renungan PSAK

Renungan bulan September 2012
Sabtu, 1 September 2012
Matius 5 : 41
"Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil."

Dalam bekerja kita sering berhadapan dengan deadline, yaitu masa dimana apa yang kita kerjakan harus sudah rampung. Ini adalah realita yang akan dihadapi ketika seseorang masuk ke dalam dunia pekerjaan profesional, dan hal ini selalu saya tekankan kepada para siswa-siswi saya. Dan saya pun melatih mereka agar serius memandang deadline lewat syarat pengumpulan tugas yang tepat waktu, tidak molor sedikitpun. Tidak semua siswa patuh terhadap hal ini, karena seperti kebiasaan banyak manusia, mereka selalu bersantai-santai dahulu, kemudian kalang kabut mengerjakan ketika waktu sudah mepet. Akibatnya seringkali tugas itu belum rampung pada saatnya. Ketika seharusnya tugas itu sudah dikumpulkan, mereka kedapatan masih sibuk mengerjakan.
Sudah menjadi sifat kebanyakan manusia untuk tidak serius mengerjakan sesuatu sejak awal. Kesibukan dan keseriusan baru akan muncul ketika deadline sudah mepet, dan akhirnya apa yang dikerjakan pun seringkali tidak sempurna alias hanya seadanya, ala kadarnya. Padahal firman Tuhan menegaskan bahwa kita haruslah melakukan segala sesuatu dengan serius. Tidak hanya serius, bahkan dikatakan bahwa kita harus melakukan lebih dari yang seharusnya. Dan inilah yang dikenal dengan sebutan "going the extra mile".
Yesus berkata "Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil." (Matius 7:41). Bagi kita mungkin berjalan satu mil saja sudah berat, kalau bisa setengahnya saja atau tidak usah sama sekali. Tetapi Tuhan menginginkan kita untuk melakukan lebih dari itu, menambah satu mil lagi.
Bagaimana caranya? Ada banyak contoh yang mungkin bisa kita pakai sebagai bentuk aplikasi dari going extra mile ini. Misalnya jika dahulu mencuri, setelah menerima Yesus bukan saja berhenti mencuri, tetapi tingkatkan hingga memberi. Jika dahulu mudah marah dan membenci, sekarang bukan saja berhenti membenci dan mengurangi emosi, tetapi tingkatkan hingga bisa mengasihi. Ini baru dua contoh dari sekian banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai aplikasi nyata dari going extra mile dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mengapa kita harus berjalan lebih dari yang diharuskan? Ayat 48 memberikan alasannya. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.". Untuk menjadi sempurna kita tidak bisa setengah-setengah, tidak cukup melakukan ala kadarnya, tetapi keseriusan yang sungguh-sungguh haruslah menjadi gaya hidup kita. Tanpa itu niscaya kita tidak akan pernah bisa menjadi sempurna. Salah satu gambaran yang jelas mengenai going extra mile ini bisa kita lihat dalam hal menghadapi musuh, seperti yang tertulis dalam Lukas 6:27-36. Perhatikan firman Tuhan berikut: "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak." (ay 32-34). Kalau kita puas dan berhenti sampai disitu saja, lantas apa bedanya kita dengan orang lain? Ada seruan penting yang harus kita ingat bahwa dalam perjalanan hidup kita ini, kita harus berjalan menuju kesempurnaan seperti halnya Bapa. We are going towards it, and for that we are told to walk extra mile.
Dalam Efesus kita bisa melihat aplikasi dalam dunia pekerjaan. "Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia." (Efesus 6:5-7). Jangan cuma rajin ketika diperhatikan, atau ketika diiming-imingi bonus saja, tetapi lakukanlah apapun yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan. Ini contoh lain dari menjalani mil kedua. Bagaimana dalam hal rohani? Kita sudah diselamatkan, oleh karena itu kita harus menjaga diri kita agar tetap berjalan dalam koridor firman Tuhan, sesuai dengan apa yang dikehendakiNya. Tetapi kita tidak berhenti disana, karena seharusnya kita pun terpanggil untuk peduli kepada keselamatan orang lain. Membawa orang yang tersesat kembali kepada Tuhan, membawa jiwa-jiwa untuk bertobat, memberi kepada yang membutuhkan dengan sifat murah hati berdasarkan kasih dan sebagainya. 
Terlalu cepat puas dengan usaha ala kadarnya tidak akan pernah membawa kita untuk menapak ke arah kesempurnaan seperti yang dikehendaki Tuhan. Melakukan sesuatu setengah-setengah tidak akan membuat kita mampu menjadi terang di dunia. Yesus mengajarkan murid-muridNya termasuk kita untuk mau berjalan lebih, to go the extra mile. Dan inilah yang seharusnya membedakan kita dari kehidupan orang dunia. Ketika mil pertama mengacu kepada kewajiban, mil kedua itu mengacu kepada kasih. Orang-orang yang berjalan hingga mil kedua adalah orang yang mau melakukan lebih dari sekedar kewajiban dan meneruskannya dengan melakukan atas dasar kasih. Siapkah anda? Let's move on to the next mile!


















Senin, 3 September 2012

Matius 5:7
"Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan."
Sebuah karakter yang wajib dimiliki oleh kita pengikut Kristus adalah murah hati. Seperti apa yang dikatakan costumer sercvice di atas, kita pun seharusnya tetap peka dalam melihat permasalahan orang-orang yang berada di sekitar kita dan siap menanyakan hal yang sama: "Ada yang bisa saya bantu?" We have to be ready to lend a hand, to help. Kemurahan hati merupakan sebuah karakter atau sikap yang harus hidup dan bertumbuh subur dalam diri kita.

Ada banyak orang rela memberi, tetapi tidak semua berasal dari karakter kemurahan hati. Perhatikanlah ada banyak orang yang memberi dengan mengharapkan imbalan atau balas jasa. Ada orang yang memberi demi agendanya pribadi, demi tujuan tertentu yang memberikan keuntungan bagi dirinya secara pribadi atau golongan. Ada pula yang ketika memberi mereka berharap mereka dapat menguasai atau mengubah orang yang diberi sesuai dengan keinginan mereka, membantu seseorang untuk menjadikannya boneka yang bisa diatur sekehendak hati. Yang seperti ini bukanlah sebuah pemberian yang didasari sebuah sikap kemurahan hati yang berasal dari kasih. Apa yang mendasari sebuah uluran tangan untuk membantu haruslah murni dari kemurahan hati, dan kemurahan hati ini harus pula berlandaskan kasih. Inilah yang dikehendaki Tuhan untuk kita miliki.

Kemurahan hati mutlak harus kita miliki sebagai pengikut Yesus. Dia telah menyampaikan hal ini dalam kotbah di atas bukit yang sangat terkenal itu. "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan." (Matius 5:7). Hal ini sejalan dengan apa yang tertulis jauh sebelumnya, yaitu dalam Amsal: "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri, tetapi orang yang kejam menyiksa badannya sendiri." (Amsal 11:17). Hanya dengan bersikap murah hati yang benar-benar tuluslah kita akan beroleh kemurahan. Jika kita hanya berpura-pura baik dalam membantu atau memberi padahal kita punya begitu banyak agenda terselubung dibelakangnya, maka hal itu bukanlah sesuatu yang berkenan dimata Tuhan.

Cukupkah murah hati itu diwakili oleh sebuah perasaan kasihan, ungkapan simpati yang hanya berhenti hingga kata-kata yang keluar dari mulut saja? Tentu tidak. Perhatikan firman Tuhan berikut: "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" (1 Yohanes 3:17). Bagaimana mungkin kita mengaku memiliki kasih Allah, mengaku sebagai anak Allah, tetapi kita tidak melakukan apa-apa secara nyata dan hanya bergumam kasihan saja kepada orang lain? Maka apa yang harus kita lakukan pun hadir dalam ayat berikutnya. "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." (ay 18). Bukan hanya dengan perkataan, bukan sebatas di bibir atau lidah saja, tetapi haruslah lewat perbuatan nyata dan dalam kebenaran.

Jika kita mengaplikasikan kasih dan kemurahan hati berdasarkan sebab akibat, itupun tidak tepat. Memberi hanya karena membalas pemberian orang, atau berharap diberi kembali, berbuat baik karena orang baik kepada kita, mengasihi orang karena mereka mengasihi kita, itu semua masih terlalu dangkal. Yesus mengatakan "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?" (Matius 5:46-47). Dan inilah yang dituntut dari kita: "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (ay 48). Seperti halnya Bapa di surga mengasihi semua orang dengan sempurna, seperti itu pula kita dituntut untuk berlaku. Membantu, memberi tanpa pamrih, tergerak dan terpanggil untuk melakukan sesuatu secara nyata bukan karena mengharap imbalan atau memiliki tujuan tersembunyi di belakangnya, tapi murni karena belas kasihan, sebuah kemurahan hati yang berdasarkan kasih. Bukan sembarang kasih, tetapi seperti kasih Allah yang tinggal diam di dalam diri kita.

Sesungguhnya kasih memiliki posisi yang sangat tinggi dalam kekristenan. Itu adalah sebuah esensi dasar Kekristenan. Sudahkah kita memilikinya? Sudahkah kita peka terhadap kesulitan orang di sekeliling kita dan bergerak untuk memberikan bantuan nyata? Atau kita masih berhenti pada rasa iba tanpa perbuatan, masih berhitung untung rugi, memikirkan manfaat apa yang bisa kita peroleh dibaliknya, atau malah tidak peduli sama sekali? Simpati atau iba itu baik, tapi tidak akan ada hasilnya jika tidak diikuti dengan perbuatan nyata. Dan itu haruslah berasal dari hati yang mengasihi. Itulah sebuah kemurahan hati yang selayaknya dimiliki oleh kita. Kehidupan secara global semakin berat, itu artinya semakin banyak orang yang butuh uluran tangan saudara-saudaranya. Siapkah anda untuk datang kepada mereka dan berkata, "adakah yang bisa saya bantu?"  Amin.

Kemurahan hati berdasarkan kasih akan mampu membuat perbedaan nyata dalam kehidupan



















Sabtu, 8 September 2012


Kolose 3 : 23
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk  manusia."

Kerja ya kerja, spiritual ya spiritual. Ada banyak orang yang membagi kedua hal ini menjadi bagian yang benar-benar terpisah dan berbeda. Bekerja itu murni dan mutlak untuk menyambung hidup, mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga dan diri sendiri. Artinya, tidak ada makna spiritual apapun yang bisa dikaitkan dengan pekerjaan atau profesi kita sehari-hari. Bicara soal spiritual beda lagi, yang dipikirkan adalah doa, pujian dan penyembahan, saat teduh dan kegiatan rohani lainnya. Menjadi pendeta, misionaris, diaken atau worship leader dan tim musik, itulah urusan rohani, sedangkan dalam bekerja tidak ada kaitan sama sekali dengan spiritual. Ini adalah sebuah misconcept, sebuah pemikiran yang keliru.

Benar bahwa kita bekerja untuk menyambung hidup. Benar bahwa kita harus bekerja untuk mencari nafkah, mencukupi kehidupan rumah tangga dan kebutuhan istri dan anak-anak. Alkitab pun berkata dengan keras mengenai sebuah keharusan untuk giat bekerja. "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10). Tidak ada kemalasan dalam kamus kehidupan kekristenan. Jika kita melihat orang-orang yang dipakai Tuhan di sepanjang alkitab, kita pun akan menemukan bahwa mereka yang dipakai Tuhan adalah orang-orang yang kedapatan sedang bekerja. Tuhan tidak memakai orang malas, Dia tidak pernah berkenan kepada sesuatu yang bernama kemalasan ini. Namun ingatlah bahwa prinsip kekristenan memandang kerja bukan hanya sekedar untuk menyambung hidup atau mencari nafkah saja, melainkan juga untuk memuliakan Tuhan di dalamnya. Lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan, bekerja seharusnya juga memiliki makna spiritual di dalamnya.

Apa yang menjadi tugas manusia yang diberikan Allah lewat Adam? Dalam Kejadian 2 kita bisa membaca bahwa Adam ditugaskan untuk "mengusahakan dan memelihara taman Eden" (Kejadian 2:15), lebih lanjut juga ditugaskan seperti ini: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (1:28). Perhatikan bahwa Adam bukan ditugaskan untuk berdoa, menyanyi dan menari untuk Tuhan, tetapi untuk melakukan serangkaian tugas seperti yang tertulis dalam ayat di atas. Artinya untuk menyenangkan dan memuliakan Tuhan kita bukan hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan kerohanian semata, tapi lewat pekerjaan atau profesi kita sehari-haripun kita harus memperhatikan untuk melakukan hal-hal yang bisa menyenangkan hati Tuhan, dimana Tuhan dimuliakan di dalamnya.

Mari kita lihat sejenak sosok Paulus. Paulus adalah seorang yang radikal dalam mewartakan berita keselamatan kemanapun ia pergi. Dia tidak takut, dia tidak bersungut-sungut, dia tidak hitung-hitungan untung rugi, semua dia lakukan karena ketaatan dan kasih yang besar kepada Kristus. Bahkan nyawanya sekalipun ia berikan demi menjalankan apa yang telah ditugaskan kepadanya. Namun lihatlah bahwa Paulus masih tetap bekerja. Paulus bekerja sebagai pembuat kemah (Kisah Para Rasul 18:2-3), dan itu dia gunakan untuk membiayai keperluan dan kebutuhannya beserta teman-teman sekerja dalam melayani. (20:34). Paulus tidak meminta hak khusus untuk tidak bekerja, meskipun waktu dan fisiknya jelas tersita untuk melayani kemana-mana. Ia mengalami deraan, siksaan dan sebagainya, namun ia tetap bekerja. Bahkan lebih dari sekedar untuk membiayai pelayanan, Paulus pun menyatakan bahwa ia bekerja agar bisa memberi, membantu orang lain. "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (ay 35). Dari rangkaian fakta ini kita bisa menyimpulkan bahwa Paulus menyadari ia bisa memuliakan Tuhan lewat pekerjaannya. Tidak bersungut-sungut dalam melayani dan bekerja sekaligus, membiayai pelayanannya dan rekan-rekan, plus memberi bantuan kepada orang lain, bukankah semua itu merupakan sesuatu yang berharga di mata Tuhan? Artinya jelas, ada makna spiritual yang harus terkandung di dalam pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari.

Firman Tuhan berkata: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk  manusia." (Kolose 3:23). Ayat ini mengikuti ayat sebelumnya yang berbunyi "Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan." (ay 22). Ada sebuah alasan yang lebih dari sekedar menyambung hidup dalam bekerja, yaitu untuk menyenangkan hati Tuhan. Dan karena itulah kita dituntut untuk bekerja dengan serius dan sungguh-sungguh, bukan seperti untuk manusia melainkan seperti untuk Tuhan. Tokoh reformasi gereja Martin Luther pernah berkata: "Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree." Ia akan tetap bekerja meski besok dunia hancur lebur. Semua ini bisa membuka cakrawala pemikiran kita bahwa sudah seharusnya pekerjaan kita memiliki nilai spiritual yang sama dalamnya dengan segala kegiatan kerohanian kita seperti berdoa, membaca firman Tuhan, beribadah, bersekutu dan sebagainya. Bekerja adalah sebuah hal yang sangat penting di mata Tuhan, bukan saja karena Tuhan tidak menyukai orang malas, tetapi karena ada banyak hal yang bisa kita lakukan di dalamnya untuk menyatakan kemuliaan Tuhan. Oleh sebab itu kita harus memandang dan memperlakukan pekerjaan kita sama serius dan dalamnya seperti segala kegiatan kerohanian kita. Mulai hari ini, mari kita sama-sama pastikan bahwa kita telah memandang pekerjaan atau profesi kita hari ini seperti apa yang Tuhan kehendaki. Amin.

Ada makna spiritual yang seharusnya terkandung di dalam pekerjaan, karena itu lakukanlah dengan sungguh-sungguh seperti untuk Tuhan







Senin, 10 September 2012

Belajar Hidup dalam Kerendahan Hati

Mat 11:29

Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan."

Winkie Pratney dalam kata sambutannya untuk buku itu mengatakan bahwa kerendahan hati masih merupakan salah satu kebutuhan terbesar dalam zaman kita.
Begitu banyak buku yang membahas tentang kunci hidup sukses dan diberkati, tapi hanya sedikit yang menempatkan kerendahan hati sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan sejati. Kerendahan hati seharusnya menjadi tujuan dan sasaran dalam hidup kekristenan kita sebab itulah kunci untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati.

Dalam bahasa Yunani kerendahan hati dituliskan dengan kata "praios" ( terjemahan b.Ingris : meek ) yang mana berarti juga lemah lembut. Kata praios juga dipakai dalam salah satu tema kotbah Yesus di bukit ( beatitudes ) yaitu berbahagialah orang yang lemah lembut ( praios) , karena mereka akan memiliki bumi. Para teolog yang ahli bahasa aram ( bahasa yang Yesus gunakan ) memperkirakan maksud Yesus dengan lemah lembut ( meek ) di sini adalah seseorang yang menyerah kepada Allah. Kerendahan hati memang erat kaitannya dengan peyerahan dan ketergantungan total kepada Allah. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Rasul Paulus menuliskan tentang buah Roh yang salah satunya adalah kerendahan hati/kelemahlembutan ( praios, praiotes ). Jadi ternyata kerendahan hati juga merupakan salah satu bagian dari buah Roh. Salah satu tanda kedewasaan rohani adalah memiliki buah Roh termasuk salah satunya buah kerendahan hati/kelemahlembutan.

Yesus merupakan tedadan utama kita dalam mempelajari hidup dalam kerendahan hati. Selama hidupNya di dunia ini, Yesus selalu berjalan dalam kerendahan hati dan ketaatan kepada Bapa. Oleh karena itu pelayananNya membawa pengaruh yang begitu besar dan tidak dapat tertandingi oleh siapapun manusia yang pernah hidup di dunia. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa maka dunia ini sudah dikuasai oleh kesombongan dan keangkuhan hidup. Yesus datang dengan bersenjatakan kerendahan hati untuk mengalahkan dan menaklukkan kesombongan tersebut. Kesombongan hanya dapat dikalahkan oleh kerendahan hati.

Walaupun Yesus merupakan anak Raja dari segala Raja namun Ia memilih untuk lahir di kandang yang hina. Lalu Ia juga memilih untuk dilahirkan sebagai anak tukang kayu yang mana bukan pekerjaan terhormat. Selama 30 tahun, Ia juga bekerja sebagai tukang kayu walaupun sebenarnya Ia bisa saja melayani sejak remaja sebab kemampuan dan hikmatNya sudah memungkinkan untuk itu. Namun dengan sabar Yesus menunggu dalam kerendahan hati sampai waktunya (kairos) telah tiba bagi Dia untuk melayani sebagai anak Allah. Salah satu definisi dari kerendahan hati adalah kerelaan untuk mengalami hinaan dan tidak dikenal.

Pada masa-masa terakhir hidupNya di dunia ini, Yesus membasuh kaki murid-muridNya sebagai lambang kerelaanNya untuk melayani dan menjadi hamba bagi orang lain. Yesus mengatakan kepada para muridNya sebagaimana Aku membasuh kakimu maka kamu wajib saling membasuh kaki yang mana berarti harus saling melayani dan merendahkan diri. Selain berarti kerelaan untuk tidak dikenal, kerendahan hati juga berarti kerelaan untuk melayani dan menjadi hamba bagi orang lain. Kita wajib saling melayani satu dengan yang lain dalam kerelaan bila ingin hidup dalam kerendahan hati. Salah satu bentuk saling melayani tersebut adalah dengan saling mendoakan satu dengan yang lain.

Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya (IPtr 5:6 ). Syarat untuk mendapatkan promosi/peninggian dari Allah adalah hidup dalam kerendahan hati. Bila kita hidup dalam kerelaan untuk tidak dikenal dan melayani orang lain maka Tuhan akan meninggikan kita pada waktunya. Promosi yang sejati datang dari Tuhan bukan dari manusia. Bila Tuhan sendiri yang mempromosikan kita maka tidak ada satupun manusia yang dapat menghalangiNya.

Selain itu hidup dalam kerendahan hati juga akan membuat hidup kita berhasil dan dipenuhi berkat. Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah ( Mzm 37:11). Walaupun bangsa kita sedang dirundung krisis yang sepertinya tiada berujung namun bila kita hidup dalam kerendahan hati maka kita akan mewarisi negeri ini dan menikmati kesejahteraan yang berlimpah-limpah. Jaminan kita bukan datang dari manusia tetapi datang dari Allah. Tuhan tidak akan pernah gagal menepati janjiNya sebab Ia tidak bisa gagal.
Bill Gothard mengatakan setiap pagi ia membiasakan diri merendahkan dirinya dalam doa kepada Tuhan. Setiap pagi ia mengakui kelemahan dan ketidaklayakannya kepada Tuhan. Bill berkata, "Bila Saya tidak merendahkan diri maka akan ada orang yang dengan senang hati akan merendahkan saya ". Daripada direndahkan lebih baik kita merendahkan diri di hadapan Tuhan.

Segala sesutu yang kita lakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan kita. Kebiasaan-kebiasaan dalam hidup kita itulah yang disebut karakter kita. Bila kita membiasakan diri untuk hidup dalam kerendahan hati maka lambat laun kita akan memiliki karakter kerendahan hati. Kerendahan hati bukanlah sebuah karunia Roh melainkan karakter yang harus terus dilatih.

Beberapa waktu belakangan ini saya mulai membiasakan diri merendahkan diri setiap pagi dihadapan Tuhan. Setiap pagi saya mengakui kepada Tuhan semua kelemahan dan ketidakberdayaan saya. Saya mengakui dalam doa betapa saya ini lemah dan rentan terhadap dosa karena masih tersusun dari darah dan daging. Saya memohon kasih karunia dan kekuatan kepada Tuhan agar sepanjang hari bisa hidup dalam kekudusan dan kebenaran. Setelah melakukan kebiasaan itu, saya merasakan adanya sebuah kemenangan dan lebih mudah untuk hidup dalam kekudusan sepanjang hari. Bukan berarti setelah itu tidak ada lagi pencobaan dan godaan tetapi tersedia anugerahNya yang memberikan kekuatan untuk mengatasi setiap pencobaan yang datang.

Kita semua sebenarnya layak binasa karena dosa namun oleh anugerahNya saja kita dibenarkan dan diselamatkan. Semuanya memang hanya karena anugerahNya bukan karena kuat kita. Marilah kita hidup dalam kerendahan hati seperti Tuhan kita, Yesus Kristus ! Amin.
Sabtu, 15 September 2012


Berbuat Baik

Efesus 2:10.
"Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya."

Sering kita mendengar pernyataan bahwa perbuatan baik itu belum tentu dibalas dengan kebaikan pula. Pertanyaannya adalah apakah lantas kita memilih untuk tidak berbuat baik kepada orang lain? Tentu jawabannya adalah tidak.

Perbuatan baik adalah kewajiban bagi semua orang tanpa harus mempertimbangkan alasannya apa, kalau berbuat baik itu memiliki alasan tertentu berarti perbuatan baik yang kita lalukan tersebut bukanlah perbuatan yang tulus. Jika perbuatan baik itu diikuti dengan “pamrih”, maka perbuatan baik itu bukanlah tindakan yang utuh.

Seperti kata pepatah di atas, ketika kita akan melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain tetapi di sertai dengan pemikiran bahwa apakah nanti kebaikan saya juga akan mendapatkan balasan yang baik? Apakah ada keuntungannya buat saya ketika saya melakukan kebaikan bagi orang lain? dan apakah orang lain tersebut mau menerima kebaikan saya? Jika kita berpikir demikian, maka selamanya kita tidak bisa melakukan hal yang baik kepada orang lain.

Melalui Efesus 2:10 kita diingatkan kembali bahwa kita diselamatkan Tuhan bukan untuk menjadi orang yang pasif, melainkan kita dituntut untuk menjadi orang yang aktif. Aktif dalam hal apa? Aktif dalam hal melakukan pekerjaan baik. Melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain adalah perwujudan iman yang aktif seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan tindakan kita di dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang yang sudah diselamatkan Tuhan?
Sudahkah kita melakukan tindakan atau perbuatan yang baik? Ataukah sebaliknya, kita seringkali menjadi batu sandungan dan tidak menjadi berkat bagi orang lain.

Marilah kita senantiasa melakukan perbuatan yang baik bagi kehidupan orang lain dengan terus mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dahulu melakukan kebaikan dalam hidup kita dan telah menyelamatkan kita.

Dimanapun kita berada, baik di lingkungan tempat kita belajar, tempat kita bekerja, dan bahkan di manapun tempat kita bersosialisasi/berkomunikasi dengan orang lain, tebarkanlah benih-benih perbuatan yang baik. Sehingga dengan kehadiran kita di manapun, dalam situasi apapun, orang lain diberkati.

Bersikaplah ramah dan berbuat baik kepada semua orang. Sebab, barangkali di balik pakaiannya yang sederhana mereka menyimpan sayapnya yang perkasa. Amin

Senin, 17 September 2012

Jangan Menunda Kesempatan!
"Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman."

Ada seorang pengusaha muda yang pagi itu terburu-buru berangkat kantor karena ia bangun rada kesiangan. Sementara pagi itu ia ada meeting dengan rekan bisnis-nya. Karena terburu-buru, ia tidak sempat menikmati sarapan pagi buatan isterinya. Ia lalu memutuskan untuk mampir ke sebuah toko untuk membeli roti sebagai ganti sarapan pagi. Pikirnya, "nanti roti ini dimakan di kantor saja". Ketika ia sedang memilih roti yang hendak dibelinya, matanya tertarik mengamati seorang anak kecil berusia kira-kira sepuluh tahun yang sedang memilih bunga di toko sebelah. Anak kecil ini terlihat sedang tawar menawar harga bunga dengan pelayan toko tersebut.

"Mbak, harga bunga ini berapa?" tanyanya kepada pelayan toko. "Lima puluh ribu rupiah", jawab sang pelayan. Kemudian ia memilih bunga yang lain dan bertanya kembali,
"Kalau bunga yang ini berapa?".
"Ini lebih mahal lagi, seratus lima puluh ribu rupiah!" jawab sang pelayan. "Kalau yang ini berapa?" tanyanya sambil menunjukkan bunga yang lebih bagus lagi. "Ini harganya dua ratus lima puluh ribu, nak!" jawab sang pelayan. Anak ini terlihat bingung karena harga bunganya bertambah tinggi, sementara ia tidak menyadari bahwa bunga yang ia tunjuk itu bunga yang paling bagus. Dengan sedih ia bertanya, "Adakah bunga yang harganya lima ribu?" .
Anak ini ternyata hanya memiliki uang lima ribu rupiah walau keinginannya untuk mendapatkan bunga itu sangat besar. Belum sempat pelayan toko itu menjawab, pengusaha muda ini segera bertanya kepada sang anak, "Nak, kamu mau beli bunga buat siapa?"
Kemudian anak ini menjawab, "Saya mau beli bunga buat mama, karena hari ini mama ulang tahun!" Pengusaha muda ini tersentak, dalam hatinya ia berkata, "Wah... mati aku, aku lupa! Hari ini isteriku ulang tahun. Aku belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Kalau sampai aku lupa, ia bisa marah!"
Segera ia berkata kepada pelayan toko, "Mbak, saya beli bunga ini. Saya beli 2 ikat. Satunya buat anak ini. Tolong nanti antar bunga ini ke alamat rumah saya," katanya sambil memberikan kartu namanya. Kemudian pengusaha muda itu memberikan bunga tersebut kepada sang anak dan mengucapkan terima kasih sudah mengingatkannya bahwa hari ini ternyata isterinya juga berulang tahun. Anak itu kemudian pergi.

Pengusaha ini segera bergegas ke mobilnya dan melanjutkan perjalanan ke kantor. Ketika ia sedang mengendarai mobil, ia melewati anak kecil tadi sedang berjalan. Iapun berhenti dan bertanya apakah ia satu jurusan dengannya. Anak kecil itu mengiyakan dan kemudian masuk ke dalam mobilnya. Sampai di suatu tempat yang agak sepi anak ini minta turun. Pengusaha muda tersebut heran melihat anak kecil ini masuk melewati sebuah lorong kecil.
Karena penasaran, ia mengikuti sang anak dari belakang. Betapa terkejutnya ia ketika melihat anak kecil ini menaruh bunganya di sebuah gundukan tanah kuning yang masih basah.

Kemudian ia bertanya, " Nak, ini kuburan siapa? " Anak kecil itu kemudian menjawab, " Oom, hari ini mama ulang tahun. Tetapi sayang, mama baru saja meninggal dua hari yang lalu. Oleh sebab itu saya datang ke tempat ini untuk membawakan mama bunga dan mengucapkan selamat ulang tahun." Pengusaha muda begitu tersentak dengan perkataan anak ini.
"Apakah isteriku masih hidup saat ini? " tanyanya dalam hati. Segeralah ia berlari masuk ke mobil, mengendarainya dengan kecepatan tinggi dan menuju ke toko tadi. Dengan terengah-engah ia berkata kepada pelayan toko, "Mana bunga yang tadi saya beli? Bunganya tidak usah dikirim, biar saya saja yang langsung memberikannya ke tangan isteri saya. " Dengan cepat ia menyambar bunga tersebut dan menyetir pulang.Sampai di rumah, ia segera berlari mendapatkan isterinya. "Puji Tuhan! Isteriku masih hidup! " Sambil memberikan bunga ia berkata, " Isteriku, selamat ulang tahun". Kemudian ia mencium dan memeluk isterinya kuat-kuat sambil mengucap syukur kepada Tuhan. Sambil menangis ia berkata, " Terima kasih, Tuhan.Engkau masih memberikan kesempatan kedua kepadaku. "
Banyak diantara kita terlalu sibuk dengan aktifitas sehari-hari. Aktifitas dan rutinitas ternyata sudah membunuh perhatian dan momen-momen penting yang harus dinikmati bersama orang-orang yang kita kasihi; orang tua, suami, isteri, anak-anak, dan saudara-saudara kita. Demi mengejar karier, uang dan jabatan bahkan pelayanan banyak orang melupakan keluarga.

Seorang businessman hanya berpikir bahwa memenuhi kebutuhan materi isteri dan anak-anak sudah membuatnya merasa menjadi ayah yang baik. Seorang pelayan Tuhan berpikir bahwa dengan sibuk dalam pelayanan dan dikenal di mana-mana sudah membuatnya merasa menjadi orang yang benar di dalam keluarganya.

Kita tidak sadar, kita sudah salah jika berpikir demikian. Hari ini, kalau kita masih diberi kesempatan untuk hidup semua hanyalah kasih karunia Tuhan. Oleh sebab itu, jangan tunggu sampai besok untuk menunjukkan kasih dan sayang kita kepada orang-orang disekitar kita, terutama orang-orang yang paling dekat dengan kita. Jangan tunggu mereka mati kita baru menyadarinya. Jangan tunggu sampai besok!

Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hari esok. Jika kita masih hidup pada hari ini berarti ini kesempatan kedua buat kita. Ambil kesempatan kedua yang Tuhan anugrahkan buat kita hari ini. Amin.












Sabtu, 22 September 2012

Kata-kata yang Ramah

Bacaan : Efesus 4:29-32
Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun.” (Efesus 4:29)

Salah satu kehormatan paling besar yang pernah ditawarkan kepada saya datang di tengah salah satu peristiwa hidup yang paling menyedihkan.
Tahun lalu hati saya hancur ketika teman baik dan rekan sekerja saya, Kurt De Haan, meninggal secara tiba-tiba saat ia sedang keluar untuk lari-lari pada jam makan siang seperti biasanya. Kurt adalah redaktur pelaksana Our Daily Bread sejak tahun 1989 sampai ia meninggal. Kepergiannya merupakan pukulan hebat bagi kami masing-masing di RBC Ministries. Namun, Mary istrinya dan keempat anak mereka mengalami duka yang jauh lebih dalam.

Beberapa hari sebelum pemakaman, Mary menelepon dan meminta saya untuk menyampaikan pidato tentang Kurt. Saya terharu mendapat hak istimewa ini.
Ketika saya merenungkan kehidupan Kurt, ada salah satu sifat yang terus-menerus muncul ke permukaan. Sifat itu merupakan karakteristik yang luar biasa, dan itu menjadi inti dari kata-kata penghormatan saya bagi almarhum. Selama 22 tahun saya mengenal, bekerja bersama, dan bercakap-cakap dengannya, saya tidak pernah sekalipun mendengar Kurt mengatakan sesuatu yang negatif tentang orang lain.

Benar-benar warisan luar biasa dari hati seorang kristiani yang sejati! Kurt telah hidup sesuai dengan standar Efesus 4:29-32. Ia selalu berusaha untuk membangun orang lain, dengan menunjukkan keramahan serta kasih mesra, bukannya kepahitan atau kejahatan.

Apakah orang lain juga akan dapat mengatakan hal yang sama tentang kita? --Dave Branon. Amin.

PERKATAAN YANG RAMAH MENJADI MINYAK PELUMAS YANG MENGHILANGKAN GESEKAN DARI KEHIDUPAN











Senin, 24 September 2012

Memberikan Pujian


Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."
Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."
Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.
Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengritik orang lain.
Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya. "Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"
Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?
Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.
Kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre. Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.
Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmat-Nya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda mengingkari nikmat-Nya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini bisa memudahkan Anda memberi pujian.

Kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata, "Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!" Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri!"

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian.

Paradigma paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.
Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko, maupun petugas di jalan tol.
Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya dengan doa, "Hati-hati di jalan, Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa dimanusiakan. Amin.









Sabtu, 29 September 2012
Bacaan : Matius 25 : 1-13.
JADILAH BIJAKSANA
Banyak pepetah yang mengajarkan kita untuk berlaku bijak sana, seperti sedia payung sebelum hujan. Nasihat bijak ini kadang malas untuk diikuti, kenapa ? tidak praktis. Manusia lebih senang yang praktis dan pasti. Kalau hujan baru cari payung. Sudah sedia payung ternyata tidak hujan, kan rugi, dan tidak praktis.
Masalahnya adalah bukan masalah praktis atau pasti, tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sehingga nasihat yang diberikan kepada kita adalah berjaga-jaga. Itupun manusia juga ingin cari mudahnya, yaitu mencari tahu apa yang akan terjadi sehingga persiapannya jelas. Untuk itu mereka mencari tahu apa yang akan terjadi dengan ramalan-ramalan.
Tuhan Yesus, memberi nasihat agar kita menjadi bijaksana, dengan perumpamaan tentang gadis bijaksana dan gadis bodoh. Dikatakan :
1.        Gadis bijaksana, mereka membawa persiapan minyak yang ditaruh dalam buli-buli. Mereka berjaga-jaga untuk sesuatu yang tidak bisa diperkirakan. Ternyata benar, rombongan mempelai laki-laki datang terlambat dan tak terduga. Tetapi tidak menjadi masalah karena persediaan ada. Sehingga mereka bisa menyambut rombongan, dan masuk dalam perjamuan kawin.
2.       Gadis bodoh, mereka tidak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Mereka merasa semua akan berjalan sesuai rencana, sehingga tidak melakukan persiapan dengan membawa cadangan minyak (mungkin dianggap merepotkan). Apa yang dipikirkan ternyata meleset, rombongan datang terlambat, minyak habis dan pelita mati. Mereka berusaha untuk mendapatkan minyak, tetapi semua terlambat.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,
Tuhan Yesus tidak ingin kita nanti menyesal, hanya karena kita tidak berlaku bijaksana. Hidup di dunia hanya sekali setelah itu manusia akan dihakimi. Untuk itu marilah kita berlaku bijaksana, karena kita tidak tahu kapan waktunya tiba, dan tidak ada seorangpun yang tahu. Jangan berjudi dan menganggap remeh hidup ini. Berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun saatnya. Tetaplah bekerja didalam Tuhan Yesus, berjalan dan hiduplah bersama Dia. Amin.




Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013