Leader

Kepemimpinan sebagai Pelayanan terhadap Karisma-Karisma

            Tidak mudah membuat catatan teologis praktis mengenai kepemimpinan. Dengan kepemimpinan kita maksudkan terutama lembaga-lembaga jabatan seperti dewan gereja. Banyak butir yang dikemukakan disini berlaku pula untuk posisi-posisi pimpinan yang lain seperti pemimpin pembicaraan dalam lingkungan, kelompok kerja dan lebih umum juga untuk relasi-relasi antara anggota jemaat. Maka berlaku juga bagi apa yang dikatakan mengenai ciri khas kepemimpinan.

            Sebabnya mengapa sulit untuk menulis mengenai kepemimpinan berdasarkan teologi praktis tidak hanya karena ada banyak perbedaan pendapat dan ketidakjelasan, melainkan juga karena secara relative dalam teologi tidak ada terlalu banyak perhatian terhadap pertanyaan kita. Dalam teologi yang berhubungan dengan jabatan lebih dibicarakan pertanyaan mengenai asalnya (dari atas atau dari bawah), wibawanya dan dasar kewibawaannya, dari pada mengenai pertanyaan bagaimana dalam jemaat kepemimpinan dapat diwujudkan sedemikian rupa sehingga orang dapat berpartisipasi dengan senang hati dan secara efektif. Padahal itu sangat penting bagi praktek pembangunan jemaat. Distingsi(jarak) antara pendekatan normative dan empiris antara perhatian untuk hakikat (misalnya hakikat jabatan) di satu pihak dan untuk proses dan struktur di lain pihak, mengandung resiko bahwa teologi jabatan dan praktis jabatan makin jauh satu dari yang lain. Akibatnya ialah kerugian bagi kedua-duanya. Perhatian yang minim dari teologi untuk pertanyaan kita memaksa kita untuk membatasi diri pada pertanyaan : sejauh manakah unsur-unsur yang kita terangkan sebagai efektif dapat diterima dari sudut teologi.

Ciri-ciri Jabatan
            Disini bukan tempatnya untuk memberikan rangkuman historis mengenai teologi jabatan. Kiranya relevan mencatat bahwa dalam  jemaat-jemaat kristiani pertama hampir tidak ditemukan bahwa kepemimpinan dalam arti satu person atau badan diserahi tugas untuk menjalankan kepemimpinan (bdk. Surat-surat Paulus) atau hanya dalam arti terbatas (bdk, surat-surat Petrus) (lihat Barret 1988, 31, 40).

            Akan tetapi tentu saja dalam Surat2 Petrus maupun Paulus ada nada “diberi pimpinan”; diberikan impuls-impuls (rangsangan) kearah tertentu, ada keprihatinan terhadap kesatuan jemaat, perhatian terhadap mereka yang mengalami kesusahan, dicari dan ditemukan sarana untuk memungkinkan berfungsinya jemaat (uang, rumah orang yang berada, dalam mana jemaat kecil dapat berkumpul). Pendeknya kepemimpinan sebagai fungsi betul-betul ada tetapi tersebar atas anggota-anggota jemaat, dalam prinsipnya atas semua. Demikianlah Barret dapat mengatakan bahwa dalam surat-surat Paulus semua anggota menjalankan jabatan.

            Tidak ada tindakan yang dikecualikan, pun tidak tindakan yang dewasa ini dikhususkan untuk pejabat-pejabat seperti menjalankan disiplin – nasihatilah seorang akan yang lain (1 Tes 5 : 11) – dan mendahului dalam ibadat. Demikianlah Paulus tidak menggambarkan ibadat jemaat sebagai buah dari tata liturgis tertentu, akan tetapi sebagai hasil dari sumbangan-sumbangan seluruh jemaat, kalau jemaat berkumpul semua anggota membawa sesuatu; yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau perwahyuan, atau lidah atau tafsiran (1 Kor 14 : 26).

            Semua berpartisipasi dan semua mampu berpartisipasi – mereka malah dianggap mampu oleh orang dewasa dengan wibawa yang besar seperti Paulus – oleh karena mereka telah menerima karisma-karisma dari Roh, pemberian rahmat. Yang membuat kemampuan manusia itu menjadi karisma ialah bahwa pemberian itu oleh mereka yang menerimanya dimanfaatkan untuk melayani orang lain dan pembangunan jemaat. Inilah tolok ukur untuk melihat apakah ada usaha manusiawi saja, yang dipakai demi keuntungannya sendiri (memperoleh kuasa, hormat, kekayaan) atau ada karisma. Ciri khas karisma ialah pelayanan. Cara memimpin seperti diatas, dimana pada prinsipnya kepemimpinan tersebar atas semua anggota, dimungkinkan antara lain oleh karena jemaat-jemaat perdana merupakan kelompok yang relative kecil (jemaat rumah).

            Jemaat-jemaat itu memang lebih mudah daripada kelompok besar, dapat berjalan tanpa fungsionaris dan dewan yang khusus diangkat untuk memimpin–walaupun kadang-kadang kelompok kecil pun kurang berfungsi karena tidak ada orang yang diangkat secara khusus. Bagaimanapun juga, kalau kelompok bertambah besar maka munculnya fungsionaris serta lembaga spesifik tidak dapat dihindarkan. Lama kelamaan mereka muncul. Maka terjadi situasi baru. Tetapi, situasi baru tidak merupakan perpecahan dengan situasi awal, karena bagi peran-peran serta posisi-posisi formal yang baru tetap berlaku ciri-ciri yang lama. Artinya bahwa kemampuan untuk memimpin dilihat sebagai karisma, diterima dari Roh yang sama yang mencurahkan karisma-karisma lain juga. Artinya bahwa legitimasi rohani bagi pejabat dan orang beriman pada prinsipnya sama. Maka Haring dapat menyebut jabatan sebagai karisma diantara karisma-karisma (1979,84). Yang satu mendapat karisma ini, yang lain karisma lain ; semua karisma perlu dan tidak ada satupun yang tidak dibutuhkan. Hal itu diperjelas dengan symbol tubuh, dalam mana anggota tubuh yang lain : saya tidak membutuhkan kamu (1 Kor 12:31). Maka mata tidak dapat berkata kepada tangan ; aku tidak membutuhkan engkau, dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki ; aku tidak membutuhkan engkau.

            Karisma yang satu tidak lebih penting daripada yang lain; tidak ada hierarki dalam karisma-karisma. Andaikata ada kierarki, maka hierarki itu berbeda sekali dengan hierarki yang lazim diterima dalam masyarakat. Hal itu diperlihatkan Paulus lewat symbol tubuh juga (1 Kor 12:22). Selanjutnya fakta bahwa memimpin dilihat sebagai karisma berarti bahwa hakikat memimpin ialah melayani dan bukan memerintah. Hal itu mengimplisitkan penolakan berpikir secara hierarkis yang satu diatas atau dibawah yang lain, pemimpin dan penganut, imam dan awam, tuan dan hamba. Penolakan ini menggemakan kata Yesus kepada murid-murid-Nya. “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu rabimu dan kamu semua saudara” (Mat 23:8).

            Ciri jabatan ialah pelayanan. Itulah perannya. Oleh karena selalu ada bahwa kepemimpinan berkembang kearah pemerintahan – termasuk mengejar kuasa, kehormatan dan gengsi-maka dipakai istilah yang sama sekali tidak ada asosiasi dengannya yaitu diakonia. Pejabat adalah pelayan menurut teladan Yesus Kristus, yang tidak datang untuk dilayani melainkan untuk melayani. Simbol-simbol yang cocok untuk peran itu ialah baskom dan handuk, alat untuk membasuh kaki. Maka tempat utama dimana memimpin harus dilihat sebagai melayani, dan tempat utama dimana harus terjadi hal de-emphasizing status (tidak lagi mementingkan status), ialah jemaat.

            Ciri jabatan ialah pelayanan, sama dengan karisma-karisma yang lain. Yang spesifik bagi pelayanan jabatan ialah bahwa jabatan merupakan pelayanan terhadap karisma-karisma. Dalam symbol jemaat sebagai tubuh, menurut Versteeg, Paulus menyamakan jabatan dengan urat-urat. Dalam pandangan kuno, urat berfungsi dua : (1). Menjaga supaya tubuh tetap bersatu dan (2). Berfungsi sebagai saluran untuk makanan. Secara analog, menurut Versteeg, jabatan berfungsi dua : (1). Mencocokkan karisma-karisma satu sama lain-pencocokan itu perlu, karena karisma-karisma tidak bekerja sama dengan sendirinya-dan (2). Membanu karisma untuk menjalankan pelayanannya, menolong serta memberi inspirasi dan memampukan karisma agar dapat melayani. Maka akibat pelayanan kepemimpinan karisma-karisma tidak disisihkan melainkan diikutsertakan. Artinya secara konkret; bahwa dewan gereja tidak mengulang pekerjaan komisi anak yang mempersiapkan anak-anak untuk perjamuan; bahwa dewan itu tidak perlu memperbaiki pekerjaan panitia liturgy dll. Tugas dewan sesungguhnya ialah melayani kelompok lain itu :
-       Dengan uang, ruang, informasi, membesarkan hati, member semangat, bertanya ;
-       Membuat ruang bagi mereka di jemaat, menghubungkan mereka dengan pelayanan lain dalam paroki, sehingga dengan karisma mereka dapat melayani pembangunan jemaat.

Dengan demikian, jemaat menjadi kesatuan yang harmonis, dipelihara oleh pelayanan dari semua lapisan. Pencirian peran jabatan sebagai pelayan terhadap karisma-karisma, menjelaskan kedudukan jabatan; tidak diatas melainkan dibawah. De fakto, pemimpin tunduk kepada mereka yang sebetulnya dapat dikuasainya (Barett, 1988,40). Dengan demikian, gambarannya sudah lengkap; peran, symbol status dan kedudukan, berada dalam keselarasan.

Namun, jelas bahwa kenyataan tidak sedemikian. Paling sedikit tidak selalu. Bahwa masih ada problem yang besar, jelas pula. Disini kita membatasi diri pada konklusi bahwa melihat kepemimpinan sebagai pelayanan, merupakan data yang sungguh-sungguh teologis.

Demi identitas jemaat
            Maka ciri jabatan ialah pelayanan. Pelayanan itu terarah kemana? Atau dengan kata lain; apa fungsi-fungsi jabatan ? Rupanya dalam Gereja dan teologi terdapat communis opinion (mufakat) bahwa fungsi sentral jabatan ialah memelihara Gereja, jemaat, sesuai dengan dasar yang diletakkan oleh para rasul. Hal itu disetujui bersama. Akan tetapi, mengenai sifat relasi antara jabatan dan apostolitas ada perbedaan pendapat. Secara global dapat dibedakan dua jurusan : yang kristologis dan yang pneumatologis. Jurusan kristologis tampil dalam pandangan Roma Katolik tentang suksesi apostolis, yang dilihat sebagai garis langsung yang tampak lewat-lewat person-person dari dan kepada Yesus Kristus, jurusan pneumatologis terutama hidup dalam Gereja-Gereja reformasi, yang menekankan bahwa Roh secara langsung berkarya dalam dan lewat jemaat. Bagaimanapun juga, fungsi jabatan yang sebenarnya ialah memelihara jemaat sehingga dekat pada dasar yang diletakkan oleh para rasul. Artinya juga bahwa jabatan berulang-ulang harus mengingatkan jemaat akan siapakah mereka dan apa perutusan mereka.

            Firet merumuskan penugasan sentral bagi jabatan sebagai keprihatinan terhadap pertanyaan : Apakah kita jemaat Tuhan, apakah kita sedang menjalankan urusan-urusan Tuhan, apakah kita Gereja ? (1980,135). Kiranya pertanyaan-pertanyaan itu boleh dimengerti sebagai berikut: pertanyaan pertama menekankan sabda-sabda Tuhan, pertanyaan kedua menekankan urusan atau perkara Tuhan; pertanyaan ketiga menyatakan bahwa pertanyaan pertama dan kedua tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa fungsi sentral jabatan ialah memelihara jemaat supaya dekat pada identitasnya, karena pokok identitas jemaat ialah  dua pertanyaan yang terjalin erat ; siapakah kita ? dan apa perutusan kita? Atau dengan rumusan yang lebih menekankan isi :  apakah jemaat merupakan persekutuan dalam mana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain sungguh-sungguh diwujudkan bersama? dan apakah jemaat menyadari penugasannya bagi dunia ?.

            Jikalau keprihatinan terhadap pertanyaan tadi fungsi jabatan yang sesungguhnya, maka keprihatinan itu harus tampil dalam pekerjaan para pejabat dan juga dalam agenda dewan gereja. Tentu saja kedua pertanyaan identitas itu perlu dikonkritkan. Pokoknya disini ialah menggarisbawahi bahwa jemaat terus menerus dihadapkan pada pertanyaan bagaimana mereka dalam situasi ingin mewujudkan diri sebagai jemaat Yesus Kristus. Jemaat dapat dihadapkan dengan pertanyaan itu pada macam-macam kesempatan : pada kunjungan rumah, dalam kelompok kecil,  dalam pertemuan yang terarah kepada jemaat keseluruhan (konsultasi-konsultasi jemaat). Pejabat tidak usah secara primer membawa jawaban atau pertanyaan itu. Melihat kepemimpinan sebagai pelayanan berarti menghadapkan anggota jemaat dan kelompok pada pertanyaan itu dan menolong mereka untuk membicarakannya dengan cara yang subur.

            Pejabat sendiri juga harus merefleksikan pertanyaan itu baik sebagai person maupun sebagai dewan. Apakah saya sendiri, apakah kita sendiri menghayati keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain (koinonia). Apakah kita sadar akan penugasan kita ? Refleksi ini mutlak perlu bagi kepemimpinan. Karena hanya dengan begitu kepemimpinan dapat menyinarkan pentingnya perkara Tuhan (bdk, Firet 1989 dan Derksen 1989).

            Kedua pertanyaan ini pada hemat saya, merupakan pengolahan teologis dari kedua fungsi kepemimpinan yang tadi dicirikan sebagai keprihatinan terhadap usaha dan keprihatinan terhadap relasi. Bagi jabatan penting kalau keprihatinan bagi komunitas (dalam mana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain dihayati) dan keprihatinan bagi urusan-urusan Tuhan tidak ditangani yang satu sesudah yang lain atau yang satu disamping yang lain, melainkan secara integral. Mencopot kedua fungsi yang satu dan yang lain tidak hanya berarti bahwa salah satu dari kedua fungsi kurang diperhatikan, melainkan juga bahwa fungsi yang sebetulnya diperhatikan, kehilangan kualitasnya. Kita tidak dapat memperbaiki usaha tanpa memperhatikan umat. Sebaliknya persekutuan tidak dapat diperbaiki kalau kita-walaupun sebentar-melupakan usaha.

            Tambahan pula, mengabaikan salah satu dari kedua fungsi menyebabkan berkurangnya vitalitas jemaat. Memperhatikan usaha tanpa memperhitungkan relasi, mudah menghasilkan proses konflik yang destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha, menghasilkan kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan. Kedua fungsi dibutuhkan dan kedua-duanya perlu ditangani serentak. Perlu dikerjakan serentak, tidak hanya mengingat efeknya, melainkan juga karena itulah sifat hakiki pastoral. Hal itu penting karena, memimpin dalam Gereja (termasuk memimpin dalam arti memerintah) merupakan kegiatan pastoral. Terlalu simplitis mengatakan ; Yesus tidak menugaskan Petrus untuk memimpin Gereja tetapi menugaskannya sampai tiga kali untuk menggembalakan domba-Nya (Yoh 21 : 15-17).

            Secara biblis teologis mudah dapat diperhatikan dalam metator gembala, memimpin dalam arti memerintah dan memberikan perhatian penuh hati-hati dan cinta, bertemu dan dicairkan menjadi kesatuan. Contoh yang mengesankan ditemukan di Ezekiel 34. Gembala-gembala Israel yang disapa disitu adalah pemimpin jemaat. Kritik nabiah diarahkan kepada kegiatan mereka sebagai pemimpin jemaat. Disitu mereka kurang baik. Apakah akibat kelalaian mereka terjadi kekacauan administratif ? Bukan. Mungkin administrasi (government) mereka lancar. Kritiknya ialah : Domba-domba tidak kamu kuatkan; yang sakit tidak kamu obati; yang luka tidak kamu balut; yang tersesat tidak kamu bawa pulang yang hilang tidak kamu cari (Yeh 34 : 3-4).

            Memimpin, baik pada tingkatan atas sampai dengan sinode, maupun pada tingkatan jemaat local, pada hakikatnya adalah pastoral inti. Rupa-rupanya organ-organ kepemimpinan tidak selalu menyadarinya. Kalau diambil keputusan radikal, khususnya keputusan yang sulit dapat diterima oleh anggota Gereja, maka biasanya tanggung jawab pastoral main peran. Terjadi bahwa sinode mengambil keputusan dalam perkara tertentu dan selanjutnya menganjurkan supaya penggembalaan khusus diberikan kepada mereka yang merasa terluka oleh keputusan itu. Seakan pastoral seumpama puskesmas keliling yang mengikuti tindakan kepemimpinan. Mereka yang terluka oleh kepemimpinan akan disembuhkan oleh pastoral. Karena orang yang terluka tidak boleh ditinggalkan.  Hal itu tidak salah. Namun lebih baik kalau pastoral care dari permulaan ikut menentukan  dalam musyawarah dan keputusan. Akhirnya memimpin dalam gereja bukanlah: berusaha supaya organisasi bekerja efektif atau supaya perkara-perkara diatur secara rasional dan jernih, dan supaya keputusan-keputusan tegas, dsb. Akhirnya pastoral ialah menolong orang menemukan jalan kepada ruang dimana mereka dapat bernafas dan menjadi aktif, dimana mereka dikoreksi, diberi hati dan digairahkan.

            Maka perhatian untuk usaha dan perhatian untuk relasi tidak bertentangan seperti kadang-kadang disugestikan-dengan tidak tepat-dalam diskusi mengenai “pastorat dan kenabian”. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena dalam Gereja memimpin adalah kegiatan pastoral. Artinya bahwa integrasi kedua fungsi tidak hanya efektif dari sudut empiris, melainkan juga normatif dari sudut teologis.

Gaya Pastoral
            Dapat diringkaskan bahwa pelayanan jabatan mempuyai fungsi untuk menolong jemaat agar hidup sesuai dengan identitasnya. Bagaimana jabatan dapat memenuhi pelayanan itu dan sarana manakah dapat dimanfaatkannya adalah pertanyaan mengenai gaya kepemimpinan. Pertanyaan ini tidak dapat dilihat lepas dari yang mendahului sampai sekarang, karena gaya harus  selaras dengan ciri kepemimpinan sebagai pelayanan. Secara negative hal itu berarti bahwa pimpinan tidak boleh memaksakan perilaku tertentu pada anggota, misalnya dengan bereferensi kepada kedudukannya. Jabatan tidak boleh memaksakan dengan bereferensi kepada kedudukannya. Kalau referensi semacam itu terjadi maka jabatan kehilangan sifat pelayanannya. Lalu dapat terjadi dua ekstrim; atau jabatan akan berdominasi (hal itu jelek) atau jabatan akan bertingkah sebagai wali (hal itu kurang baik juga karena jemaat dianggap kurang dewasa).

            Dalam kedua kasus, sifat karismatis jemaat disangkal. Cukup sering hal itu terjadi dibawah topeng pelayanan. Maka Petrus berkata kepada penatua-penatua untuk menggembalakan kawanan domba tidak seolah-olah mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu (1 Petr 5:3). Secara positif dapat dikatakan bahwa jabatan harus memenuhi pelayanannya sedemikian rupa sehingga diakui keberadaan anggota sebagai subjek. Mengapa? karena memimpin merupakan kegiatan pastoral. Intensi pastoral dapat digambarkan sebagai pelayanan kepada berfungsinya manusia secara independen rohani. Artinya berfungsi sebagai subyek. Pastoral ingin menolong orang agar orang sampai pengertian dan pengubahan. Justru oleh karena pastoral bertolak pada manusia sebagai subyek maka pelayanan terhadap proses pengubah itu tidak berarti menanam nilai dan meneruskan norma, melainkan pertama-tama mendampingi orang pada perjalanan menuju pengembangan kesadaran serta hati nurani mereka.

            Pendekatan serupa kita temukan pada Haarsma. Tujuan kepemimpinan pastoral ialah kematangan kristiani yang meliputi rasa tanggung jawab terhadap yang lain dan terhadap komunitas manusia. Untuk itu perlu pastoral yang didalamnya kebebasan dan kemampuan awam diakui dan pastor tidak mengambil oper tanggungjawab, melainkan menyadarkan mereka akan tanggungjawab itu. Fungsi pastor ialah menolong mereka untuk memikul tanggungjawab itu, tidak paling sedikit dalam hidup bermasyarakat.

            Kepemimpinan hendaknya dilangsungkan sedemikian rupa, sehingga keberadaan manusia sebagai subjek diakui dan didukung. Hal ini diperjelas juga oleh Firet dengan mengingatkan bahwa manusia adalah subyek di hadapan Allah, bahwa Allah mau bergaul dengan manusia sebagai subjek dan bahwa menurut contoh itu kita harus membentuk relasi-relasi antara kepemimpinan dan anggota. Dalam rangka itu Firet berbicara tentang Musa. Tuhan berbicara kepadanya dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Firet tidak mau melupakan bahwa Musa mengambil tempat yang unik, namun demikian cara bergaul ini tidak kehilangan validitas sebagai model. Komunikasi dengan berhadapan muka dalam kemah pertemuan, mengeksplisitkan daya manakah hidup dalam relasi Perjanjian dan menggambarkan prototype dari pelayanan gerejawi.

            Percakapan tidak merupakan satu-satunya wujud pelayanan gerejawi, namun setiap perwujudan jabatan gerejawi perlu mengambil model dari patokan percakapan. Dengan demikian keberadaan manusia sebagai subjek digarisbawahi lagi; karena salah satu cirri sentral percakapan ialah intersubjektivitasnya. Paham intersubjektivitas berarti bahwa setiap partner dalam proses percakapan menjadi person yang berdiri sendiri yang mampu berpartisipasi aktif dan berfungsi secara otonom. Dari gagasan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya otoriter tidak dapat dipakai sebagai sarana kepemimpinan bagi jabatan, karena mau tidak mau gaya itu memaksa orang tertentu dengan apel atas kewibawaan jabatan serta menuntut ketaatan. Paksaan itu berlawanan dengan manusia sebagai subjek. Maka jabatan membutuhkan gaya kooperatif karena didalamnya keberadaan manusia sebagai subjek dihormati. Dengan demikian, jabatan dapat memimpin lewat rundingan bersama dan menantang tanggungjawab orang.

            Maka ada tiga unsur penting bagi jabatan : (1). Sifat (2). Cara menghubungkan fungsi-fungsi kepemimpinan, dan (3) Gaya.

Sifatnya adalah pelayanan. Sifat itu membawa kemungkinan untuk mengintegrasikan perhatian terhadap jemaat dengan perhatian untuk organisasi/usaha. Hal itu hampir tidak mungkin tanpa kooperatif.Unsur bersama antara ketiga unsur tadi adalah pengakuan keberadaan anggota jemaat biasa sebagai subyek. Inilah titik pandangan yang menentukan. Maka sebaiknya, kita berbicara tentang satu factor yang berdimensi tiga.

Tentu saja relasi jabatan dengan jemaat terpengaruh oleh aneka perubahan masyarakat, yang berakibat untuk gereja juga: berkurangnya kewibawaan pada umumnya, hasrat untuk berbicara, yang didukung oleh bertambahnya pendidikan.

Dari sudut teologis biblis, relasi antara jabatan khusus dan jabatan semua orang berimantidak didominasi oleh pandangan rendah terhadap jabatan khusus, melainkan oleh penghargaan terhadap anggota biasa, yang dipandang sebagai imamat rajawi dan oleh karena itu sebagai subyek menerima pemberian-pemberian rahmat. Atas dasar karisma-karisma itu, mereka melayani pembangunan jemaat.

Pada akhir uraiannya tentang kepemimpinan Kilmann member sejumlah pedoman tentang bergaul dengan orang dalam organisasi. Pedoman pertama berbunyi: Perlakukanlah manusia sebagai sesame. Gagasan imamat orang beriman menjangkau lebih jauh: kamu adalah sama.

Menyatakan kesamaan saja itu tidak cukup.ada alas an yang cukup berat untuk bertanya apakah Gereja-dalam abad apapun juga- sungguh-sungguh memandang Perjanjian Baru secara serius? Atau paling sedikit cukup serius?, sehingga kita percaya bahwa setiap anggota jemaat dalam arti tertentu menjadi pembawa jabatan? Atau sekurang-kurangnya seorang imam, sehingga yang satu menganggap yang lain lebih unggul daripada dirinya sendiri? Dan saling member hati untuk menemukan pelayanannya masing-masing serta mengikuti panggilannya sendiri demi kebaikan semua.

Akan tetapi sekalipun kita memandang serius Perjanjian Baru, namun tetap sulit menjalankan jabatan sebagai pelayanan karena ada banyak kendala. Kadang-kadang ada penilaian negatip tentang jemaat biasa yang berakar dalam pada pimpinan. Penilaian itu tampak lewat berbicara sombong tentang orang biasa dan member kesan seakan-akan kuasa lebih aman bila dikonsentrasikan saja. Kendala lain ialah peilaian rendah mengenai dirinya sendiri (saya seorang beriman biasa-biasa saja,,,). Juga ada harapan-harapan dari jemaat tentang pimpinan yang memperlihatkan gambaran otoriter. Bahasa yang kita pakai dapat menjadi kendala juga: kalau misalnya seorang pastor mengatakan “jemaatku”. Ia membalik kenyataan , karena jemaat bukanlah miliknya . selain itu susunan banyak gedung gereja (misalnya tempat para penatua disebelah kanan mimbar dan dinaikkan sedikit; apakah itu tempat yang cocok untuk tempat seorang pelayan?) juga menjadi kendala; tradisi(dalam mana jabatan sering dicampurkan dengan supervisi dan disipilin); cara seorang pendeta diteguhkan (kurang merupakan contoh dari de-emphasizing status) dan tidak menggairahkan gagasan mengenai imamat/umum.; rutin berapat (kelompok kerja diundang dalam rapat dewan, di mana kerja mereka masuk dalam agenda dewan itu, yang member kesan seakan-akan mereka dikontrol dan tidak diberi support).

Situasi-situasi seperti ini terus-menerus member kesan yang keliru kepada pejabat dan anggota jemaat. Dapat terjadi bahwa dalam ajaran, kita spontan bicara tentang kepemimpinan sebagai pelayanan, sedangkan pembicaraan itu hampir tidak ada hubungan dengan praktek.

Memang tidak mudah mewujudkan kepemimpinan sebagai pelayanan. Tidak mudah untuk begitu saja meninggalkan situasi yang sudah tertanam begitu lama. Perkembangan bertahap merupakan jalan satu-satunya. Jalan itu tidak mulai kalau pemimpin mengambil keputusan mencoba sesuatu yang lain, akan tetapi kalau keputusan menempuh jalan yang lain adalah jalan rundingan bersama. Keputusan semacam itu mejadi langkah pertama pada jalan baru. Langkah itu penting sekali terutama kalau prosesnya mulai pada top; dari situ gaya baru itu dapat meresapi seluruh organisasi. Dalam situasi gerejawi, hal itu berarti bahwa cara pendeta dam anggota moderamen yang lain saling bergaul, dapat berpengaruh terhadap pergaulan dewan gereja dengan kelompok-kelompok kerja dst. Dengan demikian, kepemimpinan semakin dapat dipraktekkan sebagai pelayanan. Itu berpengaruh besar terhadap vitalitas jemaat.

Jelas pula bahwa cara memimpin yang baru mengandaikan perhatian terhadap aspek-aspek jemaat yang lain juga serti iklim, struktur, tujuan dan identitas.









Mitos Kepemimpinan Kristen
Besok saya berencana untuk meninjau buku baru Al Mohler itu, The Conviction untuk Memimpin .
Tapi sebelum saya lakukan, saya ingin berbagi pandangan saya sendiri kepemimpinan Kristen, yang beberapa telah digambarkan sebagai paradigma-pergeseran.
Dalam  Konsep Baru Gereja , saya berpendapat bahwa tidak ada khusus  posisi  atau kantor  yang disebut "pemimpin" dalam Perjanjian Baru.
Beberapa orang yang belum membaca pekerjaan saya telah salah posisi saya untuk menunjukkan bahwa saya percaya ada "tidak ada pemimpin" dalam gereja. . . atau bahwa tidak boleh ada.
Tidak benar.
Posisi saya adalah sebaliknya.  saya percaya bahwa Perjanjian Baru membayangkan semua orang Kristen sebagai pemimpin dalam bidang mereka sendiri pelayanan dan karunia.
Untuk kata lain, menurut Perjanjian Baru, tidak ada pendeta / perbedaan awam.Sebaliknya, semua orang Kristen  kleros  (rohaniwan) dan semua orang Kristen adalah  laos  (awam).
Para pendeta / awam dikotomi merupakan garis patahan tragis yang berjalan sepanjang sejarah kekristenan. Namun meskipun fakta bahwa banyak orang telah mengambil jalan yang rendah dogmatisme untuk mempertahankannya, dikotomi ini adalah tanpa surat perintah Alkitab.http://frankviola.org/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Kata "awam" berasal dari kata Yunani  laos.  Ini hanya berarti "orang-orang."  Laos meliputi  semua  orang Kristen-termasuk orang tua.
Kata ini muncul tiga kali dalam 1, Petrus 2:9-10 dimana Petrus mengacu pada "orang-orang [ laos ] Allah. "Tidak pernah dalam Perjanjian New apakah itu merujuk hanya sebagian dari perakitan. Ini tidak mengambil makna ini sampai abad ketiga. (Saya menelusuri akar sejarah dalam  kekristenan Pagan .)
Istilah "ulama" menemukan akarnya dalam kata Yunani  kleros . Ini berarti "banyak atau warisan." Kata ini digunakan dalam 1, Petrus 5:03 di mana Petrus menginstruksikan para tetua terhadap menjadi "tuan atas warisan Allah [ kleros ] "(KJV).
Secara signifikan,  kleros  tidak pernah digunakan untuk merujuk ke gereja Seperti "pemimpin."  laos , mengacu pada Allah orang-karena mereka adalah warisan-Nya.Menurut Perjanjian Baru, kemudian, semua orang Kristen adalah "pendeta" ( kleros ) dan semua yang "awam" ( laos ). Kami adalah warisan Tuhan dan umat Tuhan.
Untuk bingkai berbeda, Perjanjian Baru tidak membuang pendeta. Itu membuat semua  orang percaya pendeta.
Oleh karena itu, para ulama / awam dikotomi adalah konsep postbiblical yang tanpa surat perintah kitab suci. Ini juga ancaman mengganggu apa yang Allah telah memanggil gereja untuk menjadi-tubuh berfungsi.
Tidak ada tanda-tanda para pendeta / skema awam atau menteri / awam dalam sejarah, mengajar, atau kosa kata dalam Perjanjian Baru. Skema ini adalah artefak religius yang berasal dari disjungsi postapostolic sekuler dan spiritual.
Dalam dikotomi sekuler / spiritual, iman, doa, dan pelayanan dianggap sifat eksklusif dari dunia, batin suci. Sebuah dunia yang terlepas dari kain seluruh kehidupan. Tapi disjungsi ini benar-benar asing bagi etos Perjanjian Baru di mana segala sesuatu untuk membawa kemuliaan bagi Allah-bahkan hal-hal dari kehidupan sehari-hari (1 Kor 10:31.).
Saya tidak sendirian dalam mengambil pandangan ini.
Istilah 'awam' adalah salah satu yang terburuk dalam kosakata agama dan harus dibuang dari percakapan Kristen.
~ Karl Barth
Tradisi rohaniwan-awam telah melakukan lebih banyak untuk merongrong otoritas Perjanjian Baru dibandingkan ajaran sesat kebanyakan.
~ James DG Dunn
Para ulama-awam dikotomi adalah langsung carry-over dari pra-Reformasi Katolik Roma dan throwback untuk imamat Perjanjian Lama.  Ini adalah salah satu hambatan utama  ke gereja secara efektif menjadi agen Allah kerajaan hari ini karena ia menciptakan ide palsu  bahwa 'orang suci,' hanya yaitu, menteri ditahbiskan, benar-benar berkualitas dan bertanggung jawab untuk kepemimpinan dan pelayanan yang signifikan. Dalam Perjanjian Baru ada perbedaan fungsional antara berbagai macam kementerian namun tidak ada pembagian hierarki antara klerus dan awam.
~ Howard Snyder
Jadi apa adalah mitos kepemimpinan Kristen?
Mitos adalah bahwa beberapa pemimpin dan yang lain tidak. . . bahwa beberapa bagian dari kelas "ulama" dan lain-lain adalah bagian dari, miskin sengsara "awam."
Sekarang jika semua orang Kristen adalah pemimpin, karena saya menyarankan, lalu apa kepemimpinan? Itulah pertanyaan penting.
Selama bertahun-tahun, saya telah menyatakan bahwa kepemimpinan mengandung empat unsur:
1.      Persuasi.  Saya baru-baru menemukan bahwa Stanley Hauerwas mendefinisikan kepemimpinan dengan cara ini juga.
2.      Pengaruh.  Saya baru mengetahui bahwa John Maxwell, guru kepemimpinan, mengatakan, saya tidak pernah membaca sebuah buku oleh Maxwell "Kepemimpinan benar-benar tidak lebih dari pengaruh.", tapi aku sengaja menemukan kutipan ini tahun lalu di Twitter dan menemukan hal menarik.
3.      Memberikan arahan  - kepemimpinan menunjukkan kepada orang lain "langkah berikutnya," yang sejalan dengan persuasi dan pengaruh.
4.      Kepemimpinan "lead" atau "titik" untuk sesuatu / seseorang  - bagi orang Kristen, selalu menunjuk kepada Kristus. Entah dalam iman atau tindakan. Sebagai orang percaya kita memimpin / titik / guide / orang langsung (baik Kristen maupun non-Kristen) ke  dalam  Pemimpin tertinggi, Yesus.
Keempat aspek kepemimpinan yang dicapai melalui ajaran dan / atau contoh.
Misalnya. . .
Jika Anda memiliki halaman Facebook dan Anda merekomendasikan buku kepada seseorang, dan hanya satu orang yang dibujuk atau dipengaruhi untuk membeli buku itu, maka Anda hanya  dipimpin  mereka dengan pembaruan FB Anda.
Jika Anda memutuskan untuk meninggalkan Facebook, menyatakan alasan mengapa Anda, dan satu orang yang dibujuk oleh apa yang Anda tulis juga meninggalkan Facebook, maka Anda hanya memimpin mereka melalui teladan Anda.
Dalam kedua kasus, Anda memimpin.
Jika Anda pernah diberikan arahan kepada seseorang dan mereka sudah diperhatikan itu, Anda memimpin.
Jika Anda pernah dikoreksi seseorang, dan mereka menerimanya, Anda memimpin.
Jika Anda pernah  dipimpin  (membawa) seseorang kepada Yesus Kristus, Anda sedang memimpin.
Jika Anda pernah menulis posting blog, artikel, atau buku, dan Anda mempengaruhi seseorang untuk mengambil tindakan atau mengadopsi sudut pandang, maka Anda sedang memimpin mereka.
Jika Anda pernah membujuk manusia lain untuk melakukan sesuatu, baik itu pasangan Anda, anak, orang tua, teman, rekan kerja, karyawan, dll, maka Anda sedang memimpin mereka.
Hal ini membuat semua pemimpin Kristen.
Saya memimpin setiap kali saya mengirim posting blog, menulis buku, seseorang nasihat, berbicara di depan penonton, atau melepaskan pesan podcast. Dan begitu juga Anda (jika Anda menulis atau berbicara).
Kepemimpinan bisa baik atau bisa buruk. Hal ini dapat membantu atau berbahaya.Hal ini dapat efektif atau lemah. Dan, tentu saja, beberapa orang mempengaruhi orang lebih dari yang lain berdasarkan pada ukuran mereka "platform."
"Pemimpin besar" adalah orang yang berdasarkan gaya hidup mereka dan kebijaksanaan memiliki banyak pengikut yang percaya dengan aman bimbingan mereka.
Tapi fakta bahwa mereka memiliki berikut besar tidak memberikan mereka untuk memegang gelar khusus "pemimpin" dengan mengesampingkan orang lain.Sayangnya, banyak orang Kristen lebih terobsesi menjadi "pemimpin" hari ini.Beberapa ke titik kegilaan.
Kepemimpinan ada, periode.
Dan kita semua memimpin dalam berbagai cara dan berbagai macam dan arena. Kami hanya berbeda dalam hal-hal di mana kita memimpin orang lain.
(Aku pernah mendengar retort beberapa gagasan ini mengatakan, Tapi "Jika semua adalah pemimpin, maka tidak ada yang pemimpin." Yang tidak mengikuti. Ini seperti mengatakan, "Jika semua anggota tubuh, maka tidak ada yang anggota tubuh "Atau". jika semua adalah bagian dari imamat orang percaya, maka tidak ada yang bagian dari imamat "Logika ini tidak bekerja..)
Yang mengatakan, di sini adalah 10 hal yang perlu dipertimbangkan tentang "kepemimpinan" dan mengapa gagasan umum bahwa beberapa orang Kristen adalah pemimpin dan orang lain tidak adalah sebuah mitos dalam pandangan saya (perhatikan bahwa seluruh buku dapat ditulis untuk memperluas setiap titik):
1. Perjanjian Baru tidak pernah menggunakan "pemimpin." Istilah  Dalam beberapa  terjemahan, Anda akan menemukan kata "pemimpin" hanya dalam beberapa teks. Ibrani 13:17, 14 dan Roma 12:8, yaitu. Tapi ini adalah terjemahan dipertanyakan dari kata Yunani. Kata-kata lebih baik diterjemahkan sebagai "penjaga," "memberikan perawatan," atau "panduan" Ini adalah kata kerja, bukan kata benda.. Teks-teks ini hampir pasti ada di melihat pengawas lebih dewasa rohani dan tua-tua. Penilik / penatua bukan "" pemimpin sebuah gereja lokal. Mereka hanya memimpin dalam kapasitas tertentu yang berbeda dari anggota lain dari gereja. Untuk detail, lihat  Konsep Baru Gereja , Bab 9-10.
2. Penilik (tetua juga disebut dan gembala dalam Perjanjian Baru) adalah bagian dari DNA gereja, tetapi kita telah salah paham fungsi-fungsi sebagai "kantor" yang memiliki otoritas yang melekat di atas orang-orang percaya lainnya.  Pengawas / penatua / gembala tentu memimpin, tapi begitu nabi, rasul, penginjil, guru, exhorters, mereka yang memiliki karunia rahmat, membantu, dan setiap fungsi lainnya dalam tubuh Kristus. Kristen memiliki otoritas hanya sejauh mereka mengungkapkan pikiran Kristus adalah  satu  otoritas. Sekali lagi, semua orang Kristen mengarah sesuai dengan karunia khusus mereka. Itulah argumen dari 1 Korintus 12.
3. Yesus Kristus mengubah ide umum kepemimpinan di atas kepalanya. Dia melakukan ini dalam dua cara. Dia membidik mati di posisi pandangan / tituler kepemimpinan yang umum di antara orang-orang Yahudi (Matius 23:8-13). Dan Dia membidik mati pada pandangan hirarkis / top-down kepemimpinan yang umum di antara bangsa-bangsa (Matius 20:25-28, Lukas 22:25-26). Untuk detail, lihat  Konsep Baru Gereja , Bab 8.
4. Banyak orang Kristen dan gereja-gereja telah mengadopsi dan dibaptis model bisnis kepemimpinan atas / terhadap visi Perjanjian Baru kepemimpinan.  Benar dipahami dan berfungsi, ekklesia adalah organisme rohani yang sumber kehidupan ilahi. Ini bukan institusi manusia-dibangun. Setelah ini sepenuhnya dipahami, pemahaman kita tentang perubahan kepemimpinan secara dramatis.
5. Perjanjian Baru tidak menekankan kepemimpinan.  Ini menekankan Yesus berikut (yang kini dalam Roh) dan hidup sebagai hamba Kristus dan seorang hamba kepada orang lain. Menurut Perjanjian Baru, semua berbakat, semua adalah hamba ("menteri"), semua imam, dan semua memiliki pelayanan sebagai anggota tubuh. Selain itu, semua dipanggil untuk menjadi contoh Yesus.
6. Tak satu pun dari kata-kata yang digunakan untuk "kantor" dalam bahasa Yunani yang pernah digunakan untuk menggambarkan fungsi atau peran dalam gereja.  Ahli Perjanjian Baru Robert Banks membuat kasus yang tak terbantahkan untuk ini dalam buku mani,  Idea Paulus Masyarakat .
7. Doktrin "meliputi" diciptakan pada periode pasca-rasul, dan tidak memiliki manfaat Alkitab.  Lihat  Gereja Konsep Baru , Bab 11-13 (berjudul "Siapa Covering Anda?") untuk rincian.
8. Obsesi yang modern alih kepemimpinan tidak membantu.  Jika orang Kristen menghabiskan waktu mereka berfokus pada mengikuti Yesus Kristus dan berbagi apapun yang Dia telah berikan kepada mereka dengan orang lain (= berfungsi sebagai anggota tubuh), menentang terobsesi bagaimana menjadi seorang pemimpin " , "Kerajaan Allah akan lebih baik. Jadi menurut saya tetap. (Teman saya Len manis telah menulis  sebuah buku yang menekankan followership alih kepemimpinan saya belum membacanya belum,. tapi aku sudah mendengar hal-hal baik tentang hal itu.)
9.  Ibrani 13:17 menegaskan gagasan bahwa kepemimpinan terkait dengan persuasi.  Dalam teks itu, beberapa terjemahan telah, "Taatilah mereka yang lebih dari Anda." Kata Yunani untuk "taat" dalam bagian ini tidak  hupakuo , taman- berbagai kata untuk ketaatan digunakan di tempat lain dalam Alkitab. Ini peitho  (tengah-pasif bentuk), yang berarti menyerah pada persuasi. Penulis Ibrani hanya berkata, "Biarkan dirimu dibujuk oleh orang-orang yang lebih dewasa di dalam Kristus daripada Anda." Kata "atas" dan "aturan" dalam beberapa terjemahan adalah refleksi mengerikan dari Yunani. Dan menurut Petrus dan Lukas, penatua / penilik tidak lebih kawanan, mereka adalah  di antara  itu (1 Pet 5:1, BIS,. Kis 20:28, NASB).Lihat  Konsep Baru Gereja , Lampiran panjang untuk rincian.
10. Sepanjang Perjanjian Baru, hanya Yesus Kristus dikatakan sebagai "kepala" dari gereja, yang menyiratkan baik sumber dan aturan.  arus kepemimpinan Semua dari kepemimpinan-Nya organik ketika anggota tubuh-Nya mengungkapkan pikiran-Nya dan akan dalam situasi tertentu. Kristus memiliki kemampuan bicara, dan Dia berbicara melalui tubuh-Nya (ini adalah argumen dari 1 Korintus 00:01 dst.). Dan kita semua berbagi pikiran Kristus. Pikirannya bukanlah milik eksklusif dari beberapa.
Titik: Anda tidak perlu menjadi seorang penulis, pendeta, atau penatua dari gereja lokal untuk menjadi pemimpin. Bahkan, beberapa pemimpin Kristen terbesar saya kenal adalah tidak.
Fokus pada mengikut Yesus dan Anda akan memimpin orang lain secara alami dengan contoh Anda, apalagi dengan hal-hal yang Anda katakan.
Tidak diragukan lagi, seseorang membaca posting ini mungkin keberatan dengan beberapa poin. Dan itu baik-baik saja. Tak satu pun dari kita bisa mengklaim wawasan yang sempurna. Namun, saya menangani setiap keberatan mereka saya pernah mendengar (dan lebih) secara rinci dalam  Gereja Konsep Baru , yang merupakan sebuah buku 320 halaman. Ini hanyalah sebuah kata pengantar untuk subjek.
Untuk apa itu layak. . .
Apakah mungkin bahwa banyak dari Kekristenan hari ini difokuskan pada menjadi pemimpin ketika lebih harus difokuskan pada bagaimana mengikuti Yesus Kristus?
Periksa kembali besok untuk melihat pendapat saya tentang buku baru Mohler tentang kepemimpinan.



Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013