kanisius, 1994)
3.
YB Mangunwijaya. Memuliakan Allah Mengangkat
Manusia. (Yogjakarta: Kanisius, 1999)
4.
Mangunwijaya, Y.B. Menuju Indonesia Serba Baru. Jakarta:
Gramedia, 1998,
5.
Musa Kazhim (Ed.). Menuju Indonesia Baru:
Menggagas Reformasi Total. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
6.
Mangunwijaya, Menuju Republik Indonesia
Serikat. (Jakarta: Gramedia, 1998)