KESUSAHAN SEBAGAI KESEMPATAN
Bahan Pemahaman Alkitab
GKJ Ambarawa tgl 23/25 Juni 2009
KESUSAHAN SEBAGAI KESEMPATAN
Ayb. 38:1-11; Mzm. 9:10-21; II Kor. 6:1-13; Mark. 4:35-41
Ayb. 38:1-11; Mzm. 9:10-21; II Kor. 6:1-13; Mark. 4:35-41
Benang merah bacaan
Leksionari:
Ayb. 38:1-11;
Bacaan Ayub 38 merupakan tantangan Allah
pada diri ayub atas sikap keliru ayub yang menganggap dirinya lebih benar dari pada Allah (ayub
32:1-2). Tantangan itu berupa tiga pertanyaan. Tantangan Allah yang pertama adalah agar Ayub
memberitahu di manakah dia berada saat Allah menciptakan langit dan bumi (Ayb.
38:4). Tantangan Allah yang kedua adalah siapakah yang menetapkan ukuran dan
bagaimanakah sendi-sendi alam semesta bekerja dengan efektif (Ayb. 38:5-7). Dan
tantangan Allah yang ketiga adalah siapakah pemilik kuasa supernatural yang
mampu membendung lautan dan membentang awan-awan serta menjaga setiap batas
ketertiban (Ayb. 38:8-11).
Dalam tantangan Allah yang
pertama, Ayub diingatkan bahwa dia hanyalah ciptaan yang terbatas. Kebenaran
yang dimiliki oleh Ayub bukan berasal dari realitas ilahi yang kekal, sehingga tidak
layak bagi Ayub untuk mengklaim kebenaran dirinya sendiri melebihi kebenaran
Allah. Kebenaran spiritualitas yang berhasil dicapai seharusnya mendorong
seseorang untuk mengakui kebesaran Allah dan bukan meniadakan keberadaan Allah.
Makna tantangan Allah yang
kedua adalah Ayub diingatkan bahwa penetapan ukuran dan sendi-sendi
seluruh planet dalam alam semesta yang begitu akurat dan tak terbatas hanya
lahir dari kuasa hikmat Allah. Karena itu manusia perlu terus-menerus menyadari
bahwa kebenaran dirinya tetap terbatas dalam ukuran otak seseorang yang begitu
kecil dibandingkan dengan ukuran “otak” alam semesta. Kepandaian dan
pengetahuan yang berhasil dicapai oleh otak manusia tidak boleh disamakan
dengan kapasitas dari otak ilahi yang telah merancang alam semesta ini dengan
sempurna.
Dan dalam tantangan Allah
yang ketiga memperlihatkan bagaimana besarnya kuasa pemeliharaan Allah sehingga
proses kehidupan tetap berlangsung dengan sejahtera. Apabila Allah tidak lagi
bersedia memelihara bumi dan alam semesta, maka seluruh mahluk dan semua yang
hidup akan lenyap ditelan air lautan yang dahsyat. Hasil dari tantangan Allah
kepada Ayub adalah sikap pengakuan Ayub akan kebesaran dan kebenaran Allah:
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang
mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan
dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb. 42:5-6). Ayub akhirnya
menemukan kebenaran Allah dengan sikapnya yang mau menyesal dan duduk dalam
debu dan abu sebagai lambang pertobatan dirinya. Dengan demikian Ayub mampu
menyikapi kesusahan dan penderitaannya bukan dengan pembenaran diri, tetapi
didasarkan pada pengakuannya akan kemahakuasaan dan keadilan Allah.
Mzm. 9:10-21;
Iman yang hidup dan
transformatif senantiasa memampukan kita untuk memiliki sudut pandang yang
lebih luas dan peka akan kehadiran Allah. Sehingga ketika kita berada dalam
situasi yang begitu menekan dan gelap, maka di sanalah Allah menyediakan tempat
perteduhan yang aman. Sebagaimana pemazmur berkata: “Demikianlah TUHAN adalah
tempat perlindungan bagi orang yang terinjak, tempat perlindungan pada waktu
kesesakan” (Mzm. 9:10). Mzm. 9:11 berkata: “Orang yang mengenal nama-Mu
percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya
TUHAN”. Jadi apabila kita adalah umat yang mengenal dan percaya akan
kuasa kasihNya, maka yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan kita
dalam situasi apapun juga.
II Kor. 6:1-13;
Di II Kor. 6:1 rasul Paulus
memberi nasihat: “Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya
kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu
terima”. Fokus utama yang menjadi landasan hidup spiritualitas umat percaya
adalah kasih karunia Allah. Karena itu rasul Paulus senantiasa mengedepankan
bagaimana kasih-karunia Allah yang senantiasa memampukan dia untuk menghadapi
berbagai kesukaran, kesusahan, kesedihan dan kegagalan. Dia tidak mau
menyia-nyiakan kasih karunia Allah yang telah dianugerahkan kepadanya. Itu
sebabnya saat rasul Paulus menghadapi kesusahan, dia hanya mau melihatnya dari
sudut kasih karunia Allah. Dia tidak mau melihat penderitaan dan kepahitan yang
dialaminya dari sudut kekuatan rohani yang dimiliki atau “kematangan”
pengalaman pelayanannya. Sebab rasul Paulus sadar bahwa kekuatan rohani atau
kesalehannya sama sekali tidak cukup memadai dan tak layak dijadikan andalan
senjata rohaninya. Jadi selama kita tidak menyandarkan diri kepada
kasih-karunia Allah, maka kita tidak akan mampu mengubah kesusahan menjadi suatu
kekuatan dan kesempatan yang positif. Tanpa kasih-karunia Allah, kita akan
kehilangan senjata rohani yang paling ampuh. Sebaliknya ketika kita
sungguh-sungguh menggunakan setiap kasih-karunia Allah secara efektif, maka
kita akan memiliki daya tahan mental dan iman yang kokoh. Sehingga kita tidak
akan mudah berkeluh-kesah, mengasihani dan membenarkan diri seperti Ayub. Di II
Kor. 6:4-5, rasul Paulus mengungkapkan sikap imannya saat dia menghadapi
kesusahan dan penderitaan, yaitu: “Sebaliknya, dalam segala hal kami
menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh
kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran, dalam menanggung dera,
dalam penjara dan kerusuhan, dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan
berpuasa”. Perhatikanlah bahwa bahasa yang digunakan oleh rasul Paulus
begitu positif dan dewasa secara rohaniah. Rasul Paulus lebih menekankan
kasih-karunia Allah yang senantiasa memampukan dia untuk menahan dengan penuh
kesabaran dan selalu berjaga-jaga serta berpuasa di tengah-tengah derita yang
sangat berat. Dengan sikap yang demikian, segala kesusahan dan
penderitaan yang berat sekalipun tidak pernah berhasil mematahkan semangat dan
harapan iman seseorang. Sebab kasih-karunia Allah telah mengubah dia menjadi
pribadi yang lentur tetapi kokoh sehingga selalu tahan batin. Sikap mental yang
demikian dapat diumpamakan seperti bola ping-pong. Semakin dibanting, maka
sebuah bola ping-pong akan semakin tinggi melambung. Semakin didera oleh
kesusahan, dia semakin mencapai tingkat kematangan rohani yang paling ideal.
Mark. 4:35-41
Mark. 4:38 menyaksikan: Pada
waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya
membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau
kita binasa?" Dari perkataan yang dilontarkan oleh para murid
tersebut timbul kesan bahwa mereka menuduh Yesus yang sedang tertidur sebagai
suatu bentuk ketidakpedulian. Para murid
menganggap bahwa Yesus yang sedang tidur adalah Yesus yang tidak mau
mempedulikan kesulitan dan permasalahan mereka. Para
murid merasa harus berjuang dan mengupayakan sendiri keselamatan mereka di
tengah-tengah ombak yang begitu ganas. Sedang Yesus yang berada di dalam
perahu, mereka anggap hanya sebagai salah seorang awak perahu yang tidak berdaya
atau seorang yang sedang menikmati istirahat siang yang nikmat di tengah-tengah
ayunan ombak. Tepatnya para murid tidak menyadari Yesus sebagai Tuhan sedang
berada di tengah-tengah persoalan dan pergumulan mereka.
Sikap para murid Yesus yang tidak menyadari kehadiran Tuhan juga mencerminkan sikap umat percaya pada umumnya. Di tengah-tengah badai kehidupan, begitu banyak orang Kristen yang tidak merasakan penyertaan dan pemeliharaan Allah. Sepertinya Allah sering absen saat umat sedang bergulat dengan penderitaan. Karena itu seperti para murid Yesus, kita berusaha mencari dan mengupayakan kehadiran Allah dengan cara kita sendiri. Apakah dengan melatih bermeditasi, yoga, atau melalui pengalaman mistis. Padahal sebenarnya Allah telah berada di tengah-tengah kita dan juga ikut mengalami situasi pergumulan hidup kita. Tetapi mata rohani kita seperti buta dan tidak mampu melihat kehadiranNya yang begitu dekat. Penyebabnya karena kesusahan hati sering kita anggap sebagai yang paling besar dibandingkan kebesaran Allah. Kita menganggap penderitaan yang sedang terjadi begitu hebat sehingga melebihi keagungan dan kuasa Allah. Padahal saat kita meremehkan kemahakuasaan Allah, maka saat itu pula kita kehilangan kasih-karuniaNya sehingga kita selalu merasa berjalan seorang diri, tanpa Allah. Dalam situasi demikian yang terlihat secara nyata sebab tampak begitu besar di hadapan kita adalah seluruh permasalahan kita. Namun setelah kita berjuang seorang diri dan gagal untuk menyelesaikan seluruh permasalahan kita, maka biasanya kita seperti para murid yang segera berseru dengan panik untuk meminta pertolongan dari Kristus. Atau seperti Ayub yang baru menyerah dan mengaku salah setelah Allah berbicara dalam badai. Sikap tersebut juga merupakan cermin bahwa kehadiran dan pertolongan Allah hanya dibutuhkan pada saat yang paling kritis, tetapi selama proses kritis sedang berjalan kita lebih cenderung mengabaikannya. Alangkah indahnya jikalau kita menghayati kehadiran Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita, baik ketika kehidupan berjalan secara normal maupun ketika kita harus menuruni berbagai lembah yang sangat terjal dan berbahaya. Sehingga doa-doa kita bukan sekedar minta pertolongan agar dibebaskan dari penderitaan dan kesusahan, tetapi kita berdoa agar Kristus selalu menyertai kita dalam situasi yang paling buruk sekalipun. Kalau Tuhan Yesus berada dalam perahu kehidupan kita, bukankah kita tidak akan takut lagi walau berada dalam badai ombak yang paling ganas dan mematikan. Jadi kesusahan dalam konteks tertentu dapat menjadi kesempatan yang paling berharga untuk mengalami kehadiran Kristus secara lebih intens dan penuh makna.
Sikap para murid Yesus yang tidak menyadari kehadiran Tuhan juga mencerminkan sikap umat percaya pada umumnya. Di tengah-tengah badai kehidupan, begitu banyak orang Kristen yang tidak merasakan penyertaan dan pemeliharaan Allah. Sepertinya Allah sering absen saat umat sedang bergulat dengan penderitaan. Karena itu seperti para murid Yesus, kita berusaha mencari dan mengupayakan kehadiran Allah dengan cara kita sendiri. Apakah dengan melatih bermeditasi, yoga, atau melalui pengalaman mistis. Padahal sebenarnya Allah telah berada di tengah-tengah kita dan juga ikut mengalami situasi pergumulan hidup kita. Tetapi mata rohani kita seperti buta dan tidak mampu melihat kehadiranNya yang begitu dekat. Penyebabnya karena kesusahan hati sering kita anggap sebagai yang paling besar dibandingkan kebesaran Allah. Kita menganggap penderitaan yang sedang terjadi begitu hebat sehingga melebihi keagungan dan kuasa Allah. Padahal saat kita meremehkan kemahakuasaan Allah, maka saat itu pula kita kehilangan kasih-karuniaNya sehingga kita selalu merasa berjalan seorang diri, tanpa Allah. Dalam situasi demikian yang terlihat secara nyata sebab tampak begitu besar di hadapan kita adalah seluruh permasalahan kita. Namun setelah kita berjuang seorang diri dan gagal untuk menyelesaikan seluruh permasalahan kita, maka biasanya kita seperti para murid yang segera berseru dengan panik untuk meminta pertolongan dari Kristus. Atau seperti Ayub yang baru menyerah dan mengaku salah setelah Allah berbicara dalam badai. Sikap tersebut juga merupakan cermin bahwa kehadiran dan pertolongan Allah hanya dibutuhkan pada saat yang paling kritis, tetapi selama proses kritis sedang berjalan kita lebih cenderung mengabaikannya. Alangkah indahnya jikalau kita menghayati kehadiran Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita, baik ketika kehidupan berjalan secara normal maupun ketika kita harus menuruni berbagai lembah yang sangat terjal dan berbahaya. Sehingga doa-doa kita bukan sekedar minta pertolongan agar dibebaskan dari penderitaan dan kesusahan, tetapi kita berdoa agar Kristus selalu menyertai kita dalam situasi yang paling buruk sekalipun. Kalau Tuhan Yesus berada dalam perahu kehidupan kita, bukankah kita tidak akan takut lagi walau berada dalam badai ombak yang paling ganas dan mematikan. Jadi kesusahan dalam konteks tertentu dapat menjadi kesempatan yang paling berharga untuk mengalami kehadiran Kristus secara lebih intens dan penuh makna.
Pertanyaan untuk diskusi:
1.Penderitaan atau kesusahan
pada dirinya bersifat netral, artinya tidak bersifat merusak maupun membangun.
Sikap manusia terhadap penderitaan atau kesusahanlah yang menentukan apakah
penderitaan itu berakibat merusak atau membangun. Bagaimana pendapat saudara
dengan pernyataan di atas?
2.Dalam penderitaan
terkandung potensi yang berupa tantangan dan kesempatan. Apa beda sikap Paulus
dibanding murid-murid yang ikut naik perahu bersama Yesus, dalam menghadapi
tantangan? Dan apa bedanya jika
dibandingkan dengan sikap Ayub?
3.Apa arti pengakuan Pemazmur bagi saudara ketika
sauadar ada dalam tantangan?