Bahan Sarasehan Bulan Juli 2013 GKJ Ambarawa
Bahan Sarasehan
Bulan Juli 2013 GKJ
Ambarawa
Di
Wajahmu Kulihat Allah; Sebuah Refleksi Tentang Rekonsiliasi
Pernahkah Anda
mengalami ini? Anda pergi ke pasar dan ketika sedang berjalan tiba-tiba Anda
tertegun karena Anda mengenali seseorang yang juga sedang berjalan di jalan
yang berlawanan dengan Anda. Wajahnya mengungkit kenangan lama yang pahit yang
Anda kira sudah Anda lupakan. Wajahnya menghidupkan kembali rasa pedih di hati
yang telah lama Anda pendam dan tutupi dengan hal-hal yang menyenangkan bahkan
membahagiakan. Wajahnya membawa Anda kembali pada perselisihan dengannya yang
berbuahkan kekecewaan, kemarahan bahkan kebencian sekian tahun yang telah
lewat.
Pertanyaannya lalu adalah: apakah tidak mungkin melupakan
kenangan-kenangan pahit di masa lalu? Mungkin tidak. Tetapi mengapa
kenangan-kenangan itu membawa kita kembali kepada perasaan-perasaan yang pernah
terjadi pada waktu itu, sehingga boleh dikatakan bahwa kepedihan bahkan
kebencian yang ditimbulkannya seolah dibangkitkan dan disegarkan kembali?
Tepat di titik ini bila dikatakan bahwa hal itu terjadi karena
perselisihan atau apapun di masa lalu itu belum diselesaikan secara tuntas.
Atau dengan kata lain masalahnya adalah karena belum terjadi rekonsiliasi.
Rekonsiliasi atau pendamaian, yang seharusnya terjadi antara Anda dengan si
pemilik wajah yang ketika melihatnya membangkitkan kembali kemarahan bahkan
kebencian Anda. Tetapi rekonsiliasi atau pendamaian yang seharusnya juga
terjadi antara Anda dengan diri Anda sendiri.
Sebagai manusia yang dewasa yang selalu siap untuk belajar dari
kehidupan dan dari Tuhan, kita dipanggil untuk merefleksikan hal ini guna
menuntaskannya. Dan Alkitab kita yang kaya dengan pengalaman manusia itu, dapat
kita rujuk untuk menemukan dasar guna merefleksikan masalah rekonsiliasi ini.
Pengalaman kehidupan dalam pertikaian serta pendamaian dua orang saudara
kembar, Yakub-Esau, (Kejadian 32-33) kiranya dapat membantu kita.
Pertikaian antara Yakub dengan Esau berkisar pada masalah
hak-sulung dan pemberian berkat yang menyertainya. Konflik itu berawal pada
“tukar-guling” hak-sulung dengan semangkuk sup kacang merah yang dilakukan oleh
Yakub si bungsu dengan Esau si sulung. Dan konflik itu bermuara pada kebencian
yang mencapai puncaknya pada Esau yang bersumpah untuk membunuh adiknya, dan
Yakub yang karenanya harus melarikan diri ke negeri asing, ke rumah Laban,
pamannya.
Di antara awal dan muara perseteruan Yakub-Esau itu terjadilah
jantung dari pertikaian Yakub-Esau. Pada satu sisi adalah Isak yang berkeras
hendak memberikan berkat kepada Esau, anak sulung, sebagaimana yang lazim
dilakukan, walau Tuhan menghendaki lain. Dan pada sisi lain adalah
persekongkolan Yakub dengan ibunya menipu Isak ketika Esau pergi berburu,
sehingga akhirnya berkat jatuh pada Yakub. Persekongkolan yang terjadi akibat
kekuatiran bahwa yang terjadi bukanlah apa yang dikehendaki Tuhan tetapi apa
yang diingini Isak. Maka itu, diperhadapkan pada kehendak Tuhan, semua pihak
yang terlibat, dan terutama Yakub dan Esau, mempunyai kontribusi kesalahan yang
menyebabkan terjadinya pertikaian Yakub-Esau.
Namun pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar merasa
sejahtera bila entah di mana masih ada “ganjalan.” pada Yakub yang harus hidup
di tanah asing ganjalan utama adalah rindu kampung halaman. Namun untuk mengatasi
ganjalan itu, masih ada ganjalan yang lebih besar, bahkan ganjalan utama dalam
hidupnya. Yaitu pertikaiannya dengan Esau yang membuatnya tidak pernah dapat
sungguh-sungguh menikmati berkat yang diberikan kepadanya melalui Isak,
ayahnya, yang ditipunya. Maka Yakubpun mempersiapkan diri untuk mengatasi
ganjalan-ganjalan itu.
Yakub terkenal sebagai orang yang cerdik bahkan cenderung licik.
Kepulangannya ke kampung halaman termasuk upaya menyelesaikan pertikaiannya
dengan Esau direncanakannya dengan cermat. Mulai dari mengatur perjalanan dan
rombongan hingga urut-urutannya. Ia membagi rombongan hamba-hamba, ternak dan
segala miliknya menjadi dua. Maksudnya bila Esau ternyata masih dendam
kepadanya dan menyerangnya, maka rombongan yang pertama dikorbankan, sedangkan
rombongan kedua bisa diselamatkan.
Setelah itu baru ia merasa siap dan mengirimkan utusan kepada
Esau maksud kepulangannya serta niatan untuk berdamai. Namun ternyata Esau yang
mengirimkan pesan menyambut baik kedatangan Yakub, menyambutnya dengan membawa
pasukan 400 orang. Yakub pun menjadi takut, lalu masih berusaha mengirimkan
“persembahan” untuk melunakkan hati kakaknya. Dan sebagai tindakan terakhir
rombongan istri-istri dan anak-anaknya dipisahkan dari rombongan-rombongan yang
di depan, dan dengan cerdik Yakub mengatur agar ia berjalan di belakang
sendiri. Namun ternyata Yakub tetap saja tak dapat mengatasi kekuatiran dan
ketakutannya.
Pada saat seperti itu Yakub tak dapat lagi bergantung kepada
akal dan kepandaiannya sendiri. Ia juga tak dapat berpaling lagi dari Tuhan. Ia
memohon kepada Tuhan agar menolongnya. Maka Tuhan pun menolongnya dalam sosok
yang bergumul dengan Yakub di tepi sungai Yabok. Yakub memenangkan pergumulan
itu. Tetapi ia memenangkan pergumulan itu tidak dengan mengatasi atau
mengalahkan sosok yang dikirim Tuhan itu. Kemenangan Yakub terjadi karena Yakub
tidak bersedia melepaskan utusan Tuhan itu, apa pun yang terjadi. Pergumulan
itu sebenarnya adalah pergumulan Yakub dengan dirinya sendiri. Dalam pergumulan
itu ia menang karena ia memilih untuk berpegang kepada Tuhan saja, dan tidak
mau melepaskannya apapun yang terjadi.
Dan betapa berbedanya keadaan setelah intervensi Tuhan itu.
Yakub tidak lagi berjalan di belakang, tetapi menyongsong Esau dengan berani
dan dengan kepasrahan kepada Tuhan. Dan Esau? Esau yang datang dengan pasukan
400 itu turun dari kudanya dan memeluk serta menciumi adiknya yang amat
dirindukannya. Ia tidak mau menerima persembahan Yakub. Tetapi Yakub berkeras
meminta Esau menerimanya sambil mengatakan: “…jikalau aku telah
mendapat kasihmu, terimalah persembahanku ini.. Karena memang melihat mukamu
adalah bagiku serasa melihat wajah Allah…!” (Kejadian 33:10).
Baik Yakub maupun Esau bersikap terbuka dan positif terhadap
intervensi Tuhan. Intervensi Tuhan yang menempatkan keduanya pada pergumulan
dengan diri mereka. Mereka memenangkan pergumulan itu karena mereka, terutama
Yakub, tidak lagi berpegang pada kemampuannya sendiri, tetapi berpegang pada
Tuhan dan tak mau melepaskannya, apapun yang terjadi.
Secara kongkret keduanya, terutama Yakub yang kita ikuti
pergumulannya, menyambut kasih Tuhan terhadap dirinya dengan meraih Esau dan
mengharapkan kasih Esau. Dan ia mendapatkannya. Karena Esaupun melakukan hal
yang sama. Ia menyambut baik niatan Yakub untuk kembali ke kampung halaman dan
berdamai dengannya. Sehingga di wajah Esau, Yakub tidak lagi melihat wajah
kemarahan dan kebencian, tetapi serasa melihat wajah Allah. Wajah kasih, wajah
pengampunan, wajah yang semringah mengantisipasikan rekonsiliasi.
Ada banyak wajah yang bila kita lihat serasa memutar balik dan
memunculkan kembali kenangan-kenangan pahit bahkan menyakitkan. Wajah-wajah
yang yang menimbulkan kembali perasaan-perasaan negatif, kemarahan bahkan
kebencian. Mari kita ubah itu semua. Untuk itu mari kita mulai dari diri kita
sendiri, dengan belajar dari Yakub dan Esau. Sehingga kiranya bila kita melihat
wajah sesama kita, kita serasa melihat wajah Allah. Dan terutama terhadap
mereka dengan siapa kita mempunyai ganjalan, kita dapat berkata: “Di wajahmu
kulihat Allah…!”
Pertanyaan
untuk disharingkan:
1.Apa pendapat saudara
tentang uraian materi di atas? Setujukah saudara dengan apa yang dipaparkan?
2.Langkah-langkah apa yang
perlu kita lakukan jika kita ingin melakukan pesan yang ada dalam uraian di atas?