Bahan Sarasehan Bulan Juli 2009 GKJ Ambarawa.
Bahan Sarasehan
Bulan Juli 2009
GKJ Ambarawa.
Mengajarkan Buah Roh pada Anak
Apakah kita adalah salah satu orang tua yang berpikir
bahwa anak-anak kita bisa dengan sendirinya menghasilkan buah Roh jika kita
sudah membawa mereka ke Sekolah Minggu? Atau jika kita sudah membacakan Alkitab
setiap hari pada mereka? Atau jika kita sudah mendoakannya siang dan malam?
Buah Roh memang adalah hasil
karya Roh Kudus dari seorang yang memiliki dan mengikuti kehendak Kristus.
Namun untuk menghasilkan anak-anak yang menunjukkan buah Roh dalam keseharian
hidup mereka, bukan hanya pekerjaan Roh Kudus saja yang menjadi andalan kita,
melainkan pelatihan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan baik juga perlu kita
ajarkan berulang-ulang pada anak.
Musa sendiri mengingatkan
bagaimana mengajarkan cinta pada Tuhan haruslah dilakukan di berbagai tempat.
Di rumah, di perjalanan, di sekitar meja makan saat sarapan, makan malam, saat
anak-anak bersendagurau maupun saat anak-anak sedang bermain. Mengapa harus
sesering itu? Sebab sejak zaman umat Allah, telah disadari bahwa halangan untuk
melakukan apa yang Tuhan kehendaki dapat terjadi di berbagai tempat dan dengan
berbagai cara.
Mengenal Kasih dan Mempraktikkan Kasih
Hal yang tidak boleh kita
lupakan sebelum mempraktikkan kasih adalah belajar mengenal Sang Kasih itu
sendiri. Matius 7:22 mengingatkan kita bahwa suatu kali dalam penghakiman
nanti, bisa jadi Tuhan tidak mengenal orang-orang yang mengaku telah mengikut
Dia. Salah satu kalimat berbunyi, “…Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyah…”
Kata mengenal yang digunakan adalah ginosko. Kata itu berarti “mengenal melalui
pengalaman pribadi atau usaha atau belajar mengenal.”
Dari mana anak-anak kita
belajar menghayati dan menikmati kasih dari Tuhan? Tidak lain dari orang tua
mereka. Kita merupakan contoh bagaimana kasih Allah nyata dalam hidup anak-anak
kita. Cara kita menegur dan mendisiplin mereka, cara kita mengatakan “Aku
mengasihimu” melalui pemberian atau kedekatan fisik, cara kita menunjukkan
kasih pada pasangan, cara kita menunjukkan kasih pada mertua atau orang tua
kita, cara kita memperlakukan orang lain yang berpapasan dengan kita, cara kita
memperlakukan orang-orang yang bekerja pada kita, atau cara kita berhubungan
dengan Tuhan, merupakan model kasih yang membekali mereka dalam mengasihi.
Selain melihat model kasih
dari orang tua, anak-anak juga dapat belajar mengasihi melalui cara kita
mengomentari setiap kejadian yang secara spontan kita alami. Misalnya saat anak
melihat orang-orang yang bertengkar, apa komentar kita terhadap hal itu? Atau
saat kita kedatangan tamu dan kebetulan mereka membawa anak-anak mereka, apa
yang kita ajarkan pada anak saat anak kita sedang memegang mainannya? Apakah
kita mengajak mereka untuk berbagi?
Di dalam kasih tidak ada
ketakutan. Takut atau kuatir adalah salah satu penghalang bagi kita untuk
mengasihi. Kita bisa takut mengasihi karena takut disakiti. Kita bisa takut
menyatakan kasih kalau-kalau kita mengalami penolakan. Kita takut memberi cinta
karena takut tidak mendapat cinta yang setimpal dengan apa yang kita beri.
Padahal prinsip inilah justru yang perlu dihindari saat kita mengajarkan
anak-anak kita untuk mengasihi.
Kita mengajarkan anak-anak
mengasihi, bukanlah supaya mereka mendapatkan kasih dari orang lain, melainkan
kita mengajarkan anak-anak untuk mengasihi karena mereka mendapatkan kasih dari
dan memiliki kasih Allah yang sejati. Dan kasih yang mereka berikan pada orang
lain bukanlah kasih yang terkondisi oleh perasaan sesaat. Betul, saat kita
memiliki perasaan haru atau belas kasihan, itu menjadi pendorong kita untuk
mengasihi. Tapi bagaimana kalau perasaan itu berubah jadi kebencian? Kalau
anak-anak kita merasa marah pada teman yang merebut mainannya? Atau mereka
sedih karena tidak diperhatikan oleh teman-temannya? Di sinilah kekuatan kasih,
Kasih tidak bergantung pada perasaan kita. Ia ada karena Tuhan yang
memerintahkan kita untuk terus mengasihi.
1 Yoh 4:7-8 mengatakan,
“saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih
itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan
mengenal Allah. Siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab
Allah adalah kasih”.
Kasih tidak bergantung pada
perasaan, tetapi pada pola pikir anak-anak kita sehingga mereka mau tidak mau
terbawa untuk mengasihi dalam kondisi apa pun. Mereka mungkin akan melakukannya
dengan berat hati, namun karena mereka tahu bahwa itu adalah baik yang mereka
harus lakukan, maka ketaatan pada Sang Kasih menjadi otoritas tertingginya, dan
bukan perasaannya.
The Power Of Joy
Sukacita bukanlah sebuah
usaha lahiriah yang mengakibatkan anak-anak dapat tersenyum dan tertawa.
Seringkali kita bermain bersama anak dan membuat mereka tertawa bahagia. Namun
apakah itu sudah cukup disebut SUKACITA? Sukacita tidak terkondisi oleh apa
yang ada di luar, itu sebabnya saat anak-anak kita terluka atau terbaring di
rumah sakit, mereka tetap bisa bersukacita.
Sukacita seperti apa yang
dimaksud dalam buah Roh? Sukacita yang sejati adalah sukacita yang berasal dari
hati. Sukacita yang terjadi karena Tuhan bekerja di dalam batin, membantu kita
melihat hadiah-hadiah dari Tuhan menjadi alasan terbesar bagi anak-anak kita
untuk menikmatinya.
Mungkin anak-anak kita sempat
merasakan bagaimana mereka gagal dalam ujian. Kita dapat memaparkan sejumlah
kesalahan dan keburukan mereka dalam hal ini. Namun sukacita membuka kacamata
rohani kita dan anak-anak untuk melihat hadiah yang Tuhan beri dalam pengalaman
pahit itu. Misalnya, sukacita dapat tetap terjadi karena justru pengalaman
gagal membuat anak-anak kita belajar bagaimana mereka perlu menghargai
waktu-waktu belajar mereka. Atau pengalaman mendapat nilai buruk membuat mereka
tahu apa arti kecewa dan gagal.
Yakobus sendiri pernah
mengatakan demikian, “Saudara-saudara, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan
apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa
ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu
memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak
kekurangan apa pun”. Yakobus 1:2-4
Itu berarti Yakobus mengajak
kita untuk juga mengajarkan anak-anak kita bagaimana melihat sebuah situasi
buruk dari kacamata iman. Dengan kata lain, ada sisi lain dari sebuah
pengalaman yang tidak baik, di mana melaluinya kita tetap bisa belajar dan
melihat kesempatan yang Tuhan beri.
Bahkan justru menurut Nehemia
8:11, “Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah
perlindunganmu!”
Atau dengan kata lain,
“…sebab sukacita Tuhan adalah kekuatanmu.” Itu berarti kita diajak untuk memfokuskan
hidup kita bukan pada masalah yang kita hadapi, melainkan pada kekuatan yang
Tuhan beri selama menghadapi masalah tersebut.
Itulah juga yang perlu kita
latih dalam diri anak-anak kita. Seringkali menghadapi dunia yang serba mudah
di zaman ini, anak-anak kita cenderung mengeluh dan putus asa. Menghadapi mati
lampu, mereka berkeluh kesah karena AC di rumah tidak dapat digunakan dan
mereka kepanasan. Menghadapi jalan yang macet, mereka marah karena lelah
menunggu. Apalagi menghadapi pelajaran yang begitu banyak dengan tugas-tugas
yang tak kunjung berhenti, mereka bisa menjadi anak-anak yang masa bodoh atau
justru stress karenanya.
Di sinilah kekuatan Sukacita
perlu ditularkan pada anak-anak. Sukacita bukan karena apa yang mereka
inginkan, telah mereka dapatkan, melainkan sukacita karena mereka mampu melihat
bahwa saat tidak tercapainya keinginan mereka, ada hal lain yang mereka miliki
dan mampu kerjakan. Itulah hadiah dari Tuhan untuk dinikmati dan disyukuri.
Berdamai Dengan Tuhan dan Sesama
Kata yang paling sulit
diucapkan oleh seorang anak saat mereka menyadari bahwa mereka memiliki harga
diri adalah “Sorry”. Padahal cara yang disediakan Tuhan untuk berdamai dengan
kita adalah melalui kesadaran bahwa diri kita bersalah (berdosa), dan untuk
itulah kita membutuhkan pengampunan dari Tuhan.
Bagaimana cara agar anak-anak
kita berani menyatakan kesalahannya? Mulailah dengan meminta maaf apabila kita
melakukan kesalahan kepada mereka.
“Maaf ya, tadi mama berbicara
keras pada papamu sehingga kamu menjadi takut.”
“Maaf ya, tadi papa lupa memberi kesempatan padamu untuk berpendapat.”
“Maaf ya, papa pulang terlambat tidak seperti janji tadi pagi.”
“Maaf ya, mama tadi harus memarahimu di depan orang karena kita pernah berjanji bahwa kamu tidak akan merengek dalam perjalanan kita, tapi ternyata kamu merengek di depan mereka. Itu sungguh tidak menyenangkan.”
“Maaf ya, tadi papa lupa memberi kesempatan padamu untuk berpendapat.”
“Maaf ya, papa pulang terlambat tidak seperti janji tadi pagi.”
“Maaf ya, mama tadi harus memarahimu di depan orang karena kita pernah berjanji bahwa kamu tidak akan merengek dalam perjalanan kita, tapi ternyata kamu merengek di depan mereka. Itu sungguh tidak menyenangkan.”
Sebaliknya, mintalah anak
juga untuk belajar meminta maaf. Entah kata apa yang lebih sesuai dengan anak,
“Sorry” atau “Maaf” merupakan cara untuk membuat anak-anak kita belajar bahwa
mereka perlu berdamai dengan orang lain.
Bukan hanya pada sesama,
anak-anak juga perlu diajar untuk meminta maaf (mengaku dosa) pada Tuhan. Doa
pengakuan itu bisa dibawakan oleh orang tua seakan orang tua bertindak sebagai
anak. Misalnya, “Hari ini kami minta ampun ya Tuhan, karena Andrea marah-marah
pada papi dan mami.”
Bagaimana cara agar anak-anak
dapat meminta maaf dengan rela? Banyak anak, karena takut pada orang tua
mereka, akhirnya memutuskan untuk meminta maaf sekalipun muka mereka penuh
dengan amarah. Tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya mereka memiliki sejumlah
alasan yang mengakibatkan mereka tidak merasa perlu untuk minta maaf apalagi
minta ampun pada Tuhan. Itulah sebabnya sebelum anak-anak berdamai dengan orang
tua, dengan teman atau dengan Tuhan, mereka perlu diajak bercakap-cakap secara
pribadi. Jelaskanlah bahwa ketika temannya tadi menangis karena dipukul oleh
anak kita, itu tetap merupakan kesalahannya. Mungkin saja anak kita memukul
anak itu karena dipukul terlebih dahulu, namun sebagai orang tua yang mengikut
Kristus, kita tetap harus mengajarkan pada anak-anak kita untuk tidak membalas
kesalahan orang lain. Sehingga damai yang mereka miliki menjadi utuh, damai
dengan Tuhan tetapi juga dengan sesamanya. Dan itu mereka lakukan bukan
berdasarkan pada keputusan perasaan mereka semata, tapi karena keinginan untuk
taat pada Tuhan dan karena kesadaran bahwa damai yang sejati hanya bisa terjadi
jika hati terbuka pada pesan Ilahi. Seperti yang tertulis dalam Kolose 3:15, “hendaklah
damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah
dipanggil dalam satu tubuh.”
Sanggup Bertahan Saat Mengalami Kesulitan
Kesabaran dalam Galatia
5:22 juga merupakan salah satu buah Roh. Kesabaran seperti apa yang dapat
diajarkan pada anak-anak kita? Tentu saja sabar dalam menghadapi segala hal,
seperti sabar menunggu, sabar dalam mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, sabar
dalam memelihara diri, sabar dalam merapihkan sesuatu, atau juga sabar dalam
mendengarkan perkataan/nasihat/ajaran orang tua. Namun apalah artinya kesabaran
jika anak-anak kita tidak berjumpa dengan kesulitan selama menjalani hidupnya?
Untuk itu orang tua perlu menanti kesempatan di mana anak-anak secara alami akan
menjumpai kesulitan, dan pada waktu itulah saat yang tepat untuk mengajarkan
kesabaran.
Bisa saja kita melatih mereka
untuk sabar melalui berbagai permainan, namun akhirnya anak-anak kita harus
mengalami sendiri bagaimana mereka perlu bertahan di saat-saat sulit dalam
hidupnya.
Misalnya saja, seorang anak
berusia 2-3 tahun dapat belajar kesabaran saat mereka diminta untuk melepaskan
baju atau celananya sendiri. Atau seorang anak berusia 4-5 tahun dapat belajar
kesabaran saat mereka harus mengikat tali sepatunya sendiri. Sedangkan
anak-anak yang lebih besar dapat belajar sabar saat mereka ditugaskan untuk
merapihkan tempat tidurnya sendiri, memasukkan seprey yang berantakan agar
tempat tidurnya terlihat rapi, atau dengan cara membereskan mainannya sendiri.
Terus terang, untuk
mengajarkan kesabaran pada anak, kita sendiri sebagai orang tua akan mengalami
proses belajar sabar menunggu mereka sampai mereka menjadi anak yang semakin
sabar. Itulah sebabnya seringkali kegagalan bukan terletak pada anak, tetapi maaf,
pada kita sendiri sebagai orang tua. Kita lebih memilih agar orang-orang yang
bekerja pada kitalah yang membereskan mainan anak-anak kita, sehingga mereka
tidak pernah belajar bagaimana merapihkan seluruh mainan dalam kotaknya. Atau,
kita membiarkan anak-anak kita berteriak karena ada barang-barangnya tertinggal
saat mereka harus pergi meninggalkan rumah, padahal jika mereka mau lebih sabar
sedikit, mereka justru dapat masuk kembali ke rumah dan mengambilnya sendiri.
Pertanyaannya, mengapa kita
harus mengajari anak-anak kita bersabar dalam hal-hal yang tampaknya sangat
sepele seperti itu? Tentu saja itu bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran
tentang buat Roh kesabaran. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup anak
sehari-hari hanyalah alat yang dapat kita gunakan untuk mempermudah dan
membiasakan anak-anak kita hidup sebagai seorang yang bertahan dalam kesulitan.
Namun kesulitan yang sesungguhnya sebenarnya terletak di depan mereka saat
mereka tidak lagi bersama kita. Saat pencobaan datang dan mereka tidak
menemukan seorang teman tempat berbagi, atau saat penyakit atau masalah mampir
dalam hidup mereka dan mau tidak mau mereka harus lari dan tersungkur pada
Tuhan. Kesabaran yang telah dilatih selama mereka kanak-kanak merupakan bekal
yang sangat berarti sehingga mereka juga diberi kesanggupan bersabar menanti
jawaban atau pertolongan Tuhan.
Itulah sebabnya tidak ada
cara lain untuk memulai pelajaran ini selain orang tua sebagai pelaku utama dan
model bagi anak-anak kita. Sebab kesan yang mereka terima dari mata mereka
sendiri, merupakan pembelajaran yang paling bermakna dan membekas seumur hidup.
Sekalipun mereka belum mahir menjadi orang-orang yang sanggup bertahan,
setidaknya mereka memiliki acuan atau contoh bagaimana harus bersikap dan
berpikir.
Berbagi dengan Yang Tidak Sama dengan Anak
Kemurahan memang merupakan
salah satu bagian dari buah Roh yang seharusnya terjadi karena gerakan hati
yang memiliki belas kasihan akan orang-orang di sekitar kita, sehingga dengan
sukacita kita melakukan sesuatu untuk orang-orang tersebut.
Itulah sebabnya, untuk
menjadikan anak-anak kita berhati tulus dalam menyatakan kemurahan hatinya,
diperlukan sebuah pembiasaan dalam berpikir sebelum anak-anak kita diajak untuk
bertindak sesuatu. Misalnya saja, saat anak-anak kita melihat orang-orang yang
meminta-minta di pinggir jalan. Kepekaan bahwa ada orang-orang di pinggir jalan
yang membutuhkan (di samping sebenarnya sebagai seorang dewasa kita berpendapat
lain) perlu diperdengarkan oleh kita sebagai orang tua. Misalnya, “Lihat De,
orang-orang di pinggir jalan itu. Kasihan mereka, ada yang tidak punya rumah,
ada juga yang belum makan. Mereka minta-minta karena mereka perlu uang untuk
makan.”
Penjelasan di atas memang
akan menjadi kurang cocok jika dijelaskan pada anak usia SD, itulah sebabnya
penjelasan mengenai hal di atas perlu ditambah atau dilengkapi sesuai dengan
bertambahnya usia anak. Misalnya, “Orang-orang di pinggir jalan itu memang
tidak punya uang untuk makan. Tetapi sebetulnya, bisa saja mereka bekerja.
Sayangnya, bisa jadi di antara mereka ada yang sudah mencari pekerjaan tetapi
tidak mendapatkannya. Dan karena uang yang mereka dapat dari hasil
meminta-minta lebih besar daripada mereka bekerja, akhirnya mereka menjadikan
ini sebagai pekerjaan mereka.”
Dalam diskusi dengan
anak-anak yang lebih besar, tentu saja mereka bisa bertanya, “Kalau begitu
untuk apa kita memberi mereka? Bukankah mereka akan menjadi seorang yang malas
bekerja dan hanya meminta-minta?” Lalu kita bisa menjawab, “Tentu, mereka bisa
menjadi orang yang malas bekerja. Dan lebih menyedihkan lagi kalau mereka
justru menggunakan anak-anak mereka untuk mengundang belas kasihan orang lain.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berbeda dari kita.
Mungkin sedikit roti atau susu bisa berguna untuk kesehatan anak-anak itu,
daripada kita memberi uang. Mungkin saja orang tuanya tidak membelikan susu
untuk mereka, siapa lagi yang mau peduli kalau kita saja melewatkan mereka
begitu saja setiap minggunya. Ayo kita siapkan susu setiap kali kita melewati
jalanan ini.”
Bisa jadi karena diskusi yang
sangat panjang, menyebabkan kita tidak jadi memberi. Namun ingatlah bahwa itu
bukan tujuan dari diskusi yang kita harapkan. Yang kita harapkan sebenarnya
adalah anak-anak belajar peka bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang berbeda
dari mereka dan membutuhkan uluran tangan Tuhan melalui kita. Itu sebabnya
diskusi kritis mengenai dugaan-dugaan terhadap apa yang dibahas, bukanlah
tujuan dari diskusi. Maksudnya, jika kita membahas, misalnya tentang seorang anak
yang menjadi kedi payung, tujuan utama kita adalah mengajarkan anak-anak kita
untuk memberi pada mereka yang tidak sama kehidupannya dengan keluarga kita.
Bukan berarti kita hendak menghakimi atau menduga, siapa di balik usaha kedi
payung tersebut? Atau dikemanakan uang yang mereka terima? Arahkah terus pada
kepekaan anak untuk bermurah hati pada orang-orang di sekitarnya. Ajaklah
mereka untuk menyadari bahwa Tuhan bisa menitipkan orang-orang yang tidak sama
dengan mereka, agar kita belajar bermurah hati. Misalnya, pada orang yang lebih
tua, pada seorang oma atau opa, pada teman yang tidak membawa snack seperti
anak kita, atau juga pada sebuah berita yang melalui gereja atau sekolah,
anak-anak kita bisa belajar berbagi.
Melakukan Pekerjaan Baik
Menurut W. E. Vine, seorang
cendekiawan Yunani, dalam Vine’s Expository Dictionary of New Testament Words,
kemurahan atau keramahan surgawi adalah “sikap penuh kasih Allah terhadap orang
lain,” sedangkan kebaikan adalah “Suatu tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan
bagi kepentingan orang lain.”
Itulah sebabnya, menurut Greg
Zoschak, jika seorang Kristen tidak memiliki kemurahan dari Allah, ia mustahil
akan melakukan kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Lebih lanjut lagi,
kemurahan adalah apa yang orang-orang dapat lihat melalui diri orang beriman,
sedangkan kebaikan adalah apa yang mereka alami dari orang beriman tersebut.
Untuk menjadi anak-anak Tuhan
yang baik, mereka bukan hanya perlu menunjukkan sikap baik mereka pada anggota
keluarga atau orang-orang yang dekat dengan anak, sehingga banyak orang
menyaksikannya. Namun anak-anak juga perlu belajar untuk keluar dari zona
kenyamanan mereka yaitu tempat di mana mereka merasa aman melakukan kebaikan.
Di mana tempat itu? Tempat itu adalah di dalam rumahnya, di lingkungan teman
dekatnya, atau di lingkungan keluarga besarnya.
Merefleksikan diri dan
anak-anak kita, siapa yang seringkali kita doakan dalam doa-doa pribadi kita?
Pertama, diri sendiri, kedua, kita mendoakan keluarga dekat, ketiga, kita
mendoakan keluarga jauh, keempat, teman dan sahabat yang dekat dengan kita.
Apakah itu pekerjaan yang baik? Betul, itu pekerjaan yang baik, namun bukan itu
saja hasil dari buah Roh. Kemurahan Tuhan mengajarkan dan mengajak kita juga
untuk menunjukkan kebaikan-kebaikan Tuhan melalui kita termasuk kepada
orang-orang yang kita sama sekali tidak terpikir untuk mendekati dan
menolongnya.
Salah satu cara untuk melatih
kebaikan kita pada orang-orang di luar zona nyaman kita adalah belajar
memikirkan satu hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita,
keluarga kita, gereja kita, atau sahabat kita. Kepada atau pada mereka itulah
kita dan anak-anak kita bisa belajar berbuat baik.
Kebaikan haruslah dirasakan
oleh mereka yang sama sekali tidak bisa membalas kebaikan kita dan anak-anak
kita. Mungkin juga sampai orang yang kepadanya kita berbuat baik mengatakan,
“Aduh, saya tidak bisa membalas apa-apa. Terima kasih!”
Estafet kebaikan itu lebih
dapat dirasakan oleh lebih banyak orang jika kita berbuat kebaikan pada orang-orang
yang tidak ada relasi atau kaitannya dengan kita. Biarkan mereka membalas itu
pada orang lain, dan bukan pada kita. Yesus sendiri pernah berkata, “Apakah
baiknya jika kita berbuat baik pada orang yang baik pada kita? Penjahat pun
akan melakukan hal itu…”
Yesus mengumpamakan kebaikan
dengan garam, Matius 5:13 mengatakan, “kamu adalah garam dunia. Jika garam
itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain
dibuang dan diinjak orang.”
Jikalau kita tidak memiliki
kebaikan Tuhan, niscaya kita tidak mungkin dapat membuat orang lain merasakan
kebaikan Tuhan itu melalui kita. Garam itu tidak terasa asin. Orang tidak akan
mengatakan, “Ini asin!” atau “Terima kasih Tuhan atas kebaikanMu melalui orang
itu!” melainkan orang akan mengatakan, “Aduh, aku berhutang pada dia. Sebab dia
begitu baik pada saya.”
Anak-anak kita boleh-boleh
saja belajar berbuat baik pada orang-orang di sekitarnya, bahkan harus! Tapi
jangan sampai kita menawarkan asinnya garam yang mereka tabur dengan alasan-alasan
logis. Misalnya, “Kita harus baik sama mba’, kalau ga ada mba’ mami repot
sekali di rumah.” Atau “Kita harus kasih kado ke temanmu itu, sebab kemarin kan dia kasih kado mahal
sekali!”
Apa artinya sebuah kebaikan
jika itu terjadi karena balas budi atau ada harapan-harapan di balik kebaikan
yang kita beri. Sesungguhnya, melakukan pekerjaan baik bukan hanya terbatas
pada pemberian-pemberian, melainkan melakukan sesuatu dengan cara dan pikiran
yang baik. Itu sebabnya saat anak-anak kita memberi pun, mereka perlu
melakukannya dengan baik, selain memiliki motivasi/alasan yang baik dalam
melakukannya, dan kata-kata yang baik dalam menyampaikannya.
Kudapati Kau Tetap Setia
Tidak ada orang tua yang
menghendaki anak-anaknya menjadi anak-anak yang tidak setia pada Tuhan. Tapi
bagaimana caranya membuat mereka tetap setia sampai akhir? Amsal 22:6
mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka
pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Mendidik anak setidaknya
memenuhi 3 hal, kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Salah satu cara
mendidik anak untuk tetap setia adalah dengan mengajarkan mereka untuk setia
datang ke gereja atau sekolah minggu.
Itu sebabnya, diperlukan
penjelasan yang logis dan prinsip pada anak, mengapa mereka perlu ke Sekolah
Minggu, apa pun alasan keberatannya. Misalnya, kita ke Sekolah Minggu karena
kita mau bertemu Tuhan bersama teman-temanmu seiman. Kita ke Sekolah Minggu
karena kita beribadah pada Tuhan. Atau kita ke Sekolah Minggu karena Tuhan
memanggil kita untuk datang berbakti pada Dia. Sehingga apa pun alasannya,
justru alasan-alasan itu yang perlu disesuaikan dengan prinsip yang ditetapkan.
Misalnya, supaya anak-anak
tidak terlambat bangun, kita sebagai orang tua tidak akan mengajak mereka
bermain terlalu malam di hari sabtu. Atau jika anak-anak tidak mengerti
pelajaran yang mereka terima di Sekolah Minggu, orang tua mengulang kembali
ajaran itu dengan melihat buku yang telah disediakan oleh Sekolah Minggu atau
warta gereja.
Selain memberikan alasan pada
anak, kita juga perlu mencari kesempatan untuk memberitahu anak bahwa
pengalaman pergi ke Sekolah Minggu adalah hal yang sangat menyenangkan dan
menyukakan hati Tuhan. Anak-anak juga perlu merasa bahwa itu adalah hal
terindah dalam hidup mereka. Caranya? Orang tua perlu menunjukkan sikap yang
antusias, bukan hanya anak yang perlu dilatih untuk senang bertemu Tuhan di
Sekolah Minggu, tetapi juga orang tua perlu memiliki sukacita saat pergi ke
gereja. Sehingga acara minggu pagi yang dijalankan oleh keluarga, menjadi
kebiasaan yang berkesan buat anak sepanjang hidupnya.
Kebiasaan lain yang dapat
mengajarkan anak untuk setia adalah berdoa bersama keluarga, atau juga
kebiasaan membaca Alkitab. Ada
banyak Alkitab versi anak-anak dengan berbagai usia yang dapat membuat anak
mengerti isi dan pesannya. Seperti ritual sikat gigi dan mencuci kaki setiap
malam, biarkan orang tua, khususnya para ayah diberikan kesempatan untuk
menjelaskan isi dan pesan Alkitab pada anak-anak sebelum tidur setiap harinya.
Bahkan saat anak sedang berlibur, dirawat di rumah sakit, atau bepergian,
ingatkan mereka untuk melakukannya sebagai bagian tradisi keluarga, tetapi juga
hal yang Tuhan kehendaki.
Itu sebabnya, kita sebagai
orang tua juga perlu mengisi diri sebelum mengajarkannya pada anak-anak kita.
Kesetiaan itu dapat kita mulai dengan memilih satu kali selain hari Minggu,
tempat atau wadah di mana kita bisa mempelajari Alkitab bersama teman-teman
seiman, entah itu dalam Kombas, persekutuan wilayah, persekutuan doa pagi, atau
persekutuan lainnya.
Lemah Lembut bukan Menunjukkan Kelemahan kita
Apa itu lemah lembut? Bukan
bersikap lemah, tetapi juga bukan sekadar menunjukkan kelembutan.
Kelemahlembutan dapat dilihat saat kita berjumpa dengan orang-orang yang
menyakiti kita. Ada
sebuah sikap keramahan yang ditunjukkan karena Tuhan telah mengampuni kita dan
telah membuat kita dapat mengampuni orang lain.
Lemah lembut akan teruji
apabila kita menjumpai hal-hal yang tidak kita sukai. Memang sulit! Dalam
pembelajaran tentang karakter, lemah lembut di pasangkan secara bertolak
belakang dengan kemarahan. Lemah lembut bukanlah kelemahan, melainkan sebuah
kekuatan di bawah kontrol Allah. Yesus berkata, dalam Yohanes 3:30, “Aku
tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan
apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti
kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.
Itu berarti, kita menjadi
orang yang dapat mengampuni orang lain, atau tidak menyimpan kemarahan kita,
bukan karena kita kuat, atau bukan karena kita ingin menjadi orang baik, tetapi
lebih dalam dari itu adalah supaya kita dan anak-anak kita mengikuti apa yang
Tuhan kehendaki, karena kita semata hanyalah utusan Tuhan di dunia untuk
memberitakan diri-Nya bagi dunia ini.
Tidak mudah mengampuni dan
menghilangkan kemarahan kita, apalagi saat kita menjumpai hal-hal yang tidak
sesuai dengan pikiran dan perasaan kita. Itulah sebabnya di saat-saat sulit di
mana kemarahan kita teruji, kita perlu menyerahkannya pada Tuhan sebagai sumber
kelemahlembutan. Dengan demikian Ia akan mengontrol kita dengan kuasa Roh
Kudus.
Hal seperti ini juga perlu
diajarkan berulang-ulang pada anak-anak kita. Sering sekali anak-anak kita
menunjukkan sikap marah kalau keinginan mereka tidak tercapai. Dan itu bisa
terjadi sejak usia dini mereka. Namun justru di saat-saat seperti itulah kita
dapat bersama anak membawa mereka pada Tuhan. Berdoalah bersama anak, katakan
secara spontan doa kita agar anak kita dikuasai hatinya oleh Tuhan. Agar
kemarahannya ditenangkan oleh Tuhan.
Tidak dapat disangkal bahwa
hal seperti itu bisa juga terjadi terbalik. Maksudnya, saat kita membiasakan
berdoa pada Tuhan saat anak-anak hendak menunjukkan luapan emosinya, mereka pun
dapat melakukan hal yang sama pada kita saat kita hendak marah-marah pada dia.
Namun terimalah itu sebagai sebuah didikan Tuhan melalui anak-anak kita juga.
Kerendahan hati untuk menerima ajaran dan teguran Tuhan seperti itu akan
membantu kita dan anak-anak kita bergantung pada Tuhan sumber kelemahlembutan.
Dengan demikian, kita justru menunjukkan pada anak-anak kita kekuatan dari
hidup bergantung pada Tuhan. Sebab di luar Tuhan, kelemahlembutan sulit
dicapai, apalagi dengan kekuatan kita sendiri. Seperti yang Paulus katakan,
“Apa yang aku tidak suka, justru itu yang aku lakukan.”
Penguasaan Diri dalam Segala Hal
Waktu kita anak-anak, kita
mendapatkan didikan dari orang tua kita. Ada
di antara kita tentu yang memiliki pengalaman hidup di bawah kecukupan. Mungkin
kita harus berbagi gado-gado, telor, tempat tidur bahkan tahu yang kita makan. Seringkali,
akibat pengalaman masa lalu kita, kita menempatkan anak-anak kita di sebuah
tempat yang lebih istimewa dengan anggapan bahwa mereka tidak boleh hidup
menderita seperti kita. Itu sebabnya kita membiasakan mereka mendapatkan banyak
hal enak dan mudah.
Tidur di tempat yang nyaman
dan dingin, makan banyak dan main/nonton apa saja yang mereka mau. Merupakan
sebuah pembiasaan yang membuat anak sulit menguasai diri mereka apabila
kemudahan-kemudahan itu tidak mereka jumpai. Akibatnya, kita mengalami
kesulitan untuk menjelaskan hal berharga dalam hidup mereka mengenai penguasaan
diri.
Penguasaan diri dapat teruji
apabila kita dan anak-anak kita menghadapi hal-hal yang mereka gemari. Sebab
dalam pembelajaran tentang karakter, Self control bertentangan dengan self
indulgence. Itu berarti saat anak-anak menginginkan makan ayam atau pizza lebih
dari 2, ia harus belajar menguasai diri dengan siap mendengar kata “Cukup!”
bukan karena orang tua tidak punya uang atau bukan karena adiknya harus juga mendapat
jatah makan, tetapi karena itu cukup untuk dirinya.
Salah satu definisi mengenai
penguasaan diri adalah, mengubah keinginan kita untuk menyenangkan diri sendiri
menjadi keinginan untuk menyenangkan hati Tuhan. Bagaimana caranya agar kita
dan anak-anak kita dapat menjadi orang yang menguasai diri? Konon keberhasilan
dari meditasi adalah kemampuan untuk menguasai diri.
Itu sebabnya, salah satu
makna doa puasa dalam hidup orang percaya bukanlah untuk mengubah kehendak
Tuhan dalam hidup kita, melainkan membuat kita dapat mengubah apa yang kita
kehendaki, dan menyesuaikan diri dengan apa yang Tuhan mau. Tentu saja hal itu
harus dimulai dalam diri kita sebagai orang tua. Penguasaan diri dengan cara
membatasi jam kerja yang tidak pernah kunjung habis dan menyediakan waktu itu
lebih lagi untuk anak-anak kita, penguasaan diri dalam belanja, penguasaan diri
dalam hal mengungkapkan emosi kita secara berlebihan pada pasangan atau pada
anak-anak kita sehingga mereka tidak menjadi korban dari sakit hati atau keinginan
kita yang egois.
Menurut The Power of True
Success, penguasaan diri ternyata adalah sebuah kekuatan dari Roh Kudus yang
merupakan bukti/hasil bahwa kita telah dikuasai atau dipimpin oleh Roh Kudus.
Pertanyaannya, rindukah kita memiliki hidup yang dikuasai dan diubah oleh Roh
Kudus? Dan rindukah kita melihat anak-anak kita bertumbuh dengan kuasa dan
penyertaan Roh Kudus? Sehingga saat mereka menjadi orang tua seperti kita,
mereka bisa melanjutkan itu pada anak-anak mereka? Indahnya hidup bersama Tuhan…
Tuhan memberkati kita.
Pertanyaan Sarasehan:
1.Apakah selama ini dalam
mendidik anak/cucu kita selalu memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh tersebut
di atas?
2.Jika selama ini kita dalam
mendidik anak/cucu sudah memperhatikan unsur-unsur dari buah Roh, apa kendala
terbesar yang kita alami?
3.Apakah pelayanan Gereja
(dhi: Sekolah Minggu) sudah dapat menolong kita untuk mendidik anak memiliki
buah-buah Roh?
4.Apa yang dapat kita
kerjakan untuk mendukung Komisi Anak (Guru-guru Sekolah Minggu) agar mereka dapat
bekerjasama dengan kita dalam mengajarkan buah-buah Roh pada anak/cucu kita?