Mengajarkan Buah Roh pada Anak
Bahan Sarasehan
Bulan Juli 2009
GKJ Ambarawa.
Mengajarkan Buah Roh pada Anak
Apakah kita adalah salah satu orang tua yang berpikir bahwa anak-anak kita bisa dengan sendirinya menghasilkan buah Roh jika kita sudah membawa mereka ke Sekolah Minggu? Atau jika kita sudah membacakan Alkitab setiap hari pada mereka? Atau jika kita sudah mendoakannya siang dan malam?
Buah Roh memang adalah hasil karya Roh Kudus dari seorang yang memiliki dan mengikuti kehendak Kristus. Namun untuk menghasilkan anak-anak yang menunjukkan buah Roh dalam keseharian hidup mereka, bukan hanya pekerjaan Roh Kudus saja yang menjadi andalan kita, melainkan pelatihan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan baik juga perlu kita ajarkan berulang-ulang pada anak.
Musa sendiri mengingatkan bagaimana mengajarkan cinta pada Tuhan haruslah dilakukan di berbagai tempat. Di rumah, di perjalanan, di sekitar meja makan saat sarapan, makan malam, saat anak-anak bersendagurau maupun saat anak-anak sedang bermain. Mengapa harus sesering itu? Sebab sejak zaman umat Allah, telah disadari bahwa halangan untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki dapat terjadi di berbagai tempat dan dengan berbagai cara.
Mengenal Kasih dan Mempraktikkan Kasih
Hal yang tidak boleh kita lupakan sebelum mempraktikkan kasih adalah belajar mengenal Sang Kasih itu sendiri. Matius 7:22 mengingatkan kita bahwa suatu kali dalam penghakiman nanti, bisa jadi Tuhan tidak mengenal orang-orang yang mengaku telah mengikut Dia. Salah satu kalimat berbunyi, “…Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyah…” Kata mengenal yang digunakan adalah ginosko. Kata itu berarti “mengenal melalui pengalaman pribadi atau usaha atau belajar mengenal.”
Dari mana anak-anak kita belajar menghayati dan menikmati kasih dari Tuhan? Tidak lain dari orang tua mereka. Kita merupakan contoh bagaimana kasih Allah nyata dalam hidup anak-anak kita. Cara kita menegur dan mendisiplin mereka, cara kita mengatakan “Aku mengasihimu” melalui pemberian atau kedekatan fisik, cara kita menunjukkan kasih pada pasangan, cara kita menunjukkan kasih pada mertua atau orang tua kita, cara kita memperlakukan orang lain yang berpapasan dengan kita, cara kita memperlakukan orang-orang yang bekerja pada kita, atau cara kita berhubungan dengan Tuhan, merupakan model kasih yang membekali mereka dalam mengasihi.
Selain melihat model kasih dari orang tua, anak-anak juga dapat belajar mengasihi melalui cara kita mengomentari setiap kejadian yang secara spontan kita alami. Misalnya saat anak melihat orang-orang yang bertengkar, apa komentar kita terhadap hal itu? Atau saat kita kedatangan tamu dan kebetulan mereka membawa anak-anak mereka, apa yang kita ajarkan pada anak saat anak kita sedang memegang mainannya? Apakah kita mengajak mereka untuk berbagi?
Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Takut atau kuatir adalah salah satu penghalang bagi kita untuk mengasihi. Kita bisa takut mengasihi karena takut disakiti. Kita bisa takut menyatakan kasih kalau-kalau kita mengalami penolakan. Kita takut memberi cinta karena takut tidak mendapat cinta yang setimpal dengan apa yang kita beri. Padahal prinsip inilah justru yang perlu dihindari saat kita mengajarkan anak-anak kita untuk mengasihi.
Kita mengajarkan anak-anak mengasihi, bukanlah supaya mereka mendapatkan kasih dari orang lain, melainkan kita mengajarkan anak-anak untuk mengasihi karena mereka mendapatkan kasih dari dan memiliki kasih Allah yang sejati. Dan kasih yang mereka berikan pada orang lain bukanlah kasih yang terkondisi oleh perasaan sesaat. Betul, saat kita memiliki perasaan haru atau belas kasihan, itu menjadi pendorong kita untuk mengasihi. Tapi bagaimana kalau perasaan itu berubah jadi kebencian? Kalau anak-anak kita merasa marah pada teman yang merebut mainannya? Atau mereka sedih karena tidak diperhatikan oleh teman-temannya? Di sinilah kekuatan kasih, Kasih tidak bergantung pada perasaan kita. Ia ada karena Tuhan yang memerintahkan kita untuk terus mengasihi.
1 Yoh 4:7-8 mengatakan, “saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”.
Kasih tidak bergantung pada perasaan, tetapi pada pola pikir anak-anak kita sehingga mereka mau tidak mau terbawa untuk mengasihi dalam kondisi apa pun. Mereka mungkin akan melakukannya dengan berat hati, namun karena mereka tahu bahwa itu adalah baik yang mereka harus lakukan, maka ketaatan pada Sang Kasih menjadi otoritas tertingginya, dan bukan perasaannya.
The Power Of Joy
Sukacita bukanlah sebuah usaha lahiriah yang mengakibatkan anak-anak dapat tersenyum dan tertawa. Seringkali kita bermain bersama anak dan membuat mereka tertawa bahagia. Namun apakah itu sudah cukup disebut SUKACITA? Sukacita tidak terkondisi oleh apa yang ada di luar, itu sebabnya saat anak-anak kita terluka atau terbaring di rumah sakit, mereka tetap bisa bersukacita.
Sukacita seperti apa yang dimaksud dalam buah Roh? Sukacita yang sejati adalah sukacita yang berasal dari hati. Sukacita yang terjadi karena Tuhan bekerja di dalam batin, membantu kita melihat hadiah-hadiah dari Tuhan menjadi alasan terbesar bagi anak-anak kita untuk menikmatinya.
Mungkin anak-anak kita sempat merasakan bagaimana mereka gagal dalam ujian. Kita dapat memaparkan sejumlah kesalahan dan keburukan mereka dalam hal ini. Namun sukacita membuka kacamata rohani kita dan anak-anak untuk melihat hadiah yang Tuhan beri dalam pengalaman pahit itu. Misalnya, sukacita dapat tetap terjadi karena justru pengalaman gagal membuat anak-anak kita belajar bagaimana mereka perlu menghargai waktu-waktu belajar mereka. Atau pengalaman mendapat nilai buruk membuat mereka tahu apa arti kecewa dan gagal.
Yakobus sendiri pernah mengatakan demikian, “Saudara-saudara, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan apa pun”. Yakobus 1:2-4
Itu berarti Yakobus mengajak kita untuk juga mengajarkan anak-anak kita bagaimana melihat sebuah situasi buruk dari kacamata iman. Dengan kata lain, ada sisi lain dari sebuah pengalaman yang tidak baik, di mana melaluinya kita tetap bisa belajar dan melihat kesempatan yang Tuhan beri.
Bahkan justru menurut Nehemia 8:11, “Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!”
Atau dengan kata lain, “…sebab sukacita Tuhan adalah kekuatanmu.” Itu berarti kita diajak untuk memfokuskan hidup kita bukan pada masalah yang kita hadapi, melainkan pada kekuatan yang Tuhan beri selama menghadapi masalah tersebut.
Itulah juga yang perlu kita latih dalam diri anak-anak kita. Seringkali menghadapi dunia yang serba mudah di zaman ini, anak-anak kita cenderung mengeluh dan putus asa. Menghadapi mati lampu, mereka berkeluh kesah karena AC di rumah tidak dapat digunakan dan mereka kepanasan. Menghadapi jalan yang macet, mereka marah karena lelah menunggu. Apalagi menghadapi pelajaran yang begitu banyak dengan tugas-tugas yang tak kunjung berhenti, mereka bisa menjadi anak-anak yang masa bodoh atau justru stress karenanya.
Di sinilah kekuatan Sukacita perlu ditularkan pada anak-anak. Sukacita bukan karena apa yang mereka inginkan, telah mereka dapatkan, melainkan sukacita karena mereka mampu melihat bahwa saat tidak tercapainya keinginan mereka, ada hal lain yang mereka miliki dan mampu kerjakan. Itulah hadiah dari Tuhan untuk dinikmati dan disyukuri.
Ada sebuah lagu yang sangat terkenal di dunia anak-anak sekolah minggu, bahkan juga bagi anak-anak bayi. Syairnya berbunyi, “Happy ya ya ya, Happy ye ye ye, aku senang jadi anak Tuhan.” Lagu ini mengajarkan bahwa sukacita mereka bukan karena pakai baju baru, atau sekolah minggu di lantai dan kelas yang bersih, atau karena mereka sudah kenyang, tetapi karena mereka jadi anak Tuhan. Objektif seperti itulah yang perlu kita dengungkan dalam keseharian anak. Sukacita bukan karena mendapat, tetapi karena mereka adalah anak-anak yang dicintai Tuhan.
Berdamai Dengan Tuhan dan Sesama
Kata yang paling sulit diucapkan oleh seorang anak saat mereka menyadari bahwa mereka memiliki harga diri adalah “Sorry”. Padahal cara yang disediakan Tuhan untuk berdamai dengan kita adalah melalui kesadaran bahwa diri kita bersalah (berdosa), dan untuk itulah kita membutuhkan pengampunan dari Tuhan.
Bagaimana cara agar anak-anak kita berani menyatakan kesalahannya? Mulailah dengan meminta maaf apabila kita melakukan kesalahan kepada mereka.
“Maaf ya, tadi mama berbicara keras pada papamu sehingga kamu menjadi takut.”
“Maaf ya, tadi papa lupa memberi kesempatan padamu untuk berpendapat.”
“Maaf ya, papa pulang terlambat tidak seperti janji tadi pagi.”
“Maaf ya, mama tadi harus memarahimu di depan orang karena kita pernah berjanji bahwa kamu tidak akan merengek dalam perjalanan kita, tapi ternyata kamu merengek di depan mereka. Itu sungguh tidak menyenangkan.”
Sebaliknya, mintalah anak juga untuk belajar meminta maaf. Entah kata apa yang lebih sesuai dengan anak, “Sorry” atau “Maaf” merupakan cara untuk membuat anak-anak kita belajar bahwa mereka perlu berdamai dengan orang lain.
Bukan hanya pada sesama, anak-anak juga perlu diajar untuk meminta maaf (mengaku dosa) pada Tuhan. Doa pengakuan itu bisa dibawakan oleh orang tua seakan orang tua bertindak sebagai anak. Misalnya, “Hari ini kami minta ampun ya Tuhan, karena Andrea marah-marah pada papi dan mami.”
Bagaimana cara agar anak-anak dapat meminta maaf dengan rela? Banyak anak, karena takut pada orang tua mereka, akhirnya memutuskan untuk meminta maaf sekalipun muka mereka penuh dengan amarah. Tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya mereka memiliki sejumlah alasan yang mengakibatkan mereka tidak merasa perlu untuk minta maaf apalagi minta ampun pada Tuhan. Itulah sebabnya sebelum anak-anak berdamai dengan orang tua, dengan teman atau dengan Tuhan, mereka perlu diajak bercakap-cakap secara pribadi. Jelaskanlah bahwa ketika temannya tadi menangis karena dipukul oleh anak kita, itu tetap merupakan kesalahannya. Mungkin saja anak kita memukul anak itu karena dipukul terlebih dahulu, namun sebagai orang tua yang mengikut Kristus, kita tetap harus mengajarkan pada anak-anak kita untuk tidak membalas kesalahan orang lain. Sehingga damai yang mereka miliki menjadi utuh, damai dengan Tuhan tetapi juga dengan sesamanya. Dan itu mereka lakukan bukan berdasarkan pada keputusan perasaan mereka semata, tapi karena keinginan untuk taat pada Tuhan dan karena kesadaran bahwa damai yang sejati hanya bisa terjadi jika hati terbuka pada pesan Ilahi. Seperti yang tertulis dalam Kolose 3:15, “hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh.”
Sanggup Bertahan Saat Mengalami Kesulitan
Kesabaran dalam Galatia 5:22 juga merupakan salah satu buah Roh. Kesabaran seperti apa yang dapat diajarkan pada anak-anak kita? Tentu saja sabar dalam menghadapi segala hal, seperti sabar menunggu, sabar dalam mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, sabar dalam memelihara diri, sabar dalam merapihkan sesuatu, atau juga sabar dalam mendengarkan perkataan/nasihat/ajaran orang tua. Namun apalah artinya kesabaran jika anak-anak kita tidak berjumpa dengan kesulitan selama menjalani hidupnya? Untuk itu orang tua perlu menanti kesempatan di mana anak-anak secara alami akan menjumpai kesulitan, dan pada waktu itulah saat yang tepat untuk mengajarkan kesabaran.
Bisa saja kita melatih mereka untuk sabar melalui berbagai permainan, namun akhirnya anak-anak kita harus mengalami sendiri bagaimana mereka perlu bertahan di saat-saat sulit dalam hidupnya.
Misalnya saja, seorang anak berusia 2-3 tahun dapat belajar kesabaran saat mereka diminta untuk melepaskan baju atau celananya sendiri. Atau seorang anak berusia 4-5 tahun dapat belajar kesabaran saat mereka harus mengikat tali sepatunya sendiri. Sedangkan anak-anak yang lebih besar dapat belajar sabar saat mereka ditugaskan untuk merapihkan tempat tidurnya sendiri, memasukkan seprey yang berantakan agar tempat tidurnya terlihat rapi, atau dengan cara membereskan mainannya sendiri.
Terus terang, untuk mengajarkan kesabaran pada anak, kita sendiri sebagai orang tua akan mengalami proses belajar sabar menunggu mereka sampai mereka menjadi anak yang semakin sabar. Itulah sebabnya seringkali kegagalan bukan terletak pada anak, tetapi maaf, pada kita sendiri sebagai orang tua. Kita lebih memilih agar orang-orang yang bekerja pada kitalah yang membereskan mainan anak-anak kita, sehingga mereka tidak pernah belajar bagaimana merapihkan seluruh mainan dalam kotaknya. Atau, kita membiarkan anak-anak kita berteriak karena ada barang-barangnya tertinggal saat mereka harus pergi meninggalkan rumah, padahal jika mereka mau lebih sabar sedikit, mereka justru dapat masuk kembali ke rumah dan mengambilnya sendiri.
Pertanyaannya, mengapa kita harus mengajari anak-anak kita bersabar dalam hal-hal yang tampaknya sangat sepele seperti itu? Tentu saja itu bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran tentang buat Roh kesabaran. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup anak sehari-hari hanyalah alat yang dapat kita gunakan untuk mempermudah dan membiasakan anak-anak kita hidup sebagai seorang yang bertahan dalam kesulitan. Namun kesulitan yang sesungguhnya sebenarnya terletak di depan mereka saat mereka tidak lagi bersama kita. Saat pencobaan datang dan mereka tidak menemukan seorang teman tempat berbagi, atau saat penyakit atau masalah mampir dalam hidup mereka dan mau tidak mau mereka harus lari dan tersungkur pada Tuhan. Kesabaran yang telah dilatih selama mereka kanak-kanak merupakan bekal yang sangat berarti sehingga mereka juga diberi kesanggupan bersabar menanti jawaban atau pertolongan Tuhan.
Itulah sebabnya tidak ada cara lain untuk memulai pelajaran ini selain orang tua sebagai pelaku utama dan model bagi anak-anak kita. Sebab kesan yang mereka terima dari mata mereka sendiri, merupakan pembelajaran yang paling bermakna dan membekas seumur hidup. Sekalipun mereka belum mahir menjadi orang-orang yang sanggup bertahan, setidaknya mereka memiliki acuan atau contoh bagaimana harus bersikap dan berpikir.
Berbagi dengan Yang Tidak Sama dengan Anak
Kemurahan memang merupakan salah satu bagian dari buah Roh yang seharusnya terjadi karena gerakan hati yang memiliki belas kasihan akan orang-orang di sekitar kita, sehingga dengan sukacita kita melakukan sesuatu untuk orang-orang tersebut.
Itulah sebabnya, untuk menjadikan anak-anak kita berhati tulus dalam menyatakan kemurahan hatinya, diperlukan sebuah pembiasaan dalam berpikir sebelum anak-anak kita diajak untuk bertindak sesuatu. Misalnya saja, saat anak-anak kita melihat orang-orang yang meminta-minta di pinggir jalan. Kepekaan bahwa ada orang-orang di pinggir jalan yang membutuhkan (di samping sebenarnya sebagai seorang dewasa kita berpendapat lain) perlu diperdengarkan oleh kita sebagai orang tua. Misalnya, “Lihat De, orang-orang di pinggir jalan itu. Kasihan mereka, ada yang tidak punya rumah, ada juga yang belum makan. Mereka minta-minta karena mereka perlu uang untuk makan.”
Penjelasan di atas memang akan menjadi kurang cocok jika dijelaskan pada anak usia SD, itulah sebabnya penjelasan mengenai hal di atas perlu ditambah atau dilengkapi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Misalnya, “Orang-orang di pinggir jalan itu memang tidak punya uang untuk makan. Tetapi sebetulnya, bisa saja mereka bekerja. Sayangnya, bisa jadi di antara mereka ada yang sudah mencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya. Dan karena uang yang mereka dapat dari hasil meminta-minta lebih besar daripada mereka bekerja, akhirnya mereka menjadikan ini sebagai pekerjaan mereka.”
Dalam diskusi dengan anak-anak yang lebih besar, tentu saja mereka bisa bertanya, “Kalau begitu untuk apa kita memberi mereka? Bukankah mereka akan menjadi seorang yang malas bekerja dan hanya meminta-minta?” Lalu kita bisa menjawab, “Tentu, mereka bisa menjadi orang yang malas bekerja. Dan lebih menyedihkan lagi kalau mereka justru menggunakan anak-anak mereka untuk mengundang belas kasihan orang lain. Tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berbeda dari kita. Mungkin sedikit roti atau susu bisa berguna untuk kesehatan anak-anak itu, daripada kita memberi uang. Mungkin saja orang tuanya tidak membelikan susu untuk mereka, siapa lagi yang mau peduli kalau kita saja melewatkan mereka begitu saja setiap minggunya. Ayo kita siapkan susu setiap kali kita melewati jalanan ini.”
Bisa jadi karena diskusi yang sangat panjang, menyebabkan kita tidak jadi memberi. Namun ingatlah bahwa itu bukan tujuan dari diskusi yang kita harapkan. Yang kita harapkan sebenarnya adalah anak-anak belajar peka bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang berbeda dari mereka dan membutuhkan uluran tangan Tuhan melalui kita. Itu sebabnya diskusi kritis mengenai dugaan-dugaan terhadap apa yang dibahas, bukanlah tujuan dari diskusi. Maksudnya, jika kita membahas, misalnya tentang seorang anak yang menjadi kedi payung, tujuan utama kita adalah mengajarkan anak-anak kita untuk memberi pada mereka yang tidak sama kehidupannya dengan keluarga kita. Bukan berarti kita hendak menghakimi atau menduga, siapa di balik usaha kedi payung tersebut? Atau dikemanakan uang yang mereka terima? Arahkah terus pada kepekaan anak untuk bermurah hati pada orang-orang di sekitarnya. Ajaklah mereka untuk menyadari bahwa Tuhan bisa menitipkan orang-orang yang tidak sama dengan mereka, agar kita belajar bermurah hati. Misalnya, pada orang yang lebih tua, pada seorang oma atau opa, pada teman yang tidak membawa snack seperti anak kita, atau juga pada sebuah berita yang melalui gereja atau sekolah, anak-anak kita bisa belajar berbagi.
Melakukan Pekerjaan Baik
Menurut W. E. Vine, seorang cendekiawan Yunani, dalam Vine’s Expository Dictionary of New Testament Words, kemurahan atau keramahan surgawi adalah “sikap penuh kasih Allah terhadap orang lain,” sedangkan kebaikan adalah “Suatu tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan bagi kepentingan orang lain.”
Itulah sebabnya, menurut Greg Zoschak, jika seorang Kristen tidak memiliki kemurahan dari Allah, ia mustahil akan melakukan kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Lebih lanjut lagi, kemurahan adalah apa yang orang-orang dapat lihat melalui diri orang beriman, sedangkan kebaikan adalah apa yang mereka alami dari orang beriman tersebut.
Untuk menjadi anak-anak Tuhan yang baik, mereka bukan hanya perlu menunjukkan sikap baik mereka pada anggota keluarga atau orang-orang yang dekat dengan anak, sehingga banyak orang menyaksikannya. Namun anak-anak juga perlu belajar untuk keluar dari zona kenyamanan mereka yaitu tempat di mana mereka merasa aman melakukan kebaikan. Di mana tempat itu? Tempat itu adalah di dalam rumahnya, di lingkungan teman dekatnya, atau di lingkungan keluarga besarnya.
Merefleksikan diri dan anak-anak kita, siapa yang seringkali kita doakan dalam doa-doa pribadi kita? Pertama, diri sendiri, kedua, kita mendoakan keluarga dekat, ketiga, kita mendoakan keluarga jauh, keempat, teman dan sahabat yang dekat dengan kita. Apakah itu pekerjaan yang baik? Betul, itu pekerjaan yang baik, namun bukan itu saja hasil dari buah Roh. Kemurahan Tuhan mengajarkan dan mengajak kita juga untuk menunjukkan kebaikan-kebaikan Tuhan melalui kita termasuk kepada orang-orang yang kita sama sekali tidak terpikir untuk mendekati dan menolongnya.
Salah satu cara untuk melatih kebaikan kita pada orang-orang di luar zona nyaman kita adalah belajar memikirkan satu hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita, keluarga kita, gereja kita, atau sahabat kita. Kepada atau pada mereka itulah kita dan anak-anak kita bisa belajar berbuat baik.
Kebaikan haruslah dirasakan oleh mereka yang sama sekali tidak bisa membalas kebaikan kita dan anak-anak kita. Mungkin juga sampai orang yang kepadanya kita berbuat baik mengatakan, “Aduh, saya tidak bisa membalas apa-apa. Terima kasih!”
Estafet kebaikan itu lebih dapat dirasakan oleh lebih banyak orang jika kita berbuat kebaikan pada orang-orang yang tidak ada relasi atau kaitannya dengan kita. Biarkan mereka membalas itu pada orang lain, dan bukan pada kita. Yesus sendiri pernah berkata, “Apakah baiknya jika kita berbuat baik pada orang yang baik pada kita? Penjahat pun akan melakukan hal itu…”
Yesus mengumpamakan kebaikan dengan garam, Matius 5:13 mengatakan, “kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Jikalau kita tidak memiliki kebaikan Tuhan, niscaya kita tidak mungkin dapat membuat orang lain merasakan kebaikan Tuhan itu melalui kita. Garam itu tidak terasa asin. Orang tidak akan mengatakan, “Ini asin!” atau “Terima kasih Tuhan atas kebaikanMu melalui orang itu!” melainkan orang akan mengatakan, “Aduh, aku berhutang pada dia. Sebab dia begitu baik pada saya.”
Anak-anak kita boleh-boleh saja belajar berbuat baik pada orang-orang di sekitarnya, bahkan harus! Tapi jangan sampai kita menawarkan asinnya garam yang mereka tabur dengan alasan-alasan logis. Misalnya, “Kita harus baik sama mba’, kalau ga ada mba’ mami repot sekali di rumah.” Atau “Kita harus kasih kado ke temanmu itu, sebab kemarin kan dia kasih kado mahal sekali!”
Apa artinya sebuah kebaikan jika itu terjadi karena balas budi atau ada harapan-harapan di balik kebaikan yang kita beri. Sesungguhnya, melakukan pekerjaan baik bukan hanya terbatas pada pemberian-pemberian, melainkan melakukan sesuatu dengan cara dan pikiran yang baik. Itu sebabnya saat anak-anak kita memberi pun, mereka perlu melakukannya dengan baik, selain memiliki motivasi/alasan yang baik dalam melakukannya, dan kata-kata yang baik dalam menyampaikannya.
Kudapati Kau Tetap Setia
Tidak ada orang tua yang menghendaki anak-anaknya menjadi anak-anak yang tidak setia pada Tuhan. Tapi bagaimana caranya membuat mereka tetap setia sampai akhir? Amsal 22:6 mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Mendidik anak setidaknya memenuhi 3 hal, kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Salah satu cara mendidik anak untuk tetap setia adalah dengan mengajarkan mereka untuk setia datang ke gereja atau sekolah minggu.
Ada orang tua yang begitu kasihan pada anak-anaknya, sehingga mereka memberikan pilihan pada anak untuk pergi ke Sekolah Minggu atau tidak. Kasihan karena mereka mungkin lelah setelah bermain sepanjang hari sabtu, atau kasihan karena anak tidak begitu menikmati suasana Sekolah Minggu, atau juga kasihan karena anak ingin bangun lebih siang dari biasanya. Alasan-alasan ini menunjukkan bahwa orang tua belum memahami dengan sepenuhnya, apa guna dari Sekolah Minggu.
Itu sebabnya, diperlukan penjelasan yang logis dan prinsip pada anak, mengapa mereka perlu ke Sekolah Minggu, apa pun alasan keberatannya. Misalnya, kita ke Sekolah Minggu karena kita mau bertemu Tuhan bersama teman-temanmu seiman. Kita ke Sekolah Minggu karena kita beribadah pada Tuhan. Atau kita ke Sekolah Minggu karena Tuhan memanggil kita untuk datang berbakti pada Dia. Sehingga apa pun alasannya, justru alasan-alasan itu yang perlu disesuaikan dengan prinsip yang ditetapkan.
Misalnya, supaya anak-anak tidak terlambat bangun, kita sebagai orang tua tidak akan mengajak mereka bermain terlalu malam di hari sabtu. Atau jika anak-anak tidak mengerti pelajaran yang mereka terima di Sekolah Minggu, orang tua mengulang kembali ajaran itu dengan melihat buku yang telah disediakan oleh Sekolah Minggu atau warta gereja.
Selain memberikan alasan pada anak, kita juga perlu mencari kesempatan untuk memberitahu anak bahwa pengalaman pergi ke Sekolah Minggu adalah hal yang sangat menyenangkan dan menyukakan hati Tuhan. Anak-anak juga perlu merasa bahwa itu adalah hal terindah dalam hidup mereka. Caranya? Orang tua perlu menunjukkan sikap yang antusias, bukan hanya anak yang perlu dilatih untuk senang bertemu Tuhan di Sekolah Minggu, tetapi juga orang tua perlu memiliki sukacita saat pergi ke gereja. Sehingga acara minggu pagi yang dijalankan oleh keluarga, menjadi kebiasaan yang berkesan buat anak sepanjang hidupnya.
Kebiasaan lain yang dapat mengajarkan anak untuk setia adalah berdoa bersama keluarga, atau juga kebiasaan membaca Alkitab. Ada banyak Alkitab versi anak-anak dengan berbagai usia yang dapat membuat anak mengerti isi dan pesannya. Seperti ritual sikat gigi dan mencuci kaki setiap malam, biarkan orang tua, khususnya para ayah diberikan kesempatan untuk menjelaskan isi dan pesan Alkitab pada anak-anak sebelum tidur setiap harinya. Bahkan saat anak sedang berlibur, dirawat di rumah sakit, atau bepergian, ingatkan mereka untuk melakukannya sebagai bagian tradisi keluarga, tetapi juga hal yang Tuhan kehendaki.
Itu sebabnya, kita sebagai orang tua juga perlu mengisi diri sebelum mengajarkannya pada anak-anak kita. Kesetiaan itu dapat kita mulai dengan memilih satu kali selain hari Minggu, tempat atau wadah di mana kita bisa mempelajari Alkitab bersama teman-teman seiman, entah itu dalam Kombas, persekutuan wilayah, persekutuan doa pagi, atau persekutuan lainnya.
Lemah Lembut bukan Menunjukkan Kelemahan kita
Apa itu lemah lembut? Bukan bersikap lemah, tetapi juga bukan sekadar menunjukkan kelembutan. Kelemahlembutan dapat dilihat saat kita berjumpa dengan orang-orang yang menyakiti kita. Ada sebuah sikap keramahan yang ditunjukkan karena Tuhan telah mengampuni kita dan telah membuat kita dapat mengampuni orang lain.
Lemah lembut akan teruji apabila kita menjumpai hal-hal yang tidak kita sukai. Memang sulit! Dalam pembelajaran tentang karakter, lemah lembut di pasangkan secara bertolak belakang dengan kemarahan. Lemah lembut bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan di bawah kontrol Allah. Yesus berkata, dalam Yohanes 3:30, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.
Itu berarti, kita menjadi orang yang dapat mengampuni orang lain, atau tidak menyimpan kemarahan kita, bukan karena kita kuat, atau bukan karena kita ingin menjadi orang baik, tetapi lebih dalam dari itu adalah supaya kita dan anak-anak kita mengikuti apa yang Tuhan kehendaki, karena kita semata hanyalah utusan Tuhan di dunia untuk memberitakan diri-Nya bagi dunia ini.
Tidak mudah mengampuni dan menghilangkan kemarahan kita, apalagi saat kita menjumpai hal-hal yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan kita. Itulah sebabnya di saat-saat sulit di mana kemarahan kita teruji, kita perlu menyerahkannya pada Tuhan sebagai sumber kelemahlembutan. Dengan demikian Ia akan mengontrol kita dengan kuasa Roh Kudus.
Hal seperti ini juga perlu diajarkan berulang-ulang pada anak-anak kita. Sering sekali anak-anak kita menunjukkan sikap marah kalau keinginan mereka tidak tercapai. Dan itu bisa terjadi sejak usia dini mereka. Namun justru di saat-saat seperti itulah kita dapat bersama anak membawa mereka pada Tuhan. Berdoalah bersama anak, katakan secara spontan doa kita agar anak kita dikuasai hatinya oleh Tuhan. Agar kemarahannya ditenangkan oleh Tuhan.
Tidak dapat disangkal bahwa hal seperti itu bisa juga terjadi terbalik. Maksudnya, saat kita membiasakan berdoa pada Tuhan saat anak-anak hendak menunjukkan luapan emosinya, mereka pun dapat melakukan hal yang sama pada kita saat kita hendak marah-marah pada dia. Namun terimalah itu sebagai sebuah didikan Tuhan melalui anak-anak kita juga. Kerendahan hati untuk menerima ajaran dan teguran Tuhan seperti itu akan membantu kita dan anak-anak kita bergantung pada Tuhan sumber kelemahlembutan. Dengan demikian, kita justru menunjukkan pada anak-anak kita kekuatan dari hidup bergantung pada Tuhan. Sebab di luar Tuhan, kelemahlembutan sulit dicapai, apalagi dengan kekuatan kita sendiri. Seperti yang Paulus katakan, “Apa yang aku tidak suka, justru itu yang aku lakukan.”
Penguasaan Diri dalam Segala Hal
Waktu kita anak-anak, kita mendapatkan didikan dari orang tua kita. Ada di antara kita tentu yang memiliki pengalaman hidup di bawah kecukupan. Mungkin kita harus berbagi gado-gado, telor, tempat tidur bahkan tahu yang kita makan. Seringkali, akibat pengalaman masa lalu kita, kita menempatkan anak-anak kita di sebuah tempat yang lebih istimewa dengan anggapan bahwa mereka tidak boleh hidup menderita seperti kita. Itu sebabnya kita membiasakan mereka mendapatkan banyak hal enak dan mudah.
Tidur di tempat yang nyaman dan dingin, makan banyak dan main/nonton apa saja yang mereka mau. Merupakan sebuah pembiasaan yang membuat anak sulit menguasai diri mereka apabila kemudahan-kemudahan itu tidak mereka jumpai. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk menjelaskan hal berharga dalam hidup mereka mengenai penguasaan diri.
Penguasaan diri dapat teruji apabila kita dan anak-anak kita menghadapi hal-hal yang mereka gemari. Sebab dalam pembelajaran tentang karakter, Self control bertentangan dengan self indulgence. Itu berarti saat anak-anak menginginkan makan ayam atau pizza lebih dari 2, ia harus belajar menguasai diri dengan siap mendengar kata “Cukup!” bukan karena orang tua tidak punya uang atau bukan karena adiknya harus juga mendapat jatah makan, tetapi karena itu cukup untuk dirinya.
Salah satu definisi mengenai penguasaan diri adalah, mengubah keinginan kita untuk menyenangkan diri sendiri menjadi keinginan untuk menyenangkan hati Tuhan. Bagaimana caranya agar kita dan anak-anak kita dapat menjadi orang yang menguasai diri? Konon keberhasilan dari meditasi adalah kemampuan untuk menguasai diri.
Itu sebabnya, salah satu makna doa puasa dalam hidup orang percaya bukanlah untuk mengubah kehendak Tuhan dalam hidup kita, melainkan membuat kita dapat mengubah apa yang kita kehendaki, dan menyesuaikan diri dengan apa yang Tuhan mau. Tentu saja hal itu harus dimulai dalam diri kita sebagai orang tua. Penguasaan diri dengan cara membatasi jam kerja yang tidak pernah kunjung habis dan menyediakan waktu itu lebih lagi untuk anak-anak kita, penguasaan diri dalam belanja, penguasaan diri dalam hal mengungkapkan emosi kita secara berlebihan pada pasangan atau pada anak-anak kita sehingga mereka tidak menjadi korban dari sakit hati atau keinginan kita yang egois.
Menurut The Power of True Success, penguasaan diri ternyata adalah sebuah kekuatan dari Roh Kudus yang merupakan bukti/hasil bahwa kita telah dikuasai atau dipimpin oleh Roh Kudus. Pertanyaannya, rindukah kita memiliki hidup yang dikuasai dan diubah oleh Roh Kudus? Dan rindukah kita melihat anak-anak kita bertumbuh dengan kuasa dan penyertaan Roh Kudus? Sehingga saat mereka menjadi orang tua seperti kita, mereka bisa melanjutkan itu pada anak-anak mereka? Indahnya hidup bersama Tuhan… Tuhan memberkati kita.
Pertanyaan Sarasehan:
1.Apakah selama ini dalam mendidik anak/cucu kita selalu memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh tersebut di atas?
2.Jika selama ini kita dalam mendidik anak/cucu sudah memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh, apa kendala terbesar yang kita alami?
3.Apakah pelayanan Gereja (dhi: Sekolah Minggu) sudah dapat menolong kita untuk mendidik anak memiliki buah-buah Roh?
4.Apa yang dapat kita kerjakan untuk mendukung Komisi Anak (Guru-guru Sekolah Minggu) agar mereka dapat bekerjasama dengan kita dalam mengajarkan buah-buah Roh pada anak/cucu kita?
Bulan Juli 2009
GKJ Ambarawa.
Mengajarkan Buah Roh pada Anak
Apakah kita adalah salah satu orang tua yang berpikir bahwa anak-anak kita bisa dengan sendirinya menghasilkan buah Roh jika kita sudah membawa mereka ke Sekolah Minggu? Atau jika kita sudah membacakan Alkitab setiap hari pada mereka? Atau jika kita sudah mendoakannya siang dan malam?
Buah Roh memang adalah hasil karya Roh Kudus dari seorang yang memiliki dan mengikuti kehendak Kristus. Namun untuk menghasilkan anak-anak yang menunjukkan buah Roh dalam keseharian hidup mereka, bukan hanya pekerjaan Roh Kudus saja yang menjadi andalan kita, melainkan pelatihan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan baik juga perlu kita ajarkan berulang-ulang pada anak.
Musa sendiri mengingatkan bagaimana mengajarkan cinta pada Tuhan haruslah dilakukan di berbagai tempat. Di rumah, di perjalanan, di sekitar meja makan saat sarapan, makan malam, saat anak-anak bersendagurau maupun saat anak-anak sedang bermain. Mengapa harus sesering itu? Sebab sejak zaman umat Allah, telah disadari bahwa halangan untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki dapat terjadi di berbagai tempat dan dengan berbagai cara.
Mengenal Kasih dan Mempraktikkan Kasih
Hal yang tidak boleh kita lupakan sebelum mempraktikkan kasih adalah belajar mengenal Sang Kasih itu sendiri. Matius 7:22 mengingatkan kita bahwa suatu kali dalam penghakiman nanti, bisa jadi Tuhan tidak mengenal orang-orang yang mengaku telah mengikut Dia. Salah satu kalimat berbunyi, “…Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyah…” Kata mengenal yang digunakan adalah ginosko. Kata itu berarti “mengenal melalui pengalaman pribadi atau usaha atau belajar mengenal.”
Dari mana anak-anak kita belajar menghayati dan menikmati kasih dari Tuhan? Tidak lain dari orang tua mereka. Kita merupakan contoh bagaimana kasih Allah nyata dalam hidup anak-anak kita. Cara kita menegur dan mendisiplin mereka, cara kita mengatakan “Aku mengasihimu” melalui pemberian atau kedekatan fisik, cara kita menunjukkan kasih pada pasangan, cara kita menunjukkan kasih pada mertua atau orang tua kita, cara kita memperlakukan orang lain yang berpapasan dengan kita, cara kita memperlakukan orang-orang yang bekerja pada kita, atau cara kita berhubungan dengan Tuhan, merupakan model kasih yang membekali mereka dalam mengasihi.
Selain melihat model kasih dari orang tua, anak-anak juga dapat belajar mengasihi melalui cara kita mengomentari setiap kejadian yang secara spontan kita alami. Misalnya saat anak melihat orang-orang yang bertengkar, apa komentar kita terhadap hal itu? Atau saat kita kedatangan tamu dan kebetulan mereka membawa anak-anak mereka, apa yang kita ajarkan pada anak saat anak kita sedang memegang mainannya? Apakah kita mengajak mereka untuk berbagi?
Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Takut atau kuatir adalah salah satu penghalang bagi kita untuk mengasihi. Kita bisa takut mengasihi karena takut disakiti. Kita bisa takut menyatakan kasih kalau-kalau kita mengalami penolakan. Kita takut memberi cinta karena takut tidak mendapat cinta yang setimpal dengan apa yang kita beri. Padahal prinsip inilah justru yang perlu dihindari saat kita mengajarkan anak-anak kita untuk mengasihi.
Kita mengajarkan anak-anak mengasihi, bukanlah supaya mereka mendapatkan kasih dari orang lain, melainkan kita mengajarkan anak-anak untuk mengasihi karena mereka mendapatkan kasih dari dan memiliki kasih Allah yang sejati. Dan kasih yang mereka berikan pada orang lain bukanlah kasih yang terkondisi oleh perasaan sesaat. Betul, saat kita memiliki perasaan haru atau belas kasihan, itu menjadi pendorong kita untuk mengasihi. Tapi bagaimana kalau perasaan itu berubah jadi kebencian? Kalau anak-anak kita merasa marah pada teman yang merebut mainannya? Atau mereka sedih karena tidak diperhatikan oleh teman-temannya? Di sinilah kekuatan kasih, Kasih tidak bergantung pada perasaan kita. Ia ada karena Tuhan yang memerintahkan kita untuk terus mengasihi.
1 Yoh 4:7-8 mengatakan, “saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”.
Kasih tidak bergantung pada perasaan, tetapi pada pola pikir anak-anak kita sehingga mereka mau tidak mau terbawa untuk mengasihi dalam kondisi apa pun. Mereka mungkin akan melakukannya dengan berat hati, namun karena mereka tahu bahwa itu adalah baik yang mereka harus lakukan, maka ketaatan pada Sang Kasih menjadi otoritas tertingginya, dan bukan perasaannya.
The Power Of Joy
Sukacita bukanlah sebuah usaha lahiriah yang mengakibatkan anak-anak dapat tersenyum dan tertawa. Seringkali kita bermain bersama anak dan membuat mereka tertawa bahagia. Namun apakah itu sudah cukup disebut SUKACITA? Sukacita tidak terkondisi oleh apa yang ada di luar, itu sebabnya saat anak-anak kita terluka atau terbaring di rumah sakit, mereka tetap bisa bersukacita.
Sukacita seperti apa yang dimaksud dalam buah Roh? Sukacita yang sejati adalah sukacita yang berasal dari hati. Sukacita yang terjadi karena Tuhan bekerja di dalam batin, membantu kita melihat hadiah-hadiah dari Tuhan menjadi alasan terbesar bagi anak-anak kita untuk menikmatinya.
Mungkin anak-anak kita sempat merasakan bagaimana mereka gagal dalam ujian. Kita dapat memaparkan sejumlah kesalahan dan keburukan mereka dalam hal ini. Namun sukacita membuka kacamata rohani kita dan anak-anak untuk melihat hadiah yang Tuhan beri dalam pengalaman pahit itu. Misalnya, sukacita dapat tetap terjadi karena justru pengalaman gagal membuat anak-anak kita belajar bagaimana mereka perlu menghargai waktu-waktu belajar mereka. Atau pengalaman mendapat nilai buruk membuat mereka tahu apa arti kecewa dan gagal.
Yakobus sendiri pernah mengatakan demikian, “Saudara-saudara, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan apa pun”. Yakobus 1:2-4
Itu berarti Yakobus mengajak kita untuk juga mengajarkan anak-anak kita bagaimana melihat sebuah situasi buruk dari kacamata iman. Dengan kata lain, ada sisi lain dari sebuah pengalaman yang tidak baik, di mana melaluinya kita tetap bisa belajar dan melihat kesempatan yang Tuhan beri.
Bahkan justru menurut Nehemia 8:11, “Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!”
Atau dengan kata lain, “…sebab sukacita Tuhan adalah kekuatanmu.” Itu berarti kita diajak untuk memfokuskan hidup kita bukan pada masalah yang kita hadapi, melainkan pada kekuatan yang Tuhan beri selama menghadapi masalah tersebut.
Itulah juga yang perlu kita latih dalam diri anak-anak kita. Seringkali menghadapi dunia yang serba mudah di zaman ini, anak-anak kita cenderung mengeluh dan putus asa. Menghadapi mati lampu, mereka berkeluh kesah karena AC di rumah tidak dapat digunakan dan mereka kepanasan. Menghadapi jalan yang macet, mereka marah karena lelah menunggu. Apalagi menghadapi pelajaran yang begitu banyak dengan tugas-tugas yang tak kunjung berhenti, mereka bisa menjadi anak-anak yang masa bodoh atau justru stress karenanya.
Di sinilah kekuatan Sukacita perlu ditularkan pada anak-anak. Sukacita bukan karena apa yang mereka inginkan, telah mereka dapatkan, melainkan sukacita karena mereka mampu melihat bahwa saat tidak tercapainya keinginan mereka, ada hal lain yang mereka miliki dan mampu kerjakan. Itulah hadiah dari Tuhan untuk dinikmati dan disyukuri.
Ada sebuah lagu yang sangat terkenal di dunia anak-anak sekolah minggu, bahkan juga bagi anak-anak bayi. Syairnya berbunyi, “Happy ya ya ya, Happy ye ye ye, aku senang jadi anak Tuhan.” Lagu ini mengajarkan bahwa sukacita mereka bukan karena pakai baju baru, atau sekolah minggu di lantai dan kelas yang bersih, atau karena mereka sudah kenyang, tetapi karena mereka jadi anak Tuhan. Objektif seperti itulah yang perlu kita dengungkan dalam keseharian anak. Sukacita bukan karena mendapat, tetapi karena mereka adalah anak-anak yang dicintai Tuhan.
Berdamai Dengan Tuhan dan Sesama
Kata yang paling sulit diucapkan oleh seorang anak saat mereka menyadari bahwa mereka memiliki harga diri adalah “Sorry”. Padahal cara yang disediakan Tuhan untuk berdamai dengan kita adalah melalui kesadaran bahwa diri kita bersalah (berdosa), dan untuk itulah kita membutuhkan pengampunan dari Tuhan.
Bagaimana cara agar anak-anak kita berani menyatakan kesalahannya? Mulailah dengan meminta maaf apabila kita melakukan kesalahan kepada mereka.
“Maaf ya, tadi mama berbicara keras pada papamu sehingga kamu menjadi takut.”
“Maaf ya, tadi papa lupa memberi kesempatan padamu untuk berpendapat.”
“Maaf ya, papa pulang terlambat tidak seperti janji tadi pagi.”
“Maaf ya, mama tadi harus memarahimu di depan orang karena kita pernah berjanji bahwa kamu tidak akan merengek dalam perjalanan kita, tapi ternyata kamu merengek di depan mereka. Itu sungguh tidak menyenangkan.”
Sebaliknya, mintalah anak juga untuk belajar meminta maaf. Entah kata apa yang lebih sesuai dengan anak, “Sorry” atau “Maaf” merupakan cara untuk membuat anak-anak kita belajar bahwa mereka perlu berdamai dengan orang lain.
Bukan hanya pada sesama, anak-anak juga perlu diajar untuk meminta maaf (mengaku dosa) pada Tuhan. Doa pengakuan itu bisa dibawakan oleh orang tua seakan orang tua bertindak sebagai anak. Misalnya, “Hari ini kami minta ampun ya Tuhan, karena Andrea marah-marah pada papi dan mami.”
Bagaimana cara agar anak-anak dapat meminta maaf dengan rela? Banyak anak, karena takut pada orang tua mereka, akhirnya memutuskan untuk meminta maaf sekalipun muka mereka penuh dengan amarah. Tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya mereka memiliki sejumlah alasan yang mengakibatkan mereka tidak merasa perlu untuk minta maaf apalagi minta ampun pada Tuhan. Itulah sebabnya sebelum anak-anak berdamai dengan orang tua, dengan teman atau dengan Tuhan, mereka perlu diajak bercakap-cakap secara pribadi. Jelaskanlah bahwa ketika temannya tadi menangis karena dipukul oleh anak kita, itu tetap merupakan kesalahannya. Mungkin saja anak kita memukul anak itu karena dipukul terlebih dahulu, namun sebagai orang tua yang mengikut Kristus, kita tetap harus mengajarkan pada anak-anak kita untuk tidak membalas kesalahan orang lain. Sehingga damai yang mereka miliki menjadi utuh, damai dengan Tuhan tetapi juga dengan sesamanya. Dan itu mereka lakukan bukan berdasarkan pada keputusan perasaan mereka semata, tapi karena keinginan untuk taat pada Tuhan dan karena kesadaran bahwa damai yang sejati hanya bisa terjadi jika hati terbuka pada pesan Ilahi. Seperti yang tertulis dalam Kolose 3:15, “hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh.”
Sanggup Bertahan Saat Mengalami Kesulitan
Kesabaran dalam Galatia 5:22 juga merupakan salah satu buah Roh. Kesabaran seperti apa yang dapat diajarkan pada anak-anak kita? Tentu saja sabar dalam menghadapi segala hal, seperti sabar menunggu, sabar dalam mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, sabar dalam memelihara diri, sabar dalam merapihkan sesuatu, atau juga sabar dalam mendengarkan perkataan/nasihat/ajaran orang tua. Namun apalah artinya kesabaran jika anak-anak kita tidak berjumpa dengan kesulitan selama menjalani hidupnya? Untuk itu orang tua perlu menanti kesempatan di mana anak-anak secara alami akan menjumpai kesulitan, dan pada waktu itulah saat yang tepat untuk mengajarkan kesabaran.
Bisa saja kita melatih mereka untuk sabar melalui berbagai permainan, namun akhirnya anak-anak kita harus mengalami sendiri bagaimana mereka perlu bertahan di saat-saat sulit dalam hidupnya.
Misalnya saja, seorang anak berusia 2-3 tahun dapat belajar kesabaran saat mereka diminta untuk melepaskan baju atau celananya sendiri. Atau seorang anak berusia 4-5 tahun dapat belajar kesabaran saat mereka harus mengikat tali sepatunya sendiri. Sedangkan anak-anak yang lebih besar dapat belajar sabar saat mereka ditugaskan untuk merapihkan tempat tidurnya sendiri, memasukkan seprey yang berantakan agar tempat tidurnya terlihat rapi, atau dengan cara membereskan mainannya sendiri.
Terus terang, untuk mengajarkan kesabaran pada anak, kita sendiri sebagai orang tua akan mengalami proses belajar sabar menunggu mereka sampai mereka menjadi anak yang semakin sabar. Itulah sebabnya seringkali kegagalan bukan terletak pada anak, tetapi maaf, pada kita sendiri sebagai orang tua. Kita lebih memilih agar orang-orang yang bekerja pada kitalah yang membereskan mainan anak-anak kita, sehingga mereka tidak pernah belajar bagaimana merapihkan seluruh mainan dalam kotaknya. Atau, kita membiarkan anak-anak kita berteriak karena ada barang-barangnya tertinggal saat mereka harus pergi meninggalkan rumah, padahal jika mereka mau lebih sabar sedikit, mereka justru dapat masuk kembali ke rumah dan mengambilnya sendiri.
Pertanyaannya, mengapa kita harus mengajari anak-anak kita bersabar dalam hal-hal yang tampaknya sangat sepele seperti itu? Tentu saja itu bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran tentang buat Roh kesabaran. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup anak sehari-hari hanyalah alat yang dapat kita gunakan untuk mempermudah dan membiasakan anak-anak kita hidup sebagai seorang yang bertahan dalam kesulitan. Namun kesulitan yang sesungguhnya sebenarnya terletak di depan mereka saat mereka tidak lagi bersama kita. Saat pencobaan datang dan mereka tidak menemukan seorang teman tempat berbagi, atau saat penyakit atau masalah mampir dalam hidup mereka dan mau tidak mau mereka harus lari dan tersungkur pada Tuhan. Kesabaran yang telah dilatih selama mereka kanak-kanak merupakan bekal yang sangat berarti sehingga mereka juga diberi kesanggupan bersabar menanti jawaban atau pertolongan Tuhan.
Itulah sebabnya tidak ada cara lain untuk memulai pelajaran ini selain orang tua sebagai pelaku utama dan model bagi anak-anak kita. Sebab kesan yang mereka terima dari mata mereka sendiri, merupakan pembelajaran yang paling bermakna dan membekas seumur hidup. Sekalipun mereka belum mahir menjadi orang-orang yang sanggup bertahan, setidaknya mereka memiliki acuan atau contoh bagaimana harus bersikap dan berpikir.
Berbagi dengan Yang Tidak Sama dengan Anak
Kemurahan memang merupakan salah satu bagian dari buah Roh yang seharusnya terjadi karena gerakan hati yang memiliki belas kasihan akan orang-orang di sekitar kita, sehingga dengan sukacita kita melakukan sesuatu untuk orang-orang tersebut.
Itulah sebabnya, untuk menjadikan anak-anak kita berhati tulus dalam menyatakan kemurahan hatinya, diperlukan sebuah pembiasaan dalam berpikir sebelum anak-anak kita diajak untuk bertindak sesuatu. Misalnya saja, saat anak-anak kita melihat orang-orang yang meminta-minta di pinggir jalan. Kepekaan bahwa ada orang-orang di pinggir jalan yang membutuhkan (di samping sebenarnya sebagai seorang dewasa kita berpendapat lain) perlu diperdengarkan oleh kita sebagai orang tua. Misalnya, “Lihat De, orang-orang di pinggir jalan itu. Kasihan mereka, ada yang tidak punya rumah, ada juga yang belum makan. Mereka minta-minta karena mereka perlu uang untuk makan.”
Penjelasan di atas memang akan menjadi kurang cocok jika dijelaskan pada anak usia SD, itulah sebabnya penjelasan mengenai hal di atas perlu ditambah atau dilengkapi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Misalnya, “Orang-orang di pinggir jalan itu memang tidak punya uang untuk makan. Tetapi sebetulnya, bisa saja mereka bekerja. Sayangnya, bisa jadi di antara mereka ada yang sudah mencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya. Dan karena uang yang mereka dapat dari hasil meminta-minta lebih besar daripada mereka bekerja, akhirnya mereka menjadikan ini sebagai pekerjaan mereka.”
Dalam diskusi dengan anak-anak yang lebih besar, tentu saja mereka bisa bertanya, “Kalau begitu untuk apa kita memberi mereka? Bukankah mereka akan menjadi seorang yang malas bekerja dan hanya meminta-minta?” Lalu kita bisa menjawab, “Tentu, mereka bisa menjadi orang yang malas bekerja. Dan lebih menyedihkan lagi kalau mereka justru menggunakan anak-anak mereka untuk mengundang belas kasihan orang lain. Tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berbeda dari kita. Mungkin sedikit roti atau susu bisa berguna untuk kesehatan anak-anak itu, daripada kita memberi uang. Mungkin saja orang tuanya tidak membelikan susu untuk mereka, siapa lagi yang mau peduli kalau kita saja melewatkan mereka begitu saja setiap minggunya. Ayo kita siapkan susu setiap kali kita melewati jalanan ini.”
Bisa jadi karena diskusi yang sangat panjang, menyebabkan kita tidak jadi memberi. Namun ingatlah bahwa itu bukan tujuan dari diskusi yang kita harapkan. Yang kita harapkan sebenarnya adalah anak-anak belajar peka bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang berbeda dari mereka dan membutuhkan uluran tangan Tuhan melalui kita. Itu sebabnya diskusi kritis mengenai dugaan-dugaan terhadap apa yang dibahas, bukanlah tujuan dari diskusi. Maksudnya, jika kita membahas, misalnya tentang seorang anak yang menjadi kedi payung, tujuan utama kita adalah mengajarkan anak-anak kita untuk memberi pada mereka yang tidak sama kehidupannya dengan keluarga kita. Bukan berarti kita hendak menghakimi atau menduga, siapa di balik usaha kedi payung tersebut? Atau dikemanakan uang yang mereka terima? Arahkah terus pada kepekaan anak untuk bermurah hati pada orang-orang di sekitarnya. Ajaklah mereka untuk menyadari bahwa Tuhan bisa menitipkan orang-orang yang tidak sama dengan mereka, agar kita belajar bermurah hati. Misalnya, pada orang yang lebih tua, pada seorang oma atau opa, pada teman yang tidak membawa snack seperti anak kita, atau juga pada sebuah berita yang melalui gereja atau sekolah, anak-anak kita bisa belajar berbagi.
Melakukan Pekerjaan Baik
Menurut W. E. Vine, seorang cendekiawan Yunani, dalam Vine’s Expository Dictionary of New Testament Words, kemurahan atau keramahan surgawi adalah “sikap penuh kasih Allah terhadap orang lain,” sedangkan kebaikan adalah “Suatu tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan bagi kepentingan orang lain.”
Itulah sebabnya, menurut Greg Zoschak, jika seorang Kristen tidak memiliki kemurahan dari Allah, ia mustahil akan melakukan kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Lebih lanjut lagi, kemurahan adalah apa yang orang-orang dapat lihat melalui diri orang beriman, sedangkan kebaikan adalah apa yang mereka alami dari orang beriman tersebut.
Untuk menjadi anak-anak Tuhan yang baik, mereka bukan hanya perlu menunjukkan sikap baik mereka pada anggota keluarga atau orang-orang yang dekat dengan anak, sehingga banyak orang menyaksikannya. Namun anak-anak juga perlu belajar untuk keluar dari zona kenyamanan mereka yaitu tempat di mana mereka merasa aman melakukan kebaikan. Di mana tempat itu? Tempat itu adalah di dalam rumahnya, di lingkungan teman dekatnya, atau di lingkungan keluarga besarnya.
Merefleksikan diri dan anak-anak kita, siapa yang seringkali kita doakan dalam doa-doa pribadi kita? Pertama, diri sendiri, kedua, kita mendoakan keluarga dekat, ketiga, kita mendoakan keluarga jauh, keempat, teman dan sahabat yang dekat dengan kita. Apakah itu pekerjaan yang baik? Betul, itu pekerjaan yang baik, namun bukan itu saja hasil dari buah Roh. Kemurahan Tuhan mengajarkan dan mengajak kita juga untuk menunjukkan kebaikan-kebaikan Tuhan melalui kita termasuk kepada orang-orang yang kita sama sekali tidak terpikir untuk mendekati dan menolongnya.
Salah satu cara untuk melatih kebaikan kita pada orang-orang di luar zona nyaman kita adalah belajar memikirkan satu hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita, keluarga kita, gereja kita, atau sahabat kita. Kepada atau pada mereka itulah kita dan anak-anak kita bisa belajar berbuat baik.
Kebaikan haruslah dirasakan oleh mereka yang sama sekali tidak bisa membalas kebaikan kita dan anak-anak kita. Mungkin juga sampai orang yang kepadanya kita berbuat baik mengatakan, “Aduh, saya tidak bisa membalas apa-apa. Terima kasih!”
Estafet kebaikan itu lebih dapat dirasakan oleh lebih banyak orang jika kita berbuat kebaikan pada orang-orang yang tidak ada relasi atau kaitannya dengan kita. Biarkan mereka membalas itu pada orang lain, dan bukan pada kita. Yesus sendiri pernah berkata, “Apakah baiknya jika kita berbuat baik pada orang yang baik pada kita? Penjahat pun akan melakukan hal itu…”
Yesus mengumpamakan kebaikan dengan garam, Matius 5:13 mengatakan, “kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Jikalau kita tidak memiliki kebaikan Tuhan, niscaya kita tidak mungkin dapat membuat orang lain merasakan kebaikan Tuhan itu melalui kita. Garam itu tidak terasa asin. Orang tidak akan mengatakan, “Ini asin!” atau “Terima kasih Tuhan atas kebaikanMu melalui orang itu!” melainkan orang akan mengatakan, “Aduh, aku berhutang pada dia. Sebab dia begitu baik pada saya.”
Anak-anak kita boleh-boleh saja belajar berbuat baik pada orang-orang di sekitarnya, bahkan harus! Tapi jangan sampai kita menawarkan asinnya garam yang mereka tabur dengan alasan-alasan logis. Misalnya, “Kita harus baik sama mba’, kalau ga ada mba’ mami repot sekali di rumah.” Atau “Kita harus kasih kado ke temanmu itu, sebab kemarin kan dia kasih kado mahal sekali!”
Apa artinya sebuah kebaikan jika itu terjadi karena balas budi atau ada harapan-harapan di balik kebaikan yang kita beri. Sesungguhnya, melakukan pekerjaan baik bukan hanya terbatas pada pemberian-pemberian, melainkan melakukan sesuatu dengan cara dan pikiran yang baik. Itu sebabnya saat anak-anak kita memberi pun, mereka perlu melakukannya dengan baik, selain memiliki motivasi/alasan yang baik dalam melakukannya, dan kata-kata yang baik dalam menyampaikannya.
Kudapati Kau Tetap Setia
Tidak ada orang tua yang menghendaki anak-anaknya menjadi anak-anak yang tidak setia pada Tuhan. Tapi bagaimana caranya membuat mereka tetap setia sampai akhir? Amsal 22:6 mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Mendidik anak setidaknya memenuhi 3 hal, kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Salah satu cara mendidik anak untuk tetap setia adalah dengan mengajarkan mereka untuk setia datang ke gereja atau sekolah minggu.
Ada orang tua yang begitu kasihan pada anak-anaknya, sehingga mereka memberikan pilihan pada anak untuk pergi ke Sekolah Minggu atau tidak. Kasihan karena mereka mungkin lelah setelah bermain sepanjang hari sabtu, atau kasihan karena anak tidak begitu menikmati suasana Sekolah Minggu, atau juga kasihan karena anak ingin bangun lebih siang dari biasanya. Alasan-alasan ini menunjukkan bahwa orang tua belum memahami dengan sepenuhnya, apa guna dari Sekolah Minggu.
Itu sebabnya, diperlukan penjelasan yang logis dan prinsip pada anak, mengapa mereka perlu ke Sekolah Minggu, apa pun alasan keberatannya. Misalnya, kita ke Sekolah Minggu karena kita mau bertemu Tuhan bersama teman-temanmu seiman. Kita ke Sekolah Minggu karena kita beribadah pada Tuhan. Atau kita ke Sekolah Minggu karena Tuhan memanggil kita untuk datang berbakti pada Dia. Sehingga apa pun alasannya, justru alasan-alasan itu yang perlu disesuaikan dengan prinsip yang ditetapkan.
Misalnya, supaya anak-anak tidak terlambat bangun, kita sebagai orang tua tidak akan mengajak mereka bermain terlalu malam di hari sabtu. Atau jika anak-anak tidak mengerti pelajaran yang mereka terima di Sekolah Minggu, orang tua mengulang kembali ajaran itu dengan melihat buku yang telah disediakan oleh Sekolah Minggu atau warta gereja.
Selain memberikan alasan pada anak, kita juga perlu mencari kesempatan untuk memberitahu anak bahwa pengalaman pergi ke Sekolah Minggu adalah hal yang sangat menyenangkan dan menyukakan hati Tuhan. Anak-anak juga perlu merasa bahwa itu adalah hal terindah dalam hidup mereka. Caranya? Orang tua perlu menunjukkan sikap yang antusias, bukan hanya anak yang perlu dilatih untuk senang bertemu Tuhan di Sekolah Minggu, tetapi juga orang tua perlu memiliki sukacita saat pergi ke gereja. Sehingga acara minggu pagi yang dijalankan oleh keluarga, menjadi kebiasaan yang berkesan buat anak sepanjang hidupnya.
Kebiasaan lain yang dapat mengajarkan anak untuk setia adalah berdoa bersama keluarga, atau juga kebiasaan membaca Alkitab. Ada banyak Alkitab versi anak-anak dengan berbagai usia yang dapat membuat anak mengerti isi dan pesannya. Seperti ritual sikat gigi dan mencuci kaki setiap malam, biarkan orang tua, khususnya para ayah diberikan kesempatan untuk menjelaskan isi dan pesan Alkitab pada anak-anak sebelum tidur setiap harinya. Bahkan saat anak sedang berlibur, dirawat di rumah sakit, atau bepergian, ingatkan mereka untuk melakukannya sebagai bagian tradisi keluarga, tetapi juga hal yang Tuhan kehendaki.
Itu sebabnya, kita sebagai orang tua juga perlu mengisi diri sebelum mengajarkannya pada anak-anak kita. Kesetiaan itu dapat kita mulai dengan memilih satu kali selain hari Minggu, tempat atau wadah di mana kita bisa mempelajari Alkitab bersama teman-teman seiman, entah itu dalam Kombas, persekutuan wilayah, persekutuan doa pagi, atau persekutuan lainnya.
Lemah Lembut bukan Menunjukkan Kelemahan kita
Apa itu lemah lembut? Bukan bersikap lemah, tetapi juga bukan sekadar menunjukkan kelembutan. Kelemahlembutan dapat dilihat saat kita berjumpa dengan orang-orang yang menyakiti kita. Ada sebuah sikap keramahan yang ditunjukkan karena Tuhan telah mengampuni kita dan telah membuat kita dapat mengampuni orang lain.
Lemah lembut akan teruji apabila kita menjumpai hal-hal yang tidak kita sukai. Memang sulit! Dalam pembelajaran tentang karakter, lemah lembut di pasangkan secara bertolak belakang dengan kemarahan. Lemah lembut bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan di bawah kontrol Allah. Yesus berkata, dalam Yohanes 3:30, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.
Itu berarti, kita menjadi orang yang dapat mengampuni orang lain, atau tidak menyimpan kemarahan kita, bukan karena kita kuat, atau bukan karena kita ingin menjadi orang baik, tetapi lebih dalam dari itu adalah supaya kita dan anak-anak kita mengikuti apa yang Tuhan kehendaki, karena kita semata hanyalah utusan Tuhan di dunia untuk memberitakan diri-Nya bagi dunia ini.
Tidak mudah mengampuni dan menghilangkan kemarahan kita, apalagi saat kita menjumpai hal-hal yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan kita. Itulah sebabnya di saat-saat sulit di mana kemarahan kita teruji, kita perlu menyerahkannya pada Tuhan sebagai sumber kelemahlembutan. Dengan demikian Ia akan mengontrol kita dengan kuasa Roh Kudus.
Hal seperti ini juga perlu diajarkan berulang-ulang pada anak-anak kita. Sering sekali anak-anak kita menunjukkan sikap marah kalau keinginan mereka tidak tercapai. Dan itu bisa terjadi sejak usia dini mereka. Namun justru di saat-saat seperti itulah kita dapat bersama anak membawa mereka pada Tuhan. Berdoalah bersama anak, katakan secara spontan doa kita agar anak kita dikuasai hatinya oleh Tuhan. Agar kemarahannya ditenangkan oleh Tuhan.
Tidak dapat disangkal bahwa hal seperti itu bisa juga terjadi terbalik. Maksudnya, saat kita membiasakan berdoa pada Tuhan saat anak-anak hendak menunjukkan luapan emosinya, mereka pun dapat melakukan hal yang sama pada kita saat kita hendak marah-marah pada dia. Namun terimalah itu sebagai sebuah didikan Tuhan melalui anak-anak kita juga. Kerendahan hati untuk menerima ajaran dan teguran Tuhan seperti itu akan membantu kita dan anak-anak kita bergantung pada Tuhan sumber kelemahlembutan. Dengan demikian, kita justru menunjukkan pada anak-anak kita kekuatan dari hidup bergantung pada Tuhan. Sebab di luar Tuhan, kelemahlembutan sulit dicapai, apalagi dengan kekuatan kita sendiri. Seperti yang Paulus katakan, “Apa yang aku tidak suka, justru itu yang aku lakukan.”
Penguasaan Diri dalam Segala Hal
Waktu kita anak-anak, kita mendapatkan didikan dari orang tua kita. Ada di antara kita tentu yang memiliki pengalaman hidup di bawah kecukupan. Mungkin kita harus berbagi gado-gado, telor, tempat tidur bahkan tahu yang kita makan. Seringkali, akibat pengalaman masa lalu kita, kita menempatkan anak-anak kita di sebuah tempat yang lebih istimewa dengan anggapan bahwa mereka tidak boleh hidup menderita seperti kita. Itu sebabnya kita membiasakan mereka mendapatkan banyak hal enak dan mudah.
Tidur di tempat yang nyaman dan dingin, makan banyak dan main/nonton apa saja yang mereka mau. Merupakan sebuah pembiasaan yang membuat anak sulit menguasai diri mereka apabila kemudahan-kemudahan itu tidak mereka jumpai. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk menjelaskan hal berharga dalam hidup mereka mengenai penguasaan diri.
Penguasaan diri dapat teruji apabila kita dan anak-anak kita menghadapi hal-hal yang mereka gemari. Sebab dalam pembelajaran tentang karakter, Self control bertentangan dengan self indulgence. Itu berarti saat anak-anak menginginkan makan ayam atau pizza lebih dari 2, ia harus belajar menguasai diri dengan siap mendengar kata “Cukup!” bukan karena orang tua tidak punya uang atau bukan karena adiknya harus juga mendapat jatah makan, tetapi karena itu cukup untuk dirinya.
Salah satu definisi mengenai penguasaan diri adalah, mengubah keinginan kita untuk menyenangkan diri sendiri menjadi keinginan untuk menyenangkan hati Tuhan. Bagaimana caranya agar kita dan anak-anak kita dapat menjadi orang yang menguasai diri? Konon keberhasilan dari meditasi adalah kemampuan untuk menguasai diri.
Itu sebabnya, salah satu makna doa puasa dalam hidup orang percaya bukanlah untuk mengubah kehendak Tuhan dalam hidup kita, melainkan membuat kita dapat mengubah apa yang kita kehendaki, dan menyesuaikan diri dengan apa yang Tuhan mau. Tentu saja hal itu harus dimulai dalam diri kita sebagai orang tua. Penguasaan diri dengan cara membatasi jam kerja yang tidak pernah kunjung habis dan menyediakan waktu itu lebih lagi untuk anak-anak kita, penguasaan diri dalam belanja, penguasaan diri dalam hal mengungkapkan emosi kita secara berlebihan pada pasangan atau pada anak-anak kita sehingga mereka tidak menjadi korban dari sakit hati atau keinginan kita yang egois.
Menurut The Power of True Success, penguasaan diri ternyata adalah sebuah kekuatan dari Roh Kudus yang merupakan bukti/hasil bahwa kita telah dikuasai atau dipimpin oleh Roh Kudus. Pertanyaannya, rindukah kita memiliki hidup yang dikuasai dan diubah oleh Roh Kudus? Dan rindukah kita melihat anak-anak kita bertumbuh dengan kuasa dan penyertaan Roh Kudus? Sehingga saat mereka menjadi orang tua seperti kita, mereka bisa melanjutkan itu pada anak-anak mereka? Indahnya hidup bersama Tuhan… Tuhan memberkati kita.
Pertanyaan Sarasehan:
1.Apakah selama ini dalam mendidik anak/cucu kita selalu memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh tersebut di atas?
2.Jika selama ini kita dalam mendidik anak/cucu sudah memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh, apa kendala terbesar yang kita alami?
3.Apakah pelayanan Gereja (dhi: Sekolah Minggu) sudah dapat menolong kita untuk mendidik anak memiliki buah-buah Roh?
4.Apa yang dapat kita kerjakan untuk mendukung Komisi Anak (Guru-guru Sekolah Minggu) agar mereka dapat bekerjasama dengan kita dalam mengajarkan buah-buah Roh pada anak/cucu kita?
Komentar