Sudahkah Kita Merdeka?
Bahan PA Ibu
Sudahkah Kita
Merdeka?
1
Petrus 2:16
Ketika
kita berbicara tentang kemerdekaan, paling sedikit ada tiga pemikiran mengenai
kemerdekaan yang harus kita pertimbangkan:
Kemerdekaan
definitif
Yaitu saat kemerdekaan itu diproklamasikan. Dalam konteks negara Indonesia, berarti mengacu pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesa, 17 Agustus 1945. Dalam konteks iman kristiani, berarti mengacu pada peristiwa salib dan kebangkitan Kristus, di mana kita sebagai pengikut-Nya ikut mati terhadap dosa dan kehidupan lama, serta bangkit dalam kehidupan baru yang sungguh merdeka.
Yaitu saat kemerdekaan itu diproklamasikan. Dalam konteks negara Indonesia, berarti mengacu pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesa, 17 Agustus 1945. Dalam konteks iman kristiani, berarti mengacu pada peristiwa salib dan kebangkitan Kristus, di mana kita sebagai pengikut-Nya ikut mati terhadap dosa dan kehidupan lama, serta bangkit dalam kehidupan baru yang sungguh merdeka.
Kemerdekaan
sebagai sebuah proses
Berangkat dari kemerdekaan definitif, kita memasuki sebuah proses untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Dalam sebuah proses, bisa saja perjalanan mengisi kemerdekaan itu justru terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Misalnya, korupsi yang merajalela, penindasan kepada kelompok minoritas dan banyak lainnya. Di sinilah perjuangan untuk mengawal dan mengisi kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri, lalu menjadi penting. Perjuangan demi kemerdekaan ternyata tidak berhenti pada proklamasi kemerdekaan, melainkan merupakan proses yang sinambung sampai kapan pun. Panggilan untuk menjadi pejuang kemerdekaan selalu berkumandang buat siapa pun dan sampai kapan pun. Dalam konteks iman, kita pun harus mengisi kemerdekaan yang Kristus sudah karuniakan. Berjuang melawan ‘kedagingan’ dan hidup menurut Roh.
Berangkat dari kemerdekaan definitif, kita memasuki sebuah proses untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Dalam sebuah proses, bisa saja perjalanan mengisi kemerdekaan itu justru terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Misalnya, korupsi yang merajalela, penindasan kepada kelompok minoritas dan banyak lainnya. Di sinilah perjuangan untuk mengawal dan mengisi kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri, lalu menjadi penting. Perjuangan demi kemerdekaan ternyata tidak berhenti pada proklamasi kemerdekaan, melainkan merupakan proses yang sinambung sampai kapan pun. Panggilan untuk menjadi pejuang kemerdekaan selalu berkumandang buat siapa pun dan sampai kapan pun. Dalam konteks iman, kita pun harus mengisi kemerdekaan yang Kristus sudah karuniakan. Berjuang melawan ‘kedagingan’ dan hidup menurut Roh.
Kemerdekaan
subyektif
Yaitu cara pandang kita terhadap kemerdekaan definitif. Cara pandang itu akan memengaruhi perilaku kita. Apakah kita hidup sebagai orang merdeka atau menjadi orang yang tidak merdeka. Dalam ranah subyektif inilah, iman dan keyakinan kita terhadap kemerdekaan dipertaruhkan. Bisa saja perjalanan kemerdekaan itu terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan, tetapi sepanjang kita mengimani dan meyakini kemerdekaan definitif, maka tidak ada yang bisa membelenggu kita. Kita tetap orang merdeka! Dalam Alkitab kita menjumpai kisah Paulus dan Silas yang dimasukkan ke dalam penjara di Filipi. Bukan hanya dipenjara, tetapi kaki mereka juga dipasung! (Kis. 16:24). Secara fisik, mereka sungguh tidak merdeka! Namun lihatlah: mereka menyanyikan pujian kepada Allah! (Kis. 16:25). Tidak ada kekuatiran, ketakutan dan bentuk perilaku lain yang muncul dari orang yang tidak merdeka. Paulus dan Silas sungguh merdeka! Berbeda dengan mereka adalah kepala penjara Filipi. Ia adalah orang merdeka. Namun lihatlah bagaimana ia penuh ketakutan dan akan bunuh diri! (Kis. 16:27). Ternyata ia bukanlah orang yang merdeka.
Yaitu cara pandang kita terhadap kemerdekaan definitif. Cara pandang itu akan memengaruhi perilaku kita. Apakah kita hidup sebagai orang merdeka atau menjadi orang yang tidak merdeka. Dalam ranah subyektif inilah, iman dan keyakinan kita terhadap kemerdekaan dipertaruhkan. Bisa saja perjalanan kemerdekaan itu terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan, tetapi sepanjang kita mengimani dan meyakini kemerdekaan definitif, maka tidak ada yang bisa membelenggu kita. Kita tetap orang merdeka! Dalam Alkitab kita menjumpai kisah Paulus dan Silas yang dimasukkan ke dalam penjara di Filipi. Bukan hanya dipenjara, tetapi kaki mereka juga dipasung! (Kis. 16:24). Secara fisik, mereka sungguh tidak merdeka! Namun lihatlah: mereka menyanyikan pujian kepada Allah! (Kis. 16:25). Tidak ada kekuatiran, ketakutan dan bentuk perilaku lain yang muncul dari orang yang tidak merdeka. Paulus dan Silas sungguh merdeka! Berbeda dengan mereka adalah kepala penjara Filipi. Ia adalah orang merdeka. Namun lihatlah bagaimana ia penuh ketakutan dan akan bunuh diri! (Kis. 16:27). Ternyata ia bukanlah orang yang merdeka.
Dalam
ranah subyektif inilah, pertanyaan: “Sudahkah kita merdeka?” sering muncul.
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan ini. Justru kita harus selalu
mempertanyakan kembali kemerdekaan definitif, dalam rangka mengisi dan
mengarahkan kemerdekaan sesuai cita-cita yang diharapkan. Namun pertanyaan ini
menjadi keliru, ketika muncul dari pesimisme dan keraguan kita atas kemerdekaan
itu sendiri. Di sinilah, nasihat dari 1 Petrus 2:16 lalu menjadi penting.
Hiduplah sebagai orang merdeka!
Sejatinya,
kemerdekaan itu letaknya di dalam pikiran dan hati kita. Dalam iman dan
keyakinan kita. Sepanjang kita memeliharanya, maka apa pun boleh terjadi,
tetapi kita tetap orang yang merdeka! Jangan pernah kehilangan harapan dan
keyakinan terhadap kemerdekaan. Bahwa realita sering kali membelokkan
kemerdekaan dari cita-citanya, mari sebagai orang yang merdeka kita
mengoreksinya bersama dan mengarahkan kembali pada cita-cita awal kemerdekaan
itu sendiri. Hiduplah sebagai orang yang merdeka!
Bahan
diskusi:
1.Buah
kemerdekaan apakah yang sudah dapat saudara nikmati?
2.Langkah
apakah yang perlu kita tempuh agar kita benar-benar merdeka?
Bahan PA Ibu
INGATLAH! Ada
Malaikat Mereka di Surga
Matius
18:10
“Ingatlah,
jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini karena Aku berkata
kepadamu: Ada malaikat mereka di surga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang
di surga.”
Sungguh
menakutkan mengetahui kekerasan yang sering terjadi dalam keluarga, terutama
pada anak-anak yang masih kecil dan lemah! Seorang ayah yang seharusnya
melindungi dan mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya justru menyiksa dan
memanfaatkan mereka untuk menutupi kekurangan dan ketidakmampuannya dalam
menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga. Atau seorang ibu yang
seharusnya menjaga, memelihara dan mengasuh anak-anaknya, tega menelantarkan,
merusak bahkan membunuh anak-anaknya sendiri.
Dalam
lingkup yang lebih luas, masyarakat yang sakit, ketidakpedulian dan ketiadaan
kasih menyebabkan banyak peristiwa mengerikan terjadi seperti yang bisa
disaksikan dalam Youtube – peristiwa ditabraknya seorang anak kecil di
Hongkong. Baik pengendara mobil itu maupun pengendara kendaraan-kendaraan
lainnya tak ada yang berhenti menolong bahkan mobil berikutnya ikut melindas
tubuh anak tersebut sampai seorang wanita pemulung menyeret tubuh anak itu ke
tepi jalan. Lalu ibunya datang dan menjadi histeris. Anak itu tidak mati. Sulit
membayangkan perasaan orang yang merekam peristiwa itu karena ia telah memilih
untuk hanya merekam dan bukan mengulurkan tangan menolong anak tersebut! Sampai
sekarang anak itu masih hidup dalam keadaan koma di rumah sakit. Wajah anak
yang polos itu dengan selang-selang di hidung-mulut-tangan penyambung hidupnya
seakan-akan menjadi potret atas kejahatan manusia.
Dalam
buku MUKJIZAT DOA – Guideposts, Lynn B.Link dari Stevensville Montana
menyaksikan bahwa Tuhan dengan cara-Nya yang ajaib menugaskan kita untuk
melindungi anak-anak. Dengan empat anak dan dua keponakan yang sedang menginap,
setelah berdoa malam mereka segera terlelap. Tapi pukul 04.30 dini hari
mendadak Lynn terbangun karena mendengar seorang keponakan merengek. Segera ia
melompat bangun dan berlari –tetapi bukan ke ruangan di mana keponakannya
tidur. Tanpa sadar, ia berlari ke kamar anak-anaknya dan saat ia berdiri di
depan pintu kamar dengan napas memburu, ia melihat anak-anak yang tidur tenang.
Lalu, tepat di depan matanya, bagian atas rangka tempat tidur tingkat itu
patah. Ia segera menghambur untuk menangkap papan alas kasur yang berat beserta
kasurnya sebelum menimpa anaknya, Rachel, yang tidur di bawahnya. Ia memanggil
suaminya dan semua akhirnya bisa diatasi, bahkan anak-anaknya tetap terlelap.
Memang
orangtua harus menyadari dan menjalankan tugas tanggungjawab yang diberikan
Tuhan, yaitu menjaga dan melindungi anak-anak, namun siapakah orangtua yang
mampu menjaga anak-anak mereka dua puluh empat jam sehari? Puji Tuhan! Kita
dikelilingi oleh orang-orang yang dapat menolong kita untuk bersama-sama
menjaga dan melindungi anak-anak kita. Marilah kita berdoa bagi semua yang
memperhatikan anak-anak kita saat kita tidak bisa ada di samping mereka:
pembantu di rumah, tetangga-tetangga, orang-orang di jalan, guru-guru dan
teman-teman di sekolah, agar mereka peka dan dimampukan oleh kuasa kasih-Nya
untuk menolong anak-anak kita dalam kesusahan. Dan bila kita sendiri melihat
ada anak yang mengalami kesusahan di depan mata kita, marilah kita menjadi
seperti orang Samaria yang baik hati!
Bahan diskusi:
1.Menurut
saudara bagaimana perlakukan yang sdh kita berikan kepada anak-anak kita?
Menurut saudara apakah yang menjadi kewajiban kita sebagai orang tua terhadap
anak?
2.Siapa
sajakah yang dapat kita harapkan untuk menolong kita mengawasi anak-anak kita?
Bahan PA Ibu
IMAN, HARAP,
KASIH: Nilai-Nilai yang Diwariskan
1
Korintus 13:13
“Demikianlah
tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling
besar di antaranya ialah kasih.”
Menjadi
keluarga Kristen yang sungguh-sungguh memancarkan nilai-nilai kekristenan dalam
hidup dan lakunya, bukanlah hal yang mudah. Dunia, tempat di mana kita hidup
dan membangun relasi, juga memberikan nilai-nilainya, yang tampaknya lebih
menarik dan mudah untuk dilakukan. Godaan untuk meninggalkan nilai-nilai ilahi
begitu kuat kita alami dalam tantangan zaman ini.
Lima
tantangan keluarga Kristen masa kini antara lain:
- Persaingan.
Tiap hari kita diperhadapkan dengan persaingan untuk mempertahankan diri.
Persaingan sering kali menempatkan sesamanya sebagai pihak yang harus dikalahkan
agar tujuan tercapai.
- Kambing
Hitam. Berkaitan dengan persaingan yang makin kuat, maka kebiasaan
“mencari kambing hitam” kerap terjadi karena tiap orang berusaha untuk
menghindar dari tanggung jawabnya.
- Egoisme.
Egoisme berarti tidak pernah memberikan ruang bagi orang lain. Seluruh
kepentingan hanya tertuju kepada diri sendiri.
- Bersikap
setia kepada Tuhan. Godaan untuk mengingkari Kristus atas nama kebutuhan
dan fasilitas menjadi sebuah tawaran yang sangat menggiurkan ketimbang
mempertahankannya dan menghadapi banyak tekanan dan kesulitan.
- Berpihak
kepada mereka yang lemah. Seiring dengan semakin menguatnya persaingan
yang membuat tiap orang memikirkan kepentingannya, maka dampaknya tidak
ada tempat bagi mereka yang lemah. Posisi mereka akan semakin tertindas
karena pementingan diri selalu mengorbankan mereka yang tidak berdaya.
Bukankah
tantangan zaman ini begitu dekat dengan segala aktivitas dan relasi kita?
Bagaimana keluarga Kristen menyikapinya? Apakah kita bersikap tidak peduli dan
membiarkan tantangan zaman melunturkan dan merontokkan nilai-nilai kekristenan?
Bacaan
kita mengajak kita untuk bersikap aktif melawan nilai-nilai duniawi dan
berpegang teguh pada nilai-nilai ilahi. Nilai-nilai itu adalah iman, harap dan
kasih. Nilai-Nilai inilah yang harus kita wariskan kepada anak dan cucu kita.
Diwariskan:
sebagai wujud upaya keluarga melahirkan generasi demi generasi yang takut akan
Tuhan. Perkembangan dunia dan tantangannya akan semakin berat dan kompleks,
untuk itu ketika keluarga menanamkan nilai ilahi sejak dini, diharapkan nilai
inilah yang membangun tiap umat menjadi keluarga, jemaat, bangsa yang takut
akan Tuhan.
1
Korintus 13:13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan
dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Iman
adalah sikap mengakui serta tunduk kepada kemahakuasaan Allah sekaligus
mengandung unsur penyerahan diri secara penuh dan kemauan untuk menaati apa
yang menjadi tuntutan dari penyerahan diri tersebut. Artinya, beriman adalah
sikap mengakui, tunduk, berserah dan taat kepada Sang Khalik. Pada hakikatnya,
iman adalah suatu tindakan yang melibatkan seluruh kepribadian manusia secara
utuh. Iman bukan hanya soal hati tapi kesatuan totalitas keberadaan diri
manusia kepada Allah.
Pengharapan
dinyatakan dalam Ibrani 6:19-20, “Pengharapan adalah sauh yang kuat dan aman
bagi jiwa kita yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus
telah masuk sebagai perintis bagi kita, ketika Ia menurut pengertian
Melkisedek, menjadi imam Besar sampai selama-lamanya.”
Pengharapan
adalah respons dari iman kita kepada Allah. Pengharapan lebih dari sekadar
sikap optimis, sebab pengharapan kita terletak pada kekuasaan Allah yang dapat
mengubah kehidupan menjadi baik. Dasar pengharapan orang percaya adalah terwujudnya
Kerajaan Allah di bumi seperti di surga.
Kasih
menjadi yang utama, yang membungkus iman dan pengharapan. Iman tanpa kasih
menjadi dingin dan pengharapan tanpa kasih menjadi suram. Paulus mengawali
uraiannya dengan karunia tetapi semua karunia tanpa kasih, tidak mempunyai
makna. Kasih adalah api yang menyalakan iman dan cahaya yang mengubah
pengharapan menjadi kepastian (William Barclay).
Nilai
iman, harap dan kasih ini menjadi sangat relevan bagi keluarga dalam menghadapi
pergumulan hidup di tengah-tengah tantangan zaman. Nilai ini yang memampukan
keluarga bertahan di tengah badai dengan tidak meragukan kuasa Allah.
Pengharapan yang membakar kekuatan untuk bertahan dan tidak jatuh kepada
keputusasaan. Kasih menyirami kehidupan dengan keteduhan, kelembutan, ketulusan
dan pengorbanan. Nilai yang melebihi warisan materi, nilai yang tidak akan
pudar oleh perkembangan zaman dan tidak lekang oleh waktu.
Kiranya
melalui momen PA ini, tiap keluarga kembali termotivasi untuk membangun dan
menumbuhkan nilai iman, harap, dan kasih sebagai nilai-nilai pendidikan dalam
keluarga. Nilai-nilai yang menjadi warisan untuk menghadapi segala pergumulan
keluarga di tengah dunia dengan tetap memancarkan kemuliaan Allah.
Kiranya
nilai iman, harap, kasih adalah sebuah nilai yang terus diwariskan dari
generasi ke generasi, dimulai dari lingkup keluarga, jemaat dan masyarakat.
Bahan diskusi:
1.Bagaimana
cara saudara mewariskan nila-nilai iman dalam hidup anak-anak?
2.Menurut
saudara masih perlukah kita wariskan nilai-nilai iman kepada anak kita meskipun
mereka sudah menginjak dewasa?
Bahan PA Ibu
Renungan
Harta Tersembunyi
Di
dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang
adil. (Mazmur 112:4).
Aku
akan memberikan kepadamu harta benda yang terpendam dan harta kekayaan yang
tersembunyi, supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN, Allah Israel, yang
memanggil engkau dengan namamu (Yesaya 45:3).
Di dalam kegelapan malam kita bisa
melihat sinar bintang-bintang, yang tidak bisa kita lihat ketika matahari
bersinar terang. Harta kekayaan yang tersembunyi pun lebih mudah kita temukan
di tempat yang gelap, karena kilau cahayanya mengarahkan pandangan kita ke
sana.
Seorang perempuan Kristen di Eropa,
bangun pagi hari di tengah gelapnya hujan salju dan melihat ke pohon apel di
halamannya. Di dalam kegelapan, ia yakin bahwa pohon apel itu akan menghasilkan
buah ketika musim panas tiba, meskipun saat itu pohon tersebut sedang
meranggas, tidak berdaun atau berbunga, karena sedang musim dingin. Perempuan
itu tahu bahwa pohon tersebut menyimpan benih kehidupan yang akan bertunas
ketika musim semi tiba.
Demikian juga Paulus di dalam
kegelapan penjara, meskipun tidak tahu kapan akan dibebaskan, menulis surat
kepada jemaat-jemaat yang pernah dikunjunginya tentang kasih karunia Tuhan yang
diterimanya. Ia membagikan kabar sukacita itu kepada mereka sambil menyampaikan
salam “Kasih Karunia Tuhan besertamu”. Paulus tahu bahwa Tuhan memberkati
benih-benih Injil yang telah disiramnya, sehingga kelak akan berbuah lebat.
Di dalam kegelapan kita mencari
harta yang tersembunyi dengan senter iman.
Sebagai orang Kristen, kita tidak
luput dari penderitaan, ujian, kesusahan, kehilangan orang yang kita kasihi,
frustasi di dalam pekerjaan, sakit-penyakit, dll. Kita harus menghadapi
semuanya itu dengan sikap yang benar, dengan meyakini bahwa Tuhan tidak akan
membiarkan sesuatu terjadi pada kita, kecuali untuk suatu maksud yang baik.
Kegelapan yang kita hadapi tidak selalu terjadi karena dosa kita, tetapi
diizinkan Tuhan untuk memperdalam pemahaman kita akan kasih-Nya. Di dalam
kegelapan, kita dapat diingatkan kembali untuk lebih dekat kepada-Nya.
Seperti pada peristiwa 11 September
2001 di Amerika dan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Setelah itu, gereja-gereja
mulai dipenuhi, bukan saja oleh orang-orang yang terkena musibah, sanak
keluarga dan teman-teman mereka, namun juga oleh orang-orang yang disadarkan
bahwa bencana bisa terjadi setiap saat dan keselamatan jiwa hanya datang dari
Tuhan.
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami
ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab
Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui
kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga
kamu dapat menanggungnya (1 Korintus 10:13).
Pada waktu pencobaan menimpa kita,
Tuhan akan memberikan jalan keluar dan kekuatan kepada kita untuk menemukan
“harta yang tersembunyi”, yaitu kasih sayang Tuhan. Tuhan selalu menepati
janji-janji-Nya dan Dia setia. Dia tidak akan pernah membiarkan kita sendirian.
Dia juga akan memampukan kita untuk menjadi manusia yang lebih kuat dan lebih
tahan uji di dalam kehidupan ini. Hal itu dengan tepat dikatakan oleh seorang
anak Sekolah Minggu: “Tuhan Yesus tidak hanya menanggung salib, tetapi
memanfaatkannya untuk keselamatan kita.”
Kegelapan tidak bisa kita duga
datangnya, namun yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Kita bisa
mengasihani diri sendiri, merasa frustasi, membiarkan pencobaan menjatuhkan
kita atau menyerah pasrah, tapi sebaliknya kita juga bisa bereaksi dengan yakin
dan berani karena Tuhan ada di belakang kita. Jangan biarkan kegelapan menjadi
groaning point (hal untuk mengeluh), tetapi jadikanlah sebagai growing
point (pertumbuhan iman).
Banyak orang yang lari dari
kenyataan, misalnya mencari jalan pintas dengan bermabuk-mabukan atau
mengonsumsi narkoba, dan akhirnya menjadi pecundang. Mereka berusaha mencari comfort
zone (zona nyaman) untuk melupakan kepahitan mereka, padahal lasting comfort
(kenyamanan yang abadi) hanyalah di dalam Tuhan Yesus.
Kalau sakit, penduduk pribumi
Amerika Selatan, lebih senang minum obat tradisional daripada obat-obat baru
yang tidak terasa pahit. Meskipun obat tradisional terasa pahit, tapi mereka
meyakini bahwa obat itu manjur dan menyembuhkan. “Pahit itu baik,” kata mereka.
Kita bisa membuat kegelapan “terasa
baik”, ketika kita melihat bahwa di dalam menghadapi kegelapan ada
kesempatan-kesempatan untuk lebih bergantung kepada Tuhan, mengembangkan iman
kita dan memperbaiki karakter kita sehingga lebih menyerupai Yesus.
Tuhan itu Mahakuasa, namun mengapa
Dia membiarkan kita menghadapi kegelapan dan pencobaan? Justru karena
Kemahakuasaan-Nya, Dia ingin agar kita diuji, sehingga iman kita bertumbuh dan
kita mendapatkan keselamatan jiwa (1 Petrus 1:9).
Bentuk Kegelapan Lainnya Adalah
Kesepian
Kesepian bukan berarti sendirian.
Meskipun kita berada di tengah kumpulan banyak orang, kita bisa merasa
kesepian. Kesepian adalah salah satu masalah terbesar umat manusia. Perasaan
sunyi itu membuat kita merasa ditinggalkan teman, dikucilkan, tidak berguna dan
hampa.
Tuhan Yesus pernah dua kali merasa
ditinggalkan seorang diri.
- Matius 26:56, “Akan tetapi semua terjadi supaya genap
yang ada tertulis dalam kitab nabi nabi. Lalu semua murid itu meninggalkan
Dia dan melarikan diri.”
- Ketika di kayu salib, Dia berseru: “Eli, Eli, lama
sabakhtani” (Bapa, Bapa, mengapa Engkau meninggalkan Aku?).
Orang yang kesepian, biasanya
membawa dirinya ke dalam kesendirian. Hal ini sebenarnya dipicu oleh tindakan
dan sikapnya sendiri. Kesepian lebih mengarah kepada sikap ketimbang keadaan,
lebih merupakan pengaruh dari batin ketimbang dari luar. Kesepian bukan masalah
dikucilkan, tetapi lebih pada menutup diri sendiri, namun kemudian orang itu mengeluh
atau menyalahkan kenyataan dan keadaan yang dihadapinya.
Orang yang kesepian cenderung cepat
marah, mengasihani diri sendiri dan mengurung diri. Ia menyalahkan
teman-temannya yang dianggap telah meninggalkannya, sedangkan ia sendiri tidak
mau berteman. Ia menghendaki agar orang lain memperhatikan dan mengasihinya,
namun ia sendiri tidak peduli terhadap mereka.
Kristus yang hadir di dalam hati
kita menjadi teman kita, dan menjadi teman berarti kita tidak hanya
memperhatikan diri kita sendiri tetapi juga peduli kepada orang lain. Yesus
mengajar kita di dalam Roma 12:13 untuk membantu orang-orang kudus yang
berkekurangan dan berusaha untuk selalu memberi tumpangan kepada mereka.
Ketika seorang pengerja sosial
berkunjung ke rumah orang jompo, ia merasa kasihan kepada seorang kakek
penghuni tempat itu yang tampak begitu rapuh dan renta. Tetapi dengan bangga
kakek itu berkata: “Saya tidak tinggal di rumah jompo. Saya tinggal bersama
Allah.”
Dalam menghadapi kegelapan, kita
perlu menggunakan senter iman kita agar dapat menemukan harta yang tersembunyi,
yaitu kasih sayang Yesus. Dengan demikian kita tahan uji dan kuat menghadapi
kehidupan, serta makin serupa dengan-Nya, penuh kasih kepadaTuhan dan sesama
kita.
Ikutilah teladan seorang janda
tentara Amerika yang tidak larut dalam kesedihan dan depresi ketika suaminya
gugur di Afganistan dan kini harus merawat anak-anaknya seorang diri. Di dalam
kegelapan hidupnya, ia bisa menemukan harta yang tersembunyi, yaitu mengampuni
dan berbuat baik kepada sesamanya. Dengan kasih ia mengumpulkan dana dan
menggerakkan teman-temannya untuk membantu kaum perempuan Afganistan keluar
dari keterpurukan mereka dengan memberi mereka pengetahuan yang baik di dalam
mendidik dan merawat anak-anak mereka. Hidupnya bermanfaat karena ia menjadi
berkat bagi orang lain. Amin