Sudahkah Kita Merdeka?

Bahan PA Ibu
Sudahkah Kita Merdeka?
1 Petrus 2:16
Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, paling sedikit ada tiga pemikiran mengenai kemerdekaan yang harus kita pertimbangkan:
Kemerdekaan definitif
Yaitu saat kemerdekaan itu diproklamasikan. Dalam konteks negara Indonesia, berarti mengacu pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesa, 17 Agustus 1945. Dalam konteks iman kristiani, berarti mengacu pada peristiwa salib dan kebangkitan Kristus, di mana kita sebagai pengikut-Nya ikut mati terhadap dosa dan kehidupan lama, serta bangkit dalam kehidupan baru yang sungguh merdeka.
Kemerdekaan sebagai sebuah proses
Berangkat dari kemerdekaan definitif, kita memasuki sebuah proses untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Dalam sebuah proses, bisa saja perjalanan mengisi kemerdekaan itu justru terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Misalnya, korupsi yang merajalela, penindasan kepada kelompok minoritas dan banyak lainnya. Di sinilah perjuangan untuk mengawal dan mengisi kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri, lalu menjadi penting. Perjuangan demi kemerdekaan ternyata tidak berhenti pada proklamasi kemerdekaan, melainkan merupakan proses yang sinambung sampai kapan pun. Panggilan untuk menjadi pejuang kemerdekaan selalu berkumandang buat siapa pun dan sampai kapan pun. Dalam konteks iman, kita pun harus mengisi kemerdekaan yang Kristus sudah karuniakan. Berjuang melawan ‘kedagingan’ dan hidup menurut Roh.
Kemerdekaan subyektif
Yaitu cara pandang kita terhadap kemerdekaan definitif. Cara pandang itu akan memengaruhi perilaku kita. Apakah kita hidup sebagai orang merdeka atau menjadi orang yang tidak merdeka. Dalam ranah subyektif inilah, iman dan keyakinan kita terhadap kemerdekaan dipertaruhkan. Bisa saja perjalanan kemerdekaan itu terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan, tetapi sepanjang kita mengimani dan meyakini kemerdekaan definitif, maka tidak ada yang bisa membelenggu kita. Kita tetap orang merdeka! Dalam Alkitab kita menjumpai kisah Paulus dan Silas yang dimasukkan ke dalam penjara di Filipi. Bukan hanya dipenjara, tetapi kaki mereka juga dipasung! (Kis. 16:24). Secara fisik, mereka sungguh tidak merdeka! Namun lihatlah: mereka menyanyikan pujian kepada Allah! (Kis. 16:25). Tidak ada kekuatiran, ketakutan dan bentuk perilaku lain yang muncul dari orang yang tidak merdeka. Paulus dan Silas sungguh merdeka! Berbeda dengan mereka adalah kepala penjara Filipi. Ia adalah orang merdeka. Namun lihatlah bagaimana ia penuh ketakutan dan akan bunuh diri! (Kis. 16:27). Ternyata ia bukanlah orang yang merdeka.
Dalam ranah subyektif inilah, pertanyaan: “Sudahkah kita merdeka?” sering muncul. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan ini. Justru kita harus selalu mempertanyakan kembali kemerdekaan definitif, dalam rangka mengisi dan mengarahkan kemerdekaan sesuai cita-cita yang diharapkan. Namun pertanyaan ini menjadi keliru, ketika muncul dari pesimisme dan keraguan kita atas kemerdekaan itu sendiri. Di sinilah, nasihat dari 1 Petrus 2:16 lalu menjadi penting. Hiduplah sebagai orang merdeka!
Sejatinya, kemerdekaan itu letaknya di dalam pikiran dan hati kita. Dalam iman dan keyakinan kita. Sepanjang kita memeliharanya, maka apa pun boleh terjadi, tetapi kita tetap orang yang merdeka! Jangan pernah kehilangan harapan dan keyakinan terhadap kemerdekaan. Bahwa realita sering kali membelokkan kemerdekaan dari cita-citanya, mari sebagai orang yang merdeka kita mengoreksinya bersama dan mengarahkan kembali pada cita-cita awal kemerdekaan itu sendiri. Hiduplah sebagai orang yang merdeka!
 Bahan diskusi:
1.Buah kemerdekaan apakah yang sudah dapat saudara nikmati?
2.Langkah apakah yang perlu kita tempuh agar kita benar-benar merdeka?



Bahan PA Ibu
INGATLAH! Ada Malaikat Mereka di Surga
Matius 18:10
“Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di surga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga.”
Sungguh menakutkan mengetahui kekerasan yang sering terjadi dalam keluarga, terutama pada anak-anak yang masih kecil dan lemah! Seorang ayah yang seharusnya melindungi dan mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya justru menyiksa dan memanfaatkan mereka untuk menutupi kekurangan dan ketidakmampuannya dalam menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga. Atau seorang ibu yang seharusnya menjaga, memelihara dan mengasuh anak-anaknya, tega menelantarkan, merusak bahkan membunuh anak-anaknya sendiri.
Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat yang sakit, ketidakpedulian dan ketiadaan kasih menyebabkan banyak peristiwa mengerikan terjadi seperti yang bisa disaksikan dalam Youtube – peristiwa ditabraknya seorang anak kecil di Hongkong. Baik pengendara mobil itu maupun pengendara kendaraan-kendaraan lainnya tak ada yang berhenti menolong bahkan mobil berikutnya ikut melindas tubuh anak tersebut sampai seorang wanita pemulung menyeret tubuh anak itu ke tepi jalan. Lalu ibunya datang dan menjadi histeris. Anak itu tidak mati. Sulit membayangkan perasaan orang yang merekam peristiwa itu karena ia telah memilih untuk hanya merekam dan bukan mengulurkan tangan menolong anak tersebut! Sampai sekarang anak itu masih hidup dalam keadaan koma di rumah sakit. Wajah anak yang polos itu dengan selang-selang di hidung-mulut-tangan penyambung hidupnya seakan-akan menjadi potret atas kejahatan manusia.
Dalam buku MUKJIZAT DOA – Guideposts, Lynn B.Link dari Stevensville Montana menyaksikan bahwa Tuhan dengan cara-Nya yang ajaib menugaskan kita untuk melindungi anak-anak. Dengan empat anak dan dua keponakan yang sedang menginap, setelah berdoa malam mereka segera terlelap. Tapi pukul 04.30 dini hari mendadak Lynn terbangun karena mendengar seorang keponakan merengek. Segera ia melompat bangun dan berlari –tetapi bukan ke ruangan di mana keponakannya tidur. Tanpa sadar, ia berlari ke kamar anak-anaknya dan saat ia berdiri di depan pintu kamar dengan napas memburu, ia melihat anak-anak yang tidur tenang. Lalu, tepat di depan matanya, bagian atas rangka tempat tidur tingkat itu patah. Ia segera menghambur untuk menangkap papan alas kasur yang berat beserta kasurnya sebelum menimpa anaknya, Rachel, yang tidur di bawahnya. Ia memanggil suaminya dan semua akhirnya bisa diatasi, bahkan anak-anaknya tetap terlelap.
Memang orangtua harus menyadari dan menjalankan tugas tanggungjawab yang diberikan Tuhan, yaitu menjaga dan melindungi anak-anak, namun siapakah orangtua yang mampu menjaga anak-anak mereka dua puluh empat jam sehari? Puji Tuhan! Kita dikelilingi oleh orang-orang yang dapat menolong kita untuk bersama-sama menjaga dan melindungi anak-anak kita. Marilah kita berdoa bagi semua yang memperhatikan anak-anak kita saat kita tidak bisa ada di samping mereka: pembantu di rumah, tetangga-tetangga, orang-orang di jalan, guru-guru dan teman-teman di sekolah, agar mereka peka dan dimampukan oleh kuasa kasih-Nya untuk menolong anak-anak kita dalam kesusahan. Dan bila kita sendiri melihat ada anak yang mengalami kesusahan di depan mata kita, marilah kita menjadi seperti orang Samaria yang baik hati!
Bahan diskusi:
1.Menurut saudara bagaimana perlakukan yang sdh kita berikan kepada anak-anak kita? Menurut saudara apakah yang menjadi kewajiban kita sebagai orang tua terhadap anak?
2.Siapa sajakah yang dapat kita harapkan untuk menolong kita mengawasi anak-anak kita?




Bahan PA Ibu
IMAN, HARAP, KASIH: Nilai-Nilai yang Diwariskan
1 Korintus 13:13
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Menjadi keluarga Kristen yang sungguh-sungguh memancarkan nilai-nilai kekristenan dalam hidup dan lakunya, bukanlah hal yang mudah. Dunia, tempat di mana kita hidup dan membangun relasi, juga memberikan nilai-nilainya, yang tampaknya lebih menarik dan mudah untuk dilakukan. Godaan untuk meninggalkan nilai-nilai ilahi begitu kuat kita alami dalam tantangan zaman ini.
Lima tantangan keluarga Kristen masa kini antara lain:
  1. Persaingan. Tiap hari kita diperhadapkan dengan persaingan untuk mempertahankan diri. Persaingan sering kali menempatkan sesamanya sebagai pihak yang harus dikalahkan agar tujuan tercapai.
  2. Kambing Hitam. Berkaitan dengan persaingan yang makin kuat, maka kebiasaan “mencari kambing hitam” kerap terjadi karena tiap orang berusaha untuk menghindar dari tanggung jawabnya.
  3. Egoisme. Egoisme berarti tidak pernah memberikan ruang bagi orang lain. Seluruh kepentingan hanya tertuju kepada diri sendiri.
  4. Bersikap setia kepada Tuhan. Godaan untuk mengingkari Kristus atas nama kebutuhan dan fasilitas menjadi sebuah tawaran yang sangat menggiurkan ketimbang mempertahankannya dan menghadapi banyak tekanan dan kesulitan.
  5. Berpihak kepada mereka yang lemah. Seiring dengan semakin menguatnya persaingan yang membuat tiap orang memikirkan kepentingannya, maka dampaknya tidak ada tempat bagi mereka yang lemah. Posisi mereka akan semakin tertindas karena pementingan diri selalu mengorbankan mereka yang tidak berdaya.
Bukankah tantangan zaman ini begitu dekat dengan segala aktivitas dan relasi kita? Bagaimana keluarga Kristen menyikapinya? Apakah kita bersikap tidak peduli dan membiarkan tantangan zaman melunturkan dan merontokkan nilai-nilai kekristenan?
Bacaan kita mengajak kita untuk bersikap aktif melawan nilai-nilai duniawi dan berpegang teguh pada nilai-nilai ilahi. Nilai-nilai itu adalah iman, harap dan kasih. Nilai-Nilai inilah yang harus kita wariskan kepada anak dan cucu kita.
Diwariskan: sebagai wujud upaya keluarga melahirkan generasi demi generasi yang takut akan Tuhan. Perkembangan dunia dan tantangannya akan semakin berat dan kompleks, untuk itu ketika keluarga menanamkan nilai ilahi sejak dini, diharapkan nilai inilah yang membangun tiap umat menjadi keluarga, jemaat, bangsa yang takut akan Tuhan.
1 Korintus 13:13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Iman adalah sikap mengakui serta tunduk kepada kemahakuasaan Allah sekaligus mengandung unsur penyerahan diri secara penuh dan kemauan untuk menaati apa yang menjadi tuntutan dari penyerahan diri tersebut. Artinya, beriman adalah sikap mengakui, tunduk, berserah dan taat kepada Sang Khalik. Pada hakikatnya, iman adalah suatu tindakan yang melibatkan seluruh kepribadian manusia secara utuh. Iman bukan hanya soal hati tapi kesatuan totalitas keberadaan diri manusia kepada Allah.
Pengharapan dinyatakan dalam Ibrani 6:19-20, “Pengharapan adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai perintis bagi kita, ketika Ia menurut pengertian Melkisedek, menjadi imam Besar sampai selama-lamanya.”
Pengharapan adalah respons dari iman kita kepada Allah. Pengharapan lebih dari sekadar sikap optimis, sebab pengharapan kita terletak pada kekuasaan Allah yang dapat mengubah kehidupan menjadi baik. Dasar pengharapan orang percaya adalah terwujudnya Kerajaan Allah di bumi seperti di surga.
Kasih menjadi yang utama, yang membungkus iman dan pengharapan. Iman tanpa kasih menjadi dingin dan pengharapan tanpa kasih menjadi suram. Paulus mengawali uraiannya dengan karunia tetapi semua karunia tanpa kasih, tidak mempunyai makna. Kasih adalah api yang menyalakan iman dan cahaya yang mengubah pengharapan menjadi kepastian (William Barclay).
Nilai iman, harap dan kasih ini menjadi sangat relevan bagi keluarga dalam menghadapi pergumulan hidup di tengah-tengah tantangan zaman. Nilai ini yang memampukan keluarga bertahan di tengah badai dengan tidak meragukan kuasa Allah. Pengharapan yang membakar kekuatan untuk bertahan dan tidak jatuh kepada keputusasaan. Kasih menyirami kehidupan dengan keteduhan, kelembutan, ketulusan dan pengorbanan. Nilai yang melebihi warisan materi, nilai yang tidak akan pudar oleh perkembangan zaman dan tidak lekang oleh waktu.
Kiranya melalui momen PA ini, tiap keluarga kembali termotivasi untuk membangun dan menumbuhkan nilai iman, harap, dan kasih sebagai nilai-nilai pendidikan dalam keluarga. Nilai-nilai yang menjadi warisan untuk menghadapi segala pergumulan keluarga di tengah dunia dengan tetap memancarkan kemuliaan Allah.
Kiranya nilai iman, harap, kasih adalah sebuah nilai yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, dimulai dari lingkup keluarga, jemaat dan masyarakat.
Bahan diskusi:
1.Bagaimana cara saudara mewariskan nila-nilai iman dalam hidup anak-anak?
2.Menurut saudara masih perlukah kita wariskan nilai-nilai iman kepada anak kita meskipun mereka sudah menginjak dewasa?

























Bahan PA Ibu
Renungan
Harta Tersembunyi
Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil. (Mazmur 112:4).
Aku akan memberikan kepadamu harta benda yang terpendam dan harta kekayaan yang tersembunyi, supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN, Allah Israel, yang memanggil engkau dengan namamu (Yesaya 45:3).
Di dalam kegelapan malam kita bisa melihat sinar bintang-bintang, yang tidak bisa kita lihat ketika matahari bersinar terang. Harta kekayaan yang tersembunyi pun lebih mudah kita temukan di tempat yang gelap, karena kilau cahayanya mengarahkan pandangan kita ke sana.
Seorang perempuan Kristen di Eropa, bangun pagi hari di tengah gelapnya hujan salju dan melihat ke pohon apel di halamannya. Di dalam kegelapan, ia yakin bahwa pohon apel itu akan menghasilkan buah ketika musim panas tiba, meskipun saat itu pohon tersebut sedang meranggas, tidak berdaun atau berbunga, karena sedang musim dingin. Perempuan itu tahu bahwa pohon tersebut menyimpan benih kehidupan yang akan bertunas ketika musim semi tiba.
Demikian juga Paulus di dalam kegelapan penjara, meskipun tidak tahu kapan akan dibebaskan, menulis surat kepada jemaat-jemaat yang pernah dikunjunginya tentang kasih karunia Tuhan yang diterimanya. Ia membagikan kabar sukacita itu kepada mereka sambil menyampaikan salam “Kasih Karunia Tuhan besertamu”. Paulus tahu bahwa Tuhan memberkati benih-benih Injil yang telah disiramnya, sehingga kelak akan berbuah lebat.
Di dalam kegelapan kita mencari harta yang tersembunyi dengan senter iman.
Sebagai orang Kristen, kita tidak luput dari penderitaan, ujian, kesusahan, kehilangan orang yang kita kasihi, frustasi di dalam pekerjaan, sakit-penyakit, dll. Kita harus menghadapi semuanya itu dengan sikap yang benar, dengan meyakini bahwa Tuhan tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada kita, kecuali untuk suatu maksud yang baik. Kegelapan yang kita hadapi tidak selalu terjadi karena dosa kita, tetapi diizinkan Tuhan untuk memperdalam pemahaman kita akan kasih-Nya. Di dalam kegelapan, kita dapat diingatkan kembali untuk lebih dekat kepada-Nya.
Seperti pada peristiwa 11 September 2001 di Amerika dan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Setelah itu, gereja-gereja mulai dipenuhi, bukan saja oleh orang-orang yang terkena musibah, sanak keluarga dan teman-teman mereka, namun juga oleh orang-orang yang disadarkan bahwa bencana bisa terjadi setiap saat dan keselamatan jiwa hanya datang dari Tuhan.
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya (1 Korintus 10:13).
Pada waktu pencobaan menimpa kita, Tuhan akan memberikan jalan keluar dan kekuatan kepada kita untuk menemukan “harta yang tersembunyi”, yaitu kasih sayang Tuhan. Tuhan selalu menepati janji-janji-Nya dan Dia setia. Dia tidak akan pernah membiarkan kita sendirian. Dia juga akan memampukan kita untuk menjadi manusia yang lebih kuat dan lebih tahan uji di dalam kehidupan ini. Hal itu dengan tepat dikatakan oleh seorang anak Sekolah Minggu: “Tuhan Yesus tidak hanya menanggung salib, tetapi memanfaatkannya untuk keselamatan kita.”
Kegelapan tidak bisa kita duga datangnya, namun yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Kita bisa mengasihani diri sendiri, merasa frustasi, membiarkan pencobaan menjatuhkan kita atau menyerah pasrah, tapi sebaliknya kita juga bisa bereaksi dengan yakin dan berani karena Tuhan ada di belakang kita. Jangan biarkan kegelapan menjadi groaning point (hal untuk mengeluh), tetapi jadikanlah sebagai growing point (pertumbuhan iman).
Banyak orang yang lari dari kenyataan, misalnya mencari jalan pintas dengan bermabuk-mabukan atau mengonsumsi narkoba, dan akhirnya menjadi pecundang. Mereka berusaha mencari comfort zone (zona nyaman) untuk melupakan kepahitan mereka, padahal lasting comfort (kenyamanan yang abadi) hanyalah di dalam Tuhan Yesus.
Kalau sakit, penduduk pribumi Amerika Selatan, lebih senang minum obat tradisional daripada obat-obat baru yang tidak terasa pahit. Meskipun obat tradisional terasa pahit, tapi mereka meyakini bahwa obat itu manjur dan menyembuhkan. “Pahit itu baik,” kata mereka.
Kita bisa membuat kegelapan “terasa baik”, ketika kita melihat bahwa di dalam menghadapi kegelapan ada kesempatan-kesempatan untuk lebih bergantung kepada Tuhan, mengembangkan iman kita dan memperbaiki karakter kita sehingga lebih menyerupai Yesus.
Tuhan itu Mahakuasa, namun mengapa Dia membiarkan kita menghadapi kegelapan dan pencobaan? Justru karena Kemahakuasaan-Nya, Dia ingin agar kita diuji, sehingga iman kita bertumbuh dan kita mendapatkan keselamatan jiwa (1 Petrus 1:9).
Bentuk Kegelapan Lainnya Adalah Kesepian
Kesepian bukan berarti sendirian. Meskipun kita berada di tengah kumpulan banyak orang, kita bisa merasa kesepian. Kesepian adalah salah satu masalah terbesar umat manusia. Perasaan sunyi itu membuat kita merasa ditinggalkan teman, dikucilkan, tidak berguna dan hampa.
Tuhan Yesus pernah dua kali merasa ditinggalkan seorang diri.
  1. Matius 26:56, “Akan tetapi semua terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi nabi. Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.”
  2. Ketika di kayu salib, Dia berseru: “Eli, Eli, lama sabakhtani” (Bapa, Bapa, mengapa Engkau meninggalkan Aku?).
Orang yang kesepian, biasanya membawa dirinya ke dalam kesendirian. Hal ini sebenarnya dipicu oleh tindakan dan sikapnya sendiri. Kesepian lebih mengarah kepada sikap ketimbang keadaan, lebih merupakan pengaruh dari batin ketimbang dari luar. Kesepian bukan masalah dikucilkan, tetapi lebih pada menutup diri sendiri, namun kemudian orang itu mengeluh atau menyalahkan kenyataan dan keadaan yang dihadapinya.
Orang yang kesepian cenderung cepat marah, mengasihani diri sendiri dan mengurung diri. Ia menyalahkan teman-temannya yang dianggap telah meninggalkannya, sedangkan ia sendiri tidak mau berteman. Ia menghendaki agar orang lain memperhatikan dan mengasihinya, namun ia sendiri tidak peduli terhadap mereka.
Kristus yang hadir di dalam hati kita menjadi teman kita, dan menjadi teman berarti kita tidak hanya memperhatikan diri kita sendiri tetapi juga peduli kepada orang lain. Yesus mengajar kita di dalam Roma 12:13 untuk membantu orang-orang kudus yang berkekurangan dan berusaha untuk selalu memberi tumpangan kepada mereka.
Ketika seorang pengerja sosial berkunjung ke rumah orang jompo, ia merasa kasihan kepada seorang kakek penghuni tempat itu yang tampak begitu rapuh dan renta. Tetapi dengan bangga kakek itu berkata: “Saya tidak tinggal di rumah jompo. Saya tinggal bersama Allah.”
Dalam menghadapi kegelapan, kita perlu menggunakan senter iman kita agar dapat menemukan harta yang tersembunyi, yaitu kasih sayang Yesus. Dengan demikian kita tahan uji dan kuat menghadapi kehidupan, serta makin serupa dengan-Nya, penuh kasih kepadaTuhan dan sesama kita.
Ikutilah teladan seorang janda tentara Amerika yang tidak larut dalam kesedihan dan depresi ketika suaminya gugur di Afganistan dan kini harus merawat anak-anaknya seorang diri. Di dalam kegelapan hidupnya, ia bisa menemukan harta yang tersembunyi, yaitu mengampuni dan berbuat baik kepada sesamanya. Dengan kasih ia mengumpulkan dana dan menggerakkan teman-temannya untuk membantu kaum perempuan Afganistan keluar dari keterpurukan mereka dengan memberi mereka pengetahuan yang baik di dalam mendidik dan merawat anak-anak mereka. Hidupnya bermanfaat karena ia menjadi berkat bagi orang lain. Amin


Postingan populer dari blog ini

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bp Suwondo

Tata Ibadah Bidston Syukur Keluarga Bpk/Ibu Karep Purwanto Atas rencana Pernikahan Sdr.Petrus Tri Handoko dengan sdr.Nining Puji Astuti GKJ Ambarawa, 3 Mei 2013

LITURGI ULANG TAHUN PERKAWINAN KE 50 BP.SOEWANTO DAN IBU KRIS HARTATI AMBARAWA, 19 DESEMBER 2009