Pendeta dan Dana Pensiun
Pendeta dan Dana Pensiun
Oleh Pdt.Setyo Utomo
Pendeta dan Jaminan
masa depan.
Yang terbersit dalam pikiran penulis pertama kali terkait
judul artikel ini adalah pertanyaan-pertanyaan tentang posisi pendeta dan
masalah jaminan bagi masa depan. Masih terekam di benak penulis bahwa hal Dana Pensiun hampir sama sekali tidak
pernah muncul dalam percakapan pendeta .
Mungkin hampir semua pendeta GKJ di dekade 60an-70an tidak pernah bersinggungan
dengan apa yang kini dinamakan Dana Pensiun. Itu berarti mereka dulu harus
merencanakan sendiri masa depan mereka. Di tengah-tengah keadaan ekonomi saat
itu mereka harus berpikir ganda. Memikirkan kebutuhan setiap hari serta
merencanakan sendiri bentuk tabungan masa depan mereka sendiri.
Kondisi terkini jauh berbeda dengan kondisi dekade tahun
60an di atas. Karena ketika seseorang ditahbiskan menjadi seorang pendeta
biasanya visitator klasis segera mengingatkan gereja untuk segera mendaftarkan
pendetanya pada Dana Pensiun GKJ. Entah dengan alasan “kebersamaan “sebagai
anggota sinode maupun karena alasan
supaya pendetanya dapat berkonsentrasi dalam hal pelayanan dan tidak disibukkan
dengan perencanaan tabungan masa depan.
Fakta yang ada di depan mata bahwa kini Sinode GKJ telah
memiliki Dana Pensiun sendiri. Itu semua berkat jerih dan juang generasi
pendahulu terhadap adanya kebutuhan mengenai masa depan kehidupan pendeta.
Sudah tentu para pendahulu GKJ telah berpikir dengan serius sehingga akhirnya
dapat memiliki Dana Pensiun sendiri. Dan mereka berpikir serius mendirikan Dana
Pensiun sebab punya keyakinan yang mulia bahwa tidak layak kalau pendeta paska
emeritus hidup dan nasibnya tidak mendapat kehidupan yang layak. Atau paling
tidak suatu keyakinan bahwa dalam hidup dan pelayanan pendeta seyogyanya tidak
perlu direpotkan dengan soal-soal perencanaan jaminan bagi masa depan mereka.
Sehingga diharapkan ada totalitas dalam pelayanan.
Bujuk rayu untuk
meninggalkan DP
Suatu kali penulis pernah didatangi oleh teman pendeta yang
menceritakan tentang ajakan seorang pendeta senior untuk keluar dari DP GKJ.
Alasan dari ajakan tersebut adalah bahwa dengan ikut DP GKJ si pendeta akan
mengalami kerugian. Akan lebih baik jika dana yang selama ini menjadi premi
pensiun dikelola sendiri supaya menjadi lebih maksimal.
Penulis iba dengan pendeta muda tersebut. Sebab hampir saja
ia memutuskan untuk keluar dari DP GKJ akibat alasan yang “seolah-olah” masuk
akal tersebut. Penulis jadi berpikir mungkin banyak dari para pendeta yang juga
jatuh pada kebimbangan yang sama dengan pendeta muda tersebut. Sebab faktanya
di sekolah teologi mereka memang tidak pernah diajar soal perpensiunan. Juga
tidak pernah diajar bagaimana mengelola dana pensiun untuk diri mereka sendiri.
Seolah-olah mereka harus dipaksa untuk percaya tanpa melihat. Percaya saja
dengan DP GKJ soal bagaimana dana mereka dikembangkan.
Terhadap cerita dan keragu-raguan pendeta muda tersebut,
penulis kemudian mencoba memberikan penjelasan sebisa mungkin sebatas apa yang
menjadi pemahaman penulis. Penulis jelaskan bahwa menjadi suatu kerugian kalau pendeta GKJ tidak ikut DP GKJ atau
keluar dari DP GKJ. Kerugian pertama, jelas tidak ikut menghidupi apa yang
menjadi sesanti DP GKJ yang telah ditanamkan para pendahulu GKJ, yaitu sesanti
Sangkul-sinangkul ing bot repot. DP adalah perwujudan dari sesanti tersebut.
Sebab melalui DP sesanti tersebut
diimplementasikan secara konkrit. Sesanti itu terlihat jelas dalam bentuk
ketika GKJ mendapat bantuan dari GKN untuk memulai berdiri dan berkembangnya DP.
Juga ketika GKJ menyepakati ada bagian dari IDKK yang dikhususkan untuk Dana
Pensiun. Juga ada bagian dari pengembangan Dana Abadi yang peruntukkannya bagi DP. Jadi tidak hanya kerugian dari segi
Tata Nilai soal Sangkul sinangkul in bot repot, namun juga ada kerugiaan
materiil, yaitu tidak ikut menikmati kebersamaan tersebut. Sebab dana-dana
tersebut semua dipakai utuk menaikkan tingkat kapitalisasi/pendanaan Dana
Pensiun. Dan dengan peningkatan kapitalisasi tersebut DP lewat sidang sinode
menaikan kenaikan Manfaat Pensiun yang ujungnya akan dinikmati oleh para
peserta. Jelas merupakan kerugian besar.
Ada manfaat positip yang lebih penting berupa
keberlangsungan hubungan dengan pemberi kerja yaitu gereja, klasis dan sinode.
DP GKJ sering mengadakan pertemuan para pensiunan yang bisa menjadi ajang temu
kangen dengan teman sekolega. Penerimaan pensiun lewat klasis serta diketahui
oleh gereja menjadikan hubungan emosional dengan tempat pelayanan masih tersambung. Jadi
pendeta emeritus masih menikmati habitusnya. Ini suatu manfaat yang paling
penting.
Manfaat yang jelas sekarang sedang dirasakan para pensiunan
adalah ketika sinode menaikkan manfaat pensiun. Meskipun pendeta sudah emeritus
pada saat keputusan kenaikan, ia akan tetap menikmati adanya kenaikan tersebut.
Jadi menurut penulis ada suatu kerugian yang sangat besar jika tidak ikut DP
GKJ.
Soal percaya tanpa melihat dan juga soal bagaimana dana
dikembangkan oleh DP, semestinya juga tidak perlu menjadi hal yang disangsikan.
DP terikat oleh peraturan soal Dana Pensiun
yang diterbitkan oleh Mentri Keuangan RI. Jadi ketakutan dalam hal
kegagalan investasi sudah diantisipasi oleh Peraturan tersebut. Sebab dalam
peraturan Dana Pensiun sudah diatur jenis investasi apa saja yang diperkenankan
dan yang tidak diperkenankan. Secara konkrit Arahan Investasi dibuat dan
ditetapkan oleh Pendiri dalam hal ini Bapelsin Sinode GKJ. Antisipasi yang lebih ketat yaitu dengan
adanya aturan hal keterwakilan para peserta aktif maun pasip di dalam
kepengurusan maupun kepengawasan dalam organ DP GKJ. Ini menjadikan para
peserta terjamin kepentingannya.
Pendeta mengembangkan
sendiri dananya.
Dalam beberapa kali persidangan sinode yang penulis ikuti
pernah dibahas soal para pendeta yang tidak ikut DP. Diinformasikan bahwa
mereka memerlukan bantuan. Beruntung persidangan sinode adalah persidangan yang
benar-benar mulia. Meskipun sebenarnya persidangan sinode bisa mengabaikan
soal-soal seperti ini sebab di sinode sudah ada Dana Pensiun, namun persidangan
tetap berbaik hati dengan memutuskan untuk memberikan bantuan kepada para
pendeta yang tidak ikut DP GKJ. Mungkin mereka dulu juga berpikir bisa
mengembangkan sendiri dana mereka. Tapi entah apa yang terjadi akhirnya ada
materi soal pendeta yang tidak ikut DP dalam persidangan sinode. Bagaimanapun
juga Sangkul sinangkul ing bot repot tetap hidup dalam persidangan sinode,
meskipun bagi mereka yang tidak ikut percaya dalam sesanti tersebut. Itu luar
biasanya Sinode GKJ.
Mungkin sampai kini masih ada pendeta GKJ yang percaya mampu
mengelola sendiri dana masa depan mereka. Penulis acung jempol atas mereka
bukan karena mereka tidak ikut dalam sesanti Sangkul sinangkul ing bot repot, melainkan pada kemampuan
mereka dalam hal investasi yang aman dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga perlu
diakui bahwa kemampuan berinvestasi memerlukan Waktu, Tenaga dan Pemikiran yang
serius. Tentu pendeta tersebut perlu belajar soal-soal investasi, belajar soal
dunia perbankan dan lain seterusnya. Sudah tentu totalitas pelayanan agak sedikit
terganggu karena hal tersebut. Sebab DP-DP yang menggunakan tenaga professional
di bidang investasi saja bisa jatuh dalam kesalahan, apalagi jika ditangani
oleh tenaga yang bukan professional. Sudah dipastikan kemungkinan besar akan
terjadi kegagalan mengelola investasi.
Saran penulis bagi pendeta yang punya kemampuan keuangan
lebih, akan baik jika selain mengikuti kepersertaan dalam DP GKJ juga ikut DP
Lembaga Keuangan. Bila memang betul-betul berlebih, selain ikut DP GKJ dan DPLK
juga belajar praktek sendiri dalam hal investasi sejauh tidak menggangu tugas
utama pelayanan. Akan bijaksana jika gereja ikut memberi perhatian dalam kasus
ini.
PPMP dan PPIP
Setiap kali ada keputusan persidangan sinode soal kenaikan
Manfaat Pensiun menyeruak kembali diskusi soal jenis perpensiunan yang
sebaiknya diikuti, PPMP (Program Pensiun Manfaat Pasti) atau PPIP(Program
Pensiun Iuran Pasti). Menarik bila kita perhatikan persidangan sinode terakhir.
Di satu sisi ada keputusan untuk tetap memakai PPMP, di saat yang sama juga
diputuskan untuk diadakan kenaikan Manfaat Pensiun dan Kenaikan PHDP. Itu
berarti persidangan sinode kemarin sudah menutup pintu terhadap pilihan
PPIP. Namun mengapa diskusi tentang
pilihan tersebut senantiasa menyeruak?
Sebab utama bahwa upaya untuk menaikkan MP atau PHDP selalu
berpengaruh terhadap Rasio Kecukupan Pendanaan(RKD) DP GKJ. Dan menjadi
konseksuensi Program PPMP, untuk menutup deficit akibat berkurangnya RKD DP GKJ
menjadi tanggungjawab Pendiri (dalam hal ini Sinode, Klasis maupun Gereja). Dan
bila hal itu kurang dikomunikasi secara lugas dan jelas akan memunculkan
kekagetan dan rasa pesimis. Sehingga melupakan sesanti Sangkul sinangkul ing
bot repot. Jadinya melupakan bahwa Sinode GKJ sudah berkali-kali melakukan hal
yang sama, yaitu menaikkan MP. Dan akibat adanya deficit pada akhirnya bisa
diatasi.
Pilihan PPIP memang menggiurkan bagi Organ DP sebab tidak
perlu berurusan dengan adanya deficit, sebab yang dijanjikan dalam PPIP adalah
Iuran Pasti. Tidak ada konsekuensi Pengurus untuk melakukan investasi secara
bijak, juga tidak perlu ada upaya efesiensi dalam operasionalisasi. Yang
penting Dana Iuaran dikembangkan dan hasil pengembangan serta induknya akan
dikembalikan pada peserta. PPIP juga menggiurkan bagi Pemberi Kerja, tidak
perlu berpikir bagaimana member I tambahan Iuran Pensiun segala.
Penulis pikir keputusan persidangan sinode kemarin sudah
amat bijaksana. Bijaksana dalam memandang hubungan seorang pendeta dengan
Gereja, Klasis dan Sinode. Bijaksana dalam memberikan apa yang terbaik bagi
kehidupan bersama yang bernama GEREJA.